37Rendra memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tujuannya adalah satu dia ingin agar segera sampai ke klinik atau rumah sakit terdekat.Rendra menitahkan Sita untuk ikut menemaninya ke rumah sakit. Amira saat ini berada di pangkuan Sita yang duduk di kursi penumpang. Sita juga sama paniknya dengan Rendra. Dia saat itu merasa curiga saat Amira tak kunjung kembali dari toilet. Dan, justru yang dia temukan malah Amira sedang diintimidasi seseorang. Wanita itu tidak tahu siapa pelakunya, karena posisi penyerang itu membelakanginya."Apa kamu tahu siapa orang yang melakukan itu sama Amira? Atau kamu sempat melihat wajah orang itu?" tanya Rendra memecah keheningan. Ia masih fokus menyetir."Sa–saya nggak tahu dan nggak kenal orangnya, Pak. Soalnya posisi orang itu membelakangi saya," sahut Sita tergagap."Sial! Kalau sampai terjadi apa-apa sama Amira, akan k
38Mereka bertiga masih ngobrol santai di ruang tempat Amira dirawat untuk pemulihan kondisinya. Amira begitu terkejut dan sekaligus bahagia saat Rendra mengatakan kalau dirinya sedang hamil. Amira begitu bahagia, karena saat ini sedang tumbuh sebuah kehidupan di dalam rahimnya. Rasa bahagianya tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata lagi. Pantas saja akhir-akhir ini dia merasakan mual dan pusing yang sangat mengganggu aktivitasnya. Dan hari inilah puncak dari semua kekuatannya. Amira tidak dapat lagi menanggungnya sendirian."Tapi, dokter bilang kamu harus bedrest total, Ra," ucap Aleesha dengan nada serius."Apa aku juga dilarang kembali ke kantor?" tanya Amira. "Benar. Sampai kondisi janinmu kuat dan jika masih memungkinkan untuk kembali bekerja. Tapi, aku sarankan agar kamu resign saja," sahut Rendra.Amira membelalakkan matanya. Dia benar-benar ingi
39Hari itu, Amira kembali ke kantor untuk mulai bekerja lagi di sana. Rendra akhirnya memberikan izin untuknya setelah sering kali Amira protes dan terus mengatakan untuk kembali bekerja lagi."Aku ijinin kamu kerja lagi, tapi, hanya sampai usia kandunganmu memasuki trimester kedua, itu syaratnya." Rendra memutuskan memberikan syarat pada Amira jika dirinya terus nekad untuk tetap bekerja."Baik, Mas. Aku setuju," sahut Amira tanpa pernah berpikir lagi. Yang penting dia dapat kembali bekerja, dan hanya itu keinginan satu-satunya dalam benaknya saat ini. Dengan diantar Pak Yadi selaku supir yang bekerja untuk Rendra, Amira sudah sampai di pelataran gedung Rebidz Company. Selama ini, Ia terus merasa enggan untuk pergi dan pulang ke kantor dengan suaminya, Rendra.Amira tidak ingin para karyawan semakin curiga dengan dirinya dan Rendra. Dan hal itu, tentu saja akan menjadi masalah jika sampai keluarga Rendra atau Aleesha mendengarnya.Dengan riang, Amira melangkahkan kakinya menuju ke
40"Amira, mau pulang, yuk, aku antar," ujar Davin menghampiri Amira yang tengah menunggu jemputan Pak Yadi."Ah, maaf, Pak Davin. Saya sudah ada janji sama seseorang, dan dia sedang di jalan untuk menjemput saya," balas Amira dengan nada suara formal. "Kok, jadi Pak lagi manggilnya," protes Davin."Hmm, sekarang 'kan masih di kantor, Pak."Davin pun menganggukkan kepalanya. Mereka mengobrol dan berbasa-basi sebentar sambil menunggu jemputan datang. Rendra yang baru saja keluar dari kantor melihat pemandangan itu. Hatinya tiba-tiba saja memanas saat melihat ada pria lain yang mendekati istrinya."Kalian belum pulang?" tanya Rendra menyela obrolan seru yang sedang terjadi antara Amira dan Davin."Belum, Pak. Saya sedang menemani Amira menunggu jemputannya," sahut Davin sopan.Rendra menatap penuh rasa cemburu pada Davin. Amira selalu terlihat dapat tertawa lepas tanpa beban saat bersama Davin."Oh, begitu. Apa jemputanmu masih lama?" tanya Rendra pada Amira.Amira menggeleng. "Mungki
41Malam itu, Amira tertidur dengan perasaan yang hancur. Dia merasa lebih dan lebih tidak berharga lagi di mata Rendra. Ia telah menginjak harga diri Amira sedemikian hina. Sungguh, Amira sempat merasa tidak ingin hidup lagi. Ia kalap, tangannya meraih sebuah gunting tajam untuk digunakan agar menembus lapisan kulitnya.Namun, seketika dirinya tersadar, jika di dalam perutnya tengah hidup dan tumbuh sebuah kehidupan baru di sana. Amira melempar gunting itu dengan kasar. Bagaimana bisa dia sehancur itu hingga hampir hilang kewarasan karena berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Padahal, dia adalah calon ibu dari bayi ini. Bayi tak berdosa itu menggantungkan hidupnya pada Amira. Bulir bening seketika membasahi wajahnya. Air mata telah berduyun-duyun turun tanpa kenal lelah. Amira menangis tanpa suara di dalam kamarnya dalam keadaan terhina."Aku benci dia! Aku benci kamu, Rendra!" teriaknya tertahan. Dia begitu marah dan murka saat ini.Namun, tidak ada yang dapat diperbuat olehnya sel
42Meski sekeras apa pun Rendra mengelak dan terus mengelak akan perasaannya terhadap Amira. Namun, tetap saja Aleesha tidak dapat memungkiri hal itu. Dia sangat yakin jika sang suami memang tengah mulai mencintai sahabat yang sekarang menjadi istri kedua suaminya.Hal itu, bahkan sudah Aleesha prediksikan dari awal. Amira pasti akan mudah membuat Rendra jatuh hati padanya. Tetapi, Rendra selalu menyangkal dan terus menyangkalnya."Nggak! Nggak mungkin juga aku cinta sama Amira. Cintaku hanya untuk Aleesha, selamanya. Dan aku sangat yakin akan hal itu."Begitulah, setiap kali Rendra menentang perasaannya sendiri. Dia hanya belum menyadari jika salah satu sudut hati kecilnya selalu mendamba kehadiran Amira. Rendra hanya belum menyadarinya saja. Dan entah kapan dirinya akan menyadarinya.***Amira kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa. Bangun pagi, sarapan, berangkat ke kantor, bekerja dan kembali pulang.Dia beruntung karena minggu ini belum tiba waktunya bagi Rendra untuk tid
43"Loh, mama kapan datang?" tanya Rendra begitu sampai di hadapan ibu mertuanya itu.Dia segera meraih punggung tangan beliau, lalu menyalaminya lantas Rendra duduk di samping Aleesha."Kalian kenapa pindah ke sini nggak bilang sama mama. Untung tadi ada seseorang yang ngasih tahu mama, jadi Mama susulin kalian ke sini," tutur Bu Dina dengan nada sedikit menekan emosinya. Aleesha dan Rendra saling berpandangan. Mereka seakan saling melempar kode dan pertanyaan demi menanggapi perkataan Bu Dina."Memangnya siapa yang kasih tahu mama?" tanya Aleesha memancing sang mama agar mau membocorkan siapa yang telah memberitahunya jika Aleesha dan Rendra pindah dari rumah dan menetap di villa ini."Mama nggak kenal, jadi mama cuma turutin aja saat dia memberitahu Mama tentang alamatmu saat ini," sahut Bu Dina."Dia … laki-laki atau perempuan, Ma?" tanya Aleesha kian penasaran. "Perempuan."Aleesha dan Rendra saling berpandangan lagi. Mereka bertanya-tanya tentang siapa yang sudah membocorkan i
44)Amira tercengang. Wanita itu terdiam cukup lama. Ia tak tahu bagaimana harus memberikan respon pada pernyataan cinta yang baru saja diungkapkan oleh Rendra."Amira, kamu dengerin aku, kan?" tanya Rendra membuyarkan lamunan Amira.Amira masih tak percaya. Laki-laki yang ia kira tak akan pernah bisa mencintainya, ternyata bisa jatuh hati padanya."Kenapa kamu diam aja?" tanya Rendra lagi.Amira menghela napas. Wanita itu tak tahu harus memberikan jawaban apa. Jika Amira memberikan jawaban bagus, wanita itu hanya akan melukai Aleesha. Namun, jika Amira memberi jawaban buruk, tentu Amira akan sangat menyakiti Rendra."Amira?""Iya, Mas. Aku dengar. Aku dengar semua perkataan kamu," ucap Amira gugup.Dari lubuk hati Amira yang terdalam, wanita itu juga merasakan hal yang sama. Tidak hanya Rendra saja yang sedang jatuh cinta, tapi Amira sendiri juga jatuh hati pada Rendra.Mereka berdua jelas-jelas memiliki perasaan yang sama, tapi nyatanya hal ini tidak membuat Amira lantas berbahagia.