***
"Tok ...tok ...tok ...."
"Pucuk di cinta ulam pun tiba". Aku segera membuka pintu, untuk tamu yang sudah tak sabar mengambil uang yang dijanjikan mas Darma."Mas, ibu datang dia menunggu di depan!"Aku sengaja berteriak di depan pintu kamar. Mas Darma pasti sedang pusing, memikirkan alasan untuk menolak memberi ibunya uang."Kenapa tak kau bilang saja, kalau aku belum pulang?"Aku menatap mas Darma dengan heran. Dia selalu merasa dirinya pintar, tapi untuk masalah begini saja dia lupa?"Mobilmu di luar mas, ibu punya mata mana mungkin aku bilang kau belum pulang, kalau mobil kebanggaanmu itu sudah terparkir di depan rumah."Aku berkata dengan kesal. Dia yang susah kenapa aku yang diajak?"Sudah, temui ibumu sebelum dia membuat kita semua malu."Aku meninggalkan mas Darma. Dia segera berjalan ke depan menemui ibunya, aku hanya menunggu untuk tontonan gratis."Silakan diminum Bu, maaf hanya air putih yang ada."Aku sengaja memberinya air putih. Agar dia segera tahu apa yang terjadi pada anak kesayangannya."Tak ada warnanya, May. Luar biasa sekali hidupmu, ibarat parasit yang menyusahkan, apa tak bisa kau berhemat sedikit untuk membeli gula dan teh?"Mendengar hinaan ibu mertua, aku hanya tersenyum tipis. Tunggu saja, sebentar lagi kau yang akan tau siapa parasit sebenarnya."Mana uang tiga juta itu, Dar? Kau sudah gajian, kan? Cepat ibu buru-buru mau pergi."Aku yang duduk di depan televisi masih diam. Kupingku saja yang mencoba mendengarkan, pembicaraan ibu dan anak itu."Maaf Bu, aku tak bisa memberi ibu uang. Karena gajiku hanya cukup untuk membayar cicilan rumah dan mobil."Aku tersenyum sinis mendengar ucapan mas Darma. Sekarang biar dia tau, siapa dirinya tanpa aku."Sudahlah jangan berbohong lagi. Kau pasti takut pada Maya, kan? Dia pasti mengancammu?"Aku melirik ibu karena dia menyebut namaku. Perlahan, aku berdiri dan menghampirinya."Maaf Bu, kalau bicara mohon dijaga. Asal tau saja, mas Darma baru memberi satu juta. Itu untuk membeli token listrik. Air dan makan belum dia pikirkan, jatah ibu minta saja padanya karena aku tak Lagi memegang uang darinya. Mulai sekarang, soal uang langsung minta mas Darma. Seperti kata ibu, aku tak akan lagi mengurus keuangannya lagi."Aku melempar pandangan pada mas Darma. Pria itu terlihat mulai gugup, aku tau dia pasti mulai bingung memikirkan uang untuk semua orang."Tolong May, jangan bicara begitu. Aku sedang kesulitan jangan kau tambah lagi."Aku tertawa mendengar ucapan mas Darma. Dia pikir aku main-main? Sudah cukup menjadi bodoh, sudah saatnya berubah."Kau salah Mas, aku justru membantu mengurangi beban hidup yang kau tanggung. Bukankah kau dan ibu keberatan aku menguasai uangmu? Jadi, aku kembalikan saja semuanya agar kau atur sendiri."Aku kembali berjalan menuju ke depan televisi, tapi aku berbalik karena belum menyebutkan satu lagi beban yang dilimpahkan padaku."Satu lagi! Uang kuliah adikmu, jangan lupa! Besok atau lusa, dia pasti memintanya."Aku kembali tersenyum lalu mematikan televisi. Setelah itu, aku memilih untuk keluar cari makan."Maya tunggu dulu, kau mau ke mana? Kita sedang bicara dengan ibu."Mas Darma berlari mengejarku, tapi ibu terlihat menangkap tangannya. Mereka pasti akan ribut besar, karena ini soal uang.YUK TERUS BACA DAN BERI ULASAN 🌟 5 NYA BIAR MAKIN SEMANGAT. JANGAN LUPA VOTED JUGA SEBAGAI DUKUNGAN UNTUK CERITA INI."Maya Lestari?"Aku menyipitkan mata, saat melihat seorang pria datang menghampiri mejaku. Dia terlihat mengakrabkan diri, tapi aku masih belum ingat siapa dia."Kau pasti melupakan aku? Dasar tak beradab, dengan teman sendiri bisa lupa."Aku mengerutkan keningku, karena pria ini seperti mulai kurang ajar. Sepertinya dia mulai sadar, kalau aku merasa tak nyaman."Keterlaluan, bisa-bisanya kau lupa sungguhan."Kembali pria itu bicara dengan nada kesal. Tangannya mengambil kaca mata dan meletakkan di wajahnya."Ya Allah, kau si cupu? apa kabar? Lama tak ketemu. Dengar-dengar kau ke Singapura karena patah hati."Begitu ingat namanya, aku jadi bicara panjang, tanpa memperdulikan raut wajahnya yang terlihat merah."Maaf aku kelepasan ngomong."Aku segera menutup mulut, karena sadar kalau ucapanku sudah keterlaluan. Dia tak bersuara hanya kembali menyimpan kacamatanya."Tentu saja aku pergi karena wanita itu benar-benar tak bertanggungjawab. Sudah membuatku jatuh cinta, tapi nikah dengan pr
"Darimana kau, jam segini baru pulang?"Aku terkejut karena tak mengira mas Darma masih di rumah. Bukannya tadi dia bilang mau ke rumah ibu, kok gak jadi, dari baju santai yang dia pakai aku bisa menebak kalau dia tak akan kemana-mana."Masih di sini mas, katanya mau menginap di rumah ibu?"Aku melangkah menuju ke dapur, untuk mengambil air minum. Berjalan dari jalan depan membuatku haus."Tidak usah mengalihkan pembicaraan, Maya. Aku tanya kau dari mana?"Aku meletakkan gelas bekas minumku, lalu menatap mas Darma. Sepertinya dia mau melampiaskan emosinya, kita lihat saja siapa yang menang?Aku tak mengalihkan pembicaraan mas. Kan kau sendiri yang bilang, kalau mau ke rumah ibu. Aku keluar ya cari makan lah, kan di rumah tak ada makanan yang tersisa."Aku menjawab dengan santai, membuat mas Darma menatap tajam. Sepertinya dia mulai kesal karena aku tak membawakan dia makanan."Aku tak tau kalau kau di rumah. Jadi tak ku belikan makanan, salah sendiri tadi bilang mau ke rumah ibu."Kem
Mendengar ucapan ibu mertua berarti benar mas Darma tidak bisa menuruti permintaan ibu, aku heran, kenapa suamiku tak mengeluarkan saja, uang yang katanya dia tabung."Ada apa lagi Bu? Bukankah sudah aku bilang? Urusan uang sudah aku serahkan pada mas Darma. Bukankah itu yang ibu inginkan, jadi jangan bilang aku menguasai uangnya lagi, sampai sekarang dia tak memberiku uang sama seperti ibu."Aku menatap ibu mas Darma. Baru saja bernapas lega dia datang lagi, aku tak mau malu, ketika tetangga mendengar suaranya, kalau hanya bicara tak masalah, tapi teriakan dan hinaannya begitu menyakitkan."Jangan banyak omong kau, May. Ibu tidak percaya kalau Darma tak memiliki uang lagi, sedangkan dia baru tadi siang gajian."Mendengar suara ibu mas Darma, benar-benar membuatku marah. Dia masih berkeras kalau gaji anaknya itu banyak."Cukup, mas katakan pada ibu berapa gajimu. Tunjukan buktinya, tunjukkan juga semua cicilan hutangmu, aku sudah muak di curigai terus."Aku sudah tak sabar lagi. Tapi
Setelah beberapa kali mendengar mas Darma punya tabungan, kenapa aku jadi curiga dan penasaran? Sepertinya, aku harus segera mencari tahu. Selagi mas Darma kerja, ini adalah waktu yang tepat, untuk mencari bukti kalau dia memang punya tabungan rahasia...Aku mulai mencari di setiap ruangan, siapa tau ada tempat yang tak aku ketahui. Atau, sesuatu yang bisa menunjukan tempat tersembunyi itu.Namun, setiap ruangan sudah aku telusuri, tak ada sesuatu yang mencurigakan. Sekarang aku berada di tumpukan sepatu lama mas Darma. Perasaan sepatu lama ini sudah aku buang, kenapa masih di simpan lagi?"Cih, barang busuk begini masih di simpan juga. Berapa kali aku buang di ambil lagi, seperti barang berharga saja tak boleh dibuang." Aku berucap pelan, tapi kemudian aku terdiam, sembari menatap sepasang sepatu butut milik mas Darma."Mari kita lihat, apa yang membuat sepatu butut ini begitu berharga?"Aku membuka kotak dan melihat dengan teliti sepatu butut itu. Tak ada yang aneh bahkan baunya san
Dengan segera, aku mentransfer tabungan Mas Darma ke rekening usahaku. Untuk berjaga-jaga, jika nanti mas Darma menuntut. Untunglah semua pengeluaran yang diminta keluarganya selama ini, telah aku simpan buktinya sebagai hutang, seperti permintaan mereka. Awalnya, tak berniat menagih, tapi ini sudah keterlaluan.Lumayan untuk hari pertama, besok aku akan mengambil lagi. Semua harus menjadi milikku sebagai pembayaran hutang. Setelah selesai, aku segera menghapus transaksi, kemudian menyimpan semuanya seperti semula."Tring ...tring ...."Terdengar suara dari ponselku. Ternyata, dari bapak. Dia menanyakan uang yang baru masuk ke rekening atas namanya."Iya pak itu pembayaran hutang keluarga mas Darma. Aku baru transfer dari tabungan yang dia sembunyikan dariku. Untuk jelasnya nanti aku ceritakan di toko."Aku segera bersiap untuk bertemu bapak dan ibu, juga harus memeriksa toko seperti permintaan bapak dan ibu, walau dua atau tiga bulan sekali aku baru bisa memeriksa, tapi bapak dan ibu
Setelah dari toko, aku segera mencari rumah makan. Lebih baik mencari makanan untuk nanti di rumah, tak banyak hanya untuk perut sendiri."Kalau wanita tak bisa lagi di atur, kau bisa cari cadangan Dar. Kau tampan, mapan, sudah punya mobil dan rumah. Wanita seperti apa saja pasti mau, walau jadi yang kedua."Tak sengaja aku mendengar ucapan seorang pria. Sepertinya dia sedang memberi nasehat pada sahabatnya, rasanya aneh saja di dengar, pria macam apa yang curhat soal istrinya pada pria lain."Aku tak bisa berbuat seperti itu juga Tom. Kau harus tau Maya itu terlalu sempurna sebagai istri, walau akhir-akhir ini agak menjengkelkan."Deg ...Suara itu kenapa seperti mas Darma. Aku memang duduk di sudut, karena rumah makan ini sedang ramai, lagian terhalang tembok tapi suara itu memang suara mas Darma. Ngapain dia di sini, sedangkan kantornya lumayan jauh dari daerah ini."Kalau dia begitu sempurna, kenapa kau terlihat tak bahagia hidup bersamanya, Darma?"Fik ...dia memang mas Darma. Ja
"Apa yang kau lakukan pada ibu May? Kenapa kau buat dia menangis? Kalau marah padaku, jangan lampiaskan pada ibu, dia tak tau apa-apa."Baru pulang kerumah langsung marah. Apa memang begini sifat laki-laki, maunya menang sendiri."Seharusnya kau tanya pada ibumu, Mas. Kenapa dia menangis? Jadi kau tak perlu marah-marah lalu bertanya. Perasaan aku tak melakukan apapun, tapi pandai sekali ibu membuatmu percaya."Aku memilih kembali fokus pada ponselku. Daripada melawan mas Darma, yang semakin tak terkendali."Lagian, buat apa ibu datang kalau kau tak di rumah? Kau harus tau, aku tak akan pergi. Sebelum semua uang ku kembali."Aku menatap tajam mas Darma, dia terlihat salah tingkah. Dia pikir aku akan lupa berapa hutang keluarganya, kalau uangnya tak masalah tapi itu uangku."Sial, kenapa aku sebodoh itu?"Aku memukuli kepala, membuat mas Darma langsung memegang tanganku. Dia pikir aku benar-benar pusing memikirkan hutang keluarganya."Tak perlu pegang-pegang. Pergi sana lebih baik mandi
Aku mengacak rambut ku hingga ikatannya terlepas. Mas Darma masih meminta bantuan, meski aku bilang tak ada uang. Memang keterlaluan sekali dia."Kau sebenarnya mengerti atau tidak sih mas? Bagaimana aku membantu, jika uang saja tak punya."Aku sampai menangis, karena menjelaskan itu-itu saja secara berulang. Sedangkan mas Darma seperti tak perduli."Terserah kau saja mas, sebelum aku gila, sebaiknya aku pulang dulu ke rumah bapak."Aku mengancamnya, karena mengira dia akan mencegah dan berusaha berubah, demi rumah tangga kami. Ternyata aku salah karena dia terlihat santai."Bagus kalau begitu, aku rasa itu ide cemerlang May. Kau minta makan bapak sedang aku minta makan ke ibu. Kalau sudah stabil kau bisa kembali nanti aku jemput."Astaghfirullah. Aku beristifar tak menyangka, ada pemikiran seperti itu keluar dari kepala mas Darma. Aku menatap tak percaya, ada pemikiran seperti itu keluar dari kepalanya."Baiklah kalau itu yang kau mau. Mulailah minta makan pada ibu, besok aku pulang