Mereka pun berjalan menuju ke kantin kantor yang letaknya di lantai dasar. Aleesha begitu menikmati momen ini. Ia pun tak henti mengulas senyum. Tidak salah jika tadi pagi ia sampai memaksa untuk ikut ke kantor suaminya. Suaminya pun akhirnya mengabulkan keinginannya. Aleesha berdalih jika dirinya merasa bosan di rumah terus.
Dan satu lagi, ia berhasil bertemu dengan Amira, gadis sederhana dan manis yang sangat ia kagumi sejak dulu. Amira adalah gadis yang tulus, ia sangat bersyukur mengenal Amira dalam hidupnya. Aleesha bukanlah orang yang sulit bergaul. Dia begitu supel, ramah, dan kaya raya. Siapa yang tidak mau untuk menjadi temannya. Namun, sebanyak apapun teman Aleesha, tidak ada yang dapat menggantikan seorang sahabat seperti Amira.Maka dari itu, Aleesha sempat merasa kehilangan Amira saat mereka putus kontak dulu. Amira menghilang dari pusaran hidupnya. Dan kini, mereka bertemu lagi. Ada kebahagiaan tersendiri yang meluap-luap dalam diri Aleesha."Sha, kamu nggak makan yang kamu pesan itu? Nggak enak ya rasanya?" tanya Amira, saat mendapati Aleesha hanya memandangi piringnya."Kamu nggak suka ya sama menunya?" tanya Amira lagi."Eh, ng–nggak kok. Cuma aku lagi diet aja, dan lagi tadi aku baru saja selesai makan," kelit Aleesha."Oh, diet apaan sih, udah langsing gitu," celetuk Sita menatap penuh harap tubuhnya dapat selangsing Aleesha ataupun Amira. Tubuh Sita memang sedikit berisi."Kamu bisa, aja." Aleesha tersenyum tipis.Lantas Aleesha pun menghabiskan menu makan siangnya yang sudah dingin. "Amira, aku minta nomor teleponmu, ya?" pinta Aleesha. "Boleh," sahut Amira. Mereka bertukar nomor telepon dan kembali bergurau. Mengingat-ingat tingkah konyol mereka dulu, hingga mereka tak henti-hentinya tertawa. "Kamu belum pulang?" tanya sebuah suara bariton pada keempat orang yang sedang berjalan itu. "Siang, Pak Rendra!" Amira dan ketiga temannya serempak menyapa Rendra. Rendra hanya membalas dengan anggukan, tanpa senyum ramah. "E–eh, Mas! Ah, maksudku … Pak Rendra." Seketika Aleesha gugup."Ini, aku mau pulang, Pak," imbuh Aleesha lagi. Suasana seketika menjadi canggung."Aleesha, dia ada hubungan apa sama kamu?" tanya Amira berbisik."Dia, suamiku." Aleesha balas berbisik. Aya membelalakkan matanya. "Daebak!" Aleesha memang belum menceritakan jika dirinya sudah menikah dua tahun yang lalu. "Ya sudah, pulang gih!" ucap Amira, menatap tak enak pada pria yang merupakan suami Aleesha juga atasannya itu. Rendra hanya menatap kaku ketiga karyawan itu. Aleesha langsung berlari kecil tanpa berkata-kata lagi. Aleesha menatap segan pada Rendra. Di rumah, Rendra memang suaminya yang romantis, tapi di kantor ini, Rendra adalah direktur perusahaan yang angkuh dan dingin, namun berwibawa. Itulah citra seorang Rendra Abidzar Kusuma. Aleesha memang berniat untuk pulang tadi. Namun, ia berubah pikiran karena ingin menemui Aya sekali lagi. Setidaknya untuk mendapatkan kontaknya."Apa Amira, bisa bantu aku, ya?" gumam Aleesha mengiringi langkah kecilnya menuju tempat mobilnya diparkir.Aleesha menyalakan mesin mobilnya, ia berniat membuka ponselnya untuk sekedar mengirimkan chat yang mungkin tak penting bagi suaminya.[ Mas, aku sudah di mobil. Aku pulang duluan, ya. ] Send.[ OK! ] balas Rendra singkat."Cih, awas saja! Aku cuekin balik nanti!" decih Aleesha.Saat akan menekan pedal gas, teleponnya berbunyi. Tampak nama mama mertuanya berkedip-kedip di layar handphonenya. Aleesha menimbang-nimbang apakah harus ia mengangkat telepon itu atau tidak. Hingga sampai pada panggilan ketiga, Aleesha pun memilih untuk tak mengabaikan panggilan itu. Bisa-bisa ia diceramahi tujuh hari tujuh malam oleh mertuanya."Ya, Ma. Ada apa?" sahut Aleesha begitu ia tersambung."Temui Mama di Kafe Purnama, sekarang!" perintah Bu Ayumi. "Tapi, Ma …." Belum sempat Aleesha melanjutkan ucapannya, telepon sudah diputus secara sepihak.Akhirnya, Aleesha mengubah arahnya yang semula akan menuju rumahnya. Kini berganti haluan ke kafe yang disebutkan Mama mertuanya tadi.Dua puluh lima menit kemudian, ia sampai ke tempat yang dituju. Ia memarkirkan mobilnya di tempat yang sudah disediakan kafe itu. Lantas bergegas masuk ke kafe, untuk mencari keberadaan mertuanya."Aleesha!" teriak sebuah suara. Aleesha seketika menoleh, itu suara mama mertuanya. Lalu ia mencari sumber suara, terlihat wanita paruh baya itu tengah melambai-lambaikan tangannya. Namun, langkah Aleesha terhenti seketika saat mendapati mertuanya tidak sendirian. Ia bersama seorang wanita cantik dan berkelas dengan rambut yang diwarnai dengan warna grey kekinian. "Siapa dia?" Aleesha bertanya-tanya. Dirinya tenggelam dengan lautan pertanyaan."Duduklah!" ucap Bu Ayumi dingin.Aleesha menarik kursi di depannya, lalu mengambil posisi duduk. "Mama, sudah pesan makanan?" tanya Aleesha berbasa-basi."Udah pesan tadi," jawab Bu Ayumi. Ia lalu tetap melanjutkan obrolannya dengan wanita cantik tadi."Oh, ya, Aleesha, dia Visca. Teman masa kecil Rendra." Bu Ayumi memperkenalkan gadis itu."Aku, Aleesha, istri Mas Rendra." Aleesha sengaja menekankan suaranya saat menyebut dirinya istri Rendra."Sebentar lagi, Visca juga akan jadi istri Rendra." Ucapan Bu Ayumi sanggup menghempasnya ke jurang yang amat dalam. Sakit rasanya. Akankah Rendra sudah menyerah dan akhirnya menerima perjodohan itu. Batin Aleesha berkecamuk dengan bermacam pertanyaan. ***'Aku yakin, Mas Rendra nggak akan semudah itu menerima permintaan Mama,' gumam Aleesha."Kenapa diam, ha? Aleesha, harusnya kamu sadar diri, kamu 'kan yang nggak bisa punya anak? Harusnya kamu lepasin anak saya, Rendra. Atau kamu biarkan saja agar Rendra menikahi Visca!" sentak Ibu mertuanya dengan wajah kakunya. Andai Aleesha tidak menjunjung tinggi rasa hormat pada orang yang lebih tua, ingin rasanya Aleesha membalas perkataan mertuanya dengan umpatan. Namun, Aleesha masih menahan diri, karena yang bicara dengannya saat ini adalah mertuanya. Wanita yang telah melahirkan dan membesarkan suami Aleesha. Wanita yang tetap menjadi surga bagi Rendra. Aleesha tidak memungkiri hal itu. "Maaf, Ma! Aku nggak akan percaya begitu saja, sebelum Mas Rendra yang menceritakannya sendiri padaku. Kalau begitu, saya pamit, Ma." Aleesha berujar dengan nada yang dibuat pelan. Selembut mungkin agar gejolak amarahnya tidak semakin meletup-letup. Ia tak mau membuat mertuanya semakin marah. "Permisi!" p
"Ma, kenapa Mama begitu membenciku?" Aleesha bertanya dengan suara bergetar menahan tangis."Kenapa? Karena kamu anak dari saingan bisnis suamiku! Puas!?" hardiknya keras. "Ma, itu tidak adil! Bukankah setiap orang berhak untuk jatuh cinta, dan Mas Rendra justru jatuh cinta padaku. Apa aku harus menyalahkan takdir?" Aleesha lagi-lagi menguatkan hatinya untuk tidak terlihat menyedihkan.Pintu terbuka, dan muncul kedua orang tua Aleesha. Mereka mengulas senyum saat melihat sang besan sedang menunggui putri mereka."Siang, Bu Besan," sapa Bu Rita, Mama Aleesha sambil tak luput tersenyum.Bu Ayumi hanya membalas sapaan itu dengan senyum tipis, dan terkesan enggan. "Saya permisi dulu, masih ada urusan di butik." Bu Ayumi segera berpamitan setelah berbasa-basi sekitar sepuluh menit."Kamu nggak apa-apa, Sha? Mertuamu ngomong apa tadi, kelihatannya serius banget," tanya Bu Rita begitu besannya keluar dari ruangan."Nggak ngomong apa-apa, kok, Ma. Cuma nasehatin aja supaya Aleesha lebih ber
Aleesha tengah duduk termangu di sudut sebuah kafe. Orange juice yang dipesannya ia abaikan, dan dia tak berminat untuk meminumnya. Aleesha masih merenungi ucapan Shafa tempo hari. Shafa mengatakan jika sel kanker yang menjalar ke rahimnya semakin agresif. Kemungkinan Aleesha untuk memiliki keturunan pun semakin sedikit.Satu-satunya cara adalah merelakan suaminya untuk menikah lagi. Ya, hanya itu caranya agar keluarga Kusuma mendapatkan garis tegas keturunannya.Hari ini, Aleesha berniat menemui Amira. Aleesha meminta Amira untuk menemuinya di jam makan siang. Ia ingin memanfaatkan itu untuk mengungkapkan ide gilanya itu. Dia memang menolak keras jika Visca yang akan dinikahi Rendra. Namun, entah mengapa Aleesha rela dan menginginkan Amirq untuk menjadi istri kedua suaminya. Bagaimanapun Aleesha memikirkannya, itu adalah hal gila yang pernah dia pikirkan seumur hidupnya."Sorry, telat!
"Kenapa, Ra? Kayaknya panik banget?" tanya Aleesha begitu Amira selesai dengan teleponnya."Ibuku, Sha. Beliau pingsan, dan sekarang lagi ada di rumah sakit," jawab Amira dengan raut cemas."Aku pamit dulu, Sha. Aku harus ke rumah sakit sekarang.""Tunggu, Ra! Ayo, aku antar kamu ke rumah sakit." Aleesha mengusulkan."Tapi …." "Ayo! Jangan sungkan, aku pastikan kita cepat sampai ke rumah sakit.""Baiklah. Ayo, Sha!"Kedua sahabat itu berlari kecil menuju area parkir untuk menuju ke mobil Aleesha. Amira terlihat sangat panik, dan bahkan lupa jika harus kembali ke kantor saat ini. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih setengah jam. Mereka telah sampai di tempat yang dituju. Rumah Sakit Harapan. "Maaf, Suster. Saya mau bertanya, pasien atas nama Bu Rimayanti, di mana ya?" Amira bertanya dengan panik setelah masuk ke rumah sakit dan menanyakan keberadaan Ibunya di bagian administrasi.Suster itu tampak melihat data-data pasien. Lantas menjawab pertanyaan Amira dengan menunjuk
Esok paginya, Amira memutuskan untuk pergi ke kantor untuk menjelaskan yang terjadi padanya kemarin. Amira menghubungi Bu Widya, tetangganya untuk menjaga Ibunya sementara ia bekerja di kantor hari ini.Bu Widya yang sudah seperti kerabat bagi keluarga mereka pun tak keberatan saat Amira meminta tolong."Kamu kerja saja, Nak Amira. Biar Ibu di sini jagain ibumu." Bu Widya yang baru sampai di ruangan tempat Bu Rima dirawat langsung meyakinkan Amira jika semuanya akan baik-baik saja. "Iya, Bu. Maaf merepotkan ya, Bu. Saya benar-benar nggak tahu sama siapa harus minta tolong." Amira menatap sendu wajah ibunya yang masih terlelap. Hari ini ibunya akan menjalani radioterapi sebagai metode awal pengobatan kankernya. Prosedur bedah akan dilakukan setelah kedua metode tadi selesai. "Saya pamit, Bu. Titip ibu saya, ya." Amira berpamitan pada Bu Widya. Lalu menghampiri ibunya yang masih memejamkan mata. "Bu, Amira pamit." Amira mengusap punggung tangan kanan ibunya. Setelah itu dia langsun
Selama perjalanan, baik Amira maupun Davin hanya terdiam. Mereka merasa tidak dekat satu sama lain kecuali untuk urusan pekerjaan. Davin berinisiatif untuk memutar musik agar rasa canggung itu sirna. Davin memang menyukai Amira, namun, dia tak tahu bagaimana harus memulai untuk mendekati gadis itu. Musik merdu dari lagu klasik telah mengalun lembut di dalam mobil. Amira meresapi setiap lirik yang dilantunkan sang penyanyi dalam bahasa inggris itu. Kerisauannya akan hari esok belum juga sirna. Amira merasa terhimpit oleh keadaan, membayangkan bagaimana untuk membayar hutang ke rentenir, biaya pengobatan sang ibu dan biaya hidup mereka nantinya. Amira menelan ludah dengan getir membayangkan jika harus menikah dengan bandot tua itu. Tetapi, apa lagi yang bisa dia lakukan selain menyerah.Saat ini saja dirinya pengangguran dan tentunya tak berpenghasilan. Dari mana ia dapat semua uang itu dengan cepat. Bulir bening tiba-tiba saja mengalir dari pelupuk mata Amira. Davin yang tak sengaj
"Aku ada di mana?" tanya Amira saat mendapati dirinya terbangun di sebuah yang tampak asing baginya. Ia mengerjapkan matanya perlahan. Menyesuaikan dengan cahaya yang masuk ke indra penglihatannya. Bau obat-obatan langsung terhidu di hidungnya. Amira beringsut bangun dari posisinya semula. Berusaha mengingat kejadian yang terjadi menimpanya sebelum dia tak sadarkan diri."Apa aku …?" Amira menutup mulutnya saat mengingat dirinya dicekal oleh ketiga anak buah dari si bandot tua itu. "Amira, kamu sudah sadar?" tanya suara berat seorang lelaki yang baru saja masuk ke ruangan tempat dirinya terbaring tadi."Davin?" Amira mengerutkan dahinya saat melihat Davin membawa beberapa kantong makanan."Kenapa aku di sini?" tanya Amira saat Davin sudah duduk di dekat ranjang pasien."Kamu sudah pingsan saat aku datang," jawab Davin apa adanya."Lalu … siapa yang datang dan berkelahi dengan tiga preman itu?" Amira menggumam pelan saat mengingat potongan ingatan sebelum dia tak sadarkan diri.Amira
"Jangan bercanda, Sha! Apa-apaan maksudmu memintaku menikah dengan temanmu itu." Rendra menukas dengan tegas permintaan tak masuk akal dari Aleesha yang tiba-tiba saja diutarakannya. Ia benar-benar tidak mengerti dengan pola pikir istrinya itu. Sudah beberapa kali ia menolak keinginan gilanya itu untuk menikah lagi. Dan sekarang malah menyarankan untuk menikah dengan temannya. "Mas nggak mau, Sha." Rendra melunak. Dia memelankan suaranya. "Tapi … keluargamu akan terus menuntut tentang anak pada kita, Mas. Mas tahu sendiri 'kan kalau aku tidak bisa memiliki anak." Aleesha bersikeras.Sedangkan Rendra hanya bergeming. Dia tak tahu bagaimana caranya agar membuat istrinya tidak lagi memintanya untuk menikah lagi. Setiap mendengarnya saja, cukup membuatnya frustasi. Dia hanyalah laki-laki biasa yang belum bisa bersikap adil. Dia tidak dapat membagi cinta dan kasih sayangnya terhadap perempuan lain. Dia belum sanggup untuk itu. "Mama akan menikahkanmu dengan Visca." Aleesha berucap den