Langkah kakiku hanya mengikutinya saja.Walau sedikit terseok karena kakinya yang panjang sedangkan kakiku mungil. Jarak tinggi badan kami memang agak jauh. Ia bertinggi badan seratus tujuh puluh tujuh, sedangkan aku sangat mungil. Bahkan dengan anak kelas enam SD saja, terkadang masih tinggi anak kelas enam. Tinggi badanku hanya seratus empat puluh delapan sentimeter.
“Kamu lihat? Itu kenapa tidak mau meminta restu dari mereka. Mereka semua tidak menganggapku ada. Aku hanya sampah bagi mereka,” kesalnya.
Dari ucapannya, aku merasa tertohok. Rasanya keputusan yang benar kami ambil untuk hidup bersama. Semua orang tidak percaya padanya. Orang tuanya, Pakdenya dan semua teman-temannya juga bilang ia orang yang buruk.
Lelakiku ini keras kepala, ucapannya juga sangat kasar. Akan tetapi, entah bagaimana ceritanya kepercayaanku padanya sangat penuh. Jika dikumpulkan, bahkan mega-mega yang membentuk awan di langit, masih kalah penuh dengan kepercayaanku untuknya. Aku memeluk pinggangnya, ketika duduk di belakang membiarkan kakinya mengayuh sepeda. Rasa bahagia, haru dan masih banyak lagi rasa-rasa yang lain.
Kami akhirnya sampai kembali ke rumah Pakdhe. Mata sembabku mungkin masih terlihat. Untuk menyamarkannya, maka menumpang ke kamar mandi. Tidak ada kamar mandi yang berkeramik apalagi shower. Hanya sumur dengan ember kecil sebagai pengambil air. Sebagai bak mandi, hanya jambangan hitam yang mungkin saja berisi hanya sepuluh liter air. Biliknya, hanya dengan bambu yang dianyam dan diberi pelapis spanduk bekas pemilu.
Aku membasuh wajahku dengan cepat dan mengguyur, hingga bagian bajuku basah. Untung saja, ada jaket krem sebagai pelindung, yang sudah kulepas sebelumnya. Tangisku kembali pecah. Akan tetapi, kali ini tangis bahagia. Kedatanganku tidak sia-sia. Meskipun dengan sedikit insiden, akhirnya semuanya jelas. Ia mau menikah denganku.
Aku kembali ke dalam. Setelah dengan terpaksa meminum teh yang sudah mulai dingin karena tidak suka minum teh, aku pamit dengan pakdhe dan keluarga. Sebelum kami berpisah, ia memberikan sebuah ucapan yang lebih mempertajam keyakinanku.
“Jangan khawatir, kita pasti akan menikah,” ucapnya.
Aku meraih tangannya, mencium punggung tangan itu. Dengan motor yang kupinjam dari salah satu keluargaku, kembali ke rumah yang berjarak sekitar dua puluh kilo dari rumah pakdenya dengan membawa kebahagiaan. Rasa ini tidak terperi. Dengan berjuta harapan dan angan-angan roda-roda motorku sampai di rumah. Ibuku yang sedang sibuk dengan sayuran yang sore tadi dipetik, menengok ke arahku.
“Bagaimana hasilnya?” tanya ibuku.
Ludah di tenggorokan terasa sangat sulit tertelan. Aku bahkan belum masuk ke rumah karena ibu dan dua pekerja lain menyiangi sayuran untuk diikat di depan rumah.
“Sebentar,” ucapku.
Kakiku melangkah menuju ke bilik kecil, dengan ranjang kecil juga menggantung tas hitam kecil di ruangan tersebut. Ruangan yang belum di keramik masih dengan lantai tanah itu, tempatku merajut mimpi-mimpi. Ranjang baru yang terbuat dari kayu, terlihat lebih baik dari sebelumnya. Walau terkesan masih seadanya karena uang kami memang tidak banyak. Tidak mampu, bagi kami untuk membeli tempat tidur baru dari toko mebel terkenal.
“Bu, hmmm … aku sudah bicara dengan orang tuanya,” ucapku hati-hati.
Ibu berhenti menyiangi sayur, tangannya diam sembari mendengarkan keteranganku.
“Terus? Mereka akan ke sini?” tanya ibu.
Tanganku meraih sayuran yang masih berantakan karena baru saja dilepas dari ikatan yang super besar. Tanganku dengan lincah memilah sayuran yang bagus untuk diikat, sedangkan yang buruk untuk dibuang atau diberikan kepada kambing yang kami pelihara di belakang.
“Sepertinya tidak,” ucapku lirih.
Aku menunduk dengan tangan yang sibuk menyiangi sayuran. Kali ini, sayuran kangkung darat yang akan kami jual esok hari, karena memang waktunya panen kangkung darat.
“Apa maksudmu tidak? Bagaimana bisa? Seharusnya orang tuanya datang. Sudah ibu bilang, tidak usah macem-macem hanya akad saja sudah sah. Kenapa tidak mau datang? Terus bagaimana?” tanya ibu dengan suara yang mulai meninggi.
Bulu kudukku terasa berdiri. Ibuku, wanita yang melahirkanku ini lebih menyeramkan jika marah dibanding dengan apa pun di muka bumi ini.
“Jika tidak mau datang, maka tidak usah saja kalian menikah. Itu sebuah tanda dia tidak menghargaimu sebagai wanita. Terus bagaimana dengan Bagus?” tanya ibu masih dengan nada yang meledak-ledak.
“Mas Bagus tentu saja sudah berusaha, Bu. Aku mohon, jika tidak bersandar pada ibu, mengeluh pada ibu, dengan siapa lagi kami harus mengeluh,” bujukku.
Aku melirik sudut mata wanita yang telah berjuang untukku sampai hari ini itu, sudah sembab. Aku tidak tahu yang ia pikirkan, akan tetapi di matanya terlihat sebuah kekecewaan yang mendalam. Aku merasa sangat bersalah. Sebelumnya, ia sudah kecewa denganku karena pernikahanku yang kurang sebulan juga berantakan. Kini harus mengulang hal yang tidak lancar lagi.
“Salah apa aku? Apakah dosaku demikian besar sehingga Tuhan menghukumku dengan hal semacam ini?” lirihnya.
Ia meletakkan sayur yang baru saja digenggamnya, berlari ke belakang. Aku ingin mengejarnya, akan tetapi salah satu pekerja mencegahku dengan memanggil.
“Nis, ini sudah penuh. Dicuci dulu, siapkan ikatan,” ucapnya.
Entah sengaja atau tidak, ucapan dari pekerja itu membuatku menurut dan mengangguk. Aku mencuci sayur-sayur itu di bak besar dan menatanya agar esok hari tetap segar. Kami melakukan aktivitas itu setiap sore hingga malam berlalu.
Aktivitas kami sudah selesai. Saatnya tidur, untuk mengembalikan tenaga. Akan tetapi, rasanya sangat susah mata ini terpejam. Padahal seluruh tubuhku terasa remuk. Mataku terbuka lebar menatap atap dan tulang-tulang yang mulai menua. Gerimis melanda, menambah pekatnya perasaanku. Saat ini, perasaan ini campur aduk tidak karuan.
“Ya Allah, apakah ini yang terbaik?” batinku.
Ini sangat gila. Bagaimana bisa? Aku masih ragu, setelah tadi siang jelas-jelas merasa sangat percaya diri dengan semua ini. Aku mengembuskan napas berkali-kali untuk menenangkan pikiranku. Mencoba untuk tidur miring. Akan tetapi tetap saja tidak bisa. Bayangan kemarahan ibu dan bapaknya calon suamiku itu, terus saja terngiang bagai kaset kusut.
“Bagaimana bisa? Urusan mencari hari, mencari tanggal dan lainnya itu urusan pihak laki-laki. Bagaimana bisa kalian melangkah tanpa kami? Apa yang sebenarnya keluargamu pikirkan?” kesalnya.
Aku mengembuskan napas mengehentak. Perkataan dari ibunya memang benar. Akan tetapi, mau bagaimana? Semua sudah terjadi. Semua sudah siap. Jika akan batal, maka aku tidak tahu lagi. Ingatanku mengulang beberapa minggu yang lalu saat dengan mulut ini lancang untuk memberikan pilihan. Mau terus, atau putus.
Jika ingin meneruskan maka menikah, jika tidak ingin meneruskan maka tidak masalah. Dengan begitu maka kita putus. Ada yang mendasari dari yang kulakukan itu. Maka dengan tegas ia siap menikah denganku.
“Mas, kita sudah kenal selama tiga bulan. Seperti yang kukatakan waktu kita pertama ketemu. Siapa yang serius langsung ngomong dengan ibu, itu yang kupilih. Aku tidak mau pacaran,” ucapku waktu itu.
Ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Mengapa semua penuh dengan gejolak. Jika tidak siap untuk menikah, mengapa mendekat? Mataku tanpa sadar menetes. Dadaku semakin sesak terasa. Tangan kiriku memukul dada yang terasa penuh ini.
Bunyi guntur seperti memberikan isyarat ketidakpuasan. Apakah Tuhan juga akan memberikan tanda bahwa pernikahan kami memang akan menuai banyak rintangan? “Tuhan, apakah aku tidak berhak bahagia?” lirihku tergugu.
Siang itu, Mas Bagus datang untuk menanyakan perihal kesiapan. Inilah kebahagiaan yang belum pernah kudapat sebelumnya. Ia datang membalut lukaku, kini menyembuhkanku. Itu yang ada dalam anganku. “Dik, bagaimana?” tanyanya. “Aku sudah bilang ibu, akan tetapi ….” Kepalaku tertunduk sangat dalam. Tidak tega mengatakan yang sebenarnya bahwa ibu sedikit meminta lebih, bahwa orang tuanya harus datang. “Tapi kenapa?” Kedua mataku tidak dapat memandang dua netra bening itu. Rasanya di dada demikian sesak. Dalam pikiran bahkan ingin menyerah. Kedua orang tua kami sama-sama tidak mau mengalah. “Ibu minta orang tua Mas datang,” ucapku. Akhirnya, suara lirih itu lepas juga dari tenggorokan. Beberapa detik, aku menunggu reaksinya. Dari ekor mataku, terlihat ia juga mulai frustrasi. “Dik, kita jalan sendiri saja, yuk,” ucapnya. Kaget, itu reaksi yang terjadi padaku pertama kali. Mengapa ia begitu? Aku sendiri juga tidak paham. Yang pasti, calon suamiku ini sama frustrasinya denganku.
“Bu ... tidak mungkin saya harus gagal lagi ‘kan? Sepertinya, Mas Bagus serius dengan saya. Kenapa tidak?” ucapku mantap walau sebenarnya lebih karena ingin menenangkan diri saja.Andai ibu tahu hatiku, kali ini ada lebih banyak keraguan. Sebenarnya, Allah sudah menunjukkan berbagai hal yang membuatku ragu untuk melanjutkan. Akan tetapi, sesuatu yang lain ingin kutunjukkan bahwa yang mereka katakan aku tidak laku, aku pembawa sial itu tidak benar. “Baiklah jika begitu. Bagus suruh ke sini, kita pikirkan bagaimana caranya,” ucapnya. Bagai mendapat durian runtuh. Akhirnya, satu pintu dari ibuku terbuka. Aku merasa bahagia, bahkan seandainya sekarang memiliki ponsel, mungkin akan langsung menghubunginya. Bahagianya lebih dari mendapatkan setumpuk berlian. Aku bangkit setelah membersihkan sisa sayur yang sudah ada. Setelah membuang sampah, maka langsung membersihkan tangan dan kaki. Aku mirip orang gila sekarang. Aku berlari kecil, berputar dan menjatuhkan diri. Hatiku terasa meledak
“Han ... bangun! Jangan seperti ini,” ucapku. Sebenarnya, aku trenyuh, tetapi mau bagaimana lagi? Semua sudah berlalu. Janji adalah janji.Tanganku lantas menariknya pria itu agar bangun. Ini memalukan. Bahkan, beberapa menyaksikan kami dari kejauhan. Aku menoleh ke kanan dan melirik ke rumah tetangga yang juga menyaksikan peristiwa ini. Duh, malu rasanya. Ini bukan drama Korea atau drama China, Bosku!Aku berhasil membuatnya bangun. Mataku, memberanikan diri untuk menatap mata sembabnya. Lelaki itu, yang selama setahun ini menjadi temanku. Ia bahkan selalu ada untukku. Kenapa baru sekarang? Aku pernah berharap padanya, akan tetapi aku kubur karena tidak ingin kecewa lagi. Hanya dia yang menemani saat-saat paling sulit ketika Mas Dwi meninggalkanku. Bukan, lebih tepatnya aku yang tidak mau bersamanya, ketika tahu bahwa ia hanya memanfaatkanku saja. “Aku benar-benar minta maaf, Han. Aku menyesal tidak menyadari sebelumnya. Han, aku sudah janji dengannya, tidak mungkin mengingkarinya
Ibu lantas mengangguk. Ia pun membuang ingus yang mungkin sudah penuh karena menangis. Aku tersenyum, mengantarkan wanita yang paling hebat itu ke belakang dan membawakan keranjang belanjaan yang berisi beberapa lauk dari pasar. Setelah mencuci ikan, memasaknya. Ibu sudah bersiap untuk istirahat sebentar sebelum nantinya akan aktivitas merawat sayuran lagi. Setelah itu, kami berbincang tentang pernikahan. Meskipun sederhana, kami tetap akan membuat pelaminan. “Bu, tidak usah menyewa pelaminan. Itu akan membutuhkan biaya banyak,” ucapku. Ibu menoleh, ketika aku mengatakan itu. Matanya berkaca-kaca. Sekilas, aku memandang mata wanita tua ini berkaca-kaca. Kutahu, pasti hatinya sakit. Aku masih muda, ini pertama kali untukku. Akan tetapi, pernikahan ini harus sederhana. Bukan mewah intinya. Aku hanya ingin menikah untuk memberi tahu orang-orang, bahwa aku bukan pembawa sial. Atau bahasa kasarnya tidak laku. “Tidak apa-apa. Sederhana saja. Kamu daftar dulu pernikahan kalian. Setela
Meskipun aku tidak membenci ayahku, akan tetapi sampai hari ini merasa sakit karena tahu bahwa aku sebenarnya bukan anak pertama. Ada dua kakak dari pernikahan terdahulu yang keberadaannya baru kami ketahui karena kakak tiriku yang pertama itu, perempuan dan akan menikah. Jadi keluarga pertama, mencari bapak. Aku memejamkan mata. Drama apa yang terjadi dalam hidup. Mengapa? Keluargaku penuh dengan misteri. Aku sangka, bahwa orang tuaku baik-baik saja. Akan tetapi, ternyata demikian. Sungguh, ini mirip dengan film. Aku tertawa menertawakan diriku sendiri. Ibuku? Dulu dibohongi bapak. Apakah ini sebuah karma? Kami disambut baik oleh kakak tiriku. Aku memang berhubungan baik dengan mereka. Selain itu, mereka juga ingin sebenarnya memberikan aku pekerjaan agar dapat hidup lebih layak. Sebagai gambaran, kakak tiriku yang laki-laki memang pekerja keras. Terutama dengan istrinya yang sangat getol dengan usaha. Ia pedagang ikan pindang yang sudah bisa disebut juragan karena memilih masak se
“Mas!""Kenapa?" tanyanya kecewa."Aku … kalau sudah menikah, bukan hanya itu yang kamu punya. Tapi semuanya,” ucapku lirih.Bagas terlihat semakin kecewa. Mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa melakukannya. Aku terlalu takut. Sebenarnya, bukan karena takut dosa, akan tetapi takut sengsara. Berapa contoh yang memberikan dirinya, menyerahkan dirinya sebelum menikah, ditinggalkan oleh lelakinya dengan biadab. Aku tidak mau begitu.*****Aku lantas ke rumah Pak lik karena ayahku tinggal di sana. Akan tetapi, di rumah itu tidak ada siapa pun. hingga kami memilih ke rumah Pakde yang tentu saja ada istrinya di rumah. Benar saja, aku disambut oleh wanita seumuran ibuku, akan tetapi wajahnya lebih terlihat bersih karena jarang terkena sinar matahari. “Kapan kalian sampai?” tanyanya. “Dari kemarin Bude, karena hujan maka saya tunda ke sini,” ucapku. “Kenapa tidak mampir ke sini dulu?” tany suara dari luar. Kami sepakat untuk menoleh bagai sebuah paduan, akan tetapi tanpa dipandu. Itu adalah
Aku tersenyum, suamiku memang nyentrik. Mas kawin, seharusnya akan dibawa bersama lamaran. Aku lupa, lamaran itu tidak pernah ada. Kita sudah membahas, bahwa tidak apa-apa aku tidak dilamar asalkan sah secara agama dan negara. Bagiku sudah cukup. Kali ini aku cukup terharu karena dia menyediakan mas kawin ini. “Terima kasih,” ucapku. “Kamu tahu, mengapa aku memilih mas kawin ini yang berbeda dari biasanya?” tanya dia. Aku hanya tersenyum saja menantikan penjelasan darinya. Lelakiku ini meraih tanganku. Tangannya yang penuh dengan lem itu menyentuh kulit tanganku sehingga menempel di telapak tanganku. Aku semakin tersipu. “Dengarlah, ini berarti. Sekarang kita tidak punya apa-apa, tandanya dengan uang pecahan dua puluh lima rupiah ini, sampai nanti kita kaya raya, tandanya uang pecahan seratus ribu ini, bersama.” Alangkah indahnya filosofi itu. Semoga menjadi doa. Aku aminkan perkataannya. Lelakiku itu, sungguh mencintaiku. Ia menginginkan bahwa hubungan ini tidak hanya sekedar s
Aku ke rumah Pak lik karena ayahku tinggal di sana. Akan tetapi, di rumah itu tidak ada siapa pun. hingga kami memilih ke rumah Pakde yang tentu saja ada istrinya di rumah. Benar saja, aku disambut oleh wanita seumuran ibuku, akan tetapi wajahnya lebih terlihat bersih karena jarang terkena sinar matahari. “Kapan kalian sampai?” tanyanya.“Dari kemarin Bude, karena hujan maka saya tunda ke sini,” ucapku.“Kenapa tidak mampir ke sini dulu?” tany suara dari luar.Kami sepakat untuk menoleh bagai sebuah paduan, akan tetapi tanpa dipandu. Itu adalah suara ayahku. Tidak akan pernah lupa. Suara itu yang tidak pernah kurindukan walau ia adalah lelaki yang telah mengukir diriku di dalam rahim ibuku. Kami, hanya bertemu beberapa waktu saja meskipun lelaki itu disebut ayah.“Bukan begitu, Pak. Aku lupa gangnya. Jadi aku ke rumah Mas Fatih dulu,” ucapku.Ya Fatih adalah kakakku. Lelaki itu yang mencari bapak waktu kakakku yang bernama Ratih, akan menikah. Maka sejak itu, ibu mengetahui bahwa ia
Esok hari, tepatnya hari Jumat tanggal tujuh Agustus tahun 2009 ini, kami akan melangsungkan pernikahan ini. Semua kerabat sudah datang. Mereka berada di ruangan depan rumah ibuku. Sudah pukul enam pagi, penata rias sudah datang. Aku sudah mandi juga.Dengan baju kemben, penata rias mulai menta wajahku. Dengan sebuah doa, dimulailah wajahku dibersihkan. Semula, aku yakin akan kelancaran acara. Hingga pukul setengah sembilan, lelakiku itu tidak dapat dihubungi. Lelaki itu sungguh membuat jantungku berdebar begitu kencang. Aku sudah siap, dengan gaun putih yang dirias oleh sang penata rias.“Aduh, sebenarnya jadi nggak sih? Kenapa aku sangat takut?” gumamku.Hingga seseorang dari keluarganya datang terlebih dahulu dengan mini bus.“Akhirnya, kalian datang juga,” komentar salah satu keluarga.Aku juga lega, akan tetapi telingaku menangkap bahwa calon suamiku belum datang, malah pengiringnya terlebih dahulu yang datang. Dalam hati, kok bisa demikian? Aku hampir meledak karena marah.“Iya
“Mbak, saat aku bersama ayahmu, dia bilang pergi dari rumah setelah khitan. Kita bertemu di perantauan. Tahukah kamu, jika ibu tidak menikah dengan ayahmu, ibu tidak bisa pulang dari rumah pakdemu,” ucap ibu.Aku bingung sebenarnya dari keterangan ibu. Apa hubungannya pulang, dengan menikah? Baiklah, kita dengarkan kisah selengkapnya saja.“Jadi, dulu ibu dan ayahmu ketemu di Sumatera, di kampung trans. Ayahmu adalah pegawainya pakdemu. Kata Pakdemu, dia akan membiarkanku pulang dan bawa simbahmu, jika aku mau menikah,” ucapnya.Dia sudah bisa menghadapiku. Matanya sedikit sembab, bahkan hampir menjatuhkan buliran itu. aku memeluknya, hal yang paling jarang bahkan tidak pernah kulakukan. Tangisnya tumpah saat ini di pelukanku. Aku belum pernah melihat air mata wonder woman-ku ini, selama umurku. Ibuku, tidak pernah menangis. “Kalau tidak kuat, ceritanya bisa lain kali saja, Bu. Aku tidak buru-buru ingin mendengar,” ucapku.Demi Tuhan, aku melihat sisi rapuh dari wanita yang melahirka
Aku masih ingat saat usiaku tujuh belas tahun, tepatnya kelas dua dahulu disebut SMA. Saat SMA, aku tinggal di panti asuhan karena ibu tidak sanggup lagi membiayai sekolahku. Saat aku bilang akan sekolah, ibu menangis dan bilang dengan suara gemetar,“Mbak, ibu tidak lagi bisa membiayai sekolahmu. Saat SMP saja, kalau kamu tidak pintar dan mendapatkan beasiswa, tidak bisa lulus. Kamu masih ingat waktu kelas dua dan adikmu harus rawat jalan karena flek paru-paru, bahkan hampir saja keluar dari sekolah karena uang beasiswa digunakan untuk berobat. Sekarang SMA juga jauh di kota. Ibu hanya bisa merestuimu,” ucap ibuku.Maka berangkatlah aku di panti asuhan walau sebenarnya, bukan anak yatim atau piatu. Apalagi, anak yatim piatu. Akan tetapi, demi selembar ijazah, tidak malu diriku masuk ke dalam panti asuhan. Aku tidak tahu hukumnya, yang terpenting ingin sekolah saja.Maka dari itu, meskipun hari-hariku sulit, tetap kujalani. Tuhanku mengijabah, yang sebelumnya aku hanya bisa membaca Al
Aku hanya tersenyum saja menantikan penjelasan darinya. Lelakiku ini meraih tanganku. Tangannya yang penuh dengan lem itu menyentuh kulit tanganku sehingga menempel di telapak tanganku. Aku semakin tersipu.“Dengarlah, ini berarti. Sekarang kita tidak punya apa-apa, tandanya dengan uang pecahan dua puluh lima rupiah ini, sampai nanti kita kaya raya, tandanya uang pecahan seratus ribu ini, bersama.”Alangkah indahnya filosofi itu. Semoga menjadi doa. Aku aminkan perkataannya. Lelakiku itu, sungguh mencintaiku. Ia menginginkan bahwa hubungan ini tidak hanya sekedar sementara. Akan tetapi, ia menginginkan kita abadi, kemungkinan hanya maut yang akan memisahkan. Alangkah indahnya, hingga mataku sampai berkaca-kaca.“Alah, alah … sudah jangan terharu begitu. Masih ada aku. Gus. Jangan membuatku yang jomblo ini ngiri pada kalian,” ucap sahabatnya Mas Bagus. Aku semakin tersipu menarik tanganku yang dipegang oleh Mas Bagus. Setelah Mas Bagus mengatakan semuanya, aku pamit ke belakang untuk
Aku ke rumah Pak lik karena ayahku tinggal di sana. Akan tetapi, di rumah itu tidak ada siapa pun. hingga kami memilih ke rumah Pakde yang tentu saja ada istrinya di rumah. Benar saja, aku disambut oleh wanita seumuran ibuku, akan tetapi wajahnya lebih terlihat bersih karena jarang terkena sinar matahari. “Kapan kalian sampai?” tanyanya.“Dari kemarin Bude, karena hujan maka saya tunda ke sini,” ucapku.“Kenapa tidak mampir ke sini dulu?” tany suara dari luar.Kami sepakat untuk menoleh bagai sebuah paduan, akan tetapi tanpa dipandu. Itu adalah suara ayahku. Tidak akan pernah lupa. Suara itu yang tidak pernah kurindukan walau ia adalah lelaki yang telah mengukir diriku di dalam rahim ibuku. Kami, hanya bertemu beberapa waktu saja meskipun lelaki itu disebut ayah.“Bukan begitu, Pak. Aku lupa gangnya. Jadi aku ke rumah Mas Fatih dulu,” ucapku.Ya Fatih adalah kakakku. Lelaki itu yang mencari bapak waktu kakakku yang bernama Ratih, akan menikah. Maka sejak itu, ibu mengetahui bahwa ia
Aku tersenyum, suamiku memang nyentrik. Mas kawin, seharusnya akan dibawa bersama lamaran. Aku lupa, lamaran itu tidak pernah ada. Kita sudah membahas, bahwa tidak apa-apa aku tidak dilamar asalkan sah secara agama dan negara. Bagiku sudah cukup. Kali ini aku cukup terharu karena dia menyediakan mas kawin ini. “Terima kasih,” ucapku. “Kamu tahu, mengapa aku memilih mas kawin ini yang berbeda dari biasanya?” tanya dia. Aku hanya tersenyum saja menantikan penjelasan darinya. Lelakiku ini meraih tanganku. Tangannya yang penuh dengan lem itu menyentuh kulit tanganku sehingga menempel di telapak tanganku. Aku semakin tersipu. “Dengarlah, ini berarti. Sekarang kita tidak punya apa-apa, tandanya dengan uang pecahan dua puluh lima rupiah ini, sampai nanti kita kaya raya, tandanya uang pecahan seratus ribu ini, bersama.” Alangkah indahnya filosofi itu. Semoga menjadi doa. Aku aminkan perkataannya. Lelakiku itu, sungguh mencintaiku. Ia menginginkan bahwa hubungan ini tidak hanya sekedar s
“Mas!""Kenapa?" tanyanya kecewa."Aku … kalau sudah menikah, bukan hanya itu yang kamu punya. Tapi semuanya,” ucapku lirih.Bagas terlihat semakin kecewa. Mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa melakukannya. Aku terlalu takut. Sebenarnya, bukan karena takut dosa, akan tetapi takut sengsara. Berapa contoh yang memberikan dirinya, menyerahkan dirinya sebelum menikah, ditinggalkan oleh lelakinya dengan biadab. Aku tidak mau begitu.*****Aku lantas ke rumah Pak lik karena ayahku tinggal di sana. Akan tetapi, di rumah itu tidak ada siapa pun. hingga kami memilih ke rumah Pakde yang tentu saja ada istrinya di rumah. Benar saja, aku disambut oleh wanita seumuran ibuku, akan tetapi wajahnya lebih terlihat bersih karena jarang terkena sinar matahari. “Kapan kalian sampai?” tanyanya. “Dari kemarin Bude, karena hujan maka saya tunda ke sini,” ucapku. “Kenapa tidak mampir ke sini dulu?” tany suara dari luar. Kami sepakat untuk menoleh bagai sebuah paduan, akan tetapi tanpa dipandu. Itu adalah
Meskipun aku tidak membenci ayahku, akan tetapi sampai hari ini merasa sakit karena tahu bahwa aku sebenarnya bukan anak pertama. Ada dua kakak dari pernikahan terdahulu yang keberadaannya baru kami ketahui karena kakak tiriku yang pertama itu, perempuan dan akan menikah. Jadi keluarga pertama, mencari bapak. Aku memejamkan mata. Drama apa yang terjadi dalam hidup. Mengapa? Keluargaku penuh dengan misteri. Aku sangka, bahwa orang tuaku baik-baik saja. Akan tetapi, ternyata demikian. Sungguh, ini mirip dengan film. Aku tertawa menertawakan diriku sendiri. Ibuku? Dulu dibohongi bapak. Apakah ini sebuah karma? Kami disambut baik oleh kakak tiriku. Aku memang berhubungan baik dengan mereka. Selain itu, mereka juga ingin sebenarnya memberikan aku pekerjaan agar dapat hidup lebih layak. Sebagai gambaran, kakak tiriku yang laki-laki memang pekerja keras. Terutama dengan istrinya yang sangat getol dengan usaha. Ia pedagang ikan pindang yang sudah bisa disebut juragan karena memilih masak se
Ibu lantas mengangguk. Ia pun membuang ingus yang mungkin sudah penuh karena menangis. Aku tersenyum, mengantarkan wanita yang paling hebat itu ke belakang dan membawakan keranjang belanjaan yang berisi beberapa lauk dari pasar. Setelah mencuci ikan, memasaknya. Ibu sudah bersiap untuk istirahat sebentar sebelum nantinya akan aktivitas merawat sayuran lagi. Setelah itu, kami berbincang tentang pernikahan. Meskipun sederhana, kami tetap akan membuat pelaminan. “Bu, tidak usah menyewa pelaminan. Itu akan membutuhkan biaya banyak,” ucapku. Ibu menoleh, ketika aku mengatakan itu. Matanya berkaca-kaca. Sekilas, aku memandang mata wanita tua ini berkaca-kaca. Kutahu, pasti hatinya sakit. Aku masih muda, ini pertama kali untukku. Akan tetapi, pernikahan ini harus sederhana. Bukan mewah intinya. Aku hanya ingin menikah untuk memberi tahu orang-orang, bahwa aku bukan pembawa sial. Atau bahasa kasarnya tidak laku. “Tidak apa-apa. Sederhana saja. Kamu daftar dulu pernikahan kalian. Setela