"Siapa sebenarnya wanita itu? Kenapa wajahnya seperti familier untukku?" Rendra mengedikkan bahunya dan menyerahkan tugas untuk anak buahnya mengorek lebih dalam tentang wanita ular itu.
Sejak saat itu, Rendra memasang CCTV di semua sudut ruangan. Hal itu bertujuan untuk mengawasi para pekerjanya. Agar hal serupa tidak pernah terjadi lagi. Selang beberapa minggu, terungkap sudah identitas tentang gadis itu. Dia adalah kakak dari wanita yang pernah dikencani Rendra semasa sekolah dulu. Rendra menghancurkan masa depannya. Gadis itu frustrasi dan memilih bunuh diri setelah sebelumnya Rendra menolak untuk bertanggung jawab, dan menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya. Rendra menutupi informasi sepenting itu dari Aleesha. Dia tidak ingin masa lalu kelamnya terkuak. Tidak penting bagi Aleesha tahu masa lalu Rendra. Hidup mereka adalah untuk masa depan, begitu pikir Rendra dalam hatinya. Aleesha sudah yakin jika dirinya sudah berubah, dan Rendra tak ingin menghancurkan kepercayaan Aleesha saat ini dengan rekam masa lalunya.*"Sayang …." Rendra meraih pinggang mungil Aleesha, dan mem*luknya dari belakang. Ini adalah hal yang ia sering lakukan saat Aleesha sedang asyik dengan kegiatan memasak."M-mas …!" sahut Aleesha sedikit tergeragap. Masa lalu yang sempat berkelebat di benaknya seketika buyar. "Kenapa? Masih mikirin yang semalam, ya?" bisik Rendra tepat di daun telinga Aleesha. Hembusan nafasnya membelai lembut tengkuk leher Aleesha. Membuat Aleesha bergidik geli."Sedikit." Aleesha menjawab lirih. Semalam saat mereka sampai ke rumah, keduanya memilih untuk tidak tidur di ruangan yang sama. Seusai berdebat seperti itu, mereka butuh waktu untuk menyendiri. Saling memperbaiki diri, dan menenangkan hati.Rendra memilih tidur di ruang kerjanya. Sedangkan, Aleesha tidur di kamar mereka."Maaf, Sayang. Mas yang salah," ucap Rendra. Aleesha masih bergeming. "Kamu pasti sangat tertekan dengan ucapan Mama semalam," lanjutnya seraya semakin mengeratkan pelukan.Aleesha melerai pelukan suaminya. Ia mematikan kompor. Lalu, membalikkan tubuhnya. Kini posisi mereka saling berhadapan. "Ya, Mas. Aku sangat tertekan. Aku sangat tahu diri, jika masalahnya ada padaku. Tapi, Mas dengarkan permohonanku kali ini saja." Aleesha menatap lekat manik mata suaminya. "Aku nggak bisa kalau harus menikah dengan wanita lain, Sayang." Rendra berucap tegas. "Kita bisa mengadopsi anak, 'kan?" Rendra sedikit menekan ucapannya. Aleesha menggeleng. "Keluargamu pasti tidak akan menyukai itu. Mereka hanya akan senang jika anak itu adalah garis tegas keturunanmu, Mas!" Aleesha juga kekeh dengan pendapatnya.Rendra membisu, dalam hatinya membenarkan ucapan istrinya. Namun, ia juga belum bisa menerima kehadiran wanita lain selain istrinya. Dia merasa takut. Takut, kehilangan senyum istrinya. Bagi Rendra, membagi hati bukanlah perkara mudah. Hal itu sangatlah sulit baginya. Ia hanya pria biasa yang belum bisa adil dalam membagi segalanya. "Kita bisa coba program bayi tabung, Sayang." Rendra kembali memilihkan opsi lain, tanpa harus menikahi wanita lain.Aleesha kembali menggelengkan kepalanya."Apa Mas lupa jika Dokter tidak menyarankan itu untuk kita? Peluang berhasilnya pun sangat minim, Mas." Rendra mencoba mengingat-ingat lagi, dan sepertinya ucapan istrinya benar. Ia tak dapat berkutik lagi. Kini, Rendra berada dalam sebuah dilema besar. Apakah ia akan menuruti permintaan istrinya untuk menikah lagi atau tidak. Ia butuh waktu sedikit 3 lebih banyak untuk memikirkannya. ***Gadis itu sudah rapi dengan setelan blouse putih dan rok span selutut berwarna hitam. Rambutnya yang panjang, ia ikat ekor kuda. Sedikit make up tipis telah menyempurnakan penampilannya hari ini. Lipstik berwarna soft coral telah menghias manis di bibirnya. Ia keluar dari kamar dengan langkah anggunnya."Bu, Amira pergi dulu, ya!" pamit Amira pada Ibunya yang tengah menyiapkan sarapan."Nggak sarapan dulu, Nak?" "Aku buru-buru, Bu. Dibawa aja gimana, Bu. Biar aku makan kalau sudah sampai kantor." Amira berkali-kali menatap jarum jam di arlojinya. Detik waktu kian bergerak. Ia sangat takut terlambat di hari pertamanya menjadi karyawan tetap. "Baiklah. Tunggu sebentar, Ibu salin ke kotak makan siang dulu, Nak." Dengan cekatan sang Ibu memindahkan nasi goreng telur yang dimasaknya. Lalu, ia pun segera memberikannya pada Amira."Amira berangkat, Bu. Assalamualaikum." Ia berlari kecil menuju ke halte bus yang lumayan jauh dari rumah kontrakannya. Ia harus bergegas, jika tak ingin kehilangan bis yang menuju ke arah kantornya.Amira sangat cemas jika dia sampai melakukan kesalahan di hari pertamanya bekerja sebagai karyawan tetap. Big No! Tidak ada terlambat dalam kamusnya.Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, akhirnya ia tiba di pelataran gedung Rebidz Company. Ia menghela napasnya lega. Masih ada waktu lima belas menit lagi untuk absen fingerprint.Amira mengayunkan langkahnya dengan ringan melewati lobi, langkahnya tiba-tiba terhenti saat ada yang menarik lengannya dari arah belakang. Seketika ia menolehkan wajahnya."Kamu …!" Matanya membelalak demi melihat seseorang yang menarik lengannya.Siapakah dia?"Amira." Aleesha menggumam. Lantas ia menarik lengan seorang wanita yang berjalan tepat tiga langkah di depannya. Ia merasa seperti mengenal wanita itu."Hei!" sapa Aleesha setelah wanita itu menoleh ke arahnya."Kamu … Aleesha?" tanya Amira kaget. Ia langsung menoleh saat lengannya ditarik dari belakang. "Bener, ternyata kamu, Amira." Aleesha langsung memeluk Amira. "Aku kangen tau!" ungkapnya."Sama! Lama ya kita nggak ketemu, Sha." Amira melerai pelukannya dan menatap rindu sahabatnya semasa di sekolah menengah atas dulu. "Iya, nih! Kayaknya sejak kita lulus SMA, ya. BTW, dengar-dengar kamu balik ke kampung Ibumu, ya waktu itu?" tanya Aleesha. "Ya, begitulah. Eh, kenapa kamu ada di sini? Kamu … kerja di sini juga?" tanya balik Aya. "Iya, aku mau ke lantai sepuluh. Kamu mau kemana?" jawab dan tanya Aleesha lagi."Oh, aku mau ke lantai tujuh, Sha. Maaf, tapi Aku harus cepat-cepat nih. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya." Aya tersadar jika waktunya tak banyak. Ia segera berlari kec
Mereka pun berjalan menuju ke kantin kantor yang letaknya di lantai dasar. Aleesha begitu menikmati momen ini. Ia pun tak henti mengulas senyum. Tidak salah jika tadi pagi ia sampai memaksa untuk ikut ke kantor suaminya. Suaminya pun akhirnya mengabulkan keinginannya. Aleesha berdalih jika dirinya merasa bosan di rumah terus. Dan satu lagi, ia berhasil bertemu dengan Amira, gadis sederhana dan manis yang sangat ia kagumi sejak dulu. Amira adalah gadis yang tulus, ia sangat bersyukur mengenal Amira dalam hidupnya. Aleesha bukanlah orang yang sulit bergaul. Dia begitu supel, ramah, dan kaya raya. Siapa yang tidak mau untuk menjadi temannya. Namun, sebanyak apapun teman Aleesha, tidak ada yang dapat menggantikan seorang sahabat seperti Amira.Maka dari itu, Aleesha sempat merasa kehilangan Amira saat mereka putus kontak dulu. Amira menghilang dari pusaran hidupnya. Dan kini, mereka bertemu lagi. Ada kebahagiaan tersendiri yang meluap-luap dalam diri Aleesha."Sha, kamu nggak makan yang
'Aku yakin, Mas Rendra nggak akan semudah itu menerima permintaan Mama,' gumam Aleesha."Kenapa diam, ha? Aleesha, harusnya kamu sadar diri, kamu 'kan yang nggak bisa punya anak? Harusnya kamu lepasin anak saya, Rendra. Atau kamu biarkan saja agar Rendra menikahi Visca!" sentak Ibu mertuanya dengan wajah kakunya. Andai Aleesha tidak menjunjung tinggi rasa hormat pada orang yang lebih tua, ingin rasanya Aleesha membalas perkataan mertuanya dengan umpatan. Namun, Aleesha masih menahan diri, karena yang bicara dengannya saat ini adalah mertuanya. Wanita yang telah melahirkan dan membesarkan suami Aleesha. Wanita yang tetap menjadi surga bagi Rendra. Aleesha tidak memungkiri hal itu. "Maaf, Ma! Aku nggak akan percaya begitu saja, sebelum Mas Rendra yang menceritakannya sendiri padaku. Kalau begitu, saya pamit, Ma." Aleesha berujar dengan nada yang dibuat pelan. Selembut mungkin agar gejolak amarahnya tidak semakin meletup-letup. Ia tak mau membuat mertuanya semakin marah. "Permisi!" p
"Ma, kenapa Mama begitu membenciku?" Aleesha bertanya dengan suara bergetar menahan tangis."Kenapa? Karena kamu anak dari saingan bisnis suamiku! Puas!?" hardiknya keras. "Ma, itu tidak adil! Bukankah setiap orang berhak untuk jatuh cinta, dan Mas Rendra justru jatuh cinta padaku. Apa aku harus menyalahkan takdir?" Aleesha lagi-lagi menguatkan hatinya untuk tidak terlihat menyedihkan.Pintu terbuka, dan muncul kedua orang tua Aleesha. Mereka mengulas senyum saat melihat sang besan sedang menunggui putri mereka."Siang, Bu Besan," sapa Bu Rita, Mama Aleesha sambil tak luput tersenyum.Bu Ayumi hanya membalas sapaan itu dengan senyum tipis, dan terkesan enggan. "Saya permisi dulu, masih ada urusan di butik." Bu Ayumi segera berpamitan setelah berbasa-basi sekitar sepuluh menit."Kamu nggak apa-apa, Sha? Mertuamu ngomong apa tadi, kelihatannya serius banget," tanya Bu Rita begitu besannya keluar dari ruangan."Nggak ngomong apa-apa, kok, Ma. Cuma nasehatin aja supaya Aleesha lebih ber
Aleesha tengah duduk termangu di sudut sebuah kafe. Orange juice yang dipesannya ia abaikan, dan dia tak berminat untuk meminumnya. Aleesha masih merenungi ucapan Shafa tempo hari. Shafa mengatakan jika sel kanker yang menjalar ke rahimnya semakin agresif. Kemungkinan Aleesha untuk memiliki keturunan pun semakin sedikit.Satu-satunya cara adalah merelakan suaminya untuk menikah lagi. Ya, hanya itu caranya agar keluarga Kusuma mendapatkan garis tegas keturunannya.Hari ini, Aleesha berniat menemui Amira. Aleesha meminta Amira untuk menemuinya di jam makan siang. Ia ingin memanfaatkan itu untuk mengungkapkan ide gilanya itu. Dia memang menolak keras jika Visca yang akan dinikahi Rendra. Namun, entah mengapa Aleesha rela dan menginginkan Amirq untuk menjadi istri kedua suaminya. Bagaimanapun Aleesha memikirkannya, itu adalah hal gila yang pernah dia pikirkan seumur hidupnya."Sorry, telat!
"Kenapa, Ra? Kayaknya panik banget?" tanya Aleesha begitu Amira selesai dengan teleponnya."Ibuku, Sha. Beliau pingsan, dan sekarang lagi ada di rumah sakit," jawab Amira dengan raut cemas."Aku pamit dulu, Sha. Aku harus ke rumah sakit sekarang.""Tunggu, Ra! Ayo, aku antar kamu ke rumah sakit." Aleesha mengusulkan."Tapi …." "Ayo! Jangan sungkan, aku pastikan kita cepat sampai ke rumah sakit.""Baiklah. Ayo, Sha!"Kedua sahabat itu berlari kecil menuju area parkir untuk menuju ke mobil Aleesha. Amira terlihat sangat panik, dan bahkan lupa jika harus kembali ke kantor saat ini. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih setengah jam. Mereka telah sampai di tempat yang dituju. Rumah Sakit Harapan. "Maaf, Suster. Saya mau bertanya, pasien atas nama Bu Rimayanti, di mana ya?" Amira bertanya dengan panik setelah masuk ke rumah sakit dan menanyakan keberadaan Ibunya di bagian administrasi.Suster itu tampak melihat data-data pasien. Lantas menjawab pertanyaan Amira dengan menunjuk
Esok paginya, Amira memutuskan untuk pergi ke kantor untuk menjelaskan yang terjadi padanya kemarin. Amira menghubungi Bu Widya, tetangganya untuk menjaga Ibunya sementara ia bekerja di kantor hari ini.Bu Widya yang sudah seperti kerabat bagi keluarga mereka pun tak keberatan saat Amira meminta tolong."Kamu kerja saja, Nak Amira. Biar Ibu di sini jagain ibumu." Bu Widya yang baru sampai di ruangan tempat Bu Rima dirawat langsung meyakinkan Amira jika semuanya akan baik-baik saja. "Iya, Bu. Maaf merepotkan ya, Bu. Saya benar-benar nggak tahu sama siapa harus minta tolong." Amira menatap sendu wajah ibunya yang masih terlelap. Hari ini ibunya akan menjalani radioterapi sebagai metode awal pengobatan kankernya. Prosedur bedah akan dilakukan setelah kedua metode tadi selesai. "Saya pamit, Bu. Titip ibu saya, ya." Amira berpamitan pada Bu Widya. Lalu menghampiri ibunya yang masih memejamkan mata. "Bu, Amira pamit." Amira mengusap punggung tangan kanan ibunya. Setelah itu dia langsun
Selama perjalanan, baik Amira maupun Davin hanya terdiam. Mereka merasa tidak dekat satu sama lain kecuali untuk urusan pekerjaan. Davin berinisiatif untuk memutar musik agar rasa canggung itu sirna. Davin memang menyukai Amira, namun, dia tak tahu bagaimana harus memulai untuk mendekati gadis itu. Musik merdu dari lagu klasik telah mengalun lembut di dalam mobil. Amira meresapi setiap lirik yang dilantunkan sang penyanyi dalam bahasa inggris itu. Kerisauannya akan hari esok belum juga sirna. Amira merasa terhimpit oleh keadaan, membayangkan bagaimana untuk membayar hutang ke rentenir, biaya pengobatan sang ibu dan biaya hidup mereka nantinya. Amira menelan ludah dengan getir membayangkan jika harus menikah dengan bandot tua itu. Tetapi, apa lagi yang bisa dia lakukan selain menyerah.Saat ini saja dirinya pengangguran dan tentunya tak berpenghasilan. Dari mana ia dapat semua uang itu dengan cepat. Bulir bening tiba-tiba saja mengalir dari pelupuk mata Amira. Davin yang tak sengaj