Fandy dan Maya duduk menghadap gundukan tanah merah yang masih basah. Di sana terbaring seorang wanita yang pernah merusak pernikahan mereka, wanita yang hingga akhir hayatnya tak sempat meminta maaf pada Fandy Maya."Sudah siang, kita pulang sekarang. Papa dan mama ingin bicara dengan kita."Fandy menautkan jari tangan pada tangan sang istri. Dia tau Maya masih belum bisa percaya pada kedua orangtuanya, setelah mereka sempat melakukan kesalahan pada wanita itu."Berapa lama kita di sini, Mas? Apa bisa aku pulang duluan? Rasanya tak nyaman berada di sini apalagi ada Hera."Maya terlihat tak nyaman tapi Fandy juga tak mungkin membawa istrinya pulang sekarang. Apa kata orang kalau mereka pulang, mereka saja datang setelah tiga hari kematian sang nenek. Jadi gak pantas kalau langsung pergi."Tenang ada aku bersamamu. Lagipula mama dan papa kan sudah meminta maaf, apa salahnya kita beri mereka kesempàtan, jangan sampai kejadian yang di alami nenek terjadi pada orangtua ku juga.""Apa kau
"Setelah ibu meninggal akhirnya kalian datang juga. Begitu inginnya kalian mendapat warisan ibu."Baru saja masuk ke rumah, belum juga mendudukan bokong ke kursi. Susah terdengar ucapan pedas seorang wanita."Maksud Tante Sari apa ya? Kenapa bicara soal warisan? Saat nenek belum genap tiga hari meninggal."Fandy yang terkejut langsung menatap istri adik papanya. Mereka memang tak dekat, bahkan saat dia dan Maya menikah tak ada keluarga papanya yang datang. Sepertinya dia tau sebabnya."Heran saja, sejak ibu sakit tak ada kalian datang menjenguk tapi begitu dia meninggal cepat sekali datang pasti menginginkan harta warisan kan? Sudahlah aku bisa menebaknya dengan mudah."Fandy terlihat mengepalkan tangan, tentu dia emosi mendengar tuduhan Tantenya. Namun tidak dengan Maya, wanita itu terlihat santai sekali membuat Fandy heran dan juga bingung."Sayangnya Tante salah besar. Kami berdua tak membutuhkan warisan dari siapapun, asal tau aja kami berdua sudah memiliki dua perusahaan besar un
"Ini gak mungkin, pasti akal-akalan kalian kan. Jangan mentang-mentang ibu tinggal bersama kalian lalu kalian berusaha menguasai hartanya."Sari terlihat marah saat pengacara keluarga datang sesuai permintaan Sari. Malas ribut orangtua Fandy menuruti permintaannya."Awalnya aku tak mau melibatkan kalian. Sayangnya kau terlalu serakah Sari, apa boleh buat segera kosongkan rumah yang kalian tempati, karena itu termasuk harta ibu yang di gadaikan. Bahkan rumah ini sudah bukan milik ibu lagi, hutang dan kesombongan membuat semuanya hilang."Kali ini Maya dan Fandy tak berani bersuara. Mereka lebih memilih untuk mendengarkan para orangtua yang bicara, agar tak terjadi keributan yang lebih panjang."Bagaimana Har? Apa kau siap bicara pada wanita ini? Wanita yang tak sadar siapa dirinya. Hanya mantan tapi masih merasa berkuasa, aku rasa sudah waktunya kau buang dia, daripada menyusahkan mu terus-menerus."Maya dan Fandy terkejut begitu juga dengan Sari. Wanita itu tak menyangka akan mendapat
"Kalian penipu, untuk menguasai harta ibu kalian sengaja bilang bangkrut. Kalian ingin menguasai hak Aina putriku."Siti berteriak, membuat semua orang yang datang ke acara tujuh hari nenek Fandy terkejut. Mereka tak menyangka kalau wanita itu tidak memiliki sopan-santun. Membuat Hardi muak."Cukup! Hak apa yang kau maksudkan, Siti. Aina bahkan bukan darah dagingku, dia anak harammu dengan pria lain. Apa kau mau semua orang tau siapa ayah Aina? Sudah siap di hancurkan istri dan keluarga pria itu?"Siti terkejut dia tak menyangka Hardi akan semarah itu. Selama ini tak ada yang tau soal Aina selain Hardi dan orangtua Fandy, tapi sekarang Hardi siap membuka aibnya."Bagaimana?"Siti gemetar dia hanya bisa menatap Hardi tanpa berani untuk bicara. Dia tak siap berhadapan dengan keluarga kekasihnya, apalagi tanpa perlindungan Hardi."Sebaiknya kau pergi daripada hanya membuat omong kosong. Demi harta kau tak sadar sedang berada di mana, selama ini kau sudah enak hidup dari belaskasihan kami
"Apa mas? Tiga juta? Buat apa ibu uang sebanyak itu? Bukankah aku sudah memberinya 800 ribu sebulannya?"Aku melotot mendengar permintaan mas Darma. Bukan karena pelit, tapi ini di luar pengeluaran kami berdua."Eh, Maya! Jangan serakah kau jadi orang! Memangnya kenapa kalau ibu minta tiga juta? Uang itu hasil keringat Darma, anakku. Jadi, jangan coba kau menguasainya!"Aku terkejut mendengar ucapan ibu mas Darma. Dia seolah menuduh aku menguasai gaji anaknya."Kalau begitu, kenapa minta ijin padaku, Bu? Itu uang mas Darma. Jadi, minta saja padanya! Tak perlu bicara denganku."Aku segera berdiri meninggalkan ibu dan anaknya itu. Biar mereka saja yang bicara soal uang tiga juta itu."Jangan begini, May. Aku menganggapmu istri. Karena itu, kita perlu bicara."Aku kembali duduk lalu menatap mas Darma dan ibunya. Wanita itu tersenyum sinis, seolah aku istri yang tak berguna."Jadi bagaimana May? Kau setuju kan memberi ibu tiga juta?"Aku kembali menatap mas Darma dan ibunya. Memangnya sia
Tunggu dulu, tadi mas Darma bilang tabungan. Aku kok tak tau dia punya tabungan? Memangnya, uang dari mana yang dia tabung? Aku mencium aroma penipuan di sini.Sepertinya aku harus mengasah bakat detektif ku lagi. Mas Darma dan keluarganya, sudah berani menyimpan rahasia rupanya."Mas, kau sedang apa di ruang gelap begini?"Aku menghidupkan lampu. Membuat mas Darma terkejut, hingga tanpa sadar menjatuhkan ponsel miliknya. Pria itu terlihat pucat pasi, dia seperti melihat hantu."Hai mas, kau tak perlu takut begitu, ini aku."Aku hampir tertawa saat melihat mas Darma terduduk lemas. Rupanya dia benar-benar kaget, saat kepergok menghubungi ibunya."Kau bicara dengan siapa sih? Sampai segitu kagetnya saat aku datang."Aku meraih ponsel mas Darma, tapi pria itu keburu mengambil ponsel itu dari atas lantai. Dia seperti takut aku melihat siapa yang dia ajak bicara tadi."Itu bukan urusan mu, May. Kau tak perlu ikut campur, menolong suami yang kesusahan saja kau tau mau."Idih dia mencoba me
"Ini satu juta dulu, pergunakan dengan baik. Jangan boros-boros jadi istri."Aku tersenyum tipis, lalu segera mengambil uang satu juta itu. Mas Darma tersenyum sinis, namun senyum itu tak lama di wajahnya."Kau lihat ini mas, pas satu juta aku belikan token listrik. Semoga bisa bertahan sampai sebulan, jangan lupa bayar tagihan air."Aku kembali duduk setelah membeli token listrik, lalu menarik mas Darma untuk melihat, aku sudah menghabiskan uang pemberiannya dalam sekejap."Kau kan bisa beli lagi nanti, tak harus langsung sejuta kau belikan token listrik."Terdengar suara melengking mas Darma. Dia pikir bisa uang sejuta di suruh berhemat."Aku sudah melakukan sesuai permintaan mu, Mas. Untuk berhemat, dengan membeli token listrik. Jadi, bisa bertahan sebulan, kurang lebihnya begitulah."Aku menjawab dengan santai. Dia pikir aku masih bisa dia bohongi, dengan memberi satu juta disuruh berhemat pula. Belum lagi, nanti dia minta uang bensin, hemat dari mananya? Yang ada, aku yang tekor
"Maya Lestari?"Aku menyipitkan mata, saat melihat seorang pria datang menghampiri mejaku. Dia terlihat mengakrabkan diri, tapi aku masih belum ingat siapa dia."Kau pasti melupakan aku? Dasar tak beradab, dengan teman sendiri bisa lupa."Aku mengerutkan keningku, karena pria ini seperti mulai kurang ajar. Sepertinya dia mulai sadar, kalau aku merasa tak nyaman."Keterlaluan, bisa-bisanya kau lupa sungguhan."Kembali pria itu bicara dengan nada kesal. Tangannya mengambil kaca mata dan meletakkan di wajahnya."Ya Allah, kau si cupu? apa kabar? Lama tak ketemu. Dengar-dengar kau ke Singapura karena patah hati."Begitu ingat namanya, aku jadi bicara panjang, tanpa memperdulikan raut wajahnya yang terlihat merah."Maaf aku kelepasan ngomong."Aku segera menutup mulut, karena sadar kalau ucapanku sudah keterlaluan. Dia tak bersuara hanya kembali menyimpan kacamatanya."Tentu saja aku pergi karena wanita itu benar-benar tak bertanggungjawab. Sudah membuatku jatuh cinta, tapi nikah dengan pr