Share

Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya
Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya
Author: Meyyis

BAB I

Author: Meyyis
last update Last Updated: 2023-02-27 12:57:59

“Nduk, kamu yakin mengejar keponakanku? Kamu sudah mengenalnya dengan baik?” tanya pakde dari kekasihku.

Aku menghela nafas bingung--masih meraba tentang perkataan pakdenya calon suamiku ini. Apakah ia dalam pihak kami, atau dalam pihak orang tua kekasihku yang tampak tidak setuju dengan hubungan kami?  

“Sudah sampai sini, Pakdhe. Itu juga yang ingin aku tanyakan. Dia tidak bisa dihubungi, padahal pernikahan kami kurang sebulan lagi,” lanjutku dengan cemas.

Terlihat, pakdhe demikian juga aku panggil, kaget. Mungkin pikirnya, sudah sejauh itu? Karena pada kenyataannya memang kami tidak memberitahukan keluarganya sama sekali. Bahkan, calon suamiku itu menyerahkan semuanya padaku tentang semua pernak-pernik pernikahan kita ini.  

“Bagaimana bisa? Nah begitulah makanya aku tanya kamu. Kasihan kamunya jika sudah menjadi istrinya. Aku tahu siapa keponakanku, jadi tidak ada yang bisa aku katakan,” ucapnya.

Kami terdiam, sampai sang istri menyajikan minuman dan makanan kecil. Kala itu, tahu goreng dan bala-bala. Makanan yang menjadi favoritku itu, bahkan terlihat seperti hanya seonggok duri yang tidak menarik minatku. Belum lagi, segelas teh hangat, minuman yang paling tidak kusuka.

“Arif, telpon adikmu. Bisa-bisanya, tidak bisa dihubungi dalam masa seperti ini. Ini anak orang dia bikin bingung,” kata Pakdhe terlihat sangat kesal. 

Aku sedikit merasa mendapat dukungan. Ternyata, pakdenya tidak seperti kedua orang tuanya yang akan menjadi mertuaku itu, yang langsung menolak waktu sebulan lalu kami meminta restu. Akan tetapi, panggilan dari lelaki bernama Arif putra dari pakdhe itu tidak mendapat sambutan. Akan tetapi, hatiku merasa lega ketika suara rem sepeda menyentuh gendang telingaku. Kami sepakat menolak dan tidak lagi berbicara buruk tentang lelaki pujaan hatiku ini, yang sebenarnya baru saja aku sukai karena segala pemikirannya yang brilian menurutku.

“Mas, bagaimana? Bisakah kita menikah jika orang tua tak merestui?” tanyaku waktu itu, tepat setelah menunggunya selama dua jam di rumah uwak. 

Rumah berukuran sepuluh kali enam meter dengan bilik bambu ini, menjadi saksi bagaimana aku ingin mengejar sebuah impian yang sebenarnya, saat ini terlihat fana. Lelakiku ini, terlihat penuh peluh karena mengayuh sepeda sekitar enam kilo meter. Keningku berkerut, ketika menyadari kedatangannya tidak mengendarai motor butut seperti biasanya.

Dalam dada penuh tanya, akan tetapi tidak dapat bibirku bergetar untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang nyasar di kepalaku itu. Kebingungan mulai melanda dalam pikiran waktu itu. Kekasihku, pujaan hatiku, selama mengenalnya sekitar setengah tahun ini, tidak sekalipun ia mengendarai sepeda. Biasanya, ia memilih tidak pergi atau meminjam sepeda motor milik temannya, daripada mengayuh.

“Aku belum mengatakan apa pun, Dik. Aku ….” 

Ia tidak melanjutkan kalimatnya. Lelaki di depanku ini, terlihat rustrasi. Lelaki yang sudah berani memintaku pada ibuku tersebut, terlihat penuh dengan tekanan dan luka. Rasanya, tidak cukup nyali menambah bebannya.

“Mas Bagus, bagaimana jadinya? Apakah kita batalkan saja pernikahan ini?” tanyaku memberanikan diri.

Diam, hanya itu yang dilakukan oleh Bagus. Hatiku semakin kalut. Bagaimana tidak? Pernikahan ini kurang satu minggu. Keluarganya bahkan tidak memberikan kepastian. Ada sedikit sesal merayap dalam hatiku. Mengapa bisa melangkah sejauh ini? Jika mundur, rasa malu keluargaku akan lebih parah dari yang pertama.

Ya, aku pernah gagal sebelumnya. Lelaki sebelum Bagus yang datang, memberiku sebuah janji yang tidak pernah menjadi nyata. Tapi, kami harus membatalkan pernikahan bahkan satu bulan sebelumnya. Sepertinya, kisah akan berulang. Demikian pikiranku saat itu. Sampai jarum panjang menunjuk di angka sebelas, sedangkan jarum hitam pendek di angka lima. Jarum merah terasa lambat bergeser.

“Kita ke rumahku bilang sama bapak dan ibu,” lanjutnya.

Kaget, kupuji keberaniannya. Hatiku sedikit tersentak dan trenyuh akan keberaniannya. Kepalaku sontak mengangguk tanpa komando. Akan tetapi, lagi-lagi hatiku tersentil untuk bertanya. Apakah ini benar?  Bagaimana jika orang tuanya tetap tidak menyetujui? Mengapa aku kurang hati-hati? Apakah ini memang nasibku?

“Aku … apakah itu yang terbaik?” tanyaku.

Keraguan mulai datang, langkah ini apakah salah? Haruskah gagal lagi? Semua tanya itu berputar layaknya benang kusut yang tidak dapat terurai di kepalaku. 

“Sebaiknya memang kalian kasih tahu orang tua. Disetujui atau tidak, bagaimanapun jika kalian sudah yakin, Pakdhe akan menyetujui. Nanti Pakdhe yang akan ngunduh mantu untuk kalian.”

Kedua bola mata kekasihku itu memandangku sangat dalam. Terlihat, tangannya akan diangkat akan tetapi diurungkan. Kepalanya mengangguk, mengajakku menaiki sepeda. Sejujurnya, air mataku sudah tidak bisa tertahan. Akan tetapi, dengan kerudung putih yang kukenakan, menyapu sudut mata agar tidak terlihat sembab.

*******

Setelah bersusah payah mengayuh melewati jalan raya, sampailah di rumahnya. Dadaku semakin berdebar tak menentu. Tanganku meremas ujung kerudung. Ketika ia telah masuk ke rumah lewat pintu samping, kakiku berat melangkah untuk mengikutinya. Hingga sebuah suara terdengar.

“Nduk masuk,” ucap sebuah suara lelaki dewasa.

Itu adalah bapaknya Mas Bagus. Dengan langkah kecil, aku masuk ke rumah itu, bertepatan dengan masjid mengumandangkan ayat suci Al-Qur’an karena memang akan masuk waktu maghrib. Suara merdu dari toa itu tidak mampu menyejukkan hatiku. Hatiku semakin kalut ketika di sebelah bapaknya calon suamiku itu berdiri seorang wanita paruh baya, yang serupa ibuku walau lebih muda kira-kira lima tahun dari ibuku.

“Ada apa?” tanya ibunya.

Ya Tuhan, jantungku terasa terlepas dari kaitannya. Darahku terasa digelontorkan dari bilik langsung menuju ke kepala. Rasanya sangat panas, ketika mendengar kalimat tanya yang pendek dan klasik itu. kalimat itu bahkan lebih tajam dari belati yang sering ia gunakan untuk memangkas daun pisang, karena pekerjaan calon mertua wanitaku itu memang mengambil daun pisang untuk dijual kembali. 

Ibunya, masih dengan pakaian kerja yang lusuh mendekat ikut duduk di ranjang reot yang ada di depan televisi. Kedua adiknya yang masih sekolah, baru saja makan sore sekaligus makan malam mungkin. Aku hafal, karena sudah beberapa kali berkunjung sampai senja tiba.

Debaran jantungku semakin tidak terkendali ketika meluruskan pandangan dengan pandangan calon mertuaku itu. Bibirku terasa kelu. Bagaimana tidak? Wanita dihadapanku inilah yang paling menentang.

“Bu, Pak, kedatangan saya dan Mas Bagus ke mari ingin meminta restu kalian. Kami akan menikah hari Jum’at depan,” ucapku lirih.

Demi Tuhan, aku tidak berani memandang wajah mereka yang ada di ruangan itu. Terutama, bapak dan ibunya. Dadaku rasanya mau meledak ketika bibirku sudah mampu mengatakan hal itu.  Kepalaku menunduk sangat dalam. Bahkan, calon suamiku itu hanya terdiam saja. Ia berada di depanku, berdiri menghadap ke arahku yang duduk di dipan sempit itu.

Kini, Ibunya menoleh. Dari ekor mataku, terlihat bahwa sorot mata lelah itu lebih penuh dengan kemarahan.

“Katakan sekali lagi!”

Meyyis

Bagaimana rasanya menikah tanpa restu? Tentu akan sangat menyakitkan. Kira-kira di tahun 2009, 14 tahun lalu, aku telah salah melangkah. Semua yang dikatakan orang lain hanya keluar lewat telinga kiri dan masuk lewat telinga kanan. Kebodohan yang baru kusadari ketika peristiwa buruk bertubi-tubi menerpaku. Jika dia membaca ini, semoga saja memahami sebenarnya letaknya di mana? Bagaimana hatiku bisa bertahan selama ini bersamanya? Semoga, ia tidak berlari seperti saat ini ketika berhadapan denganku. Hanya itu yang aku harapkan. Halo, teman-teman pembaca. Ini karya terbaruku. Jangan lupa ikuti terus, ya. Terima kasih:)

| Like

Related chapters

  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB II

    “Katakan sekali lagi!” kesalnya sambil membentak.Aku kaget dengan bentakan itu. Air mataku hampir meleleh, akan tetapi kutahan saja. Calon suamiku pergi ke belakang, entah kemana? Kenapa ia menyerahkan tanggung jawab ini hanya kepadaku? Apakah hanya aku di sini yang ingin mendapatkan restu? Sebenarnya mereka orang tua siapa? “Kami sudah menghitung tanggal, Insya Allah akad pada tanggal tujuh Agustus,” ujarku. Ibunya membanting tangannya di dipan yang berukuran tidak lebih dari satu setengah meter itu. Ia duduk membelakangiku, dengan punggung kami yang saling beradu. Suara tangannya yang beradu dengan dipan kayu tersebut, membuat tubuhku bereaksi karena kaget. “Bagaimana bisa? Urusan mencari hari, mencari tanggal dan lainnya itu urusan pihak laki-laki. Bagaimana bisa kalian melangkah tanpa kami? Apa yang sebenarnya keluargamu pikirkan?” kesalnya. Aku beranikan diri menatap wajah tuanya yang kali ini bersama azan magrib berkumandang, tidak berhenti berbicara. Ia menyalahkan aku yan

    Last Updated : 2023-02-27
  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB III

    Langkah kakiku hanya mengikutinya saja. Walau sedikit terseok karena kakinya yang panjang sedangkan kakiku mungil. Jarak tinggi badan kami memang agak jauh. Ia bertinggi badan seratus tujuh puluh tujuh, sedangkan aku sangat mungil. Bahkan dengan anak kelas enam SD saja, terkadang masih tinggi anak kelas enam. Tinggi badanku hanya seratus empat puluh delapan sentimeter. “Kamu lihat? Itu kenapa tidak mau meminta restu dari mereka. Mereka semua tidak menganggapku ada. Aku hanya sampah bagi mereka,” kesalnya. Dari ucapannya, aku merasa tertohok. Rasanya keputusan yang benar kami ambil untuk hidup bersama. Semua orang tidak percaya padanya. Orang tuanya, Pakdenya dan semua teman-temannya juga bilang ia orang yang buruk. Lelakiku ini keras kepala, ucapannya juga sangat kasar. Akan tetapi, entah bagaimana ceritanya kepercayaanku padanya sangat penuh. Jika dikumpulkan, bahkan mega-mega yang membentuk awan di langit, masih kalah penuh dengan kepercayaanku untuknya. Aku memeluk pinggangnya,

    Last Updated : 2023-02-27
  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB IV

    Siang itu, Mas Bagus datang untuk menanyakan perihal kesiapan. Inilah kebahagiaan yang belum pernah kudapat sebelumnya. Ia datang membalut lukaku, kini menyembuhkanku. Itu yang ada dalam anganku. “Dik, bagaimana?” tanyanya. “Aku sudah bilang ibu, akan tetapi ….” Kepalaku tertunduk sangat dalam. Tidak tega mengatakan yang sebenarnya bahwa ibu sedikit meminta lebih, bahwa orang tuanya harus datang. “Tapi kenapa?” Kedua mataku tidak dapat memandang dua netra bening itu. Rasanya di dada demikian sesak. Dalam pikiran bahkan ingin menyerah. Kedua orang tua kami sama-sama tidak mau mengalah. “Ibu minta orang tua Mas datang,” ucapku. Akhirnya, suara lirih itu lepas juga dari tenggorokan. Beberapa detik, aku menunggu reaksinya. Dari ekor mataku, terlihat ia juga mulai frustrasi. “Dik, kita jalan sendiri saja, yuk,” ucapnya. Kaget, itu reaksi yang terjadi padaku pertama kali. Mengapa ia begitu? Aku sendiri juga tidak paham. Yang pasti, calon suamiku ini sama frustrasinya denganku.

    Last Updated : 2023-02-27
  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB V

    “Bu ... tidak mungkin saya harus gagal lagi ‘kan? Sepertinya, Mas Bagus serius dengan saya. Kenapa tidak?” ucapku mantap walau sebenarnya lebih karena ingin menenangkan diri saja.Andai ibu tahu hatiku, kali ini ada lebih banyak keraguan. Sebenarnya, Allah sudah menunjukkan berbagai hal yang membuatku ragu untuk melanjutkan. Akan tetapi, sesuatu yang lain ingin kutunjukkan bahwa yang mereka katakan aku tidak laku, aku pembawa sial itu tidak benar. “Baiklah jika begitu. Bagus suruh ke sini, kita pikirkan bagaimana caranya,” ucapnya. Bagai mendapat durian runtuh. Akhirnya, satu pintu dari ibuku terbuka. Aku merasa bahagia, bahkan seandainya sekarang memiliki ponsel, mungkin akan langsung menghubunginya. Bahagianya lebih dari mendapatkan setumpuk berlian. Aku bangkit setelah membersihkan sisa sayur yang sudah ada. Setelah membuang sampah, maka langsung membersihkan tangan dan kaki. Aku mirip orang gila sekarang. Aku berlari kecil, berputar dan menjatuhkan diri. Hatiku terasa meledak

    Last Updated : 2023-02-27
  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB VI

    “Han ... bangun! Jangan seperti ini,” ucapku. Sebenarnya, aku trenyuh, tetapi mau bagaimana lagi? Semua sudah berlalu. Janji adalah janji.Tanganku lantas menariknya pria itu agar bangun. Ini memalukan. Bahkan, beberapa menyaksikan kami dari kejauhan. Aku menoleh ke kanan dan melirik ke rumah tetangga yang juga menyaksikan peristiwa ini. Duh, malu rasanya. Ini bukan drama Korea atau drama China, Bosku!Aku berhasil membuatnya bangun. Mataku, memberanikan diri untuk menatap mata sembabnya. Lelaki itu, yang selama setahun ini menjadi temanku. Ia bahkan selalu ada untukku. Kenapa baru sekarang? Aku pernah berharap padanya, akan tetapi aku kubur karena tidak ingin kecewa lagi. Hanya dia yang menemani saat-saat paling sulit ketika Mas Dwi meninggalkanku. Bukan, lebih tepatnya aku yang tidak mau bersamanya, ketika tahu bahwa ia hanya memanfaatkanku saja. “Aku benar-benar minta maaf, Han. Aku menyesal tidak menyadari sebelumnya. Han, aku sudah janji dengannya, tidak mungkin mengingkarinya

    Last Updated : 2023-03-09
  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB VII

    Ibu lantas mengangguk. Ia pun membuang ingus yang mungkin sudah penuh karena menangis. Aku tersenyum, mengantarkan wanita yang paling hebat itu ke belakang dan membawakan keranjang belanjaan yang berisi beberapa lauk dari pasar. Setelah mencuci ikan, memasaknya. Ibu sudah bersiap untuk istirahat sebentar sebelum nantinya akan aktivitas merawat sayuran lagi. Setelah itu, kami berbincang tentang pernikahan. Meskipun sederhana, kami tetap akan membuat pelaminan. “Bu, tidak usah menyewa pelaminan. Itu akan membutuhkan biaya banyak,” ucapku. Ibu menoleh, ketika aku mengatakan itu. Matanya berkaca-kaca. Sekilas, aku memandang mata wanita tua ini berkaca-kaca. Kutahu, pasti hatinya sakit. Aku masih muda, ini pertama kali untukku. Akan tetapi, pernikahan ini harus sederhana. Bukan mewah intinya. Aku hanya ingin menikah untuk memberi tahu orang-orang, bahwa aku bukan pembawa sial. Atau bahasa kasarnya tidak laku. “Tidak apa-apa. Sederhana saja. Kamu daftar dulu pernikahan kalian. Setela

    Last Updated : 2023-03-09
  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB VIII

    Meskipun aku tidak membenci ayahku, akan tetapi sampai hari ini merasa sakit karena tahu bahwa aku sebenarnya bukan anak pertama. Ada dua kakak dari pernikahan terdahulu yang keberadaannya baru kami ketahui karena kakak tiriku yang pertama itu, perempuan dan akan menikah. Jadi keluarga pertama, mencari bapak. Aku memejamkan mata. Drama apa yang terjadi dalam hidup. Mengapa? Keluargaku penuh dengan misteri. Aku sangka, bahwa orang tuaku baik-baik saja. Akan tetapi, ternyata demikian. Sungguh, ini mirip dengan film. Aku tertawa menertawakan diriku sendiri. Ibuku? Dulu dibohongi bapak. Apakah ini sebuah karma? Kami disambut baik oleh kakak tiriku. Aku memang berhubungan baik dengan mereka. Selain itu, mereka juga ingin sebenarnya memberikan aku pekerjaan agar dapat hidup lebih layak. Sebagai gambaran, kakak tiriku yang laki-laki memang pekerja keras. Terutama dengan istrinya yang sangat getol dengan usaha. Ia pedagang ikan pindang yang sudah bisa disebut juragan karena memilih masak se

    Last Updated : 2023-03-09
  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB IX

    “Mas!""Kenapa?" tanyanya kecewa."Aku … kalau sudah menikah, bukan hanya itu yang kamu punya. Tapi semuanya,” ucapku lirih.Bagas terlihat semakin kecewa. Mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa melakukannya. Aku terlalu takut. Sebenarnya, bukan karena takut dosa, akan tetapi takut sengsara. Berapa contoh yang memberikan dirinya, menyerahkan dirinya sebelum menikah, ditinggalkan oleh lelakinya dengan biadab. Aku tidak mau begitu.*****Aku lantas ke rumah Pak lik karena ayahku tinggal di sana. Akan tetapi, di rumah itu tidak ada siapa pun. hingga kami memilih ke rumah Pakde yang tentu saja ada istrinya di rumah. Benar saja, aku disambut oleh wanita seumuran ibuku, akan tetapi wajahnya lebih terlihat bersih karena jarang terkena sinar matahari. “Kapan kalian sampai?” tanyanya. “Dari kemarin Bude, karena hujan maka saya tunda ke sini,” ucapku. “Kenapa tidak mampir ke sini dulu?” tany suara dari luar. Kami sepakat untuk menoleh bagai sebuah paduan, akan tetapi tanpa dipandu. Itu adalah

    Last Updated : 2023-03-09

Latest chapter

  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB XIII

    Esok hari, tepatnya hari Jumat tanggal tujuh Agustus tahun 2009 ini, kami akan melangsungkan pernikahan ini. Semua kerabat sudah datang. Mereka berada di ruangan depan rumah ibuku. Sudah pukul enam pagi, penata rias sudah datang. Aku sudah mandi juga.Dengan baju kemben, penata rias mulai menta wajahku. Dengan sebuah doa, dimulailah wajahku dibersihkan. Semula, aku yakin akan kelancaran acara. Hingga pukul setengah sembilan, lelakiku itu tidak dapat dihubungi. Lelaki itu sungguh membuat jantungku berdebar begitu kencang. Aku sudah siap, dengan gaun putih yang dirias oleh sang penata rias.“Aduh, sebenarnya jadi nggak sih? Kenapa aku sangat takut?” gumamku.Hingga seseorang dari keluarganya datang terlebih dahulu dengan mini bus.“Akhirnya, kalian datang juga,” komentar salah satu keluarga.Aku juga lega, akan tetapi telingaku menangkap bahwa calon suamiku belum datang, malah pengiringnya terlebih dahulu yang datang. Dalam hati, kok bisa demikian? Aku hampir meledak karena marah.“Iya

  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB XII

    “Mbak, saat aku bersama ayahmu, dia bilang pergi dari rumah setelah khitan. Kita bertemu di perantauan. Tahukah kamu, jika ibu tidak menikah dengan ayahmu, ibu tidak bisa pulang dari rumah pakdemu,” ucap ibu.Aku bingung sebenarnya dari keterangan ibu. Apa hubungannya pulang, dengan menikah? Baiklah, kita dengarkan kisah selengkapnya saja.“Jadi, dulu ibu dan ayahmu ketemu di Sumatera, di kampung trans. Ayahmu adalah pegawainya pakdemu. Kata Pakdemu, dia akan membiarkanku pulang dan bawa simbahmu, jika aku mau menikah,” ucapnya.Dia sudah bisa menghadapiku. Matanya sedikit sembab, bahkan hampir menjatuhkan buliran itu. aku memeluknya, hal yang paling jarang bahkan tidak pernah kulakukan. Tangisnya tumpah saat ini di pelukanku. Aku belum pernah melihat air mata wonder woman-ku ini, selama umurku. Ibuku, tidak pernah menangis. “Kalau tidak kuat, ceritanya bisa lain kali saja, Bu. Aku tidak buru-buru ingin mendengar,” ucapku.Demi Tuhan, aku melihat sisi rapuh dari wanita yang melahirka

  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB XI

    Aku masih ingat saat usiaku tujuh belas tahun, tepatnya kelas dua dahulu disebut SMA. Saat SMA, aku tinggal di panti asuhan karena ibu tidak sanggup lagi membiayai sekolahku. Saat aku bilang akan sekolah, ibu menangis dan bilang dengan suara gemetar,“Mbak, ibu tidak lagi bisa membiayai sekolahmu. Saat SMP saja, kalau kamu tidak pintar dan mendapatkan beasiswa, tidak bisa lulus. Kamu masih ingat waktu kelas dua dan adikmu harus rawat jalan karena flek paru-paru, bahkan hampir saja keluar dari sekolah karena uang beasiswa digunakan untuk berobat. Sekarang SMA juga jauh di kota. Ibu hanya bisa merestuimu,” ucap ibuku.Maka berangkatlah aku di panti asuhan walau sebenarnya, bukan anak yatim atau piatu. Apalagi, anak yatim piatu. Akan tetapi, demi selembar ijazah, tidak malu diriku masuk ke dalam panti asuhan. Aku tidak tahu hukumnya, yang terpenting ingin sekolah saja.Maka dari itu, meskipun hari-hariku sulit, tetap kujalani. Tuhanku mengijabah, yang sebelumnya aku hanya bisa membaca Al

  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB X

    Aku hanya tersenyum saja menantikan penjelasan darinya. Lelakiku ini meraih tanganku. Tangannya yang penuh dengan lem itu menyentuh kulit tanganku sehingga menempel di telapak tanganku. Aku semakin tersipu.“Dengarlah, ini berarti. Sekarang kita tidak punya apa-apa, tandanya dengan uang pecahan dua puluh lima rupiah ini, sampai nanti kita kaya raya, tandanya uang pecahan seratus ribu ini, bersama.”Alangkah indahnya filosofi itu. Semoga menjadi doa. Aku aminkan perkataannya. Lelakiku itu, sungguh mencintaiku. Ia menginginkan bahwa hubungan ini tidak hanya sekedar sementara. Akan tetapi, ia menginginkan kita abadi, kemungkinan hanya maut yang akan memisahkan. Alangkah indahnya, hingga mataku sampai berkaca-kaca.“Alah, alah … sudah jangan terharu begitu. Masih ada aku. Gus. Jangan membuatku yang jomblo ini ngiri pada kalian,” ucap sahabatnya Mas Bagus. Aku semakin tersipu menarik tanganku yang dipegang oleh Mas Bagus. Setelah Mas Bagus mengatakan semuanya, aku pamit ke belakang untuk

  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB IX

    Aku ke rumah Pak lik karena ayahku tinggal di sana. Akan tetapi, di rumah itu tidak ada siapa pun. hingga kami memilih ke rumah Pakde yang tentu saja ada istrinya di rumah. Benar saja, aku disambut oleh wanita seumuran ibuku, akan tetapi wajahnya lebih terlihat bersih karena jarang terkena sinar matahari. “Kapan kalian sampai?” tanyanya.“Dari kemarin Bude, karena hujan maka saya tunda ke sini,” ucapku.“Kenapa tidak mampir ke sini dulu?” tany suara dari luar.Kami sepakat untuk menoleh bagai sebuah paduan, akan tetapi tanpa dipandu. Itu adalah suara ayahku. Tidak akan pernah lupa. Suara itu yang tidak pernah kurindukan walau ia adalah lelaki yang telah mengukir diriku di dalam rahim ibuku. Kami, hanya bertemu beberapa waktu saja meskipun lelaki itu disebut ayah.“Bukan begitu, Pak. Aku lupa gangnya. Jadi aku ke rumah Mas Fatih dulu,” ucapku.Ya Fatih adalah kakakku. Lelaki itu yang mencari bapak waktu kakakku yang bernama Ratih, akan menikah. Maka sejak itu, ibu mengetahui bahwa ia

  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   Bab X

    Aku tersenyum, suamiku memang nyentrik. Mas kawin, seharusnya akan dibawa bersama lamaran. Aku lupa, lamaran itu tidak pernah ada. Kita sudah membahas, bahwa tidak apa-apa aku tidak dilamar asalkan sah secara agama dan negara. Bagiku sudah cukup. Kali ini aku cukup terharu karena dia menyediakan mas kawin ini. “Terima kasih,” ucapku. “Kamu tahu, mengapa aku memilih mas kawin ini yang berbeda dari biasanya?” tanya dia. Aku hanya tersenyum saja menantikan penjelasan darinya. Lelakiku ini meraih tanganku. Tangannya yang penuh dengan lem itu menyentuh kulit tanganku sehingga menempel di telapak tanganku. Aku semakin tersipu. “Dengarlah, ini berarti. Sekarang kita tidak punya apa-apa, tandanya dengan uang pecahan dua puluh lima rupiah ini, sampai nanti kita kaya raya, tandanya uang pecahan seratus ribu ini, bersama.” Alangkah indahnya filosofi itu. Semoga menjadi doa. Aku aminkan perkataannya. Lelakiku itu, sungguh mencintaiku. Ia menginginkan bahwa hubungan ini tidak hanya sekedar s

  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB IX

    “Mas!""Kenapa?" tanyanya kecewa."Aku … kalau sudah menikah, bukan hanya itu yang kamu punya. Tapi semuanya,” ucapku lirih.Bagas terlihat semakin kecewa. Mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa melakukannya. Aku terlalu takut. Sebenarnya, bukan karena takut dosa, akan tetapi takut sengsara. Berapa contoh yang memberikan dirinya, menyerahkan dirinya sebelum menikah, ditinggalkan oleh lelakinya dengan biadab. Aku tidak mau begitu.*****Aku lantas ke rumah Pak lik karena ayahku tinggal di sana. Akan tetapi, di rumah itu tidak ada siapa pun. hingga kami memilih ke rumah Pakde yang tentu saja ada istrinya di rumah. Benar saja, aku disambut oleh wanita seumuran ibuku, akan tetapi wajahnya lebih terlihat bersih karena jarang terkena sinar matahari. “Kapan kalian sampai?” tanyanya. “Dari kemarin Bude, karena hujan maka saya tunda ke sini,” ucapku. “Kenapa tidak mampir ke sini dulu?” tany suara dari luar. Kami sepakat untuk menoleh bagai sebuah paduan, akan tetapi tanpa dipandu. Itu adalah

  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB VIII

    Meskipun aku tidak membenci ayahku, akan tetapi sampai hari ini merasa sakit karena tahu bahwa aku sebenarnya bukan anak pertama. Ada dua kakak dari pernikahan terdahulu yang keberadaannya baru kami ketahui karena kakak tiriku yang pertama itu, perempuan dan akan menikah. Jadi keluarga pertama, mencari bapak. Aku memejamkan mata. Drama apa yang terjadi dalam hidup. Mengapa? Keluargaku penuh dengan misteri. Aku sangka, bahwa orang tuaku baik-baik saja. Akan tetapi, ternyata demikian. Sungguh, ini mirip dengan film. Aku tertawa menertawakan diriku sendiri. Ibuku? Dulu dibohongi bapak. Apakah ini sebuah karma? Kami disambut baik oleh kakak tiriku. Aku memang berhubungan baik dengan mereka. Selain itu, mereka juga ingin sebenarnya memberikan aku pekerjaan agar dapat hidup lebih layak. Sebagai gambaran, kakak tiriku yang laki-laki memang pekerja keras. Terutama dengan istrinya yang sangat getol dengan usaha. Ia pedagang ikan pindang yang sudah bisa disebut juragan karena memilih masak se

  • Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya   BAB VII

    Ibu lantas mengangguk. Ia pun membuang ingus yang mungkin sudah penuh karena menangis. Aku tersenyum, mengantarkan wanita yang paling hebat itu ke belakang dan membawakan keranjang belanjaan yang berisi beberapa lauk dari pasar. Setelah mencuci ikan, memasaknya. Ibu sudah bersiap untuk istirahat sebentar sebelum nantinya akan aktivitas merawat sayuran lagi. Setelah itu, kami berbincang tentang pernikahan. Meskipun sederhana, kami tetap akan membuat pelaminan. “Bu, tidak usah menyewa pelaminan. Itu akan membutuhkan biaya banyak,” ucapku. Ibu menoleh, ketika aku mengatakan itu. Matanya berkaca-kaca. Sekilas, aku memandang mata wanita tua ini berkaca-kaca. Kutahu, pasti hatinya sakit. Aku masih muda, ini pertama kali untukku. Akan tetapi, pernikahan ini harus sederhana. Bukan mewah intinya. Aku hanya ingin menikah untuk memberi tahu orang-orang, bahwa aku bukan pembawa sial. Atau bahasa kasarnya tidak laku. “Tidak apa-apa. Sederhana saja. Kamu daftar dulu pernikahan kalian. Setela

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status