Mendengar ucapan ibu mertua berarti benar mas Darma tidak bisa menuruti permintaan ibu, aku heran, kenapa suamiku tak mengeluarkan saja, uang yang katanya dia tabung."Ada apa lagi Bu? Bukankah sudah aku bilang? Urusan uang sudah aku serahkan pada mas Darma. Bukankah itu yang ibu inginkan, jadi jangan bilang aku menguasai uangnya lagi, sampai sekarang dia tak memberiku uang sama seperti ibu."Aku menatap ibu mas Darma. Baru saja bernapas lega dia datang lagi, aku tak mau malu, ketika tetangga mendengar suaranya, kalau hanya bicara tak masalah, tapi teriakan dan hinaannya begitu menyakitkan."Jangan banyak omong kau, May. Ibu tidak percaya kalau Darma tak memiliki uang lagi, sedangkan dia baru tadi siang gajian."Mendengar suara ibu mas Darma, benar-benar membuatku marah. Dia masih berkeras kalau gaji anaknya itu banyak."Cukup, mas katakan pada ibu berapa gajimu. Tunjukan buktinya, tunjukkan juga semua cicilan hutangmu, aku sudah muak di curigai terus."Aku sudah tak sabar lagi. Tapi
Setelah beberapa kali mendengar mas Darma punya tabungan, kenapa aku jadi curiga dan penasaran? Sepertinya, aku harus segera mencari tahu. Selagi mas Darma kerja, ini adalah waktu yang tepat, untuk mencari bukti kalau dia memang punya tabungan rahasia...Aku mulai mencari di setiap ruangan, siapa tau ada tempat yang tak aku ketahui. Atau, sesuatu yang bisa menunjukan tempat tersembunyi itu.Namun, setiap ruangan sudah aku telusuri, tak ada sesuatu yang mencurigakan. Sekarang aku berada di tumpukan sepatu lama mas Darma. Perasaan sepatu lama ini sudah aku buang, kenapa masih di simpan lagi?"Cih, barang busuk begini masih di simpan juga. Berapa kali aku buang di ambil lagi, seperti barang berharga saja tak boleh dibuang." Aku berucap pelan, tapi kemudian aku terdiam, sembari menatap sepasang sepatu butut milik mas Darma."Mari kita lihat, apa yang membuat sepatu butut ini begitu berharga?"Aku membuka kotak dan melihat dengan teliti sepatu butut itu. Tak ada yang aneh bahkan baunya san
Dengan segera, aku mentransfer tabungan Mas Darma ke rekening usahaku. Untuk berjaga-jaga, jika nanti mas Darma menuntut. Untunglah semua pengeluaran yang diminta keluarganya selama ini, telah aku simpan buktinya sebagai hutang, seperti permintaan mereka. Awalnya, tak berniat menagih, tapi ini sudah keterlaluan.Lumayan untuk hari pertama, besok aku akan mengambil lagi. Semua harus menjadi milikku sebagai pembayaran hutang. Setelah selesai, aku segera menghapus transaksi, kemudian menyimpan semuanya seperti semula."Tring ...tring ...."Terdengar suara dari ponselku. Ternyata, dari bapak. Dia menanyakan uang yang baru masuk ke rekening atas namanya."Iya pak itu pembayaran hutang keluarga mas Darma. Aku baru transfer dari tabungan yang dia sembunyikan dariku. Untuk jelasnya nanti aku ceritakan di toko."Aku segera bersiap untuk bertemu bapak dan ibu, juga harus memeriksa toko seperti permintaan bapak dan ibu, walau dua atau tiga bulan sekali aku baru bisa memeriksa, tapi bapak dan ibu
Setelah dari toko, aku segera mencari rumah makan. Lebih baik mencari makanan untuk nanti di rumah, tak banyak hanya untuk perut sendiri."Kalau wanita tak bisa lagi di atur, kau bisa cari cadangan Dar. Kau tampan, mapan, sudah punya mobil dan rumah. Wanita seperti apa saja pasti mau, walau jadi yang kedua."Tak sengaja aku mendengar ucapan seorang pria. Sepertinya dia sedang memberi nasehat pada sahabatnya, rasanya aneh saja di dengar, pria macam apa yang curhat soal istrinya pada pria lain."Aku tak bisa berbuat seperti itu juga Tom. Kau harus tau Maya itu terlalu sempurna sebagai istri, walau akhir-akhir ini agak menjengkelkan."Deg ...Suara itu kenapa seperti mas Darma. Aku memang duduk di sudut, karena rumah makan ini sedang ramai, lagian terhalang tembok tapi suara itu memang suara mas Darma. Ngapain dia di sini, sedangkan kantornya lumayan jauh dari daerah ini."Kalau dia begitu sempurna, kenapa kau terlihat tak bahagia hidup bersamanya, Darma?"Fik ...dia memang mas Darma. Ja
"Apa yang kau lakukan pada ibu May? Kenapa kau buat dia menangis? Kalau marah padaku, jangan lampiaskan pada ibu, dia tak tau apa-apa."Baru pulang kerumah langsung marah. Apa memang begini sifat laki-laki, maunya menang sendiri."Seharusnya kau tanya pada ibumu, Mas. Kenapa dia menangis? Jadi kau tak perlu marah-marah lalu bertanya. Perasaan aku tak melakukan apapun, tapi pandai sekali ibu membuatmu percaya."Aku memilih kembali fokus pada ponselku. Daripada melawan mas Darma, yang semakin tak terkendali."Lagian, buat apa ibu datang kalau kau tak di rumah? Kau harus tau, aku tak akan pergi. Sebelum semua uang ku kembali."Aku menatap tajam mas Darma, dia terlihat salah tingkah. Dia pikir aku akan lupa berapa hutang keluarganya, kalau uangnya tak masalah tapi itu uangku."Sial, kenapa aku sebodoh itu?"Aku memukuli kepala, membuat mas Darma langsung memegang tanganku. Dia pikir aku benar-benar pusing memikirkan hutang keluarganya."Tak perlu pegang-pegang. Pergi sana lebih baik mandi
Aku mengacak rambut ku hingga ikatannya terlepas. Mas Darma masih meminta bantuan, meski aku bilang tak ada uang. Memang keterlaluan sekali dia."Kau sebenarnya mengerti atau tidak sih mas? Bagaimana aku membantu, jika uang saja tak punya."Aku sampai menangis, karena menjelaskan itu-itu saja secara berulang. Sedangkan mas Darma seperti tak perduli."Terserah kau saja mas, sebelum aku gila, sebaiknya aku pulang dulu ke rumah bapak."Aku mengancamnya, karena mengira dia akan mencegah dan berusaha berubah, demi rumah tangga kami. Ternyata aku salah karena dia terlihat santai."Bagus kalau begitu, aku rasa itu ide cemerlang May. Kau minta makan bapak sedang aku minta makan ke ibu. Kalau sudah stabil kau bisa kembali nanti aku jemput."Astaghfirullah. Aku beristifar tak menyangka, ada pemikiran seperti itu keluar dari kepala mas Darma. Aku menatap tak percaya, ada pemikiran seperti itu keluar dari kepalanya."Baiklah kalau itu yang kau mau. Mulailah minta makan pada ibu, besok aku pulang
Aku yakin pasti mas Darma punya rencana. Aku tak mau lagi di bodohi, lebih baik besok aku membawa mobil toko, untuk mengawasi rumah ini."Maaf mas, aku tak bisa lagi diam. Setelah tau apa yang kau sembunyikan, aku bisa memutuskan harus berbuat apa?"****Bagus, beres dengan sempurna. Menghapus semua transaksi di ponsel rahasia mas Darma, sekarang aku bisa pergi ke rumah ibu, untuk menitipkan rumah."Pasangan yang aneh, sebagai istri seharusnya kau membantu suamimu, May. Bukan pulang ke rumah bapak mu, meninggalkan Darma yang sedang dalam kesulitan."Aku menatap ibu mas Darma. Sepertinya dia sengaja bicara dengan keras, karena di depan banyak ibu-ibu sedang nongkrong."Ibu pasti tau kan, mas Darma tak akan kesulitan seperti ini, jika aku membantu seperti biasanya. Mau bagaimana lagi, jangankan membantu suamiku untuk makan saja aku kesulitan. Ibu tau alasannya, karena ibu dan kedua anak ibu, tak juga mengembalikan uang yang aku pinjamkan pada kalian."Aku bersuara cukup keras sama sepe
"Mbak wanita tua itu pergi. Kalau dia pergi, mau apa kedua orang itu di rumah berduaan?"Aku melotot tapi benar juga, kalau ibu pergi mau apa mereka berdua."Ikuti aku, segera aktifkan fitur Vidio di ponselmu. Aku mau aku dapatkan rekaman paling bagus."Kalau tepat dugaanku mas Darma mungkin tengah bermain api. Aku akan memberinya pelajaran, jika dia melakukan itu di rumah kami.Aku masuk lewat pintu belakang yang sengaja tak aku kunci. Pria itu mengikuti dari belakang, kami terus masuk hingga sampai kamar. Benar saja mereka ternyata berada di kamar. Brak ....Aku menendang pintu, setelah menahan diri mendengar desahan mesum itu. Benar saja kami melihat mas Darma, tengah memacu di atas tubuh wanita yang dia bawa."Setan kau mas, berani berzinah di rumah ini!"Aku berteriak histris lalu menghajar mas Darma dan selingkuhannya. Menyeret wanita telanjang itu hingga keluar rumah, tak butuh waktu lama tetangga berdatangan. Mas Darma mencoba menolong kekasihnya. Ternyata dia sempat memakai
"Kalian penipu, untuk menguasai harta ibu kalian sengaja bilang bangkrut. Kalian ingin menguasai hak Aina putriku."Siti berteriak, membuat semua orang yang datang ke acara tujuh hari nenek Fandy terkejut. Mereka tak menyangka kalau wanita itu tidak memiliki sopan-santun. Membuat Hardi muak."Cukup! Hak apa yang kau maksudkan, Siti. Aina bahkan bukan darah dagingku, dia anak harammu dengan pria lain. Apa kau mau semua orang tau siapa ayah Aina? Sudah siap di hancurkan istri dan keluarga pria itu?"Siti terkejut dia tak menyangka Hardi akan semarah itu. Selama ini tak ada yang tau soal Aina selain Hardi dan orangtua Fandy, tapi sekarang Hardi siap membuka aibnya."Bagaimana?"Siti gemetar dia hanya bisa menatap Hardi tanpa berani untuk bicara. Dia tak siap berhadapan dengan keluarga kekasihnya, apalagi tanpa perlindungan Hardi."Sebaiknya kau pergi daripada hanya membuat omong kosong. Demi harta kau tak sadar sedang berada di mana, selama ini kau sudah enak hidup dari belaskasihan kami
"Ini gak mungkin, pasti akal-akalan kalian kan. Jangan mentang-mentang ibu tinggal bersama kalian lalu kalian berusaha menguasai hartanya."Sari terlihat marah saat pengacara keluarga datang sesuai permintaan Sari. Malas ribut orangtua Fandy menuruti permintaannya."Awalnya aku tak mau melibatkan kalian. Sayangnya kau terlalu serakah Sari, apa boleh buat segera kosongkan rumah yang kalian tempati, karena itu termasuk harta ibu yang di gadaikan. Bahkan rumah ini sudah bukan milik ibu lagi, hutang dan kesombongan membuat semuanya hilang."Kali ini Maya dan Fandy tak berani bersuara. Mereka lebih memilih untuk mendengarkan para orangtua yang bicara, agar tak terjadi keributan yang lebih panjang."Bagaimana Har? Apa kau siap bicara pada wanita ini? Wanita yang tak sadar siapa dirinya. Hanya mantan tapi masih merasa berkuasa, aku rasa sudah waktunya kau buang dia, daripada menyusahkan mu terus-menerus."Maya dan Fandy terkejut begitu juga dengan Sari. Wanita itu tak menyangka akan mendapat
"Setelah ibu meninggal akhirnya kalian datang juga. Begitu inginnya kalian mendapat warisan ibu."Baru saja masuk ke rumah, belum juga mendudukan bokong ke kursi. Susah terdengar ucapan pedas seorang wanita."Maksud Tante Sari apa ya? Kenapa bicara soal warisan? Saat nenek belum genap tiga hari meninggal."Fandy yang terkejut langsung menatap istri adik papanya. Mereka memang tak dekat, bahkan saat dia dan Maya menikah tak ada keluarga papanya yang datang. Sepertinya dia tau sebabnya."Heran saja, sejak ibu sakit tak ada kalian datang menjenguk tapi begitu dia meninggal cepat sekali datang pasti menginginkan harta warisan kan? Sudahlah aku bisa menebaknya dengan mudah."Fandy terlihat mengepalkan tangan, tentu dia emosi mendengar tuduhan Tantenya. Namun tidak dengan Maya, wanita itu terlihat santai sekali membuat Fandy heran dan juga bingung."Sayangnya Tante salah besar. Kami berdua tak membutuhkan warisan dari siapapun, asal tau aja kami berdua sudah memiliki dua perusahaan besar un
Fandy dan Maya duduk menghadap gundukan tanah merah yang masih basah. Di sana terbaring seorang wanita yang pernah merusak pernikahan mereka, wanita yang hingga akhir hayatnya tak sempat meminta maaf pada Fandy Maya."Sudah siang, kita pulang sekarang. Papa dan mama ingin bicara dengan kita."Fandy menautkan jari tangan pada tangan sang istri. Dia tau Maya masih belum bisa percaya pada kedua orangtuanya, setelah mereka sempat melakukan kesalahan pada wanita itu."Berapa lama kita di sini, Mas? Apa bisa aku pulang duluan? Rasanya tak nyaman berada di sini apalagi ada Hera."Maya terlihat tak nyaman tapi Fandy juga tak mungkin membawa istrinya pulang sekarang. Apa kata orang kalau mereka pulang, mereka saja datang setelah tiga hari kematian sang nenek. Jadi gak pantas kalau langsung pergi."Tenang ada aku bersamamu. Lagipula mama dan papa kan sudah meminta maaf, apa salahnya kita beri mereka kesempàtan, jangan sampai kejadian yang di alami nenek terjadi pada orangtua ku juga.""Apa kau
Kedua pasangan itu berciuman dengan panas. Mereka bahkan lupa berada di mana saat itu, Sandoro benar-benar bahagia, saat gadis yang dia cintai membalas perasaannya. Sandoro menarik tangan gadis yang baru satu jam yang lalu menerima cintanya. Mereka duduk di kursi ruangan Maya, posisi duduk mengangkang kekasihnya, membuat milik lelaki itu semakin tegang. Apalagi wanita itu justru duduk di pangkuannya, jelas membuat miliknya semakin membesar."Ah ....Pak milikmu menusuk milikku."Gadis itu terkejut hingga melepaskan ciuman di bibir kekasih barunya. Pria itu tersenyum dan meremas pantatnya."Mau buka celana dalammu? Agar dia bisa benar-benar masuk dan membuatmu merasakan nikmatnya."Gadis itu mengerjabkan matanya. Seperti berpikir antara takut dan ingin merasakan, benda besar yang menusuk miliknya. Perlahan dia bangun dari pangkuan Sandoro, menatap mata kekasihnya lalu membelai wajah pria yang tengah memejamkan mata itu, dia tau Sandoro tengah berusaha menetralkan panas di tubuhnya."Maa
"Hai ...mau kemana kau?"Sandoro dan bapak Maya terkejut, saat melihat Fandy berdiri menuju pintu kamar yang di tempati istrinya."Aku rela menerima rasa sakit yang di berikan istriku, tapi aku tak bisa tetap diam saat dia merasakan sakit, karena apa yang dia pikirkan apalagi semua itu tidak benar."Fandy membuka pintu dan menemukan sorot mata dingin dan penuh rasa kecewa. Perlahan dia mendekat dan bersiap, seandainya sang istri kembali menyerangnya."Kau bisa memukul atau menamparku jika itu membuatmu lega, Yank. Aku memang bodoh, hingga tanpa sadar terus membuatmu terluka dan kecewa. Hanya saja kau harus tau, aku mencintaimu tak ada wanita lain yang bisa menggantikan cinta itu. Lagipula apa yang kau pikirkan? Hingga jatuh pingsan sebelum Sandoro bicara. Apa mungkin itu bawaan bayi kita, yang sudah berkembang di rahimmu? Mungkin dia juga ikutan marah, karena mamanya berpikir papanya melakukan kesalahan lagi."Maya terlihat bingung dengan apa yang suaminya bilang. Mata wanita itu ber
Maya mengeliat merasakan sakit di kepalanya. Rasa pusing membuatnya tak sadar apa yang sudah terjadi padanya, perlahan dia terdiam saat otaknya mulai menginggat apa yang sudah terjadi."Sayang, syukurlah kau sudah sadar."Plak ...brak ...."Pergi! Aku tak mau melihatmu lagi!"Maya berteriak setelah menampar suaminya. Dia mulai membanting barang-barang yang ada di meja, pikiran dalam kepala membuatnya marah. Raut wajah Sandoro dan tatapan pria itu membuatnya menerka, apa yang sudah di lakukan Fandy."Sialan kau Mas. Percuma aku beri kau kesempatan berulang kali, ternyata kau membuatku seperti perempuan bodoh. Keluar, aku akan menggugat ke pengadilan agama kita bercerai!""Cukup Maya!"Maya tersentak saat mendengar teriakan bapaknya dari depan pintu. Wanita itu menangis histeris, karena mengira semua orang membodohinya termasuk orangtuanya."Bapak tenang dulu, sayang tenang dan dengarkan aku.""Tidak! Semua sudah jelas. Jadi pergi kalian semua, aku tak mau mendengar atau melihat kalian
"Kau yakin wanita itu ada di tempat yang kau katakan? Bersama pak Cakra Kusuma juga."Maya menatap Sandoro, untuk memastikan kalau laporan pria itu tak salah."Yakin, aku sudah memastikannya langsung dengan sekretaris pak Cakra. Wanita itu ingin menawarkan kerjasama dengan pak Cakra."Maya mengelengkan kepala sembari menatap Sandoro. Dia heran, bagaimana pria itu bisa mendapat informasi secepat itu."Rayuan ku tak pernah gagal May. Kau mau membuktikannya?"Plak ....Maya memukul bahu Sandoro. Pria itu memang suruhan Maya tapi dia bukan pegawai Maya, jadi dia masih bisa bicara dengan santai pada wanita itu."Masih ada satu lagi kejutanku untukmu May. Kau pasti suka, tak perlu mengeluarkan tenaga untuk memberi wanita itu pelajaran, cukup dengan Vidio ini."Sandoro mengirim sebuah Vidio ke nomor Maya. Wanita itu membukanya dan terkejut, dengan wajah merah dia menatap Sandoro."Sial kau, kenapa tak mengingatkan aku soal Vidio mesum ini?"Maya mengusap wajahnya dia jadi malu pada Sandoro k
"Seorang janda yang melanjutkan usaha suaminya. Sayang isi otaknya tak terlalu bagus, jadi perusahaan tak berjalan baik justru mendekati bangkrut. Irvan menjanjikan suntikan dana dengan syarat membantu Fira menjebak suamimu."Maya mengepalkan tangan ternyata dugaannya benar. Ada yang aneh dengan wanita yang ingin bekerjasama dengan Fandy."Bagus kalau begitu terus awasi dia. Aku sendiri yang akan memberinya pelajaran, kalau dia tak boleh macam-macam dengan milikku."Sandoro adalah orang yang diminta Maya mengawasi wanita yang memasukkan obat perangsang dalam minuman Fandy. Pria itu begitu cekatan, hingga dalam waktu singkat sudah meletakkan informasi yang dia minta di atas meja kerjanya."Ngomong-ngomong, bagaimana kabar suamimu? Aku dengar dia membenturkan kepala, agar tak menyentuh wanita itu."Maya menarik napas saat mendengar pertanyaan Sandoro. Bicara soal Fandy, Maya belum menemui suaminya lagi sejak semalam. Dia masih kesal dengan kebodohan suaminya."Yah begitulah. Dia masih d