Share

Membungkam Para Benalu.

Mendengar ucapan ibu mertua berarti benar mas Darma tidak bisa menuruti permintaan ibu, aku heran, kenapa suamiku tak mengeluarkan saja, uang yang katanya dia tabung.

"Ada apa lagi Bu? Bukankah sudah aku bilang? Urusan uang sudah aku serahkan pada mas Darma. Bukankah itu yang ibu inginkan, jadi jangan bilang aku menguasai uangnya lagi, sampai sekarang dia tak memberiku uang sama seperti ibu."

Aku menatap ibu mas Darma. Baru saja bernapas lega dia datang lagi, aku tak mau malu, ketika tetangga mendengar suaranya, kalau hanya bicara tak masalah, tapi teriakan dan hinaannya begitu menyakitkan.

"Jangan banyak omong kau, May. Ibu tidak percaya kalau Darma tak memiliki uang lagi, sedangkan dia baru tadi siang gajian."

Mendengar suara ibu mas Darma, benar-benar membuatku marah. Dia masih berkeras kalau gaji anaknya itu banyak.

"Cukup, mas katakan pada ibu berapa gajimu. Tunjukan buktinya, tunjukkan juga semua cicilan hutangmu, aku sudah muak di curigai terus."

Aku sudah tak sabar lagi. Tapi mas Darma hanya diam saja, dia tak bergerak seolah aku yang salah.

"Besok kita ke kantor mas Darma. Agar ibu tau berapa gajinya dan berapa potongan, karena membayar cicilan rumah dan mobil."

"Jangan!"

Brak ....

Aku mengebrak meja, setelah mendengar ucapan mas Darma. Dia diam saja saat aku minta memberitau ibunya soal gaji. Sekarang dia melarang ketika aku memberi saran.

"Mau mu sebenarnya apa mas? Kau mau ibumu terus menekanku?"

Aku menatap mas Darma yang kembali menunduk. Dia benar-benar menguji kesabaranku.

"Baiklah mas kau memang tak tau diri. Daripada aku yang terus di salahkan, lebih baik serahkan ATM mu pada ibu."

Aku meraih dompet yang dia letakkan di meja depan televisi. Kebiasaannya jika duduk, dia meletakkan ponsel dan dompetnya di meja.

"Ini kartu debit punya mas Darma, PINnya hari kelahirannya. Bulan depan ibu bisa mengambil semua uangnya, semoga ibu senang. Soal rumah ini terserah mas Darma, aku bisa pulang ke rumah bapak sementara."

Aku meninggalkan mas Darma dan ibunya. Biar mereka pusing berdua, sebentar lagi adiknya pasti minta uang kuliah juga.

Kriet ....

Aku dengar pintu kamar terbuka, mas Darma masuk dan duduk di pinggir tempat tidur. Sepertinya dia mau bicara, tapi tak tau mau memulainya.

Aku meletakkan ponsel di meja lalu mulai merebahkan tubuh. Malas jika harus membicarakan masalah itu-itu saja.

"Mas minta maaf kalau membuatmu marah. Tapi untuk saat ini saja, tolong bantu membereskan masalah ini, ibu bilang besok pagi mau datang lagi."

Mendengar ucapan mas Darma aku semakin tak mengerti. Apa dia tak mengerti kalau aku sudah lepas tangan.

"Terserah kau saja mas, aku tak mau tau lagi urusan kalian. Kalau besok ibu dan adikmu datang marah-marah, aku pastikan keluar dari rumah ini. Sudah cukup aku diam di hina sedang kau diam seperti orang bisu."

Aku menarik selimut dan mulai memejamkan mata. Biar saja mas Darma pusing sendiri.

"Besok langsung saja pergi kerja, tak ada yang di masak untuk sarapan. Aku akan mulai cari kerja, karena aku juga butuh makan."

Setelah mendengar ucapanku, mas Darma kembali keluar. Kasihan sebenarnya, tapi jika aku luluh maka rumah tangga ini tak akan bisa di perbaiki.

Selama ini aku menyokong keuangan secara diam-diam. Sepertinya caraku salah, hingga membuat mas Darma dan keluarganya manja. Aku harus memperbaiki semua yang telah terjadi, terpaksa jika harus menghancurkan ego mereka semua.

"Apa tak bisa kalian membuat ibu bahagia? Kenapa harus membuat ibu menangis? Hanya dia orangtua kita, Dar. Kalau istrimu tak mau berbakti ceraikan saja."

Aku menatap mas Diki saudara tertua mas Darma. Dengan mudah dia meminta kami bercerai, benalu satu ini sama juga dengan ibunya.

Prok ...prok ...prok ....

"Hebat ...hebat Mas. Aku kira kau datang menyelesaikan masalah, ternyata hanya menambah masalah rupanya. Kau benar, ibu satu-satunya orangtua kalian, jadi wajib untuk di bahagiakan.

Sekarang aku tanya berapa anak ibu? Kenapa hanya aku dan mas Darma yang wajib membahagiakan dia, lalu kalian berdua?"

Aku menunjuk mas Diki dan adik bungsunya. Mereka tampak kaget tapi aku tak perduli sama sekali, sudah saatnya mereka membuka mata, siapa yang durhaka sebenarnya.

"Aku dan mas Darma sudah mencoba membuat ibu bahagia. Tapi sekarang mas Darma sedang dalam masalah keuangan, sebenarnya tak kali ini saja tapi setiap hari.

Kalian saja yang tak mau tau, soal perceraian boleh juga saran mas Diki, sebelum itu terjadi bayar semua uang yang aku beri, bukankah kalian bilang itu hutang. Ingat aku masih punya semua buktinya, selama ini aku tak menangih karena kalian aku anggap saudara. Kalian saja yang tak menganggap aku."

Kali ini semua orang terdiam. Mereka pikir aku akan tetap diam di perlakukan buruk, jika memang tak bisa mempertahankan pernikahan ini. Baiklah, setidaknya aku sudah mencoba mempertahankannya.

"Kau tak bisa bicara begini May, kita kan sedang mencari jalan untuk menyelesaikan masalah kalian. Jangan gegabah meminta cerai."

Aku tertawa mendengar ucapan mas Diki. Inilah persamaan mas Darma dan mas Diki, sama-sama tak berotak.

"Bukan aku yang minta mas, bukankah tadi mas Diki yang minta mas Darma menceraikan aku? Masalah ini bukan karena kami, tapi masalah keluarga kalian. Sudah cukup ya, silahkan lanjutkan diskusinya, soal hutang aku tunggu itikat baiknya."

Aku tinggalkan mereka yang bungkam, setelah aku tagih hutangnya. Mas Diki memang lumayan banyak berhutang ada sekitar 10 jutaan.

YUK TERUS BACA DAN BERI ULASAN 🌟 5 NYA BIAR MAKIN SEMANGAT. JANGAN LUPA VOTED JUGA SEBAGAI DUKUNGAN UNTUK CERITA INI.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status