Terima kasih mengikuti cerita ini dukung terus cerita ini dengan memberikan ulasan bintang lima dan GEMS sebanyak-banyaknya.
"Karin apa yang kau lakukan pada wanita itu!?"Karin terkejut karena teriakan Laila. Dia bergegas melihat apa yang terjadi."Ada apa sih berisik banget? Kau menganggu tidurku tau. Di luar hujan lebat kan bagus untuk tidur tapi kau ribut melulu."Karin mengomel, sedangkan Laila hanya menunjuk pada mertuanya yang kejang-kejang."A ...apa yang terjadi? Kenapa dia kejang-kejang begitu?"Karin terlihat bingung, dia hanya menatap mertuanya dan Laila bergantian."Aku tidak tau apa yang terjadi. Tadi aku bangun karena mendengar suara dari kamar ini, ternyata wanita itu sudah di lantai dan kejang-kejang. Cepat bantu aku membawanya ke rumah sakit, taksi online sudah menunggu di depan."Plak ....Karin memukul bahu Laila, mana mungkin wanita hamil bisa mengangkat beban berat itu."Minta bantuan supir taksi, bodoh. Mana mungkin kita bisa mengangkatnya."Laila berlari memanggil sopir itu. Untung dia mau di mintai bantuan, untuk mengangkat mertuanya."Kau tunggu mas Darma di rumah. Aku yang bawa ibu
Matanya melotot saat melihat seorang pria membekap mulutnya. Pria itu menghempaskan dirinya di tempat tidur dan berusaha membuka celana dalamnya.Dia tersentak, saat benda itu melesak masuk ke dalam tubuhnya. Laila belum tau siapa pria itu dan kenapa bisa masuk ke rumahnya, tapi dari caranya menghentakkan miliknya, dia tau kalau pria itu juga meminum teh di atas meja.Dengan pasrah dia menerima, perlakuan pria itu pada tubuhnya. Tamparan mulai dia terima, saat tubuh pria itu mulai bergerak liar menghujamkan senjatanya. Rasa sakit dan nikmat membuat Laila merintih, hingga pria itu jatuh terkulai dan pingsan.Laila berusaha menyingkirkan tubuh pria itu dari atas tubuhnya. Kemudian mencari ponsel Darma untuk menghubungi Diki. Dia terkejut saat mendengar nada panggil, dari tumpukan baju pria yang masih pingsan."Mas Diki?"Laila menutup mulutnya dengan tangan. Dia tak mengira kalau pria yang baru saja mengagahinya adalah Abang iparnya."Ini benar-benar luar biasa."Laila tersenyum karena d
"Datang juga kau, Binatang."Plak ....Darma terkejut saat mendapat tamparan dari Diki. Dia tak siap karena begitu membuka pintu langsung mendapatkan bogem mentah di wajahnya."Apaan sih Mas? Tentu saja aku baru datang. Apa kau tak tau kalau aku di tahan polisi?"Darma berkata dengan nada kesal. Bisa-bisanya Diki memukulnya di saat dia baru sampai untuk menjenguk ibunya."Aku tau kau di tahan polisi, apa kau tak berpikir sebelum berbuat bodoh? Sekarang jawab aku, untuk apa kau jual rumah ibu, terus uangnya mana?"Darma terdiam karena uang rumah sudah habis, untuk membayar pengacara palsu itu."Jangan bilang kau masih bermimpi untuk mendapat harta gono-gini dari Maya. Sadar diri Dar, mana ada harta bersama yang bisa di bagi. Sedangkan harta yang kau incar itu, warisan atau milik orangtua Maya."Darma terkejut saat mendengar ucapan Diki, namun dia masih berkeras kalau ada haknya di harta milik Maya."Susah kalau bicara dengan manusia berotak udang. Heran aku Dar, apa yang kau pelajari sa
Begitu sampai di mobil, Diki langsung melumat bibir Laila. Wanita itu dengan tanpa malu membalas lumayan bibir abang iparnya. Dia merintih saat tangan Diki mulai merayap di balik bajunya dan meremas benda kenyal di dadanya."Mas jangan disini, kita pulang sekarang."Dengan suara serak Laila mengajak Diki pulang. Pria itu segera melajukan mobilnya dia tak membuat Laila diam, tangannya membawa tangan wanita itu untuk membelai senjatanya yang sudah berdiri di tempatnya.Desahannya terus terdengar, sembari matanya menatap jalanan untuk menuju ke rumah Darma. Dengan gila dia menarik kepala Laila, agar bibirnya melakukan sesuatu pada senjatanya."Hisap sayang agar tetap tegak sampai rumah. Sebentar lagi kita sampai, aku sudah tak tahan lagi."Bujang lapuk itu benar-benar mengila, seiring hisapan dari mulut Laila. Tangan kirinya tak mau diam dia meremas dada adik iparnya dengan pelan."Kita sampai sayang, cepat turun rapikan dulu bajumu."Diki segera keluar, dia menutupi senjatanya dengan map
"Mas, tutup mulutnya. Malu di lihat tamu, pengantin masih sore sudah ngantuk."Fandy tersenyum melihat istrinya bersemu merah, karena beberapa orang tamu melihat ulahnya."Sepertinya pengantin pria sudah tidak sabar masuk kamar. Biasanya kuat begadang mengurus kerjaan, ini duduk di pelaminan bisa mengantuk."Maya semakin tersipu malu, mendengar ucapan teman-teman Fandy. Pria itu tersenyum seolah tak masalah meski mendengar sindiran itu."Fan, bawa istrimu masuk. Sudah mulai sepi biar Maya bisa istirahat, setelah seharian di pelaminan."Fandy segera mengajak Maya masuk ke kamar, setelah mamanya memberi perintah. Dia tak mau buang-buang waktu, sebelum wanita yang melahirkan dirinya berubah pikiran."Tunggu Fan."Fandy menarik napas lalu menarik tubuh istrinya. Sang mama tertawa melihat tingkahnya."Mas, apa-apaan sih? Malu di lihat orang."Fandy tak memperdulikan ucapan Maya. Dia segera membaringkan tubuhnya di tempat tidur yang sudah di hias sedemikian rupa."Sayang, kemarilah."Fandy m
"Hebat, masih belum kalah juga. Tunggu satu atau dua hari, kau pasti takluk padaku."Maya tertawa sembari mencium bibir suaminya. Dia bergegas ke kamar mandi, karena jam menunjukan waktu menjelang subuh."Stop, tunggu disini. Aku mandi duluan karena kita harus sholat subuh. Kalau kau ikut kita tak akan keluar dari kamar mandi tepat waktu."Maya menolak tubuh suaminya, ketika melihat pria itu bergerak mau ikut ke kamar mandi. Maya harus mandi junub sebelum sholat subuh."Mas, aku sudah selesai. Ayo bangun dan mandi."Maya membuka lemari untuk mengambil baju. Matanya melotot melihat isi lemari itu, Fandy heran melihat istrinya mematung. Dia mencoba membuka lemari, karena Maya menutupnya dengan cepat setelah melihat Fandy mendekat."Pergi mandi sekarang, aku tunggu untuk sholat subuh. Ingat ini pertama kalinya Mas Fandy menjadi imam."Fandy berbalik namun dengan cepat dia membuka lemari. Matanya melotot sama seperti Maya tadi."Siapa orang yang membeli baju kurang bahan sebanyak ini? Tak
Fandy meringis karena mamanya menarik kupingnya cukup keras. Wanita itu mengancam kalau dia berani membuat menantunya menangis."Kau hanya boleh membuatnya tertawa, mama tak mau melihatnya menangis apalagi karenamu."Fandy mengusap kupingnya, agar rasa sakit akibat jeweran mamanya hilang. Maya membantunya karena melihat kuping suaminya memerah."Mama terlalu sadis. Fandy kan hanya bercanda, jadi tak perlu juga menjewer kupingku seperti anak kecil. Soal Junior tak perlu mengurung kami, tunggu saja waktunya tiba dia pasti datang."Fandy tertawa membuat mama dan mertuanya senang. Mereka yakin akan segera mendengar kabar baik."Bahagiakan Maya, jangan menganggunya dengan tingkah konyol mu itu, Fan."Fandy segera menunjukkan dua jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk hirup V membuat mamanya menarik napas lega."Soal bulan madu, kalian bisa merancang mau kemana. Soal biaya kami yang tangung semuanya."Maya dan Fandy terlihat senang dan menyebutkan dua nama tujuan wisata yang berbeda."B
"Bu Mira ...bu Mira ...itu Mas Fandy tertangkap warga di rumah janda yang baru pindah."Deg ....Maya dan ibu mertuanya segera berlari keluar. Mereka terkejut melihat Fandy terlihat gugup di pegangan dua orang warga."Ma, tolong ini hanya salah paham."Fandy mencoba mendekati mama dan istrinya. Namun warga yang memegangnya tak membiarkan dia bergerak."Memangnya bagaimana kalian menangkap dia?"Maya terlihat tenang saat bertanya. Dia masih menatap datar ke arah suaminya."Dia tertangkap saat menaiki pagar rumah warga baru itu Mbak."Maya terlihat menarik napas mendengar jawaban itu. Kemudian dia mendekat dan meminta warga untuk melepaskan Fandy."Terus apa hak kalian menuduh suamiku berzinah. Kalian bahkan tak melihat dia bersama wanita itu kan?"Semua orang saling pandang ketika mendengar ucapan Maya. Mereka memang menangkap Fandy diatas pagar bukan di dalam kamar."Wanita itu yang bilang, kalau mas Fandy datang menemuinya."Maya menatap wanita yang berpakaian seksi di depannya. Baju