Share

Masa Lalu Kelam

"Siapa sebenarnya wanita itu? Kenapa wajahnya seperti familier untukku?" Rendra mengedikkan bahunya dan menyerahkan tugas untuk anak buahnya mengorek lebih dalam tentang wanita ular itu. 

Sejak saat itu, Rendra memasang CCTV di semua sudut ruangan. Hal itu bertujuan untuk mengawasi para pekerjanya. Agar hal serupa tidak pernah terjadi lagi. 

Selang beberapa minggu, terungkap sudah identitas tentang gadis itu. Dia adalah kakak dari wanita yang pernah dikencani Rendra semasa sekolah dulu. 

Rendra menghancurkan masa depannya. Gadis itu frustrasi dan memilih bunuh diri setelah sebelumnya Rendra menolak untuk bertanggung jawab, dan menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya. 

Rendra menutupi informasi sepenting itu dari Aleesha. Dia tidak ingin masa lalu kelamnya terkuak. Tidak penting bagi Aleesha tahu masa lalu Rendra. Hidup mereka adalah untuk masa depan, begitu pikir Rendra dalam hatinya. Aleesha sudah yakin jika dirinya sudah berubah, dan Rendra tak ingin menghancurkan kepercayaan Aleesha saat ini dengan rekam masa lalunya.

*

"Sayang …." Rendra meraih pinggang mungil Aleesha, dan mem*luknya dari belakang. Ini adalah hal yang ia sering lakukan saat Aleesha sedang asyik dengan kegiatan memasak.

"M-mas …!" sahut Aleesha sedikit tergeragap. Masa lalu yang sempat berkelebat di benaknya seketika buyar. 

"Kenapa? Masih mikirin yang semalam, ya?" bisik Rendra tepat di daun telinga Aleesha. Hembusan nafasnya membelai lembut tengkuk leher Aleesha. Membuat Aleesha bergidik geli.

"Sedikit." Aleesha menjawab lirih. Semalam saat mereka sampai ke rumah, keduanya memilih untuk tidak tidur di ruangan yang sama. Seusai berdebat seperti itu, mereka butuh waktu untuk menyendiri. Saling memperbaiki diri, dan menenangkan hati.

Rendra memilih tidur di ruang kerjanya. Sedangkan, Aleesha tidur di kamar mereka.

"Maaf, Sayang. Mas yang salah," ucap Rendra. Aleesha masih bergeming. "Kamu pasti sangat tertekan dengan ucapan Mama semalam," lanjutnya seraya semakin mengeratkan pelukan.

Aleesha melerai pelukan suaminya. Ia mematikan kompor. Lalu, membalikkan tubuhnya. Kini posisi mereka saling berhadapan. 

"Ya, Mas. Aku sangat tertekan. Aku sangat tahu diri, jika masalahnya ada padaku. Tapi, Mas dengarkan permohonanku kali ini saja." Aleesha menatap lekat manik mata suaminya. 

"Aku nggak bisa kalau harus menikah dengan wanita lain, Sayang." Rendra berucap tegas. 

"Kita bisa mengadopsi anak, 'kan?" Rendra sedikit menekan ucapannya. 

Aleesha menggeleng. 

"Keluargamu pasti tidak akan menyukai itu. Mereka hanya akan senang jika anak itu adalah garis tegas keturunanmu, Mas!" Aleesha juga kekeh dengan pendapatnya.

Rendra membisu, dalam hatinya membenarkan ucapan istrinya. Namun, ia juga belum bisa menerima kehadiran wanita lain selain istrinya. Dia merasa takut. Takut, kehilangan senyum istrinya. 

Bagi Rendra, membagi hati bukanlah perkara mudah. Hal itu sangatlah sulit baginya. Ia hanya pria biasa yang belum bisa adil dalam membagi segalanya. 

"Kita bisa coba program bayi tabung, Sayang." Rendra kembali memilihkan opsi lain, tanpa harus menikahi wanita lain.

Aleesha kembali menggelengkan kepalanya.

"Apa Mas lupa jika Dokter tidak menyarankan itu untuk kita? Peluang berhasilnya pun sangat minim, Mas." 

Rendra mencoba mengingat-ingat lagi, dan sepertinya ucapan istrinya benar. Ia tak dapat berkutik lagi. 

Kini, Rendra berada dalam sebuah dilema besar. Apakah ia akan menuruti permintaan istrinya untuk menikah lagi atau tidak. Ia butuh waktu sedikit 3 lebih banyak untuk memikirkannya. 

***

Gadis itu sudah rapi dengan setelan blouse putih dan rok span selutut berwarna hitam. Rambutnya yang panjang, ia ikat ekor kuda. 

Sedikit make up tipis telah menyempurnakan penampilannya hari ini. Lipstik berwarna soft coral telah menghias manis di bibirnya. Ia keluar dari kamar dengan langkah anggunnya.

"Bu, Amira pergi dulu, ya!" pamit Amira pada Ibunya yang tengah menyiapkan sarapan.

"Nggak sarapan dulu, Nak?" 

"Aku buru-buru, Bu. Dibawa aja gimana, Bu. Biar aku makan kalau sudah sampai kantor." Amira berkali-kali menatap jarum jam di arlojinya. Detik waktu kian bergerak. 

Ia sangat takut terlambat di hari pertamanya menjadi karyawan tetap. 

"Baiklah. Tunggu sebentar, Ibu salin ke kotak makan siang dulu, Nak." 

Dengan cekatan sang Ibu memindahkan nasi goreng telur yang dimasaknya. Lalu, ia pun segera memberikannya pada Amira.

"Amira berangkat, Bu. Assalamualaikum." 

Ia berlari kecil menuju ke halte bus yang lumayan jauh dari rumah kontrakannya. Ia harus bergegas, jika tak ingin kehilangan bis yang menuju ke arah kantornya.

Amira sangat cemas jika dia sampai melakukan kesalahan di hari pertamanya bekerja sebagai karyawan tetap. Big No! Tidak ada terlambat dalam kamusnya.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, akhirnya ia tiba di pelataran gedung Rebidz Company. Ia menghela napasnya lega. Masih ada waktu lima belas menit lagi untuk absen fingerprint.

Amira mengayunkan langkahnya dengan ringan melewati lobi, langkahnya tiba-tiba terhenti saat ada yang menarik lengannya dari arah belakang. Seketika ia menolehkan wajahnya.

"Kamu …!" Matanya membelalak demi melihat seseorang yang menarik lengannya.

Siapakah dia?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status