Pagi hari itu, Aleesha sudah berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Rendra, suaminya. Memang sudah menjadi kebiasaannya untuk meramu sendiri apa yang ia dan suaminya ingin makan di pagi hari. Dan sudah berlangsung seperti itu sejak mereka menikah dua tahun silam.
Walau begitu, untuk pekerjaan rumah yang lainnya ia memiliki tiga asisten rumah tangga yang sigap membantunya. Maklum, rumah tempat mereka tinggal cukup luas. Hanya saja, suasana rumah terasa sepi dan kurang hidup tanpa adanya tangisan dan celotehan bayi. "Huft!" Aleesha menghela nafasnya berat. Ia mengingat lagi perdebatan semalam yang membuatnya kembali mengingat luka lama.Luka yang sekian lama ia coba lupakan dari ingatannya. Namun, tak pernah berhasil. Ingatan itu akan terpatri kuat selamanya di dalam benaknya. Meski mencoba sekuat hati pun, aku tetap tak bisa menyingkirkan kenangan perih itu dari dalam ingatan. Ingatan saat rahimnya pernah dihuni oleh buah cintanya dengan Rendra. Namun, hanya sekejap saja kebahagiaan itu menghampiri hari-harinya. Tuhan berkehendak lain dengan mengambilnya lagi. Bahkan sebelum buah cintanya menghirup oksigen di dunia ini. *flashback*"Mas, lihat ini." Aleesha membangunkan suaminya yang masih bergelung dalam selimutnya."Hmm, kenapa, Sayang," sahut Rendra masih dengan suara seraknya. Matanya masih terpejam. "Mas, ayo lihat ini. Aku punya kabar gembira!" Ia mengguncang-guncangkan tubuh suaminya."Iya, Sayang." Sedikit bermalas-malasan karena efek mengantuk, Rendra mengubah posisinya. Ia duduk di ranjang menatap wajah cantik istrinya. Aleesha tak henti-hentinya tersenyum sejak tadi. Wajahnya tampak sumringah, sembari masih memegangi benda pipih di tangannya. Rendra yang merasa gemas dengan ekspresi istrinya, langsung menarik wanitanya dalam pelukan.Ia langsung menghujani setiap inci wajah Aleesha dengan sentuhan lembut bibirnya. Aleesha terkikik geli diperlakukan sedemikian rupa oleh suaminya. "Jadi, ada apa hingga tuan putri membangunkan pangeran yang sedang tidur?" tanya Rendra dengan wajah menggoda setelah puas menci*mi wajah istrinya."Lihat ini, Mas." Aleesha menyodorkan sesuatu yang ia pegang sejak tadi."Apa ini?" Rendra mengerutkan alisnya. "Aku positif, Mas! Positif!" seru Aleesha. Kali ini ia memeluk tubuh kekar suaminya."Hamil?" tanya Rendra lagi. Aleesha menganggukkan kepalanya yakin."Yes!" ujar Rendra bersorak menggerakkan kedua tangannya.Namun, kebahagiaan pasangan muda itu tak berlangsung lama. Sebuah kejadian naas menimpa Aleesha. Ia jatuh terpeleset di kamar mandi hingga harus kehilangan calon bayinya. Kesedihan mendalam dirasakan oleh keduanya saat itu. Terutama Aleesha, ia lah yang paling terpukul dengan kejadian itu. Apalagi setelah mengalami keguguran itu, dokter memvonisnya akan sulit untuk hamil lagi. Rahimnya terlalu lemah jika harus dipaksakan untuk hamil lagi. "Siapa yang sengaja menaruh minyak di sini, hah!" bentak Rendra saat mendapati keanehan perihal kecelakaan yang menimpa istrinya.Keempat asisten itu langsung menciut nyalinya. Ini pertama kalinya, Rendra terlihat sangat muntab. Rendra memang terkesan dingin terhadap semua orang. Cenderung kaku, namun, saat dengan istrinya, Rendra seolah menjadi orang lain. Ia tak segan menunjukkan sisi romantisnya. Hanya pada istrinya."Jawab! Siapa! Apa kalian semua yang sudah sengaja untuk mencelakai istri saya." Suara Rendra menggelegar di seluruh ruangan."Jawab! Atau kalian semua saya pecat!" Lagi, Rendra berteriak seperti orang kesetanan."Bukan saya, Tuan! Saya sedang mencuci baju di belakang," cicit wanita bertubuh pendek dan gemuk itu."Saya sedang di luar menyiram tanaman waktu itu, Tuan," sahut yang lainnya takut-takut. Postur tubuhnya agak tinggi dan kurus."Saya sedang menyiapkan makan siang, Tuan," tukas asisten yang lainnya. Pandangan semua mata kini tertuju pada asisten yang baru bekerja dua bulan yang lalu itu. Wajahnya terlalu cantik untuk menjadi seorang ART. Entah mengapa dia bisa terdampar di istana megah ini menjadi seorang pesuruh."Kamu! Apa kamu yang menaruh minyak di depan kamar mandi?" Rendra menatap taj-am ke arah gadis itu. Seringai jahat tiba-tiba terlihat dari wajahnya. Senyum mengerikan terbit dari bibir yang dipoles lipstik semerah darah. Kalau diperhatikan, hanya dia yang berpenampilan mencolok di antara asisten yang lainnya."Kalau memang aku pelakunya apakah Tuan punya bukti?" tantangnya, dengan tatapan merendahkan. Ia mendecih sinis, menatap tepat di manik mata tuannya. Ia begitu berani!"Aku bisa buat bukti itu!" jawab Rendra tegas."Haha! Rendra, kau memang selalu sombong dan arogan sejak dulu!" ejeknya."Siapa kamu?" tanya Rendra."Tidak penting kamu tahu siapa aku, yang jelas aku sudah menyingkirkan apa yang paling kamu inginkan! Dendamku pun sudah terbalaskan, hahaha!" Gadis itu tertawa nyaring dan mengerikan. Membuat ketiga asisten yang lain beringsut mundur.Rendra langsung menyuruh bodyguardnya untuk segera mengamankan gadis itu. Entah dari mana wanita itu berasal, dan kenapa wanita itu bisa masuk ke rumahnya dan bekerja menjadi asisten di rumahnya. Siapa yang berani memasukkan ular itu? Rendra menduga-duga, dan mencoba mengingat-ingat setiap orang yang mungkin menaruh dendam kepadanya, atau pun pada bisnis keluarganya. "Kamu harus rasakan, apa yang adikku rasakan, Rendra!" teriaknya tak terkendali.Entah dari mana asalnya gadis itu, dan apa maksud dari perkataannya. Dendam, adiknya, Rendra tak mengerti apa maksud semua itu. Kembali Rendra mencoba mengingat-ingat lagi, apa yang pernah dia lewati selama ini. Tetapi, Rendra tak sedikit pun mendapat petunjuk tentang identitas wanita itu. Dia harus mengerahkan anak buahnya untuk mencari tahu nanti. Gadis itu sudah gi-la, pikir Rendra. Ia tak mau berpikir lebih jauh , dan langsung menjebloskan gadis itu ke penjara. Informasi tentang gadis itu akan menyusul nanti, yang jelas wanita itu harus membusuk di penjara terlebih dahulu. Dia yang telah sengaja mencelakai Aleesha dengan menumpahkan minyak di sekitar kamar mandi kamar mereka. Benar-benar tindakan kriminal yang tak dapat dimaafkan."Siapa sebenarnya wanita itu? Kenapa wajahnya seperti familier untukku?""Siapa sebenarnya wanita itu? Kenapa wajahnya seperti familier untukku?" Rendra mengedikkan bahunya dan menyerahkan tugas untuk anak buahnya mengorek lebih dalam tentang wanita ular itu. Sejak saat itu, Rendra memasang CCTV di semua sudut ruangan. Hal itu bertujuan untuk mengawasi para pekerjanya. Agar hal serupa tidak pernah terjadi lagi. Selang beberapa minggu, terungkap sudah identitas tentang gadis itu. Dia adalah kakak dari wanita yang pernah dikencani Rendra semasa sekolah dulu. Rendra menghancurkan masa depannya. Gadis itu frustrasi dan memilih bunuh diri setelah sebelumnya Rendra menolak untuk bertanggung jawab, dan menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya. Rendra menutupi informasi sepenting itu dari Aleesha. Dia tidak ingin masa lalu kelamnya terkuak. Tidak penting bagi Aleesha tahu masa lalu Rendra. Hidup mereka adalah untuk masa depan, begitu pikir Rendra dalam hatinya. Aleesha sudah yakin jika dirinya sudah berubah, dan Rendra tak ingin menghancurkan kepercayaan Al
"Amira." Aleesha menggumam. Lantas ia menarik lengan seorang wanita yang berjalan tepat tiga langkah di depannya. Ia merasa seperti mengenal wanita itu."Hei!" sapa Aleesha setelah wanita itu menoleh ke arahnya."Kamu … Aleesha?" tanya Amira kaget. Ia langsung menoleh saat lengannya ditarik dari belakang. "Bener, ternyata kamu, Amira." Aleesha langsung memeluk Amira. "Aku kangen tau!" ungkapnya."Sama! Lama ya kita nggak ketemu, Sha." Amira melerai pelukannya dan menatap rindu sahabatnya semasa di sekolah menengah atas dulu. "Iya, nih! Kayaknya sejak kita lulus SMA, ya. BTW, dengar-dengar kamu balik ke kampung Ibumu, ya waktu itu?" tanya Aleesha. "Ya, begitulah. Eh, kenapa kamu ada di sini? Kamu … kerja di sini juga?" tanya balik Aya. "Iya, aku mau ke lantai sepuluh. Kamu mau kemana?" jawab dan tanya Aleesha lagi."Oh, aku mau ke lantai tujuh, Sha. Maaf, tapi Aku harus cepat-cepat nih. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya." Aya tersadar jika waktunya tak banyak. Ia segera berlari kec
Mereka pun berjalan menuju ke kantin kantor yang letaknya di lantai dasar. Aleesha begitu menikmati momen ini. Ia pun tak henti mengulas senyum. Tidak salah jika tadi pagi ia sampai memaksa untuk ikut ke kantor suaminya. Suaminya pun akhirnya mengabulkan keinginannya. Aleesha berdalih jika dirinya merasa bosan di rumah terus. Dan satu lagi, ia berhasil bertemu dengan Amira, gadis sederhana dan manis yang sangat ia kagumi sejak dulu. Amira adalah gadis yang tulus, ia sangat bersyukur mengenal Amira dalam hidupnya. Aleesha bukanlah orang yang sulit bergaul. Dia begitu supel, ramah, dan kaya raya. Siapa yang tidak mau untuk menjadi temannya. Namun, sebanyak apapun teman Aleesha, tidak ada yang dapat menggantikan seorang sahabat seperti Amira.Maka dari itu, Aleesha sempat merasa kehilangan Amira saat mereka putus kontak dulu. Amira menghilang dari pusaran hidupnya. Dan kini, mereka bertemu lagi. Ada kebahagiaan tersendiri yang meluap-luap dalam diri Aleesha."Sha, kamu nggak makan yang
'Aku yakin, Mas Rendra nggak akan semudah itu menerima permintaan Mama,' gumam Aleesha."Kenapa diam, ha? Aleesha, harusnya kamu sadar diri, kamu 'kan yang nggak bisa punya anak? Harusnya kamu lepasin anak saya, Rendra. Atau kamu biarkan saja agar Rendra menikahi Visca!" sentak Ibu mertuanya dengan wajah kakunya. Andai Aleesha tidak menjunjung tinggi rasa hormat pada orang yang lebih tua, ingin rasanya Aleesha membalas perkataan mertuanya dengan umpatan. Namun, Aleesha masih menahan diri, karena yang bicara dengannya saat ini adalah mertuanya. Wanita yang telah melahirkan dan membesarkan suami Aleesha. Wanita yang tetap menjadi surga bagi Rendra. Aleesha tidak memungkiri hal itu. "Maaf, Ma! Aku nggak akan percaya begitu saja, sebelum Mas Rendra yang menceritakannya sendiri padaku. Kalau begitu, saya pamit, Ma." Aleesha berujar dengan nada yang dibuat pelan. Selembut mungkin agar gejolak amarahnya tidak semakin meletup-letup. Ia tak mau membuat mertuanya semakin marah. "Permisi!" p
"Ma, kenapa Mama begitu membenciku?" Aleesha bertanya dengan suara bergetar menahan tangis."Kenapa? Karena kamu anak dari saingan bisnis suamiku! Puas!?" hardiknya keras. "Ma, itu tidak adil! Bukankah setiap orang berhak untuk jatuh cinta, dan Mas Rendra justru jatuh cinta padaku. Apa aku harus menyalahkan takdir?" Aleesha lagi-lagi menguatkan hatinya untuk tidak terlihat menyedihkan.Pintu terbuka, dan muncul kedua orang tua Aleesha. Mereka mengulas senyum saat melihat sang besan sedang menunggui putri mereka."Siang, Bu Besan," sapa Bu Rita, Mama Aleesha sambil tak luput tersenyum.Bu Ayumi hanya membalas sapaan itu dengan senyum tipis, dan terkesan enggan. "Saya permisi dulu, masih ada urusan di butik." Bu Ayumi segera berpamitan setelah berbasa-basi sekitar sepuluh menit."Kamu nggak apa-apa, Sha? Mertuamu ngomong apa tadi, kelihatannya serius banget," tanya Bu Rita begitu besannya keluar dari ruangan."Nggak ngomong apa-apa, kok, Ma. Cuma nasehatin aja supaya Aleesha lebih ber
Aleesha tengah duduk termangu di sudut sebuah kafe. Orange juice yang dipesannya ia abaikan, dan dia tak berminat untuk meminumnya. Aleesha masih merenungi ucapan Shafa tempo hari. Shafa mengatakan jika sel kanker yang menjalar ke rahimnya semakin agresif. Kemungkinan Aleesha untuk memiliki keturunan pun semakin sedikit.Satu-satunya cara adalah merelakan suaminya untuk menikah lagi. Ya, hanya itu caranya agar keluarga Kusuma mendapatkan garis tegas keturunannya.Hari ini, Aleesha berniat menemui Amira. Aleesha meminta Amira untuk menemuinya di jam makan siang. Ia ingin memanfaatkan itu untuk mengungkapkan ide gilanya itu. Dia memang menolak keras jika Visca yang akan dinikahi Rendra. Namun, entah mengapa Aleesha rela dan menginginkan Amirq untuk menjadi istri kedua suaminya. Bagaimanapun Aleesha memikirkannya, itu adalah hal gila yang pernah dia pikirkan seumur hidupnya."Sorry, telat!
"Kenapa, Ra? Kayaknya panik banget?" tanya Aleesha begitu Amira selesai dengan teleponnya."Ibuku, Sha. Beliau pingsan, dan sekarang lagi ada di rumah sakit," jawab Amira dengan raut cemas."Aku pamit dulu, Sha. Aku harus ke rumah sakit sekarang.""Tunggu, Ra! Ayo, aku antar kamu ke rumah sakit." Aleesha mengusulkan."Tapi …." "Ayo! Jangan sungkan, aku pastikan kita cepat sampai ke rumah sakit.""Baiklah. Ayo, Sha!"Kedua sahabat itu berlari kecil menuju area parkir untuk menuju ke mobil Aleesha. Amira terlihat sangat panik, dan bahkan lupa jika harus kembali ke kantor saat ini. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih setengah jam. Mereka telah sampai di tempat yang dituju. Rumah Sakit Harapan. "Maaf, Suster. Saya mau bertanya, pasien atas nama Bu Rimayanti, di mana ya?" Amira bertanya dengan panik setelah masuk ke rumah sakit dan menanyakan keberadaan Ibunya di bagian administrasi.Suster itu tampak melihat data-data pasien. Lantas menjawab pertanyaan Amira dengan menunjuk
Esok paginya, Amira memutuskan untuk pergi ke kantor untuk menjelaskan yang terjadi padanya kemarin. Amira menghubungi Bu Widya, tetangganya untuk menjaga Ibunya sementara ia bekerja di kantor hari ini.Bu Widya yang sudah seperti kerabat bagi keluarga mereka pun tak keberatan saat Amira meminta tolong."Kamu kerja saja, Nak Amira. Biar Ibu di sini jagain ibumu." Bu Widya yang baru sampai di ruangan tempat Bu Rima dirawat langsung meyakinkan Amira jika semuanya akan baik-baik saja. "Iya, Bu. Maaf merepotkan ya, Bu. Saya benar-benar nggak tahu sama siapa harus minta tolong." Amira menatap sendu wajah ibunya yang masih terlelap. Hari ini ibunya akan menjalani radioterapi sebagai metode awal pengobatan kankernya. Prosedur bedah akan dilakukan setelah kedua metode tadi selesai. "Saya pamit, Bu. Titip ibu saya, ya." Amira berpamitan pada Bu Widya. Lalu menghampiri ibunya yang masih memejamkan mata. "Bu, Amira pamit." Amira mengusap punggung tangan kanan ibunya. Setelah itu dia langsun