Suasana mendadak hening saat Rendra mengucapkan pernyataannya tadi. Hal itu benar-benar di luar dugaan semua orang. "Cih! Sial!!" Pak Erwin mendecih sinis lalu dia memerintahkan anak buahnya untuk bergegas meninggalkan rumah Amira yang sudah berhasil dibuat porak poranda oleh ulah mereka. Pak Erwin menatap tajam ke arah Rendra. Rasanya tak rela jika gadis incarannya akan menjadi istri dari lelaki itu. Pak Erwin mendengus kesal karena gagal mempersunting dara muda seperti Amira.Aleesha masih terperangah dengan ucapan suaminya, namun, setelah itu senyum tipis tersungging di bibirnya. Aleesha merasa ini adalah pertanda bahwa permintaannya akan dikabulkan oleh sang suami.Sementara Amira dan Bu Rima mulai membereskan kekacauan yang ada. Amira memilih mengabaikan ucapan spontan Rendra tadi. Mungkin itu adalah bentuk spontanitas saja di saat posisi terdesak seperti ini. Amira tak menganggapnya lebih dari itu.
Dua hari kemudian, seperti yang dijanjikan sebelumnya. Amira sudah datang terlebih dahulu di sebuah restoran di sebuah hotel mewah yang sudah Aleesha reservasi sebelumnya. Amira sudah datang terlebih dahulu. Dia menghampiri resepsionis untuk menanyakan meja yang sudah dipesan oleh Aleesha. "Atas nama siapa, Nona?" tanya resepsionis itu dengan senyum ramahnya. "Aleesha Putri," jawab Amira. Lalu sang resepsionis menuntunnya untuk naik ke sebuah ruangan khusus. Desainnya identik dengan warna hitam dan gold yang klasik dan terlihat begitu serasi. Aleesha rupanya sudah memesan ruangan VIP untuk dapat menjaga privasi mereka. Amira duduk di meja yang sudah dipesan, lantas menunggu pasangan serasi itu dalam diam. Debar jantungnya sudah tak menentu sejak tadi. Keringat dingin sudah membasahi telapak tangannya. Dia benar-benar belum terbiasa dengan keadaan saat ini.
Usai makan malam dengan Rendra dan Aleesha yang berakhir dengan satu keputusan. Malam itu, Amira pulang ke rumah dengan diantarkan oleh mereka. Sepanjang perjalanan, Amira lebih banyak terdiam dan tak terpengaruh dengan obrolan mesra Aleesha dan Rendra. Aya tak terlalu memperhatikan mereka, tapi justru Amira melamun sambil memperhatikan jalanan yang dipenuhi gemerlap lampu malam hari. Amira sedang berpikir bagaimana cara menyampaikan kabar ini kepada ibunya. Haruskah dia jujur pada ibunya tentang pernikahan dengan syarat itu ataukah menutupinya. Namun, seorang Nihaya tidak pernah bisa berbohong pada Bu Rima. Setiap kebohongan itu, selalu tidak dapat menipu Bu Rima.Amira menarik napasnya sangat dalam lalu menghempaskannya perlahan. Hanya itu yang dirinya lakukan di sela-sela perjalanan."Kita sampai," ucap Aleesha yang sukses membuyarkan lamunan panjang Amira."Eh, udah sampai, ya?" Amir
"Suram amat deh muka lo, Ra!" seru Sita saat menghampiri rekan kerjanya di meja kantin. Dia sudah memperhatikan raut wajah Amira sejak tadi yang terlihat seperti banyak menyimpan duka di sana. Mereka sedang istirahat makan siang dan memilih untuk tidak pergi keluar dan hanya pergi ke kantin. "Si Yogi mana?" tanya Amira mengalihkan pembicaraan. Sita meletakkan nampan berisi menu makan siang dan minuman mereka di atas meja. "Kayaknya doi keluar deh. Biasalah, janjian dia sama gebetannya," sahut Sita dengan sedikit uring-uringan."Ah, elah. Kenapa kamu nggak jujur aja sih kalau suka sama dia?" sindir Amira halus."Eh, enak aja masa' cewek yang harus nembak duluan, sih! Nggak banget, deh!" sergah Sita tak terima.Amira terkekeh kecil. Setidaknya kehadiran Sita dapat membuatnya melupakan sejenak kemelut hatinya tentang pernikahan kontrak yang akan dija
21Keesokan paginya, Amira melangkah turun dari lantai dua dengan langkah pelan. Rambutnya basah terurai. Semalam tidak ada satu pun kejadian mengesankan. Malam pertama yang indah bagi sebagian wanita, hanya ada dalam bayangan Amira semata.Amira tidak berharap lebih dalam pernikahan ini, tepatnya takut berharap. Dia hanya akan melewati waktu satu tahun ini dengan mengikuti alurnya seperti air yang mengalir. Amira melihat Aleesha yang berjibaku di dapur. Ia melangkah pelan menghampiri sahabatnya itu. Aleesha menangkap kehadiran Amira dari ekor matanya. Dia pun menyambut kedatangannya dengan godaan khas bagi pengantin baru. Apalagi Aleesha melihat rambut panjang Amira basah pagi ini. Aleesha berpikir jika malam pertama mereka lanjar jaya. "Cieeee ... Yang semalam ehem-ehem!" goda Aleesha pada Amira yang sudah berdiri di sampingnya. "Ih, apaan sih," ujar Amira pura-pura tersipu malu dengan godaan Aleesha. Padahal sebenarnya Amira hanya menuruti perintah Rendra untuk berkeramas pa
22Rendra benar-benar meninggalkan Amira di pinggir jalan sendirian. Ya, begitulah Rendra. Dia tak pernah main-main dengan ucapannya. Jarak ke kantor mereka memang sudah dekat. Akan memakan waktu sepuluh menit jika berjalan kaki.Tanpa membuang waktu, Amira pun mengayunkan langkahnya menuju ke kantor. Dia tidak ingin terlambat di hari pertamanya kembali ngantor setelah cuti selama tiga hari. Dengan langkah sedikit cepat Amira menyusuri jembatan yang biasa dipakai oleh pejalan kaki sepertinya. Sesuai waktu yang diperkirakan, akhirnya Amira sampai di kantor tepat waktu. Sita, rekannya langsung menghambur ke arah Amira. "Ih, kangen deh, Ra. Kamu ke mana aja sih tiga hari ini?" tanya Sita dengan sedikit memprotes. "Hahaha. Biasalah, aku 'kan orang sibuk. Sepi ya nggak ada aku tiga hari ini?" goda Amira."Ya iyalah. Sepi banget. Apalagi manajer kita jadi kelihatan hilang semangat gitu, deh!" sindir Sita saat Davin melintas di hadapan mereka."Pagi, Pak Davin." Amira dan Sita menyapa s
23"Sha, kok kamu ada di luar?" tanya Amira yang baru saja sampai ke rumah dan mendapati Aleesha tengah berdiri di luar gerbang seperti sedang menunggu seseorang."Pak Rendra, belum pulang, ya?" duga Amira yang mengira Aleesha sedang menunggu Rendra."Ra, aku khawatir sama kamu. Mas Rendra udah pulang dari tadi, tapi kamu malah jam segini baru pulang," ujar Aleesha dengan nada khawatir."Oh, ya ampun. Maaf, Sha. Aku nggak ngabarin dulu kalau bakal pulang telat. Kamu tahu 'kan selama cuti kemarin kerjaanku pasti numpuk," jawab Amira merasa tidak enak pada Aleesha."Ponsel kamu juga susah dihubungi," sungut Aleesha kesal.Amira memeriksa ponselnya dan menyadari kalau benda pipih itu sudah kehabisan daya. "Sorry …." Amira meminta maaf dengan tulus. Ia meraih tangan Aleesha. "Aku khawatir terjadi apa-apa sama kamu, Ra. Andai kamu dalam bahaya, gimana coba? Ponsel itu penting, Ra. Kalau kamu dalam bahaya, ponsel sangat kamu butuhkan untuk menghubungi seseorang," ujar Aleesha menyerocos
24"Loh, Amira mana, Mas? Jangan bilang … Mas pulang duluan lagi?" Aleesha tak henti mencecar suaminya dengan pertanyaan.Rendra baru saja turun dari mobilnya usai pulang dari kantor. Dia juga baru sampai di rumah yang mereka bertiga tempati."Aku lelah, Sayang. Gadis itu kulihat masih sibuk di meja kerjanya, kemungkinan lembur." Rendra menjawab enteng setiap pertanyaan Aleesha. Terkesan acuh terhadap kondisi Amira."Ya, aku tau Amira sudah mengabariku. Dia sibuk karena lembur untuk menyelesaikan berkas-berkas yang harus diperiksanya. Biar nanti kalau kalian pergi ke Hong Kong, kerjaannya nggak menumpuk," tukas Aleesha kesal. Padahal dia sudah sangat sering meminta suaminya untuk mengubah sikapnya terhadap Amira. Namun, tetap saja Rendra enggan berubah. Rendra masih tetap acuh pada Amira dan tidak pernah menganggap Amira ada. "Dan satu lagi, Mas. Gadis itu memiliki nama. Amira Azzahra. Bisa nggak sih Mas panggil namanya!" seru Aleesha terlihat marah.Jika sudah begini, Rendra tak b