"Ma, kenapa Mama begitu membenciku?" Aleesha bertanya dengan suara bergetar menahan tangis."Kenapa? Karena kamu anak dari saingan bisnis suamiku! Puas!?" hardiknya keras. "Ma, itu tidak adil! Bukankah setiap orang berhak untuk jatuh cinta, dan Mas Rendra justru jatuh cinta padaku. Apa aku harus menyalahkan takdir?" Aleesha lagi-lagi menguatkan hatinya untuk tidak terlihat menyedihkan.Pintu terbuka, dan muncul kedua orang tua Aleesha. Mereka mengulas senyum saat melihat sang besan sedang menunggui putri mereka."Siang, Bu Besan," sapa Bu Rita, Mama Aleesha sambil tak luput tersenyum.Bu Ayumi hanya membalas sapaan itu dengan senyum tipis, dan terkesan enggan. "Saya permisi dulu, masih ada urusan di butik." Bu Ayumi segera berpamitan setelah berbasa-basi sekitar sepuluh menit."Kamu nggak apa-apa, Sha? Mertuamu ngomong apa tadi, kelihatannya serius banget," tanya Bu Rita begitu besannya keluar dari ruangan."Nggak ngomong apa-apa, kok, Ma. Cuma nasehatin aja supaya Aleesha lebih ber
Aleesha tengah duduk termangu di sudut sebuah kafe. Orange juice yang dipesannya ia abaikan, dan dia tak berminat untuk meminumnya. Aleesha masih merenungi ucapan Shafa tempo hari. Shafa mengatakan jika sel kanker yang menjalar ke rahimnya semakin agresif. Kemungkinan Aleesha untuk memiliki keturunan pun semakin sedikit.Satu-satunya cara adalah merelakan suaminya untuk menikah lagi. Ya, hanya itu caranya agar keluarga Kusuma mendapatkan garis tegas keturunannya.Hari ini, Aleesha berniat menemui Amira. Aleesha meminta Amira untuk menemuinya di jam makan siang. Ia ingin memanfaatkan itu untuk mengungkapkan ide gilanya itu. Dia memang menolak keras jika Visca yang akan dinikahi Rendra. Namun, entah mengapa Aleesha rela dan menginginkan Amirq untuk menjadi istri kedua suaminya. Bagaimanapun Aleesha memikirkannya, itu adalah hal gila yang pernah dia pikirkan seumur hidupnya."Sorry, telat!
"Kenapa, Ra? Kayaknya panik banget?" tanya Aleesha begitu Amira selesai dengan teleponnya."Ibuku, Sha. Beliau pingsan, dan sekarang lagi ada di rumah sakit," jawab Amira dengan raut cemas."Aku pamit dulu, Sha. Aku harus ke rumah sakit sekarang.""Tunggu, Ra! Ayo, aku antar kamu ke rumah sakit." Aleesha mengusulkan."Tapi …." "Ayo! Jangan sungkan, aku pastikan kita cepat sampai ke rumah sakit.""Baiklah. Ayo, Sha!"Kedua sahabat itu berlari kecil menuju area parkir untuk menuju ke mobil Aleesha. Amira terlihat sangat panik, dan bahkan lupa jika harus kembali ke kantor saat ini. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih setengah jam. Mereka telah sampai di tempat yang dituju. Rumah Sakit Harapan. "Maaf, Suster. Saya mau bertanya, pasien atas nama Bu Rimayanti, di mana ya?" Amira bertanya dengan panik setelah masuk ke rumah sakit dan menanyakan keberadaan Ibunya di bagian administrasi.Suster itu tampak melihat data-data pasien. Lantas menjawab pertanyaan Amira dengan menunjuk
Esok paginya, Amira memutuskan untuk pergi ke kantor untuk menjelaskan yang terjadi padanya kemarin. Amira menghubungi Bu Widya, tetangganya untuk menjaga Ibunya sementara ia bekerja di kantor hari ini.Bu Widya yang sudah seperti kerabat bagi keluarga mereka pun tak keberatan saat Amira meminta tolong."Kamu kerja saja, Nak Amira. Biar Ibu di sini jagain ibumu." Bu Widya yang baru sampai di ruangan tempat Bu Rima dirawat langsung meyakinkan Amira jika semuanya akan baik-baik saja. "Iya, Bu. Maaf merepotkan ya, Bu. Saya benar-benar nggak tahu sama siapa harus minta tolong." Amira menatap sendu wajah ibunya yang masih terlelap. Hari ini ibunya akan menjalani radioterapi sebagai metode awal pengobatan kankernya. Prosedur bedah akan dilakukan setelah kedua metode tadi selesai. "Saya pamit, Bu. Titip ibu saya, ya." Amira berpamitan pada Bu Widya. Lalu menghampiri ibunya yang masih memejamkan mata. "Bu, Amira pamit." Amira mengusap punggung tangan kanan ibunya. Setelah itu dia langsun
Selama perjalanan, baik Amira maupun Davin hanya terdiam. Mereka merasa tidak dekat satu sama lain kecuali untuk urusan pekerjaan. Davin berinisiatif untuk memutar musik agar rasa canggung itu sirna. Davin memang menyukai Amira, namun, dia tak tahu bagaimana harus memulai untuk mendekati gadis itu. Musik merdu dari lagu klasik telah mengalun lembut di dalam mobil. Amira meresapi setiap lirik yang dilantunkan sang penyanyi dalam bahasa inggris itu. Kerisauannya akan hari esok belum juga sirna. Amira merasa terhimpit oleh keadaan, membayangkan bagaimana untuk membayar hutang ke rentenir, biaya pengobatan sang ibu dan biaya hidup mereka nantinya. Amira menelan ludah dengan getir membayangkan jika harus menikah dengan bandot tua itu. Tetapi, apa lagi yang bisa dia lakukan selain menyerah.Saat ini saja dirinya pengangguran dan tentunya tak berpenghasilan. Dari mana ia dapat semua uang itu dengan cepat. Bulir bening tiba-tiba saja mengalir dari pelupuk mata Amira. Davin yang tak sengaj
"Aku ada di mana?" tanya Amira saat mendapati dirinya terbangun di sebuah yang tampak asing baginya. Ia mengerjapkan matanya perlahan. Menyesuaikan dengan cahaya yang masuk ke indra penglihatannya. Bau obat-obatan langsung terhidu di hidungnya. Amira beringsut bangun dari posisinya semula. Berusaha mengingat kejadian yang terjadi menimpanya sebelum dia tak sadarkan diri."Apa aku …?" Amira menutup mulutnya saat mengingat dirinya dicekal oleh ketiga anak buah dari si bandot tua itu. "Amira, kamu sudah sadar?" tanya suara berat seorang lelaki yang baru saja masuk ke ruangan tempat dirinya terbaring tadi."Davin?" Amira mengerutkan dahinya saat melihat Davin membawa beberapa kantong makanan."Kenapa aku di sini?" tanya Amira saat Davin sudah duduk di dekat ranjang pasien."Kamu sudah pingsan saat aku datang," jawab Davin apa adanya."Lalu … siapa yang datang dan berkelahi dengan tiga preman itu?" Amira menggumam pelan saat mengingat potongan ingatan sebelum dia tak sadarkan diri.Amira
"Jangan bercanda, Sha! Apa-apaan maksudmu memintaku menikah dengan temanmu itu." Rendra menukas dengan tegas permintaan tak masuk akal dari Aleesha yang tiba-tiba saja diutarakannya. Ia benar-benar tidak mengerti dengan pola pikir istrinya itu. Sudah beberapa kali ia menolak keinginan gilanya itu untuk menikah lagi. Dan sekarang malah menyarankan untuk menikah dengan temannya. "Mas nggak mau, Sha." Rendra melunak. Dia memelankan suaranya. "Tapi … keluargamu akan terus menuntut tentang anak pada kita, Mas. Mas tahu sendiri 'kan kalau aku tidak bisa memiliki anak." Aleesha bersikeras.Sedangkan Rendra hanya bergeming. Dia tak tahu bagaimana caranya agar membuat istrinya tidak lagi memintanya untuk menikah lagi. Setiap mendengarnya saja, cukup membuatnya frustasi. Dia hanyalah laki-laki biasa yang belum bisa bersikap adil. Dia tidak dapat membagi cinta dan kasih sayangnya terhadap perempuan lain. Dia belum sanggup untuk itu. "Mama akan menikahkanmu dengan Visca." Aleesha berucap den
Rendra langsung membopong tubuh istrinya yang sudah tak sadarkan diri itu menuruni tangga. Dia harus segera membawa Aleesha ke rumah sakit agar segera mendapatkan pertolongan. Rendra seperti kesetanan mengemudikan mobilnya. Dia ingin segera sampai di rumah sakit. Perjalanan ke rumah sakit yang seharusnya memakan waktu tiga puluh menit lamanya, dipangkas menjadi dua kali lebih cepat. Lima belas menit perjalanan mobil Rendra sudah memasuki areal rumah sakit. "Suster, tolong! Tolong istri saya!" teriak Rendra begitu sampai di lobi rumah sakit. Para suster yang sedang berjaga berduyun-duyun menghampiri pria yang masih membopong seorang wanita."Baringkan pasien di sini, Pak," ujar salah seorang suster yang mendorong brankar. Rendra segera menaruh tubuh Aleesha ke atas brankar lalu mendorongnya masuk ke ruangan IGD. "Maaf, Pak. Bapak tidak diperkenankan masuk. Silahkan tunggu di sini." Suster itu mencegat langkah Rendra yang hendak turut masuk ke ruang IGD. "Baiklah." Rendra hanya m