Esok paginya, Amira memutuskan untuk pergi ke kantor untuk menjelaskan yang terjadi padanya kemarin. Amira menghubungi Bu Widya, tetangganya untuk menjaga Ibunya sementara ia bekerja di kantor hari ini.Bu Widya yang sudah seperti kerabat bagi keluarga mereka pun tak keberatan saat Amira meminta tolong."Kamu kerja saja, Nak Amira. Biar Ibu di sini jagain ibumu." Bu Widya yang baru sampai di ruangan tempat Bu Rima dirawat langsung meyakinkan Amira jika semuanya akan baik-baik saja. "Iya, Bu. Maaf merepotkan ya, Bu. Saya benar-benar nggak tahu sama siapa harus minta tolong." Amira menatap sendu wajah ibunya yang masih terlelap. Hari ini ibunya akan menjalani radioterapi sebagai metode awal pengobatan kankernya. Prosedur bedah akan dilakukan setelah kedua metode tadi selesai. "Saya pamit, Bu. Titip ibu saya, ya." Amira berpamitan pada Bu Widya. Lalu menghampiri ibunya yang masih memejamkan mata. "Bu, Amira pamit." Amira mengusap punggung tangan kanan ibunya. Setelah itu dia langsun
Selama perjalanan, baik Amira maupun Davin hanya terdiam. Mereka merasa tidak dekat satu sama lain kecuali untuk urusan pekerjaan. Davin berinisiatif untuk memutar musik agar rasa canggung itu sirna. Davin memang menyukai Amira, namun, dia tak tahu bagaimana harus memulai untuk mendekati gadis itu. Musik merdu dari lagu klasik telah mengalun lembut di dalam mobil. Amira meresapi setiap lirik yang dilantunkan sang penyanyi dalam bahasa inggris itu. Kerisauannya akan hari esok belum juga sirna. Amira merasa terhimpit oleh keadaan, membayangkan bagaimana untuk membayar hutang ke rentenir, biaya pengobatan sang ibu dan biaya hidup mereka nantinya. Amira menelan ludah dengan getir membayangkan jika harus menikah dengan bandot tua itu. Tetapi, apa lagi yang bisa dia lakukan selain menyerah.Saat ini saja dirinya pengangguran dan tentunya tak berpenghasilan. Dari mana ia dapat semua uang itu dengan cepat. Bulir bening tiba-tiba saja mengalir dari pelupuk mata Amira. Davin yang tak sengaj
"Aku ada di mana?" tanya Amira saat mendapati dirinya terbangun di sebuah yang tampak asing baginya. Ia mengerjapkan matanya perlahan. Menyesuaikan dengan cahaya yang masuk ke indra penglihatannya. Bau obat-obatan langsung terhidu di hidungnya. Amira beringsut bangun dari posisinya semula. Berusaha mengingat kejadian yang terjadi menimpanya sebelum dia tak sadarkan diri."Apa aku …?" Amira menutup mulutnya saat mengingat dirinya dicekal oleh ketiga anak buah dari si bandot tua itu. "Amira, kamu sudah sadar?" tanya suara berat seorang lelaki yang baru saja masuk ke ruangan tempat dirinya terbaring tadi."Davin?" Amira mengerutkan dahinya saat melihat Davin membawa beberapa kantong makanan."Kenapa aku di sini?" tanya Amira saat Davin sudah duduk di dekat ranjang pasien."Kamu sudah pingsan saat aku datang," jawab Davin apa adanya."Lalu … siapa yang datang dan berkelahi dengan tiga preman itu?" Amira menggumam pelan saat mengingat potongan ingatan sebelum dia tak sadarkan diri.Amira
"Jangan bercanda, Sha! Apa-apaan maksudmu memintaku menikah dengan temanmu itu." Rendra menukas dengan tegas permintaan tak masuk akal dari Aleesha yang tiba-tiba saja diutarakannya. Ia benar-benar tidak mengerti dengan pola pikir istrinya itu. Sudah beberapa kali ia menolak keinginan gilanya itu untuk menikah lagi. Dan sekarang malah menyarankan untuk menikah dengan temannya. "Mas nggak mau, Sha." Rendra melunak. Dia memelankan suaranya. "Tapi … keluargamu akan terus menuntut tentang anak pada kita, Mas. Mas tahu sendiri 'kan kalau aku tidak bisa memiliki anak." Aleesha bersikeras.Sedangkan Rendra hanya bergeming. Dia tak tahu bagaimana caranya agar membuat istrinya tidak lagi memintanya untuk menikah lagi. Setiap mendengarnya saja, cukup membuatnya frustasi. Dia hanyalah laki-laki biasa yang belum bisa bersikap adil. Dia tidak dapat membagi cinta dan kasih sayangnya terhadap perempuan lain. Dia belum sanggup untuk itu. "Mama akan menikahkanmu dengan Visca." Aleesha berucap den
Rendra langsung membopong tubuh istrinya yang sudah tak sadarkan diri itu menuruni tangga. Dia harus segera membawa Aleesha ke rumah sakit agar segera mendapatkan pertolongan. Rendra seperti kesetanan mengemudikan mobilnya. Dia ingin segera sampai di rumah sakit. Perjalanan ke rumah sakit yang seharusnya memakan waktu tiga puluh menit lamanya, dipangkas menjadi dua kali lebih cepat. Lima belas menit perjalanan mobil Rendra sudah memasuki areal rumah sakit. "Suster, tolong! Tolong istri saya!" teriak Rendra begitu sampai di lobi rumah sakit. Para suster yang sedang berjaga berduyun-duyun menghampiri pria yang masih membopong seorang wanita."Baringkan pasien di sini, Pak," ujar salah seorang suster yang mendorong brankar. Rendra segera menaruh tubuh Aleesha ke atas brankar lalu mendorongnya masuk ke ruangan IGD. "Maaf, Pak. Bapak tidak diperkenankan masuk. Silahkan tunggu di sini." Suster itu mencegat langkah Rendra yang hendak turut masuk ke ruang IGD. "Baiklah." Rendra hanya m
Suasana mendadak hening saat Rendra mengucapkan pernyataannya tadi. Hal itu benar-benar di luar dugaan semua orang. "Cih! Sial!!" Pak Erwin mendecih sinis lalu dia memerintahkan anak buahnya untuk bergegas meninggalkan rumah Amira yang sudah berhasil dibuat porak poranda oleh ulah mereka. Pak Erwin menatap tajam ke arah Rendra. Rasanya tak rela jika gadis incarannya akan menjadi istri dari lelaki itu. Pak Erwin mendengus kesal karena gagal mempersunting dara muda seperti Amira.Aleesha masih terperangah dengan ucapan suaminya, namun, setelah itu senyum tipis tersungging di bibirnya. Aleesha merasa ini adalah pertanda bahwa permintaannya akan dikabulkan oleh sang suami.Sementara Amira dan Bu Rima mulai membereskan kekacauan yang ada. Amira memilih mengabaikan ucapan spontan Rendra tadi. Mungkin itu adalah bentuk spontanitas saja di saat posisi terdesak seperti ini. Amira tak menganggapnya lebih dari itu.
Dua hari kemudian, seperti yang dijanjikan sebelumnya. Amira sudah datang terlebih dahulu di sebuah restoran di sebuah hotel mewah yang sudah Aleesha reservasi sebelumnya. Amira sudah datang terlebih dahulu. Dia menghampiri resepsionis untuk menanyakan meja yang sudah dipesan oleh Aleesha. "Atas nama siapa, Nona?" tanya resepsionis itu dengan senyum ramahnya. "Aleesha Putri," jawab Amira. Lalu sang resepsionis menuntunnya untuk naik ke sebuah ruangan khusus. Desainnya identik dengan warna hitam dan gold yang klasik dan terlihat begitu serasi. Aleesha rupanya sudah memesan ruangan VIP untuk dapat menjaga privasi mereka. Amira duduk di meja yang sudah dipesan, lantas menunggu pasangan serasi itu dalam diam. Debar jantungnya sudah tak menentu sejak tadi. Keringat dingin sudah membasahi telapak tangannya. Dia benar-benar belum terbiasa dengan keadaan saat ini.
Usai makan malam dengan Rendra dan Aleesha yang berakhir dengan satu keputusan. Malam itu, Amira pulang ke rumah dengan diantarkan oleh mereka. Sepanjang perjalanan, Amira lebih banyak terdiam dan tak terpengaruh dengan obrolan mesra Aleesha dan Rendra. Aya tak terlalu memperhatikan mereka, tapi justru Amira melamun sambil memperhatikan jalanan yang dipenuhi gemerlap lampu malam hari. Amira sedang berpikir bagaimana cara menyampaikan kabar ini kepada ibunya. Haruskah dia jujur pada ibunya tentang pernikahan dengan syarat itu ataukah menutupinya. Namun, seorang Nihaya tidak pernah bisa berbohong pada Bu Rima. Setiap kebohongan itu, selalu tidak dapat menipu Bu Rima.Amira menarik napasnya sangat dalam lalu menghempaskannya perlahan. Hanya itu yang dirinya lakukan di sela-sela perjalanan."Kita sampai," ucap Aleesha yang sukses membuyarkan lamunan panjang Amira."Eh, udah sampai, ya?" Amir