35Mereka berdua masih terjaga menatap langit-langit kamar hotel. Temaram lampu hotel bernuansa warm light itu menemani malam yang dilalui mereka dengan penyatuan pertama yang mereka lakukan secara sadar.Tanpa ada paksaan, tanpa apa pengaruh dari obat apa pun. Semua berjalan dengan alami, atas insting untuk melakukan hak dan kewajiban sebagai pasangan yang telah sah.Keduanya masih mengatur napas yang masih tak beraturan akibat aktivitas tadi. Amira menyandarkan kepalanya di dada bidang milik Rendra. Malam ini dia merasakan menjadi istri yang sesungguhnya. Walaupun memang hal itu lumrah dilakukan oleh mereka, tapi tetap saja. Ada rasa yang sulit dijelaskan mengenai posisinya. Begitu banyak perasaan berkecamuk di dalam hatinya. Membuatnya tak dapat berharap banyak. Amira beringsut dari posisi semula. Menyadari semua kebahagiaan ini adalah semu. Amira berbaring membelakangi Rendra. Rendra yang matanya telah terpejam pada awalnya merasakan pergerakan istrinya. Dia membuka mata dan m
36Amira kembali ke ruangannya setelah sebelumnya, dia mampir ke toilet untuk memoles kembali lipstiknya yang sudah berantakan akibat ulah Rendra tadi.Saat Amira baru saja masuk ke ruangannya lagi, dia langsung disambut oleh teriakan senang dari Sita."Amira! Iih, akhirnya kamu balik kerja lagi. Kangen tau!" serunya girang. Sita langsung memeluk tubuh Amira. "Aku nggak kangen, tuh!" ledek Amira."Dih jahat! Awas aja nggak aku traktir hari ini!" Sita berpura-pura merajuk."Tumben mau nraktir, ada angin apa tuh?" sindir Amira dengan wajah kocaknya."Ada deh. Emangnya harus ada yang spesial dulu baru mau nraktir temen gitu?""Ya, nggak juga, sih. Siapa tau kamu punya kabar baik selama aku pergi," ujar Amira."Ya, ada sih. Tapi … kasih tau nggak ya?" Sita kemudian meledakkan tawanya. Dia mengabaikan orang-orang yang menatapnya dengan aneh. Jam kantor akan segera dimulai sepuluh menit lagi. Mereka masih bercanda penuh gelak tawa di meja kerja mereka. Seakan lupa waktu dan tempat. Sita c
37Rendra memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tujuannya adalah satu dia ingin agar segera sampai ke klinik atau rumah sakit terdekat.Rendra menitahkan Sita untuk ikut menemaninya ke rumah sakit. Amira saat ini berada di pangkuan Sita yang duduk di kursi penumpang. Sita juga sama paniknya dengan Rendra. Dia saat itu merasa curiga saat Amira tak kunjung kembali dari toilet. Dan, justru yang dia temukan malah Amira sedang diintimidasi seseorang. Wanita itu tidak tahu siapa pelakunya, karena posisi penyerang itu membelakanginya."Apa kamu tahu siapa orang yang melakukan itu sama Amira? Atau kamu sempat melihat wajah orang itu?" tanya Rendra memecah keheningan. Ia masih fokus menyetir."Sa–saya nggak tahu dan nggak kenal orangnya, Pak. Soalnya posisi orang itu membelakangi saya," sahut Sita tergagap."Sial! Kalau sampai terjadi apa-apa sama Amira, akan k
38Mereka bertiga masih ngobrol santai di ruang tempat Amira dirawat untuk pemulihan kondisinya. Amira begitu terkejut dan sekaligus bahagia saat Rendra mengatakan kalau dirinya sedang hamil. Amira begitu bahagia, karena saat ini sedang tumbuh sebuah kehidupan di dalam rahimnya. Rasa bahagianya tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata lagi. Pantas saja akhir-akhir ini dia merasakan mual dan pusing yang sangat mengganggu aktivitasnya. Dan hari inilah puncak dari semua kekuatannya. Amira tidak dapat lagi menanggungnya sendirian."Tapi, dokter bilang kamu harus bedrest total, Ra," ucap Aleesha dengan nada serius."Apa aku juga dilarang kembali ke kantor?" tanya Amira. "Benar. Sampai kondisi janinmu kuat dan jika masih memungkinkan untuk kembali bekerja. Tapi, aku sarankan agar kamu resign saja," sahut Rendra.Amira membelalakkan matanya. Dia benar-benar ingi
39Hari itu, Amira kembali ke kantor untuk mulai bekerja lagi di sana. Rendra akhirnya memberikan izin untuknya setelah sering kali Amira protes dan terus mengatakan untuk kembali bekerja lagi."Aku ijinin kamu kerja lagi, tapi, hanya sampai usia kandunganmu memasuki trimester kedua, itu syaratnya." Rendra memutuskan memberikan syarat pada Amira jika dirinya terus nekad untuk tetap bekerja."Baik, Mas. Aku setuju," sahut Amira tanpa pernah berpikir lagi. Yang penting dia dapat kembali bekerja, dan hanya itu keinginan satu-satunya dalam benaknya saat ini. Dengan diantar Pak Yadi selaku supir yang bekerja untuk Rendra, Amira sudah sampai di pelataran gedung Rebidz Company. Selama ini, Ia terus merasa enggan untuk pergi dan pulang ke kantor dengan suaminya, Rendra.Amira tidak ingin para karyawan semakin curiga dengan dirinya dan Rendra. Dan hal itu, tentu saja akan menjadi masalah jika sampai keluarga Rendra atau Aleesha mendengarnya.Dengan riang, Amira melangkahkan kakinya menuju ke
40"Amira, mau pulang, yuk, aku antar," ujar Davin menghampiri Amira yang tengah menunggu jemputan Pak Yadi."Ah, maaf, Pak Davin. Saya sudah ada janji sama seseorang, dan dia sedang di jalan untuk menjemput saya," balas Amira dengan nada suara formal. "Kok, jadi Pak lagi manggilnya," protes Davin."Hmm, sekarang 'kan masih di kantor, Pak."Davin pun menganggukkan kepalanya. Mereka mengobrol dan berbasa-basi sebentar sambil menunggu jemputan datang. Rendra yang baru saja keluar dari kantor melihat pemandangan itu. Hatinya tiba-tiba saja memanas saat melihat ada pria lain yang mendekati istrinya."Kalian belum pulang?" tanya Rendra menyela obrolan seru yang sedang terjadi antara Amira dan Davin."Belum, Pak. Saya sedang menemani Amira menunggu jemputannya," sahut Davin sopan.Rendra menatap penuh rasa cemburu pada Davin. Amira selalu terlihat dapat tertawa lepas tanpa beban saat bersama Davin."Oh, begitu. Apa jemputanmu masih lama?" tanya Rendra pada Amira.Amira menggeleng. "Mungki
41Malam itu, Amira tertidur dengan perasaan yang hancur. Dia merasa lebih dan lebih tidak berharga lagi di mata Rendra. Ia telah menginjak harga diri Amira sedemikian hina. Sungguh, Amira sempat merasa tidak ingin hidup lagi. Ia kalap, tangannya meraih sebuah gunting tajam untuk digunakan agar menembus lapisan kulitnya.Namun, seketika dirinya tersadar, jika di dalam perutnya tengah hidup dan tumbuh sebuah kehidupan baru di sana. Amira melempar gunting itu dengan kasar. Bagaimana bisa dia sehancur itu hingga hampir hilang kewarasan karena berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Padahal, dia adalah calon ibu dari bayi ini. Bayi tak berdosa itu menggantungkan hidupnya pada Amira. Bulir bening seketika membasahi wajahnya. Air mata telah berduyun-duyun turun tanpa kenal lelah. Amira menangis tanpa suara di dalam kamarnya dalam keadaan terhina."Aku benci dia! Aku benci kamu, Rendra!" teriaknya tertahan. Dia begitu marah dan murka saat ini.Namun, tidak ada yang dapat diperbuat olehnya sel
42Meski sekeras apa pun Rendra mengelak dan terus mengelak akan perasaannya terhadap Amira. Namun, tetap saja Aleesha tidak dapat memungkiri hal itu. Dia sangat yakin jika sang suami memang tengah mulai mencintai sahabat yang sekarang menjadi istri kedua suaminya.Hal itu, bahkan sudah Aleesha prediksikan dari awal. Amira pasti akan mudah membuat Rendra jatuh hati padanya. Tetapi, Rendra selalu menyangkal dan terus menyangkalnya."Nggak! Nggak mungkin juga aku cinta sama Amira. Cintaku hanya untuk Aleesha, selamanya. Dan aku sangat yakin akan hal itu."Begitulah, setiap kali Rendra menentang perasaannya sendiri. Dia hanya belum menyadari jika salah satu sudut hati kecilnya selalu mendamba kehadiran Amira. Rendra hanya belum menyadarinya saja. Dan entah kapan dirinya akan menyadarinya.***Amira kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa. Bangun pagi, sarapan, berangkat ke kantor, bekerja dan kembali pulang.Dia beruntung karena minggu ini belum tiba waktunya bagi Rendra untuk tid