KUPINANG SAHABATKU MENJADI MADUKU (2)
"Kapan kamu hamil, Aleesha? Harus berapa lama lagi kami menunggu, huh!" ketus Bu Ayumi -- mertua Aleesha -- dengan tatapan meremehkan.Suasana makan malam yang santai dan cozy, tiba-tiba berubah menjadi tegang. Aleesha mengeratkan sendok dan garpu yang tengah digenggamnya. Menahan gejolak amarah yang mulai menggelayuti hatinya. Siap meledak kapan saja."Kami baru dua tahun menikah, Ma. Dan itu belum terlalu lama. Kami masih punya banyak waktu untuk memiliki anak," ujar Aleesha dingin. "Benar itu, Ma. Kenapa harus bahas hal itu sekarang. Apa Mama begitu nggak sabar untuk menimang cucu?" tanya Rendra, sedikit tak suka jika istrinya dipojokkan saat makan malam keluarga ini. Apalagi menyinggung masalah keturunan yang memang tak kunjung hadir lagi di antara mereka. Aleesha memang pernah hamil, tapi, mengalami sebuah kecelakaan. Dan pasca keguguran itu, ada suatu hal yang mereka tutupi dari kedua keluarga mereka tentang Aleesha yang akan sulit untuk bisa hamil lagi. "Mama 'kan cuma nanya, ngapain kalian sewot coba!" ujar Bu Ayumi tak terima disalahkan. "Sudah-sudah, ini kan hari ulang tahun Mama, mending bahas yang lain aja, Ma." Pak Hendra menengahi. Melerai suasana canggung yang terjadi di malam yang seharusnya penuh canda tawa. "Papa selalu saja, belain mereka." Bu Ayumi mencebikkan bibirnya kesal."Mereka masih muda, Ma. Mungkin memang belum mau repot mengurus anak," sanggah Pak Hendra."Iya, Ma. Kami pasti akan memberi kalian cucu, secepatnya," sahut Rendra kemudian. Ia menautkan jari-jemari Aleesha, menatap mesra wanita yang amat dicintai itu.Sementara Aleesha, hanya bergeming tanpa ekspresi apa pun, bahkan enggan untuk sekedar mengulas senyum meski Rendra mengedipkan matanya dengan nakal. Ia merasa muak dan kini sudah terbiasa dengan cecaran mama mertuanya yang menginginkan cucu. Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya juga memikirkan hal yang sama. Ingin mempunyai buah hati dari pernikahan mereka. Namun, ada suatu hal yang membuatnya susah untuk memiliki keturunan setelah keguguran yang dialaminya dulu. Dirinya lah yang bermasalah, dan Rendra mengetahui akan hal itu. Ia tak pernah mempermasalahkan itu dan menerima Aleesha apa adanya. Dalam perjalanan pulang, keduanya saling diam. Hening merajai suasana malam ini. Angan Aleesha terbang pada kejadian satu tahun lalu, saat ia pernah hamil dan mengalami keguguran. "Maaf, tapi kami sudah berusaha semaksimal mungkin." Pernyataan dokter Shafa kala itu, sanggup mematahkan asa dan harapan Aleesha yang ingin memiliki anak. "Tapi, Dok. Apa sama sekali nggak ada kemungkinan istri saya bisa hamil, lagi?" tanya Rendra memastikan."Ada, tapi, kemungkinannya sangat kecil, dan hal itu sangat membahayakan keselamatan istri Anda." Lagi, pernyataan itu mampu menghancurkan hati mereka.Aleesha memang tak memberitahu pada Rendra jika, ia memiliki benjolan sel kanker di buah dada sebelah kirinya. Dokter Shafa, yang merupakan temannya pun menyarankan agar Aleesha tidak hamil, atau bisa mengadopsi anak dari panti asuhan. Hanya itu yang dapat dilakukan oleh pasangan Aleesha dan Rendra, jika ingin mempunyai anak. Keduanya masih terdiam. Aleesha yang baru saja kehilangan buah hatinya yang baru menghuni rahimnya selama lima minggu itu, kembali dirundung duka yang sangat dalam. Sedih, hingga rasanya ingin segera ditelan bumi saat itu juga.Harapannya untuk segera memiliki anak, pupus sudah. Semua sirna seiring kenyataan pahit yang menerpanya. Sel kanker payvdara telah menyebar dan menginfeksi rahimnya. Hingga rahimnya lemah, dan tak memungkinkan dirinya untuk bisa hamil lagi.Namun, karena rasa cintanya yang begitu besar pada Rendra. Aleesha nekat untuk hamil, meski pada akhirnya ia keguguran saat terpeleset di kamar mandi. Hal itu semakin membuat fatal kondisi rahimnya yang sedari awal sudah bermasalah. "Sayang, kamu melamun?" Rendra mengguncang lengan Aleesha yang duduk di sebelahnya. Sementara itu, Rendra masih fokus menyetir sekarang. Sesekali matanya menatap sendu wajah Aleesha."Emm, nggak, Mas. Aku cuma sedang menikmati perjalanan. Memandangi remang lampu jalanan itu." Aleesha berkilah. Senyum tipis terbit dari bibirnya. "Bohong." Rendra mendecih, "Kamu bisa membohongi siapapun di dunia ini, tapi nggak denganku. Aku orang pertama yang nggak akan bisa kamu bohongi." Rendra menepikan mobilnya. Jalanan sudah lumayan sepi saat ini, mereka sudah setengah perjalanan untuk sampai ke rumah. "Mas, aku …." Aleesha tak melanjutkan ucapannya. Sesak yang mendera dadanya, meledak bersama air mata yang membasahi pipinya tanpa dikomando. Aleesha terisak, ia merasa sedih. Rasa sedih yang hanya dapat ia nikmati sendiri. Rendra yang melihat itu, melepas sabuk pengamannya. Ia lantas memeluk erat wanitanya."Menangislah, jika itu membuatmu lebih baik." Rendra menepuk pelan punggung istrinya. Menyalurkan ketenangan untuknya.Cukup lama, Aleesha larut dalam tangis sedihnya. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya tangisnya yang terdengar parau. Rendra semakin mengeratkan pelukannya."Mas … aku rela kalau kamu menikah lagi." Aleesha berucap secara tiba-tiba.***Rendra tercekat. Pria itu langsung mengurai pelukannya. Mencipta jarak di antara keduanya. Sudah sering bagi Aleesha untuk menyuruh Rendra menikah lagi, dan mendapatkan keturunan dari wanita lain. Namun, Rendra tak pernah menyetujui ide gila dari istrinya.Ia tidak pernah terpikir untuk mendua sedikit pun. Mengkhianati rumah tangganya. Hal itu tidak ada dalam prinsipnya untuk tidak setia."Jangan bodoh, Sha. Aku nggak akan melakukan itu, sampai mati pun," tukas Rendra. Aleesha menundukkan kepalanya. Menyusut air mata yang mulai mengering. Ia benar-benar tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk membujuk suaminya agar mau menikah lagi."Mas, ini semua demi kebaikan kita. Mas tahu sendiri, kan kalau aku tak mungkin bisa hamil lagi. Kemungkinannya 0,1 persen. Hanya keajaiban yang dapat mewujudkan hal itu. Tetapi, aku nggak percaya akan keajaiban itu." Penuh emosi, Aleesha menumpahkan semua keluh kesahnya. Malam pekat yang dingin menjadi saksi bisu perdebatan mereka di dalam mobil. Angin
Pagi hari itu, Aleesha sudah berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Rendra, suaminya. Memang sudah menjadi kebiasaannya untuk meramu sendiri apa yang ia dan suaminya ingin makan di pagi hari. Dan sudah berlangsung seperti itu sejak mereka menikah dua tahun silam.Walau begitu, untuk pekerjaan rumah yang lainnya ia memiliki tiga asisten rumah tangga yang sigap membantunya. Maklum, rumah tempat mereka tinggal cukup luas. Hanya saja, suasana rumah terasa sepi dan kurang hidup tanpa adanya tangisan dan celotehan bayi. "Huft!" Aleesha menghela nafasnya berat. Ia mengingat lagi perdebatan semalam yang membuatnya kembali mengingat luka lama.Luka yang sekian lama ia coba lupakan dari ingatannya. Namun, tak pernah berhasil. Ingatan itu akan terpatri kuat selamanya di dalam benaknya. Meski mencoba sekuat hati pun, aku tetap tak bisa menyingkirkan kenangan perih itu dari dalam ingatan. Ingatan saat rahimnya pernah dihuni oleh buah cintanya dengan Rendra. Namun, hanya se
"Siapa sebenarnya wanita itu? Kenapa wajahnya seperti familier untukku?" Rendra mengedikkan bahunya dan menyerahkan tugas untuk anak buahnya mengorek lebih dalam tentang wanita ular itu. Sejak saat itu, Rendra memasang CCTV di semua sudut ruangan. Hal itu bertujuan untuk mengawasi para pekerjanya. Agar hal serupa tidak pernah terjadi lagi. Selang beberapa minggu, terungkap sudah identitas tentang gadis itu. Dia adalah kakak dari wanita yang pernah dikencani Rendra semasa sekolah dulu. Rendra menghancurkan masa depannya. Gadis itu frustrasi dan memilih bunuh diri setelah sebelumnya Rendra menolak untuk bertanggung jawab, dan menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya. Rendra menutupi informasi sepenting itu dari Aleesha. Dia tidak ingin masa lalu kelamnya terkuak. Tidak penting bagi Aleesha tahu masa lalu Rendra. Hidup mereka adalah untuk masa depan, begitu pikir Rendra dalam hatinya. Aleesha sudah yakin jika dirinya sudah berubah, dan Rendra tak ingin menghancurkan kepercayaan Al
"Amira." Aleesha menggumam. Lantas ia menarik lengan seorang wanita yang berjalan tepat tiga langkah di depannya. Ia merasa seperti mengenal wanita itu."Hei!" sapa Aleesha setelah wanita itu menoleh ke arahnya."Kamu … Aleesha?" tanya Amira kaget. Ia langsung menoleh saat lengannya ditarik dari belakang. "Bener, ternyata kamu, Amira." Aleesha langsung memeluk Amira. "Aku kangen tau!" ungkapnya."Sama! Lama ya kita nggak ketemu, Sha." Amira melerai pelukannya dan menatap rindu sahabatnya semasa di sekolah menengah atas dulu. "Iya, nih! Kayaknya sejak kita lulus SMA, ya. BTW, dengar-dengar kamu balik ke kampung Ibumu, ya waktu itu?" tanya Aleesha. "Ya, begitulah. Eh, kenapa kamu ada di sini? Kamu … kerja di sini juga?" tanya balik Aya. "Iya, aku mau ke lantai sepuluh. Kamu mau kemana?" jawab dan tanya Aleesha lagi."Oh, aku mau ke lantai tujuh, Sha. Maaf, tapi Aku harus cepat-cepat nih. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya." Aya tersadar jika waktunya tak banyak. Ia segera berlari kec
Mereka pun berjalan menuju ke kantin kantor yang letaknya di lantai dasar. Aleesha begitu menikmati momen ini. Ia pun tak henti mengulas senyum. Tidak salah jika tadi pagi ia sampai memaksa untuk ikut ke kantor suaminya. Suaminya pun akhirnya mengabulkan keinginannya. Aleesha berdalih jika dirinya merasa bosan di rumah terus. Dan satu lagi, ia berhasil bertemu dengan Amira, gadis sederhana dan manis yang sangat ia kagumi sejak dulu. Amira adalah gadis yang tulus, ia sangat bersyukur mengenal Amira dalam hidupnya. Aleesha bukanlah orang yang sulit bergaul. Dia begitu supel, ramah, dan kaya raya. Siapa yang tidak mau untuk menjadi temannya. Namun, sebanyak apapun teman Aleesha, tidak ada yang dapat menggantikan seorang sahabat seperti Amira.Maka dari itu, Aleesha sempat merasa kehilangan Amira saat mereka putus kontak dulu. Amira menghilang dari pusaran hidupnya. Dan kini, mereka bertemu lagi. Ada kebahagiaan tersendiri yang meluap-luap dalam diri Aleesha."Sha, kamu nggak makan yang
'Aku yakin, Mas Rendra nggak akan semudah itu menerima permintaan Mama,' gumam Aleesha."Kenapa diam, ha? Aleesha, harusnya kamu sadar diri, kamu 'kan yang nggak bisa punya anak? Harusnya kamu lepasin anak saya, Rendra. Atau kamu biarkan saja agar Rendra menikahi Visca!" sentak Ibu mertuanya dengan wajah kakunya. Andai Aleesha tidak menjunjung tinggi rasa hormat pada orang yang lebih tua, ingin rasanya Aleesha membalas perkataan mertuanya dengan umpatan. Namun, Aleesha masih menahan diri, karena yang bicara dengannya saat ini adalah mertuanya. Wanita yang telah melahirkan dan membesarkan suami Aleesha. Wanita yang tetap menjadi surga bagi Rendra. Aleesha tidak memungkiri hal itu. "Maaf, Ma! Aku nggak akan percaya begitu saja, sebelum Mas Rendra yang menceritakannya sendiri padaku. Kalau begitu, saya pamit, Ma." Aleesha berujar dengan nada yang dibuat pelan. Selembut mungkin agar gejolak amarahnya tidak semakin meletup-letup. Ia tak mau membuat mertuanya semakin marah. "Permisi!" p
"Ma, kenapa Mama begitu membenciku?" Aleesha bertanya dengan suara bergetar menahan tangis."Kenapa? Karena kamu anak dari saingan bisnis suamiku! Puas!?" hardiknya keras. "Ma, itu tidak adil! Bukankah setiap orang berhak untuk jatuh cinta, dan Mas Rendra justru jatuh cinta padaku. Apa aku harus menyalahkan takdir?" Aleesha lagi-lagi menguatkan hatinya untuk tidak terlihat menyedihkan.Pintu terbuka, dan muncul kedua orang tua Aleesha. Mereka mengulas senyum saat melihat sang besan sedang menunggui putri mereka."Siang, Bu Besan," sapa Bu Rita, Mama Aleesha sambil tak luput tersenyum.Bu Ayumi hanya membalas sapaan itu dengan senyum tipis, dan terkesan enggan. "Saya permisi dulu, masih ada urusan di butik." Bu Ayumi segera berpamitan setelah berbasa-basi sekitar sepuluh menit."Kamu nggak apa-apa, Sha? Mertuamu ngomong apa tadi, kelihatannya serius banget," tanya Bu Rita begitu besannya keluar dari ruangan."Nggak ngomong apa-apa, kok, Ma. Cuma nasehatin aja supaya Aleesha lebih ber
Aleesha tengah duduk termangu di sudut sebuah kafe. Orange juice yang dipesannya ia abaikan, dan dia tak berminat untuk meminumnya. Aleesha masih merenungi ucapan Shafa tempo hari. Shafa mengatakan jika sel kanker yang menjalar ke rahimnya semakin agresif. Kemungkinan Aleesha untuk memiliki keturunan pun semakin sedikit.Satu-satunya cara adalah merelakan suaminya untuk menikah lagi. Ya, hanya itu caranya agar keluarga Kusuma mendapatkan garis tegas keturunannya.Hari ini, Aleesha berniat menemui Amira. Aleesha meminta Amira untuk menemuinya di jam makan siang. Ia ingin memanfaatkan itu untuk mengungkapkan ide gilanya itu. Dia memang menolak keras jika Visca yang akan dinikahi Rendra. Namun, entah mengapa Aleesha rela dan menginginkan Amirq untuk menjadi istri kedua suaminya. Bagaimanapun Aleesha memikirkannya, itu adalah hal gila yang pernah dia pikirkan seumur hidupnya."Sorry, telat!