Darma menarik napas, karena merasakan lapar di perutnya. Setelah makan diluar, masih saja belum merasa kenyang.Perlahan dia masuk ke dapur. Matanya melotot dengan pemandangan di sana, Maya benar-benar membawa semuanya. Bahkan tempat beras yang telah kosong dia angkut juga."Begitu kejam hatimu May, bahkan tak menyisakan satu barang pun di rumahku. Meski semua kau yang beli, kenapa tak kau tinggalkan sedikit barang sebagai kenang-kenangan."Darma kembali ke ruang keluarga, lalu berjalan menuju ke kamar. Dia menarik napas saat melihat hamparan baju miliknya, diatas lantai beralaskan tikberalaska"Ini saja yang kita beli Mas. Semoga setelah ini rejeki kita berlimpah dan bisa membeli barang untuk mengisi rumah impian kita. Tidak apa kita mulai dari nol lagi, karena keluar dari rumah ibumu."Itu ucapan Maya saat pertama kali mereka keluar dari rumah ibunya. Tanpa membawa satu barangpun, karena ibunya tak mengijinkan barang yang masuk ke rumahnya untuk di bawa keluar. "Itu pamali Dar, kal
"Selamat siang pak Darma, saya rasa jam kerja perusahaan ini, sudah lewat lebih dari setengah jam dan anda baru datang. Sebagai seorang pegawai seharusnya ini tak boleh terjadi, apa ada ijin dari pak Emir? Atau anda mencoba korupsi waktu, karena beliau tidak sedang di kantor."Darma terkejut karena saat masuk ke ruangannya ada seseorang duduk di kursi kerjanya dan membelakangi, sehingga tidak terlihat wajahnya."Siapa anda? Kenapa lancang masuk dan duduk di ruangan saya."Darma bertanya namun dia tak bisa melihat siapa orang itu. Membuat Maya kesal karena mantan suaminya tak mengenali suaranya."Baru beberapa hari bercerai, kau bahkan tak lagi mengenali suaraku sungguh mengecewakan. Sebaiknya kau langsung ke HRD, siapa tau langsung di pecat bukan teguran lagi."Darma terkejut, dia tak menyangka Maya adalah orang yang duduk di kursi kerjanya. Dengan kesal dia mengusir mantan istrinya."Tidak usah sok jijik begitu Mas, bisa jadi sebentar lagi ruangan ini tak lagi kau tempati."Maya ters
Dengan gontai Darma pulang, dia merasa lelah lahir dan batin. Dia terduduk di depan rumahnya, untuk menghilangkan suntuk. "Perasaan hidupku jadi tertimpa sial terus. Apa ini balasan karena aku telah mencurangi Maya?"Darma menarik napas panjang, dia bingung setelah di pecat tanpa pesangon. Darimana dia mendapat uang untuk membayar cicilan rumah dan mobilnya."Akhirnya kau pulang juga, bagaimana bisa kau dapatkan uang untuk menganti uang yang hilang itu?"Darma jadi ingin teriak atau menghajar wanita, yang datang-datang langsung bicara soal uang. Sayang wanita itu ibunya kalau tidak mungkin bisa dia jadikan pelampiasan rasa kesalnya."Tidak ada Bu, aku saja pusing, karena di pecat tanpa pesangon. Untuk makan saja bingung, apalagi untuk membayar cicilan rumah dan mobil."Mendengar ucapan anaknya wanita itu terkejut, dia bingung kok bisa tiba-tiba Darma di pecat."Aku juga tidak mengerti Bu, semua bermula saat Maya mendatangi kantorku. Dia mengancam, siapa tau ancamannya menjadi kenyata
"Jangan-jangan kau mau menipu ibu ya, uang tabungan itu sebenarnya tidak hilang, tapi kau gunakan untuk menyenangkan Maya."Darma kembali menarik napas. Kedatangan ibunya semakin membuatnya pusing, bisa-bisanya terpikir hal itu. Sementara dia tau selama ini telah membodohi istrinya, demi membahagiakan keluarganya."Aku rasa ibu tau itu tidak benar, justru selama ini kita yang bersenang-senang diatas penderitaan Maya. Apa ibu lupa uang yang ibu minta dengan alasan hutang, apa pernah ibu bayar? Tidak pernah kan?"Darma kembali duduk di atas lantai ruang tamu. Dia bersandar didinding dengan mata menerawang."Ibu datang kemari biasanya membawa makanan, kenapa sekarang tidak lagi?"Wanita itu menarik napas kesal. Selama ini dia mengira penganti Maya wanita kaya, ternyata wanita itu hanya mencoba menjadi benalu. Begitu melihat Darma dalam masalah, dia cuci tangan dan kabur."Ibu hanya berusaha menyenangkan istri barumu, karena mengira dia wanita kaya, ternyata kecantikannya hanya modal melo
"Apa maksudmu tak lagi kuliah, Dis? Jangan macam-macam kau. Ingat biaya kuliahmu itu mahal. Gara-gara biaya kuliahmu itu, aku sampai bercerai dengan Maya."Aku dan ibu menatap Dista. Bisa-bisanya dia bilang tak lagi kuliah, memangnya apa yang jadi masalahnya. Tinggal kuliah, biaya aku yang tanggung mau apa lagi coba?"Masalahnya aku dikeluarkan dari kampus!"Dista berteriak membuat aku dan ibu terkejut. Bukankah bayaran uang kuliah lancar, kenapa dia harus dikeluarkan."Ini tidak boleh dibiarkan Bu, aku harus minta pertanggungjawaban dari kampusnya."Mendengar ucapanku, Dista tak melanjutkan masuk ke kamar. Dia kembali dan melarang aku ke kampus."Jangan bikin malu Mas, kalau sudah dikeluarkan buat apa datang ke kampus. Mau mengemis gitu?"Aku mengepalkan tangan ingin rasanya menampar wajahnya. Bisa-bisanya dia bicara begitu, apa tak berpikir berapa banyak uang yang sudah aku keluarkan."Tunggu dulu, kau takut sekali aku ke kampusmu. Apa ada yang coba kau tutupi dari kami Dis?"Dista
Terima kasih karena mengikuti cerita ini. Mohon dukungan dengan memberikan Gems dan ulasan bintang limanya ya. Selanjutnya selamat membaca."Apa kau mau menceraikan adikku? Berani sekali kau, setelah puas mau kau tinggal."Plak ...bug ...plak ....Tanpa ampun pria itu memukuliku. Enak saja dia lakukan itu, baiklah aku akan membawa masalah ini ke kantor polisi."Kau pikir aku takut masuk penjara, sebelum itu kau harus mati di tanganku."Jleb ...cress ....Aku melotot saat pisau itu menusuk perutku. Rasanya sangat sakit membuatku terkapar di lantai."Bagaimana rasanya? Sakit atau enak."Aku menatap pria itu yang tersenyum mengejek. Adik dan kedua orangtuanya, juga melakukan hal yang sama."Sudah bangun tidak usah lebai. Perutmu masih utuh, tapi kalau kau macam-macam aku bisa membunuh sunguhan."Pria itu memainkan pisau mainan di tangganya. Rasanya ingin sekali menghajarnya tapi tidak Sekarang."Baiklah, kita bertemu dikantor polisi. Aku sudah punya bukti kalian menganiaya, bahkan bernia
"Mungkin ini balasan atas kecurangan kita Bu, ingat kan uang itu kita tabung tanpa di ketahui Maya, tapi kita terus saja minta uangnya meski dengan alasan pinjam, sesungguhnya kita tak ada yang berniat mengembalikan uangnya."Aku bicara sejujurnya terserah ibu senang atau tidak. Kenyataannya memang kami sudah menipu Maya."Kalau begitu bisa jadi Maya yang mengambil uang itu, kau pun aneh, buat apa Mbanking kau save di ponsel. Jadi mudah kan di ambil orang, kebiasaan menyimpan note di ponsel juga gak berubah sama sekali."Kembali aku terdiam saat mendengar ucapan ibu. Apa benar Maya pelakunya? Tapi darimana dia tau aku memiliki tabungan itu?"Sudahlah Dar, kau pikirkan bagaimana cara mendapatkan uang untuk biaya rumah sakit ini. Besok atau lusa Dista sudah boleh pulang."Aku menarik napas panjang, rasanya ingin sekali meledak karena pusing kepalaku."Kalau begitu aku pulang lagi, semoga ada jalan untuk mendapatkan uang."Aku keluar tanpa memperdulikan lirikan ibu, dia benar-benar tak ta
"Rumah ibu di gadaikan? Kau bicara apa Diki? Dasar anak tak berotak. Kau menghilang setelah kami kesulitan uang, sekarang datang hanya untuk minta uang. Apa kau sudah gila?"Darma tersenyum sinis mendengar ibunya memarahi Diki, saudara sulungnya itu memang terlalu sombong, karena tak pernah di marahi."Ibu jangan banyak bicara, rumah itu sudah di gadaikan kalau bukan ibu siapa lagi. Dasar wanita serakah, ibu mau menguasai warisan bapak hah?"Plak ...plak ...."Anak kurang ajar berani sekali kau bicara seperti itu. Kalau memang aku mau menguasai harta suamiku, kau mau apa? Hidup selalu menyusahkan, berani sekali kau menghinaku."Diki terkejut mendapatkan dua kali tamparan dari ibunya. Tak hanya itu, ucapan sang ibu juga sangat menyakitkan."Kalau memang ibu mau mengadaikan rumah itu, memangnya ada urusan apa denganmu? Kau tau kami kesulitan uang tapi kau menghilang begitu saja, apa kau tau yang menimpa adikmu?"Diki terdiam dia tak menyangka ibunya bisa membungkam mulutnya. Dia memang m