"Ini gak mungkin, pasti akal-akalan kalian kan. Jangan mentang-mentang ibu tinggal bersama kalian lalu kalian berusaha menguasai hartanya."Sari terlihat marah saat pengacara keluarga datang sesuai permintaan Sari. Malas ribut orangtua Fandy menuruti permintaannya."Awalnya aku tak mau melibatkan kalian. Sayangnya kau terlalu serakah Sari, apa boleh buat segera kosongkan rumah yang kalian tempati, karena itu termasuk harta ibu yang di gadaikan. Bahkan rumah ini sudah bukan milik ibu lagi, hutang dan kesombongan membuat semuanya hilang."Kali ini Maya dan Fandy tak berani bersuara. Mereka lebih memilih untuk mendengarkan para orangtua yang bicara, agar tak terjadi keributan yang lebih panjang."Bagaimana Har? Apa kau siap bicara pada wanita ini? Wanita yang tak sadar siapa dirinya. Hanya mantan tapi masih merasa berkuasa, aku rasa sudah waktunya kau buang dia, daripada menyusahkan mu terus-menerus."Maya dan Fandy terkejut begitu juga dengan Sari. Wanita itu tak menyangka akan mendapat
"Kalian penipu, untuk menguasai harta ibu kalian sengaja bilang bangkrut. Kalian ingin menguasai hak Aina putriku."Siti berteriak, membuat semua orang yang datang ke acara tujuh hari nenek Fandy terkejut. Mereka tak menyangka kalau wanita itu tidak memiliki sopan-santun. Membuat Hardi muak."Cukup! Hak apa yang kau maksudkan, Siti. Aina bahkan bukan darah dagingku, dia anak harammu dengan pria lain. Apa kau mau semua orang tau siapa ayah Aina? Sudah siap di hancurkan istri dan keluarga pria itu?"Siti terkejut dia tak menyangka Hardi akan semarah itu. Selama ini tak ada yang tau soal Aina selain Hardi dan orangtua Fandy, tapi sekarang Hardi siap membuka aibnya."Bagaimana?"Siti gemetar dia hanya bisa menatap Hardi tanpa berani untuk bicara. Dia tak siap berhadapan dengan keluarga kekasihnya, apalagi tanpa perlindungan Hardi."Sebaiknya kau pergi daripada hanya membuat omong kosong. Demi harta kau tak sadar sedang berada di mana, selama ini kau sudah enak hidup dari belaskasihan kami
"Apa mas? Tiga juta? Buat apa ibu uang sebanyak itu? Bukankah aku sudah memberinya 800 ribu sebulannya?"Aku melotot mendengar permintaan mas Darma. Bukan karena pelit, tapi ini di luar pengeluaran kami berdua."Eh, Maya! Jangan serakah kau jadi orang! Memangnya kenapa kalau ibu minta tiga juta? Uang itu hasil keringat Darma, anakku. Jadi, jangan coba kau menguasainya!"Aku terkejut mendengar ucapan ibu mas Darma. Dia seolah menuduh aku menguasai gaji anaknya."Kalau begitu, kenapa minta ijin padaku, Bu? Itu uang mas Darma. Jadi, minta saja padanya! Tak perlu bicara denganku."Aku segera berdiri meninggalkan ibu dan anaknya itu. Biar mereka saja yang bicara soal uang tiga juta itu."Jangan begini, May. Aku menganggapmu istri. Karena itu, kita perlu bicara."Aku kembali duduk lalu menatap mas Darma dan ibunya. Wanita itu tersenyum sinis, seolah aku istri yang tak berguna."Jadi bagaimana May? Kau setuju kan memberi ibu tiga juta?"Aku kembali menatap mas Darma dan ibunya. Memangnya sia
Tunggu dulu, tadi mas Darma bilang tabungan. Aku kok tak tau dia punya tabungan? Memangnya, uang dari mana yang dia tabung? Aku mencium aroma penipuan di sini.Sepertinya aku harus mengasah bakat detektif ku lagi. Mas Darma dan keluarganya, sudah berani menyimpan rahasia rupanya."Mas, kau sedang apa di ruang gelap begini?"Aku menghidupkan lampu. Membuat mas Darma terkejut, hingga tanpa sadar menjatuhkan ponsel miliknya. Pria itu terlihat pucat pasi, dia seperti melihat hantu."Hai mas, kau tak perlu takut begitu, ini aku."Aku hampir tertawa saat melihat mas Darma terduduk lemas. Rupanya dia benar-benar kaget, saat kepergok menghubungi ibunya."Kau bicara dengan siapa sih? Sampai segitu kagetnya saat aku datang."Aku meraih ponsel mas Darma, tapi pria itu keburu mengambil ponsel itu dari atas lantai. Dia seperti takut aku melihat siapa yang dia ajak bicara tadi."Itu bukan urusan mu, May. Kau tak perlu ikut campur, menolong suami yang kesusahan saja kau tau mau."Idih dia mencoba me
"Ini satu juta dulu, pergunakan dengan baik. Jangan boros-boros jadi istri."Aku tersenyum tipis, lalu segera mengambil uang satu juta itu. Mas Darma tersenyum sinis, namun senyum itu tak lama di wajahnya."Kau lihat ini mas, pas satu juta aku belikan token listrik. Semoga bisa bertahan sampai sebulan, jangan lupa bayar tagihan air."Aku kembali duduk setelah membeli token listrik, lalu menarik mas Darma untuk melihat, aku sudah menghabiskan uang pemberiannya dalam sekejap."Kau kan bisa beli lagi nanti, tak harus langsung sejuta kau belikan token listrik."Terdengar suara melengking mas Darma. Dia pikir bisa uang sejuta di suruh berhemat."Aku sudah melakukan sesuai permintaan mu, Mas. Untuk berhemat, dengan membeli token listrik. Jadi, bisa bertahan sebulan, kurang lebihnya begitulah."Aku menjawab dengan santai. Dia pikir aku masih bisa dia bohongi, dengan memberi satu juta disuruh berhemat pula. Belum lagi, nanti dia minta uang bensin, hemat dari mananya? Yang ada, aku yang tekor
"Maya Lestari?"Aku menyipitkan mata, saat melihat seorang pria datang menghampiri mejaku. Dia terlihat mengakrabkan diri, tapi aku masih belum ingat siapa dia."Kau pasti melupakan aku? Dasar tak beradab, dengan teman sendiri bisa lupa."Aku mengerutkan keningku, karena pria ini seperti mulai kurang ajar. Sepertinya dia mulai sadar, kalau aku merasa tak nyaman."Keterlaluan, bisa-bisanya kau lupa sungguhan."Kembali pria itu bicara dengan nada kesal. Tangannya mengambil kaca mata dan meletakkan di wajahnya."Ya Allah, kau si cupu? apa kabar? Lama tak ketemu. Dengar-dengar kau ke Singapura karena patah hati."Begitu ingat namanya, aku jadi bicara panjang, tanpa memperdulikan raut wajahnya yang terlihat merah."Maaf aku kelepasan ngomong."Aku segera menutup mulut, karena sadar kalau ucapanku sudah keterlaluan. Dia tak bersuara hanya kembali menyimpan kacamatanya."Tentu saja aku pergi karena wanita itu benar-benar tak bertanggungjawab. Sudah membuatku jatuh cinta, tapi nikah dengan pr
"Darimana kau, jam segini baru pulang?"Aku terkejut karena tak mengira mas Darma masih di rumah. Bukannya tadi dia bilang mau ke rumah ibu, kok gak jadi, dari baju santai yang dia pakai aku bisa menebak kalau dia tak akan kemana-mana."Masih di sini mas, katanya mau menginap di rumah ibu?"Aku melangkah menuju ke dapur, untuk mengambil air minum. Berjalan dari jalan depan membuatku haus."Tidak usah mengalihkan pembicaraan, Maya. Aku tanya kau dari mana?"Aku meletakkan gelas bekas minumku, lalu menatap mas Darma. Sepertinya dia mau melampiaskan emosinya, kita lihat saja siapa yang menang?Aku tak mengalihkan pembicaraan mas. Kan kau sendiri yang bilang, kalau mau ke rumah ibu. Aku keluar ya cari makan lah, kan di rumah tak ada makanan yang tersisa."Aku menjawab dengan santai, membuat mas Darma menatap tajam. Sepertinya dia mulai kesal karena aku tak membawakan dia makanan."Aku tak tau kalau kau di rumah. Jadi tak ku belikan makanan, salah sendiri tadi bilang mau ke rumah ibu."Kem
Mendengar ucapan ibu mertua berarti benar mas Darma tidak bisa menuruti permintaan ibu, aku heran, kenapa suamiku tak mengeluarkan saja, uang yang katanya dia tabung."Ada apa lagi Bu? Bukankah sudah aku bilang? Urusan uang sudah aku serahkan pada mas Darma. Bukankah itu yang ibu inginkan, jadi jangan bilang aku menguasai uangnya lagi, sampai sekarang dia tak memberiku uang sama seperti ibu."Aku menatap ibu mas Darma. Baru saja bernapas lega dia datang lagi, aku tak mau malu, ketika tetangga mendengar suaranya, kalau hanya bicara tak masalah, tapi teriakan dan hinaannya begitu menyakitkan."Jangan banyak omong kau, May. Ibu tidak percaya kalau Darma tak memiliki uang lagi, sedangkan dia baru tadi siang gajian."Mendengar suara ibu mas Darma, benar-benar membuatku marah. Dia masih berkeras kalau gaji anaknya itu banyak."Cukup, mas katakan pada ibu berapa gajimu. Tunjukan buktinya, tunjukkan juga semua cicilan hutangmu, aku sudah muak di curigai terus."Aku sudah tak sabar lagi. Tapi