"Aku ada di mana?" tanya Amira saat mendapati dirinya terbangun di sebuah yang tampak asing baginya. Ia mengerjapkan matanya perlahan. Menyesuaikan dengan cahaya yang masuk ke indra penglihatannya. Bau obat-obatan langsung terhidu di hidungnya. Amira beringsut bangun dari posisinya semula. Berusaha mengingat kejadian yang terjadi menimpanya sebelum dia tak sadarkan diri."Apa aku …?" Amira menutup mulutnya saat mengingat dirinya dicekal oleh ketiga anak buah dari si bandot tua itu. "Amira, kamu sudah sadar?" tanya suara berat seorang lelaki yang baru saja masuk ke ruangan tempat dirinya terbaring tadi."Davin?" Amira mengerutkan dahinya saat melihat Davin membawa beberapa kantong makanan."Kenapa aku di sini?" tanya Amira saat Davin sudah duduk di dekat ranjang pasien."Kamu sudah pingsan saat aku datang," jawab Davin apa adanya."Lalu … siapa yang datang dan berkelahi dengan tiga preman itu?" Amira menggumam pelan saat mengingat potongan ingatan sebelum dia tak sadarkan diri.Amira
"Jangan bercanda, Sha! Apa-apaan maksudmu memintaku menikah dengan temanmu itu." Rendra menukas dengan tegas permintaan tak masuk akal dari Aleesha yang tiba-tiba saja diutarakannya. Ia benar-benar tidak mengerti dengan pola pikir istrinya itu. Sudah beberapa kali ia menolak keinginan gilanya itu untuk menikah lagi. Dan sekarang malah menyarankan untuk menikah dengan temannya. "Mas nggak mau, Sha." Rendra melunak. Dia memelankan suaranya. "Tapi … keluargamu akan terus menuntut tentang anak pada kita, Mas. Mas tahu sendiri 'kan kalau aku tidak bisa memiliki anak." Aleesha bersikeras.Sedangkan Rendra hanya bergeming. Dia tak tahu bagaimana caranya agar membuat istrinya tidak lagi memintanya untuk menikah lagi. Setiap mendengarnya saja, cukup membuatnya frustasi. Dia hanyalah laki-laki biasa yang belum bisa bersikap adil. Dia tidak dapat membagi cinta dan kasih sayangnya terhadap perempuan lain. Dia belum sanggup untuk itu. "Mama akan menikahkanmu dengan Visca." Aleesha berucap den
Rendra langsung membopong tubuh istrinya yang sudah tak sadarkan diri itu menuruni tangga. Dia harus segera membawa Aleesha ke rumah sakit agar segera mendapatkan pertolongan. Rendra seperti kesetanan mengemudikan mobilnya. Dia ingin segera sampai di rumah sakit. Perjalanan ke rumah sakit yang seharusnya memakan waktu tiga puluh menit lamanya, dipangkas menjadi dua kali lebih cepat. Lima belas menit perjalanan mobil Rendra sudah memasuki areal rumah sakit. "Suster, tolong! Tolong istri saya!" teriak Rendra begitu sampai di lobi rumah sakit. Para suster yang sedang berjaga berduyun-duyun menghampiri pria yang masih membopong seorang wanita."Baringkan pasien di sini, Pak," ujar salah seorang suster yang mendorong brankar. Rendra segera menaruh tubuh Aleesha ke atas brankar lalu mendorongnya masuk ke ruangan IGD. "Maaf, Pak. Bapak tidak diperkenankan masuk. Silahkan tunggu di sini." Suster itu mencegat langkah Rendra yang hendak turut masuk ke ruang IGD. "Baiklah." Rendra hanya m
Suasana mendadak hening saat Rendra mengucapkan pernyataannya tadi. Hal itu benar-benar di luar dugaan semua orang. "Cih! Sial!!" Pak Erwin mendecih sinis lalu dia memerintahkan anak buahnya untuk bergegas meninggalkan rumah Amira yang sudah berhasil dibuat porak poranda oleh ulah mereka. Pak Erwin menatap tajam ke arah Rendra. Rasanya tak rela jika gadis incarannya akan menjadi istri dari lelaki itu. Pak Erwin mendengus kesal karena gagal mempersunting dara muda seperti Amira.Aleesha masih terperangah dengan ucapan suaminya, namun, setelah itu senyum tipis tersungging di bibirnya. Aleesha merasa ini adalah pertanda bahwa permintaannya akan dikabulkan oleh sang suami.Sementara Amira dan Bu Rima mulai membereskan kekacauan yang ada. Amira memilih mengabaikan ucapan spontan Rendra tadi. Mungkin itu adalah bentuk spontanitas saja di saat posisi terdesak seperti ini. Amira tak menganggapnya lebih dari itu.
Dua hari kemudian, seperti yang dijanjikan sebelumnya. Amira sudah datang terlebih dahulu di sebuah restoran di sebuah hotel mewah yang sudah Aleesha reservasi sebelumnya. Amira sudah datang terlebih dahulu. Dia menghampiri resepsionis untuk menanyakan meja yang sudah dipesan oleh Aleesha. "Atas nama siapa, Nona?" tanya resepsionis itu dengan senyum ramahnya. "Aleesha Putri," jawab Amira. Lalu sang resepsionis menuntunnya untuk naik ke sebuah ruangan khusus. Desainnya identik dengan warna hitam dan gold yang klasik dan terlihat begitu serasi. Aleesha rupanya sudah memesan ruangan VIP untuk dapat menjaga privasi mereka. Amira duduk di meja yang sudah dipesan, lantas menunggu pasangan serasi itu dalam diam. Debar jantungnya sudah tak menentu sejak tadi. Keringat dingin sudah membasahi telapak tangannya. Dia benar-benar belum terbiasa dengan keadaan saat ini.
Usai makan malam dengan Rendra dan Aleesha yang berakhir dengan satu keputusan. Malam itu, Amira pulang ke rumah dengan diantarkan oleh mereka. Sepanjang perjalanan, Amira lebih banyak terdiam dan tak terpengaruh dengan obrolan mesra Aleesha dan Rendra. Aya tak terlalu memperhatikan mereka, tapi justru Amira melamun sambil memperhatikan jalanan yang dipenuhi gemerlap lampu malam hari. Amira sedang berpikir bagaimana cara menyampaikan kabar ini kepada ibunya. Haruskah dia jujur pada ibunya tentang pernikahan dengan syarat itu ataukah menutupinya. Namun, seorang Nihaya tidak pernah bisa berbohong pada Bu Rima. Setiap kebohongan itu, selalu tidak dapat menipu Bu Rima.Amira menarik napasnya sangat dalam lalu menghempaskannya perlahan. Hanya itu yang dirinya lakukan di sela-sela perjalanan."Kita sampai," ucap Aleesha yang sukses membuyarkan lamunan panjang Amira."Eh, udah sampai, ya?" Amir
"Suram amat deh muka lo, Ra!" seru Sita saat menghampiri rekan kerjanya di meja kantin. Dia sudah memperhatikan raut wajah Amira sejak tadi yang terlihat seperti banyak menyimpan duka di sana. Mereka sedang istirahat makan siang dan memilih untuk tidak pergi keluar dan hanya pergi ke kantin. "Si Yogi mana?" tanya Amira mengalihkan pembicaraan. Sita meletakkan nampan berisi menu makan siang dan minuman mereka di atas meja. "Kayaknya doi keluar deh. Biasalah, janjian dia sama gebetannya," sahut Sita dengan sedikit uring-uringan."Ah, elah. Kenapa kamu nggak jujur aja sih kalau suka sama dia?" sindir Amira halus."Eh, enak aja masa' cewek yang harus nembak duluan, sih! Nggak banget, deh!" sergah Sita tak terima.Amira terkekeh kecil. Setidaknya kehadiran Sita dapat membuatnya melupakan sejenak kemelut hatinya tentang pernikahan kontrak yang akan dija
21Keesokan paginya, Amira melangkah turun dari lantai dua dengan langkah pelan. Rambutnya basah terurai. Semalam tidak ada satu pun kejadian mengesankan. Malam pertama yang indah bagi sebagian wanita, hanya ada dalam bayangan Amira semata.Amira tidak berharap lebih dalam pernikahan ini, tepatnya takut berharap. Dia hanya akan melewati waktu satu tahun ini dengan mengikuti alurnya seperti air yang mengalir. Amira melihat Aleesha yang berjibaku di dapur. Ia melangkah pelan menghampiri sahabatnya itu. Aleesha menangkap kehadiran Amira dari ekor matanya. Dia pun menyambut kedatangannya dengan godaan khas bagi pengantin baru. Apalagi Aleesha melihat rambut panjang Amira basah pagi ini. Aleesha berpikir jika malam pertama mereka lanjar jaya. "Cieeee ... Yang semalam ehem-ehem!" goda Aleesha pada Amira yang sudah berdiri di sampingnya. "Ih, apaan sih," ujar Amira pura-pura tersipu malu dengan godaan Aleesha. Padahal sebenarnya Amira hanya menuruti perintah Rendra untuk berkeramas pa