"Amira." Aleesha menggumam. Lantas ia menarik lengan seorang wanita yang berjalan tepat tiga langkah di depannya. Ia merasa seperti mengenal wanita itu.
"Hei!" sapa Aleesha setelah wanita itu menoleh ke arahnya."Kamu … Aleesha?" tanya Amira kaget. Ia langsung menoleh saat lengannya ditarik dari belakang. "Bener, ternyata kamu, Amira." Aleesha langsung memeluk Amira. "Aku kangen tau!" ungkapnya."Sama! Lama ya kita nggak ketemu, Sha." Amira melerai pelukannya dan menatap rindu sahabatnya semasa di sekolah menengah atas dulu. "Iya, nih! Kayaknya sejak kita lulus SMA, ya. BTW, dengar-dengar kamu balik ke kampung Ibumu, ya waktu itu?" tanya Aleesha. "Ya, begitulah. Eh, kenapa kamu ada di sini? Kamu … kerja di sini juga?" tanya balik Aya. "Iya, aku mau ke lantai sepuluh. Kamu mau kemana?" jawab dan tanya Aleesha lagi."Oh, aku mau ke lantai tujuh, Sha. Maaf, tapi Aku harus cepat-cepat nih. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya." Aya tersadar jika waktunya tak banyak. Ia segera berlari kecil ke arah lift yang hampir menutup. Di dalam lift barulah, Amira sadar jika tujuan Aleesha adalah lantai lima belas. 'Bukannya lantai lima belas itu, ruangan direktur dan petinggi perusahaan ini.' Amira membatin. Tiba-tiba ia menepuk keningnya sendiri."Bodoh! Kenapa aku nggak minta nomor kontaknya." Amira merutuki kebodohannya. Sedangkan beberapa pasang mata yang menaiki lift yang sama, hanya menatap heran pada Amira. Beberapa orang juga ada pula yang mengacuhkan keadaan sekitar. Ting!Pintu lift terbuka, banyak dari beberapa orang yang menaiki lift itu turun di lantai tujuh ini. Lantai ini adalah tempat di mana para karyawan sepertinya bekerja. Meja-meja dan kursi yang disekat-sekat dengan kubikel itu tertata rapi. Amira langsung menuju monitor yang disediakan di sudut ruangan. Ia segera bergegas melakukan absen fingerprint pada alat yang terhubung dengan monitor itu."Yes, tepat waktu!" desis Amira pelan. Selanjutnya ia akan menunggu manager untuk menunjukkan tempat kerjanya. ***"Selamat pagi, semuanya." Seorang pria dengan setelan jas yang rapi, menyapa semua karyawan yang berada di sana. Tak terkecuali Amira. "Pagi." Mereka menjawab serentak. Lalu duduk di tempat mereka masing-masing."Semangat untuk hari ini!" Pria berpenampilan rapi itu kembali bersuara. Nada suaranya begitu bersemangat."Kalian, karyawan magang yang baru diangkat jadi karyawan tetap, ya?" tanya pria yang bernama Davin itu menunjuk ke arah tiga orang yang masih berdiri termasuk Amira. Mereka bertiga serentak menganggukkan kepala menanggapi pertanyaan sang manager. Selain Amira, ada dua orang karyawan lagi yang menjadi karyawan tetap mulai hari ini. Mereka adalah Sita, dan Yogi. "Kalian bisa jalan ke arah situ, lalu nanti akan ada tiga kursi yang masih kosong. Sudah ada nama kalian di sana," jelas Davin seraya menunjuk ke sebuah arah. "Baik, Pak. Terima kasih." Ketiga orang itu pun berlalu dari tempat semula. Davin hanya mengangguk dan kembali ke ruangannya. Mereka menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Davin. Dan langsung memulai pekerjaan mereka di perusahaan ini. Tidak mudah untuk menjadi karyawan tetap di perusahaan ini. Persaingan antar pekerja yang berbakat menjadi alasannya. Rebidz Company tidak sembarangan saat menerima mereka menjadi karyawan tetap dari beberapa pemagang yang lainnya. ***Jam istirahat tiba, Amira beserta karyawan baru itu saling mengobrol. Ketiganya mulai menjalin keakraban. Mereka merasa belum bisa berbaur dengan para senior, merasa masih enggan juga sungkan. Jadilah mereka pergi bertiga ke kantin kantor untuk makan siang. "Amira!" panggil sebuah suara. Kali ini Amira mengenali suaranya."Aleesha? Kamu masih di sini?" tanyanya pada sosok wanita cantik dan anggun yang berjalan ke arahnya. "Siapa dia, Ra?" tanya Sita."Temanku semasa SMA, dulu. Kenalin, ini Aleesha." Aleesha menyambut dengan sumringah jabatan tangan dari teman-teman Amira. Mereka saling menyebutkan nama. "Boleh aku ikut gabung ke kantin?" tanya Aleesha."E–eh, tapi kamu nggak lagi sibuk?" tanya Amira ragu. "Nggak tuh! Malah aku lagi boring banget sekarang," sahut Aleesha acuh. "Ya udah, yuk kita ke kantin." ***Mereka pun berjalan menuju ke kantin kantor yang letaknya di lantai dasar. Aleesha begitu menikmati momen ini. Ia pun tak henti mengulas senyum. Tidak salah jika tadi pagi ia sampai memaksa untuk ikut ke kantor suaminya. Suaminya pun akhirnya mengabulkan keinginannya. Aleesha berdalih jika dirinya merasa bosan di rumah terus. Dan satu lagi, ia berhasil bertemu dengan Amira, gadis sederhana dan manis yang sangat ia kagumi sejak dulu. Amira adalah gadis yang tulus, ia sangat bersyukur mengenal Amira dalam hidupnya. Aleesha bukanlah orang yang sulit bergaul. Dia begitu supel, ramah, dan kaya raya. Siapa yang tidak mau untuk menjadi temannya. Namun, sebanyak apapun teman Aleesha, tidak ada yang dapat menggantikan seorang sahabat seperti Amira.Maka dari itu, Aleesha sempat merasa kehilangan Amira saat mereka putus kontak dulu. Amira menghilang dari pusaran hidupnya. Dan kini, mereka bertemu lagi. Ada kebahagiaan tersendiri yang meluap-luap dalam diri Aleesha."Sha, kamu nggak makan yang
'Aku yakin, Mas Rendra nggak akan semudah itu menerima permintaan Mama,' gumam Aleesha."Kenapa diam, ha? Aleesha, harusnya kamu sadar diri, kamu 'kan yang nggak bisa punya anak? Harusnya kamu lepasin anak saya, Rendra. Atau kamu biarkan saja agar Rendra menikahi Visca!" sentak Ibu mertuanya dengan wajah kakunya. Andai Aleesha tidak menjunjung tinggi rasa hormat pada orang yang lebih tua, ingin rasanya Aleesha membalas perkataan mertuanya dengan umpatan. Namun, Aleesha masih menahan diri, karena yang bicara dengannya saat ini adalah mertuanya. Wanita yang telah melahirkan dan membesarkan suami Aleesha. Wanita yang tetap menjadi surga bagi Rendra. Aleesha tidak memungkiri hal itu. "Maaf, Ma! Aku nggak akan percaya begitu saja, sebelum Mas Rendra yang menceritakannya sendiri padaku. Kalau begitu, saya pamit, Ma." Aleesha berujar dengan nada yang dibuat pelan. Selembut mungkin agar gejolak amarahnya tidak semakin meletup-letup. Ia tak mau membuat mertuanya semakin marah. "Permisi!" p
"Ma, kenapa Mama begitu membenciku?" Aleesha bertanya dengan suara bergetar menahan tangis."Kenapa? Karena kamu anak dari saingan bisnis suamiku! Puas!?" hardiknya keras. "Ma, itu tidak adil! Bukankah setiap orang berhak untuk jatuh cinta, dan Mas Rendra justru jatuh cinta padaku. Apa aku harus menyalahkan takdir?" Aleesha lagi-lagi menguatkan hatinya untuk tidak terlihat menyedihkan.Pintu terbuka, dan muncul kedua orang tua Aleesha. Mereka mengulas senyum saat melihat sang besan sedang menunggui putri mereka."Siang, Bu Besan," sapa Bu Rita, Mama Aleesha sambil tak luput tersenyum.Bu Ayumi hanya membalas sapaan itu dengan senyum tipis, dan terkesan enggan. "Saya permisi dulu, masih ada urusan di butik." Bu Ayumi segera berpamitan setelah berbasa-basi sekitar sepuluh menit."Kamu nggak apa-apa, Sha? Mertuamu ngomong apa tadi, kelihatannya serius banget," tanya Bu Rita begitu besannya keluar dari ruangan."Nggak ngomong apa-apa, kok, Ma. Cuma nasehatin aja supaya Aleesha lebih ber
Aleesha tengah duduk termangu di sudut sebuah kafe. Orange juice yang dipesannya ia abaikan, dan dia tak berminat untuk meminumnya. Aleesha masih merenungi ucapan Shafa tempo hari. Shafa mengatakan jika sel kanker yang menjalar ke rahimnya semakin agresif. Kemungkinan Aleesha untuk memiliki keturunan pun semakin sedikit.Satu-satunya cara adalah merelakan suaminya untuk menikah lagi. Ya, hanya itu caranya agar keluarga Kusuma mendapatkan garis tegas keturunannya.Hari ini, Aleesha berniat menemui Amira. Aleesha meminta Amira untuk menemuinya di jam makan siang. Ia ingin memanfaatkan itu untuk mengungkapkan ide gilanya itu. Dia memang menolak keras jika Visca yang akan dinikahi Rendra. Namun, entah mengapa Aleesha rela dan menginginkan Amirq untuk menjadi istri kedua suaminya. Bagaimanapun Aleesha memikirkannya, itu adalah hal gila yang pernah dia pikirkan seumur hidupnya."Sorry, telat!
"Kenapa, Ra? Kayaknya panik banget?" tanya Aleesha begitu Amira selesai dengan teleponnya."Ibuku, Sha. Beliau pingsan, dan sekarang lagi ada di rumah sakit," jawab Amira dengan raut cemas."Aku pamit dulu, Sha. Aku harus ke rumah sakit sekarang.""Tunggu, Ra! Ayo, aku antar kamu ke rumah sakit." Aleesha mengusulkan."Tapi …." "Ayo! Jangan sungkan, aku pastikan kita cepat sampai ke rumah sakit.""Baiklah. Ayo, Sha!"Kedua sahabat itu berlari kecil menuju area parkir untuk menuju ke mobil Aleesha. Amira terlihat sangat panik, dan bahkan lupa jika harus kembali ke kantor saat ini. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih setengah jam. Mereka telah sampai di tempat yang dituju. Rumah Sakit Harapan. "Maaf, Suster. Saya mau bertanya, pasien atas nama Bu Rimayanti, di mana ya?" Amira bertanya dengan panik setelah masuk ke rumah sakit dan menanyakan keberadaan Ibunya di bagian administrasi.Suster itu tampak melihat data-data pasien. Lantas menjawab pertanyaan Amira dengan menunjuk
Esok paginya, Amira memutuskan untuk pergi ke kantor untuk menjelaskan yang terjadi padanya kemarin. Amira menghubungi Bu Widya, tetangganya untuk menjaga Ibunya sementara ia bekerja di kantor hari ini.Bu Widya yang sudah seperti kerabat bagi keluarga mereka pun tak keberatan saat Amira meminta tolong."Kamu kerja saja, Nak Amira. Biar Ibu di sini jagain ibumu." Bu Widya yang baru sampai di ruangan tempat Bu Rima dirawat langsung meyakinkan Amira jika semuanya akan baik-baik saja. "Iya, Bu. Maaf merepotkan ya, Bu. Saya benar-benar nggak tahu sama siapa harus minta tolong." Amira menatap sendu wajah ibunya yang masih terlelap. Hari ini ibunya akan menjalani radioterapi sebagai metode awal pengobatan kankernya. Prosedur bedah akan dilakukan setelah kedua metode tadi selesai. "Saya pamit, Bu. Titip ibu saya, ya." Amira berpamitan pada Bu Widya. Lalu menghampiri ibunya yang masih memejamkan mata. "Bu, Amira pamit." Amira mengusap punggung tangan kanan ibunya. Setelah itu dia langsun
Selama perjalanan, baik Amira maupun Davin hanya terdiam. Mereka merasa tidak dekat satu sama lain kecuali untuk urusan pekerjaan. Davin berinisiatif untuk memutar musik agar rasa canggung itu sirna. Davin memang menyukai Amira, namun, dia tak tahu bagaimana harus memulai untuk mendekati gadis itu. Musik merdu dari lagu klasik telah mengalun lembut di dalam mobil. Amira meresapi setiap lirik yang dilantunkan sang penyanyi dalam bahasa inggris itu. Kerisauannya akan hari esok belum juga sirna. Amira merasa terhimpit oleh keadaan, membayangkan bagaimana untuk membayar hutang ke rentenir, biaya pengobatan sang ibu dan biaya hidup mereka nantinya. Amira menelan ludah dengan getir membayangkan jika harus menikah dengan bandot tua itu. Tetapi, apa lagi yang bisa dia lakukan selain menyerah.Saat ini saja dirinya pengangguran dan tentunya tak berpenghasilan. Dari mana ia dapat semua uang itu dengan cepat. Bulir bening tiba-tiba saja mengalir dari pelupuk mata Amira. Davin yang tak sengaj
"Aku ada di mana?" tanya Amira saat mendapati dirinya terbangun di sebuah yang tampak asing baginya. Ia mengerjapkan matanya perlahan. Menyesuaikan dengan cahaya yang masuk ke indra penglihatannya. Bau obat-obatan langsung terhidu di hidungnya. Amira beringsut bangun dari posisinya semula. Berusaha mengingat kejadian yang terjadi menimpanya sebelum dia tak sadarkan diri."Apa aku …?" Amira menutup mulutnya saat mengingat dirinya dicekal oleh ketiga anak buah dari si bandot tua itu. "Amira, kamu sudah sadar?" tanya suara berat seorang lelaki yang baru saja masuk ke ruangan tempat dirinya terbaring tadi."Davin?" Amira mengerutkan dahinya saat melihat Davin membawa beberapa kantong makanan."Kenapa aku di sini?" tanya Amira saat Davin sudah duduk di dekat ranjang pasien."Kamu sudah pingsan saat aku datang," jawab Davin apa adanya."Lalu … siapa yang datang dan berkelahi dengan tiga preman itu?" Amira menggumam pelan saat mengingat potongan ingatan sebelum dia tak sadarkan diri.Amira