25 Aleesha masih mondar-mandir di dalam ruang tamunya. Pikirannya gundah. Sudah selarut ini suaminya dan Amira belum juga kembali. Dia khawatir terjadi hal buruk pada mereka. Aleesha meraih ponselnya lagi untuk berusaha menghubungi suaminya. Suara dering tersambung berbunyi, namun Rendra tak kunjung mengangkat teleponnya. "Angkat dong, Mas. Sekali saja," ujar Aleesha hampir berputus asa. Ia kembali membolak-balik langkahnya di depan sofa panjang miliknya. Aleesha menggigit jarinya menandakan ia sangat gelisah saat ini. Tetapi, dia sedikit merasa bahagia mungkin mereka butuh waktu untuk berdua saat ini. Karena Aleesha merasa hubungan Rendra dan Amira masih berjarak. Keduanya selalu terlihat saling menghindari satu sama lain. Padahal bukan itu yang Aleesha inginkan. Justru dirinya ingin Rendra juga mulai belajar untuk mencintai Amira. Sekitar sepuluh menit kemudian, suara deru mobil terdengar dari arah luar. Aleesha yang mendengar itu langsung menghambur keluar untuk memastikan j
26Sebisa mungkin Amira menahan dirinya agar tawanya tidak meledak saat mendengar permintaan Rendra yang aneh malam itu. Tetapi, akhirnya tawanya pecah juga. "Kenapa kamu ketawa? Ada yang aneh dengan ucapanku?" tanya Rendra yang tidak lagi formal dalam berbicara dengan Amira. "Maaf, Pak," sahut Amira menghentikan tawa kecilnya."Sudah kubilang, aku bukan bapakmu!" protes Rendra. "Iya, M–Mas. Maaf.""Bagus. Kalau di kantor boleh bersikap formal," ujar Rendra. "Baiklah.""Sekarang tidurlah, besok aku akan mengabari Davin untuk memberimu izin cuti sampai minggu depan. Besok kamu nggak perlu berangkat ke kantor." Rendra berucap panjang lebar.Posisi mereka kini saling bersandar di kepala ranjang. Debaran di hati Amira muncul lagi. Saat mereka berdua sedekat ini, debaran itu kembali ada. Namun, lagi-lagi Amira membuang jauh-jauh perasaan terlarang itu. Rendra hanya milik Aleesha. Begitupun sebaliknya. Sekali lagi, Amira mengingatkan posisinya di rumah ini, juga di hati Rendra. "M–ma
27"Ra, kamu udah nggak apa-apa?" tanya Aleesha setengah berteriak dari arah dapur. Saat Amira menuruni tangga dan hendak menghampirinya."Aku udah baik-baik saja, Sha," sahut Amira lalu dia mengambil posisi duduk di meja makannya."Syukurlah, tapi, kamu kelihatannya rapi banget, mau kemana? Bukannya hari ini kamu lagi libur dulu?" tanya Aleesha menyerocos."Iya, memang nggak mau ke kantor, kok. Oh, ya nanti aku mau main ke rumah ibu, Sha. Aku juga sekalian mau pamitan sama ibu karena lusa 'kan aku mau pergi ke Hong Kong," jawab Amira.Aleesha hanya menganggukan kepalanya mendengar jawaban Amira. "Nah, ayo kita sarapan dulu, Ra," ajak Aleesha setelah ia selesai memasak."Kita nggak nungguin Pak Rendra, Sha?" tanya Amira. Matanya beredar mencari keberadaan suaminya. "Mas Rendra tadi udah pergi pagi-pagi banget, Ra. Ada suatu urusan katanya," ujar Aleesha menjelaskan."Oh, gitu," sahut Amira."Yuk, kita makan saja sekarang.Lalu keduanya pun menikmati menu sarapan yang dimasak Aleesha
28#Flashback#Saat itu Amira kecil yang masih berusia enam tahun sangat gembira saat mendengar jika ulang tahunnya yang terjadi sebentar lagi akan dirayakan bersama keluarganya di sebuah taman bermain. Momen yang sangat langka bagi gadis kecil itu karena, ayahnya selalu sibuk dalam bekerja dan bekerja. Bisnis yang sedang digeluti olehnya sedang maju dengan pesat sehingga membuatnya menjadi gila kerja."Yeay … asiiikk… kita mau pergi ke taman bermain," celoteh Amira kecil dengan riang.Tidak ada yang lebih membahagiakan selain menghabiskan waktu bersama sang buah hati. Begitupun dengan kedua orang tua Amira saat itu.Mereka sangat bahagia dalam menjadi mood booster bagi kedua orang tuanya. Hari itu mereka habiskan dengan banyak canda dan tawa.Hingga, sebuah insiden datang saat orang tua Amira lengah. Mereka terlalu acuh untuk keselamatan putri mereka."Anak manis, ikut tante, yuk. Nanti tante kasih permen dan gulali yang banyak," ucap suara seorang wanita dengan dandanan yang terlih
29"Semuanya sudah siap, 'kan? Sudah masuk ke koper semua?" tanya Rendra pada kedua istrinya saat mereka sedang menikmati makan malam. "Sudah, Mas. Tadi aku sama Amira yang bereskan semuanya," sahut Aleesha dengan sumringah. Riak wajahnya terlihat cerah dan ia berharap banyak pada keberhasilan rencana bulan madu mereka. "Baguslah. Amira, besok kita pergi dari rumah jam setengah delapan pagi, setelah kita sarapan lebih dulu," ucap Rendra, kali ini dia menatap Amira untuk mengajaknya bicara."Iya, Pak." Amira menyahut dengan refleks, dan mendapati tatapan Rendra berubah."Ah, maksud saya, Mas Rendra." Amira yang langsung menyadari kesalahannya segera meralat panggilannya."Kamu harus terbiasa memanggilku, Mas. Apa kamu mau kita malah terlihat seperti atasan dan bawahan di kantor?" tanya Rendra menatap Amira."Iya, Mas. Amira akan mulai membiasakan diri," sahut Amira pelan dengan wajah tertunduk.Sementara itu, Aleesha yang merasakan perubahan hubungan di antara keduanya hanya senyum-
30Pemandangan menjelang malam di kota Hong Kong sangatlah indah. Selama perjalanan, Amira selalu berdecak kagum dengan keindahan yang disuguhkan lampu-lampu yang mulai berkelipan. "Wah, indah banget, deh. Aku nggak nyesel pernah ke Hong Kong kalau seindah ini," celetuk Amira sambil masih menatap jalanan. Langit senja yang dibalut warna oranye kemerahan semakin menambah kesan estetik setiap jalan yang dilewati. Tuhan, begitu besar ciptaanmu. Engkau sempurna dalam menciptakan dunia dan seisinya. "Kalau kamu mau, kita bisa berkunjung ke Hong Kong lagi, kapan-kapan." Rendra menyahut celetukan yang diucapkan oleh Amira barusan.Sontak, Amira langsung menoleh ke arahnya. Rendra rupanya sedang melakukan hal yang sama dengannya. Matanya lekat menatap setiap inci jalanan yang mereka lewati."Kapan-kapan, ya?" gumam Amira pelan. Entah itu kapan, yang jelas Amira enggan berharap lebih karena dirinya takut menyakiti hatinya sendiri dengan memupuk asa yang tak mungkin sampai. Setelah kurang
31"Mas, kok bengong gitu. Nggak mau mandi?" Suara Amira membuyarkan lamunan Rendra yang sudah mengelana begitu jauh. Hanya karena melihat leher jenjang Amira yang terlihat menggoda. "Eh, siapa yang bengong! Ngarang deh," tukas Rendra tak terima. Nada suaranya berubah gugup.Dengan menahan kesal, Rendra masuk ke kamar mandi. Amira yang melihat hal itu hanya mengedikkan bahunya. Tak mengerti dengan apa yang terjadi barusan. Padahal Amira jelas melihat Rendra bengong sambil menatapnya. Dan hal itu sukses membuatnya gugup. "Duh … bisa-bisanya aku melongo gitu di depan Amira. Apalagi tadi udah bayangan yang aneh-aneh," gerutu Rendra seraya mengacak rambutnya sendiri. Dia benar-benar kesal dengan dirinya sendiri. Dia benar-benar malu karena tadi sempat membayangkan yang tidak-tidak. "Lebih baik aku mandi. Biar pikiran ini fresh dan nggak ngelantur lagi," seru Rendra. Dia melangkahkan kakinya menuju ke bath tub dan berendam di sana. Busa sabun sudah menutupi seluruh bagian tubuhnya. T
32Rendra justru mengulurkan tangannya dan memeluk Amira. Amira merasa terkejut dengan sikap tiba-tiba yang ditunjukkan Rendra saat ini. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang harus diperbuat.Menolak setiap sentuhan Rendra, dan itu akan menjadi dosa karena dirinya menolak menjalani kewajiban sebagai istri. Ataukah menerima saja setiap sentuhan Rendra yang kini terlihat jelas jika dirinya setengah tak sadar dengan yang sedang dilakukan. Rendra tampak menginginkan yang lebih dan lebih malam ini."Amira …." Rendra berbisik lirih tepat di telinga Amira.Entah setan dari mana yang menghampirinya dan memberinya sebuah keberanian. Akhirnya Amira dengan kesadaran penuh menerima setiap sentuhan lembut dan perlakuan Rendra. Amira berpikir mungkin inilah saatnya bagi dia untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Dia sudah pasrah. Keduanya saling menyentuh, saling memberi kenyamanan di malam yang syahdu. Ranjang hotel itu telah menjadi saksi bisu perg-ulatan dua insan yang terikat