"Jangan-jangan kau mau menipu ibu ya, uang tabungan itu sebenarnya tidak hilang, tapi kau gunakan untuk menyenangkan Maya."Darma kembali menarik napas. Kedatangan ibunya semakin membuatnya pusing, bisa-bisanya terpikir hal itu. Sementara dia tau selama ini telah membodohi istrinya, demi membahagiakan keluarganya."Aku rasa ibu tau itu tidak benar, justru selama ini kita yang bersenang-senang diatas penderitaan Maya. Apa ibu lupa uang yang ibu minta dengan alasan hutang, apa pernah ibu bayar? Tidak pernah kan?"Darma kembali duduk di atas lantai ruang tamu. Dia bersandar didinding dengan mata menerawang."Ibu datang kemari biasanya membawa makanan, kenapa sekarang tidak lagi?"Wanita itu menarik napas kesal. Selama ini dia mengira penganti Maya wanita kaya, ternyata wanita itu hanya mencoba menjadi benalu. Begitu melihat Darma dalam masalah, dia cuci tangan dan kabur."Ibu hanya berusaha menyenangkan istri barumu, karena mengira dia wanita kaya, ternyata kecantikannya hanya modal melo
"Apa maksudmu tak lagi kuliah, Dis? Jangan macam-macam kau. Ingat biaya kuliahmu itu mahal. Gara-gara biaya kuliahmu itu, aku sampai bercerai dengan Maya."Aku dan ibu menatap Dista. Bisa-bisanya dia bilang tak lagi kuliah, memangnya apa yang jadi masalahnya. Tinggal kuliah, biaya aku yang tanggung mau apa lagi coba?"Masalahnya aku dikeluarkan dari kampus!"Dista berteriak membuat aku dan ibu terkejut. Bukankah bayaran uang kuliah lancar, kenapa dia harus dikeluarkan."Ini tidak boleh dibiarkan Bu, aku harus minta pertanggungjawaban dari kampusnya."Mendengar ucapanku, Dista tak melanjutkan masuk ke kamar. Dia kembali dan melarang aku ke kampus."Jangan bikin malu Mas, kalau sudah dikeluarkan buat apa datang ke kampus. Mau mengemis gitu?"Aku mengepalkan tangan ingin rasanya menampar wajahnya. Bisa-bisanya dia bicara begitu, apa tak berpikir berapa banyak uang yang sudah aku keluarkan."Tunggu dulu, kau takut sekali aku ke kampusmu. Apa ada yang coba kau tutupi dari kami Dis?"Dista
Terima kasih karena mengikuti cerita ini. Mohon dukungan dengan memberikan Gems dan ulasan bintang limanya ya. Selanjutnya selamat membaca."Apa kau mau menceraikan adikku? Berani sekali kau, setelah puas mau kau tinggal."Plak ...bug ...plak ....Tanpa ampun pria itu memukuliku. Enak saja dia lakukan itu, baiklah aku akan membawa masalah ini ke kantor polisi."Kau pikir aku takut masuk penjara, sebelum itu kau harus mati di tanganku."Jleb ...cress ....Aku melotot saat pisau itu menusuk perutku. Rasanya sangat sakit membuatku terkapar di lantai."Bagaimana rasanya? Sakit atau enak."Aku menatap pria itu yang tersenyum mengejek. Adik dan kedua orangtuanya, juga melakukan hal yang sama."Sudah bangun tidak usah lebai. Perutmu masih utuh, tapi kalau kau macam-macam aku bisa membunuh sunguhan."Pria itu memainkan pisau mainan di tangganya. Rasanya ingin sekali menghajarnya tapi tidak Sekarang."Baiklah, kita bertemu dikantor polisi. Aku sudah punya bukti kalian menganiaya, bahkan bernia
"Mungkin ini balasan atas kecurangan kita Bu, ingat kan uang itu kita tabung tanpa di ketahui Maya, tapi kita terus saja minta uangnya meski dengan alasan pinjam, sesungguhnya kita tak ada yang berniat mengembalikan uangnya."Aku bicara sejujurnya terserah ibu senang atau tidak. Kenyataannya memang kami sudah menipu Maya."Kalau begitu bisa jadi Maya yang mengambil uang itu, kau pun aneh, buat apa Mbanking kau save di ponsel. Jadi mudah kan di ambil orang, kebiasaan menyimpan note di ponsel juga gak berubah sama sekali."Kembali aku terdiam saat mendengar ucapan ibu. Apa benar Maya pelakunya? Tapi darimana dia tau aku memiliki tabungan itu?"Sudahlah Dar, kau pikirkan bagaimana cara mendapatkan uang untuk biaya rumah sakit ini. Besok atau lusa Dista sudah boleh pulang."Aku menarik napas panjang, rasanya ingin sekali meledak karena pusing kepalaku."Kalau begitu aku pulang lagi, semoga ada jalan untuk mendapatkan uang."Aku keluar tanpa memperdulikan lirikan ibu, dia benar-benar tak ta
"Rumah ibu di gadaikan? Kau bicara apa Diki? Dasar anak tak berotak. Kau menghilang setelah kami kesulitan uang, sekarang datang hanya untuk minta uang. Apa kau sudah gila?"Darma tersenyum sinis mendengar ibunya memarahi Diki, saudara sulungnya itu memang terlalu sombong, karena tak pernah di marahi."Ibu jangan banyak bicara, rumah itu sudah di gadaikan kalau bukan ibu siapa lagi. Dasar wanita serakah, ibu mau menguasai warisan bapak hah?"Plak ...plak ...."Anak kurang ajar berani sekali kau bicara seperti itu. Kalau memang aku mau menguasai harta suamiku, kau mau apa? Hidup selalu menyusahkan, berani sekali kau menghinaku."Diki terkejut mendapatkan dua kali tamparan dari ibunya. Tak hanya itu, ucapan sang ibu juga sangat menyakitkan."Kalau memang ibu mau mengadaikan rumah itu, memangnya ada urusan apa denganmu? Kau tau kami kesulitan uang tapi kau menghilang begitu saja, apa kau tau yang menimpa adikmu?"Diki terdiam dia tak menyangka ibunya bisa membungkam mulutnya. Dia memang m
"Ibu bisa istirahat di kamar, kalau tak mau silahkan pergi dari sini."Darma sudah kehabisan kesabaran, dia tak mau mendengar omelan ibunya, makanya dia membentak duluan wanita itu.Hatinya sedih, melihat wanita yang melahirkan dirinya berjalan pelan menuju ke kamarnya. Apa boleh buat daripada wanita itu mengomel seharian, lebih bagus dia bungkam duluan."Ibu, Dista cepat keluar. Ini aku belikan makanan."Sore harinya Darma mengetuk pintu kamar yang di tempati Dista dan ibunya. Namun tak ada sahutan dari dalam, pelan-pelan dia membuka pintu dan melihat kedua wanita itu masih tidur."Dasar kerbau, sudah teriak sekeras ini masih tak dengar juga."Dengan malas Darma masuk dan mengoyang tubuh ibu dan adiknya. Dia tak mau makanan yang dia beli basi, karena yang dia beli nasi bungkus."Bu, Dista. Bangun cepat itu ada makanan, kita makan dulu."Kedua wanita itu terkejut, karena Darma berada di kamar mereka. Heran saja tak biasanya pria itu membangunkan mereka berdua."Ada apa Dar? Kau mau mem
"Kerja yang bagus dong jangan bengong aja. Apa kamu mau makan gaji buta, kasihan menantuku harus mengeluarkan uang buatmu yang tak bekerja."Maya berlari keluar dari ruangannya, dia heran saat mendengar suara teriakan dari depan. Bapak dan ibunya juga sama terkejutnya makanya mereka mengikuti Maya keluar."Kalian? Mau apa datang kemari dan membuat keributan?"Maya dan kedua orangtuanya menatap Darma dan ibunya. Kedua orang itu tersenyum seolah tanpa dosa."Ini Nak, pegawaimu yang malas. Bukannya kerja malah bengong seperti orang bodoh."Maya menatap pria yang di tunjuk oleh mantan mertuanya. Dia terkejut karena tak tau pria itu ada di tokonya."Fandy Hidayat. Kenapa tak bilang-bilang kalau mau datang? Mana orangtuamu, katanya mau meminang putri kami?"Bapak Maya berkata seolah tak ada Darma dan ibunya. Pria itu memeluk Fandy, setelah pria itu mencium tangannya."Apa maksudnya melamar putri bapak? Kan anak kalian cuma Maya?"Darma bertanya seperti orang bodoh. Dia menatap kedua orangtua
"Harta gono-gini?"Maya terkejut saat bapak dan ibunya mengatakan, kalau Darma datang untuk meminta harta gono-gini, yang seharusnya dia dapatkan dari pernikahan dengannya. Wanita tersenyum karena melihat betapa santainya kedua suami-istei itu menghadapi permintaan mantan menantunya."Tak usah menatap bapak dan ibu seperti itu May, walau bapak orang kampung, tapi tak bodoh juga untuk takut dengan permintaan Darma. Pria itu pikir mudah mengugat harta gono-gini, apalagi tak ada harta yang mau di bagi."Ketiga orang itu tertawa memikirkan permintaan bodoh Darma. Pria itu tak berpikir panjang mungkin karena desakan ibunya."Ikuti saja kemauan Darma, kita lihat darimana dia mendapatkan uang untuk membayar pengacara, yang mau membantunya mengugat kita."Maya tersenyum, tapi ada rasa kasihan jika mantan suaminya gelap mata, tanpa mau berpikir panjang."Tak perlu iba begitu May, bapak ingin lihat pria itu mengembel dan kehilangan semua harta yang dia banggakan."Maya paham kalau bapaknya mar
"Kalian penipu, untuk menguasai harta ibu kalian sengaja bilang bangkrut. Kalian ingin menguasai hak Aina putriku."Siti berteriak, membuat semua orang yang datang ke acara tujuh hari nenek Fandy terkejut. Mereka tak menyangka kalau wanita itu tidak memiliki sopan-santun. Membuat Hardi muak."Cukup! Hak apa yang kau maksudkan, Siti. Aina bahkan bukan darah dagingku, dia anak harammu dengan pria lain. Apa kau mau semua orang tau siapa ayah Aina? Sudah siap di hancurkan istri dan keluarga pria itu?"Siti terkejut dia tak menyangka Hardi akan semarah itu. Selama ini tak ada yang tau soal Aina selain Hardi dan orangtua Fandy, tapi sekarang Hardi siap membuka aibnya."Bagaimana?"Siti gemetar dia hanya bisa menatap Hardi tanpa berani untuk bicara. Dia tak siap berhadapan dengan keluarga kekasihnya, apalagi tanpa perlindungan Hardi."Sebaiknya kau pergi daripada hanya membuat omong kosong. Demi harta kau tak sadar sedang berada di mana, selama ini kau sudah enak hidup dari belaskasihan kami
"Ini gak mungkin, pasti akal-akalan kalian kan. Jangan mentang-mentang ibu tinggal bersama kalian lalu kalian berusaha menguasai hartanya."Sari terlihat marah saat pengacara keluarga datang sesuai permintaan Sari. Malas ribut orangtua Fandy menuruti permintaannya."Awalnya aku tak mau melibatkan kalian. Sayangnya kau terlalu serakah Sari, apa boleh buat segera kosongkan rumah yang kalian tempati, karena itu termasuk harta ibu yang di gadaikan. Bahkan rumah ini sudah bukan milik ibu lagi, hutang dan kesombongan membuat semuanya hilang."Kali ini Maya dan Fandy tak berani bersuara. Mereka lebih memilih untuk mendengarkan para orangtua yang bicara, agar tak terjadi keributan yang lebih panjang."Bagaimana Har? Apa kau siap bicara pada wanita ini? Wanita yang tak sadar siapa dirinya. Hanya mantan tapi masih merasa berkuasa, aku rasa sudah waktunya kau buang dia, daripada menyusahkan mu terus-menerus."Maya dan Fandy terkejut begitu juga dengan Sari. Wanita itu tak menyangka akan mendapat
"Setelah ibu meninggal akhirnya kalian datang juga. Begitu inginnya kalian mendapat warisan ibu."Baru saja masuk ke rumah, belum juga mendudukan bokong ke kursi. Susah terdengar ucapan pedas seorang wanita."Maksud Tante Sari apa ya? Kenapa bicara soal warisan? Saat nenek belum genap tiga hari meninggal."Fandy yang terkejut langsung menatap istri adik papanya. Mereka memang tak dekat, bahkan saat dia dan Maya menikah tak ada keluarga papanya yang datang. Sepertinya dia tau sebabnya."Heran saja, sejak ibu sakit tak ada kalian datang menjenguk tapi begitu dia meninggal cepat sekali datang pasti menginginkan harta warisan kan? Sudahlah aku bisa menebaknya dengan mudah."Fandy terlihat mengepalkan tangan, tentu dia emosi mendengar tuduhan Tantenya. Namun tidak dengan Maya, wanita itu terlihat santai sekali membuat Fandy heran dan juga bingung."Sayangnya Tante salah besar. Kami berdua tak membutuhkan warisan dari siapapun, asal tau aja kami berdua sudah memiliki dua perusahaan besar un
Fandy dan Maya duduk menghadap gundukan tanah merah yang masih basah. Di sana terbaring seorang wanita yang pernah merusak pernikahan mereka, wanita yang hingga akhir hayatnya tak sempat meminta maaf pada Fandy Maya."Sudah siang, kita pulang sekarang. Papa dan mama ingin bicara dengan kita."Fandy menautkan jari tangan pada tangan sang istri. Dia tau Maya masih belum bisa percaya pada kedua orangtuanya, setelah mereka sempat melakukan kesalahan pada wanita itu."Berapa lama kita di sini, Mas? Apa bisa aku pulang duluan? Rasanya tak nyaman berada di sini apalagi ada Hera."Maya terlihat tak nyaman tapi Fandy juga tak mungkin membawa istrinya pulang sekarang. Apa kata orang kalau mereka pulang, mereka saja datang setelah tiga hari kematian sang nenek. Jadi gak pantas kalau langsung pergi."Tenang ada aku bersamamu. Lagipula mama dan papa kan sudah meminta maaf, apa salahnya kita beri mereka kesempàtan, jangan sampai kejadian yang di alami nenek terjadi pada orangtua ku juga.""Apa kau
Kedua pasangan itu berciuman dengan panas. Mereka bahkan lupa berada di mana saat itu, Sandoro benar-benar bahagia, saat gadis yang dia cintai membalas perasaannya. Sandoro menarik tangan gadis yang baru satu jam yang lalu menerima cintanya. Mereka duduk di kursi ruangan Maya, posisi duduk mengangkang kekasihnya, membuat milik lelaki itu semakin tegang. Apalagi wanita itu justru duduk di pangkuannya, jelas membuat miliknya semakin membesar."Ah ....Pak milikmu menusuk milikku."Gadis itu terkejut hingga melepaskan ciuman di bibir kekasih barunya. Pria itu tersenyum dan meremas pantatnya."Mau buka celana dalammu? Agar dia bisa benar-benar masuk dan membuatmu merasakan nikmatnya."Gadis itu mengerjabkan matanya. Seperti berpikir antara takut dan ingin merasakan, benda besar yang menusuk miliknya. Perlahan dia bangun dari pangkuan Sandoro, menatap mata kekasihnya lalu membelai wajah pria yang tengah memejamkan mata itu, dia tau Sandoro tengah berusaha menetralkan panas di tubuhnya."Maa
"Hai ...mau kemana kau?"Sandoro dan bapak Maya terkejut, saat melihat Fandy berdiri menuju pintu kamar yang di tempati istrinya."Aku rela menerima rasa sakit yang di berikan istriku, tapi aku tak bisa tetap diam saat dia merasakan sakit, karena apa yang dia pikirkan apalagi semua itu tidak benar."Fandy membuka pintu dan menemukan sorot mata dingin dan penuh rasa kecewa. Perlahan dia mendekat dan bersiap, seandainya sang istri kembali menyerangnya."Kau bisa memukul atau menamparku jika itu membuatmu lega, Yank. Aku memang bodoh, hingga tanpa sadar terus membuatmu terluka dan kecewa. Hanya saja kau harus tau, aku mencintaimu tak ada wanita lain yang bisa menggantikan cinta itu. Lagipula apa yang kau pikirkan? Hingga jatuh pingsan sebelum Sandoro bicara. Apa mungkin itu bawaan bayi kita, yang sudah berkembang di rahimmu? Mungkin dia juga ikutan marah, karena mamanya berpikir papanya melakukan kesalahan lagi."Maya terlihat bingung dengan apa yang suaminya bilang. Mata wanita itu ber
Maya mengeliat merasakan sakit di kepalanya. Rasa pusing membuatnya tak sadar apa yang sudah terjadi padanya, perlahan dia terdiam saat otaknya mulai menginggat apa yang sudah terjadi."Sayang, syukurlah kau sudah sadar."Plak ...brak ...."Pergi! Aku tak mau melihatmu lagi!"Maya berteriak setelah menampar suaminya. Dia mulai membanting barang-barang yang ada di meja, pikiran dalam kepala membuatnya marah. Raut wajah Sandoro dan tatapan pria itu membuatnya menerka, apa yang sudah di lakukan Fandy."Sialan kau Mas. Percuma aku beri kau kesempatan berulang kali, ternyata kau membuatku seperti perempuan bodoh. Keluar, aku akan menggugat ke pengadilan agama kita bercerai!""Cukup Maya!"Maya tersentak saat mendengar teriakan bapaknya dari depan pintu. Wanita itu menangis histeris, karena mengira semua orang membodohinya termasuk orangtuanya."Bapak tenang dulu, sayang tenang dan dengarkan aku.""Tidak! Semua sudah jelas. Jadi pergi kalian semua, aku tak mau mendengar atau melihat kalian
"Kau yakin wanita itu ada di tempat yang kau katakan? Bersama pak Cakra Kusuma juga."Maya menatap Sandoro, untuk memastikan kalau laporan pria itu tak salah."Yakin, aku sudah memastikannya langsung dengan sekretaris pak Cakra. Wanita itu ingin menawarkan kerjasama dengan pak Cakra."Maya mengelengkan kepala sembari menatap Sandoro. Dia heran, bagaimana pria itu bisa mendapat informasi secepat itu."Rayuan ku tak pernah gagal May. Kau mau membuktikannya?"Plak ....Maya memukul bahu Sandoro. Pria itu memang suruhan Maya tapi dia bukan pegawai Maya, jadi dia masih bisa bicara dengan santai pada wanita itu."Masih ada satu lagi kejutanku untukmu May. Kau pasti suka, tak perlu mengeluarkan tenaga untuk memberi wanita itu pelajaran, cukup dengan Vidio ini."Sandoro mengirim sebuah Vidio ke nomor Maya. Wanita itu membukanya dan terkejut, dengan wajah merah dia menatap Sandoro."Sial kau, kenapa tak mengingatkan aku soal Vidio mesum ini?"Maya mengusap wajahnya dia jadi malu pada Sandoro k
"Seorang janda yang melanjutkan usaha suaminya. Sayang isi otaknya tak terlalu bagus, jadi perusahaan tak berjalan baik justru mendekati bangkrut. Irvan menjanjikan suntikan dana dengan syarat membantu Fira menjebak suamimu."Maya mengepalkan tangan ternyata dugaannya benar. Ada yang aneh dengan wanita yang ingin bekerjasama dengan Fandy."Bagus kalau begitu terus awasi dia. Aku sendiri yang akan memberinya pelajaran, kalau dia tak boleh macam-macam dengan milikku."Sandoro adalah orang yang diminta Maya mengawasi wanita yang memasukkan obat perangsang dalam minuman Fandy. Pria itu begitu cekatan, hingga dalam waktu singkat sudah meletakkan informasi yang dia minta di atas meja kerjanya."Ngomong-ngomong, bagaimana kabar suamimu? Aku dengar dia membenturkan kepala, agar tak menyentuh wanita itu."Maya menarik napas saat mendengar pertanyaan Sandoro. Bicara soal Fandy, Maya belum menemui suaminya lagi sejak semalam. Dia masih kesal dengan kebodohan suaminya."Yah begitulah. Dia masih d