"Assalamualaikum ...."
Ketika langkahku memasuki rumah, terdengar derit engsel pintu kamar depan terbuka, itu ialah kamarku. Langkah seseorang seperti berlari ke arah dapur. Pintu kamarku menghadap ke bagian belakang rumah, itu sebabnya aku tak bisa menjangkaunya dengan mata.
Kian penasaran sebab salamku juga tak dibalas, aku mendapati Mas Arman sedang menyisir rambutnya yang berantakan di dalam kamar.
"Eh, Ibu udah pulang!" Dia nyengir tak jelas.
"Aku tadi salam. Emang Mas gak dengar?" Aku meraih tangannya dan kucium. "Mana Nurul?"
"Tadi dia main ke luar sama teman-temannya."
"Ajakin pulang, Mas. Hari udah mau Magrib." Aku meminta Mas Arman mencari Nurul sambil melangkah ke dapur.
Suara keran tempat cucian piring menyala. Ada Mbak Yuli sedang mencuci piring-piring kotor. "Lho, Mbak?" Aku agak terkejut. Tak biasanya dia datang sewaktu tidak ada aku di rumah.
Mbak Yuli adalah sepupuku. Dia anak dari kakak perempuan ibuku. Rumahnya juga tak jauh dari sini. Terpisah hanya beberapa rumah saja.
"Udah pulang, Li? Mbak barusan nganterin bubur kacang ijo buat Nurul. Kebetulan lagi bikin. Lumayan banyak. Nurul senang. Dia habisin sampe gak ada sisa." Tanpa kutanya dia memberi alasan. Gerak-geriknya seperti orang yang baru saja tertangkap basah, tertawa cengengesan dan tak mau menatap wajahku.
"Gimana kabar Mas Burhan, Mbak?"
"Yah ... masih gitu lah, Li. Gak ada perubahan. Mbak capek ngurusin dia. Rasanya pengin mbak pulangin aja dia ke rumah ibunya. Udah nyusahin, gak bisa ngasih nafkah pula." Raut Mbak Yuli berubah kesal.
"Jangan gitu, Mbak. Mbak harus ingat setiap kebaikan Mas Burhan sebelum dia sakit. Dia sosok suami pekerja keras, kan. Bukan pilihan dia jadi lumpuh dan tak berdaya kayak sekarang." Aku mencoba menasihati sepupuku yang berkulit sawo matang itu.
"Udah, ah, jangan bahas dia." Mbak Yuli mengibas kesal.
Aku diam. Percuma jika aku berbicara lagi. Sebab aku mengenal sifat sepupuku yang usianya tiga tahun di atasku ini. Dia keras kepala dan susah dinasihati.
Eh, sebentar. Aku baru menyadari bahwa pakaian yang dikenakan Mbak Yuli terlalu terbuka. Baju tanpa lengan dan celana jeans di atas lutut. Ck! Padahal dulu aku pernah memintanya jangan keluar rumah dengan pakaian seperti ini. Bisa memancing syahwat lelaki yang melihatnya. Yang ditakutkan, Mbak Yuli akan mendapat perlakuan jahat. Dilecehkan misalnya.
"Kutinggal bentar, ya, Mbak. Aku mau salin baju dulu."
Aku melangkah ke kamar dan menutup pintu. Kubuka pintu lemari dan meraih sepotong daster, menoleh ke samping, seprai yang menutupi ranjang tidur terlihat acak-acakan dan berantakan.
Mas Arman memang gitu. Tak pernah membantuku merapikan hal-hal sepele seperti ini. Kuembuskan napas kesal.
Kuletakkan daster ke atas rak mini. Sebelum menuju ke kamar mandi, aku harus merapikan ranjang tidur dulu. Mataku tak nyaman meninggalkannya berantakan seperti ini.
Aku tarik tiap sudutnya seprai, kukibas-kibas dengan sapu lidi seluruh permukaannya. Bantal kususun menjadi dua tumpukan, lalu aku menyingkirkan selimut yang menutupi seprai sejak tadi.
Apa ini? Dahiku berkerut. Ada noda basah di tengah ranjang tidurku. Kusentuh dengan jemari, lengket. Mas Arman abis ngapain, sih? Seketika pikiranku kotor. Apalagi mengingat gelagat Mbak Yuli tadi.
Tak jadi melipat selimut tadi, seprai yang telah rapi kulepaskan lagi dari springbed dan menggantinya dengan yang baru. Setelah terpasang rapi, aku kembali meraih daster dan keluar kamar.
Mbak Yuli sudah tak ada. Dia pergi tanpa pamit dan terburu-buru. Memang dia terbiasa keluar masuk rumah ini. Namun, bagiku tingkahnya kali ini sungguh aneh dan amat mencurigakan.
Aku menggeleng, mencoba menghalau pikiran kotor yang menyergap, lantas masuk ke kamar mandi setelah meletakkan seprai tadi ke dalam mesin cuci. Namun tetap saja, di dalam kamar mandi pikiranku tetap tidak tenang. Rasanya memang ada yang tidak beres yang sedang terjadi. Setelah selesai mandi, kudapati Nurul sedang menonton TV di ruang keluarga.
"Ibu udah pulang?" Dia berdiri semringah, mencium tanganku.
"Udah dari tadi. Anak ibu main ke mana aja, sih? Sampe lupa waktu." Kuusap kepala bocah kelas dua SD itu.
"Main masak-masakan di rumah Rodiyah, Bu. Dia nunjukkin maenan baru. Besok beliin juga buat Nurul kalo Ibu udah gajian, ya, Bu." Mata Nurul penuh harap menatapku.
Aku mengangguk seraya mengulas senyum. "Iya, Nak. Nanti pas Ibu gajian, akan Ibu belikan buat Nurul." Aku tidak pernah bisa menolak permintaannya. Apalagi Nurul jarang meminta dibelikan sesuatu. Nurul pun anak yang baik dan selalu menurut segala perintah dari orang tuanya.
"Asyik!" Nurul terlihat bahagia.
"Nurul udah makan?"
"Belum," katanya sambil menggeleng.
"Ya udah makan bareng ibu, yuk. Ibu beli soto, lho."
"Asyik!" ucapnya lagi.
Kami menuju meja makan. Sekalian aku menciduk nasi ke piring buat anakku. "Eh, Ayah mana? Abis jemput Nurul, kok, gak ikut pulang ke rumah?"
"Tadi Ayah ngobrol sama bapak-bapak di luar, Bu." Nurul makan dengan lahap. Nampaknya putriku itu lapar sekali.
"Pelan-pelan makannya. Bismillah jangan lupa."
Nurul mengangguk.
"Bukannya Bude Yuli ngasih bubur kacang ijo? Kok anak ibu lapar banget kelihatannya."
"Bubur kacang ijo?" Dia heran lantas menggeleng. "Bude gak bawa apa-apa, ah, Bu. Pas Bude datang, Ayah suruh Nurul main ke luar sama Rodiyah."
Deg! Hatiku merasa tidak nyaman setelah mendengar ucapan Nurul barusan. Mengapa Mbak Yuli berbohong padaku? Apa alasannya?
~AA~
"Oh, ya, Nak. Memangnya Bude Yuli sering ke sini sendirian, ya, kalo ibu lagi gak ada?" Aku mencoba mengorek informasi dengan nada biasa. Agar putriku ini tidak berpikiran yang tidak-tidak.Tak disangka, putriku mengangguk sembari melanjutkan kunyahannya."Lama gak?" tanyaku lagi."Lumayan lama, Bu. Pernah sampe Nurul pulang Bude Yuli masih di sini," jawab Nurul. "Kadang suara ketawanya terdengar sampai ke luar rumah, Bu."Astaghfirullah! Aku hanya bisa mengucap dalam hati saja.Tunggu. Dahiku berkerut dalam. Aku masih ingin menanyakan satu pertanyaan lagi, tapi apa pantas jika aku bertanya pada Nurul; Ayah sama Bude Yuli ngapain aja di rumah?Huh! Tapi ucapan itu berhasil kusimpan dalam benak. Aku tak ingin pertanyaan itu akan menjadi beban pikiran untuk anakku.Meski Nurul masih berusia delapan tahun, tapi aku yakin dia bakal bisa mencerna dan menilai semua apa yang terjadi di depan matanya. Jika aku memperlihatkan kecurigaan pada Nurul, pasti ini akan menjadi beban pikiran baginya.
"Kamu kenapa melamun dari tadi, Li?" Siti bertanya saat kami duduk di kursi belakang konter sembari menanti pelanggan. Jam segini memang waktu-waktu yang sepi pembeli. Kami jadi bisa duduk sambil berbicara berdua."Ada yang mengganggu pikiranku, Ti. Tapi, aku gak mau mengikuti kecurigaanku." Kuembuskan napas panjang-panjang. "Nanti malah kesannya jadi suudzon.""Tentang apa?"Kupandangi Siti. Meski aku mengenal Siti adalah sosok yang amanah dan agamis, tapi aku masih ragu untuk mengungkapkan segala isi hatiku padanya. Tapi jika dipikir lagi, apa aku sanggup memendam rasa ini sendirian?"Tentang Mas Arman." Akhirnya aku menyerah. Kupikir aku butuh teman berbagi dan meminta pendapat."Tentang pekerjaan lagi?"Aku menggeleng. "Bukan. Aku curiga dia main belakang dengan sepupuku. Kemarin, Nurul cerita Mas Arman dan sepupuku itu sering berduaan di rumah. Sedangkan anakku sering disuruh main keluar, kayak sengaja diusir sebentar." Aku mengembuskan napas, lagi."Ya Allah. Nanti jadi fitnahan
Mobil Koko Kevin terus melaju perlahan melewati jalan aspal menuju rumahku. Kali ini aku pikir suasananya terlihat agak berbeda. Sepanjang jalan yang kami lalui, kini lebih banyak orang-orang duduk di tepi jalanan. Ada juga sebagian dari mereka yang berdiri. Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu. Semakin mendekati rumahku, semakin banyak yang bergerombol sembari menatap ke satu arah, yakni tujuan kami.Di pekarangan rumahku, ternyata sudah penuh sesak oleh para tetangga yang berkerumun.Apakah orang-orang yang kulihat sepanjang jalan tadi, membicarakan kerumunan ini? Ada apa, ya? Mengapa tetanggaku pada berkerumun? Seketika aku menelan ludah, gugup. Feeling-ku mengatakan ada sesuatu perkara buruk yang telah terjadi."Terima kasih, ya, Ko. Itu rumah saya," kataku menunjuk rumah yang pintunya menganga terbuka."Kok rame? Kamu ada acara?" Ko Kevin ternyata merasakan perasaan heran juga, sama sepertiku.Aku menggeleng. "Saya juga gak tau, Ko." Tergesa-gesa kubuka pintu mobil, setengah
"Li, mau kemana kamu?!" Mas Arman berdiri setelah melihatku kesusahan menyeret koper-koper dan beberapa tas keluar dari kamar. Raut pria itu cemas. Bibirnya bergetar."Aku mau ngungsi ke tempat adikku, Mas. Mas selesaikan aja masalah ini. Mas harus berani bertanggung jawab karena Mas-lah yang telah memulainya sendiri. Cari jalan yang terbaik. Kalo perlu nikahi Mbak Yuli. Nanti surat perceraian kita bisa menyusul belakangan.""Gak! Aku gak mau kita bercerai! Aku gak mau pisah sama kamu."Aku menggeleng tegas. "Aku gak bisa lagi hidup bersama seorang pengkhianat, apalagi Mas telah berzina dengan perempuan itu." Aku melangkah pergi keluar rumah diiringi tatapan kasian dari orang-orang yang melihat.Aku menuju rumah Bu Rahmi, kumasuki pekarangannya. Kutinggalkan koper dan tas di bawah teras, lalu melangkah memasuki ruang tamu di mana Nurul sudah menungguku."Rodiyah, ajakin Nurul ke kamarmu, ya. Mama mau ngobrol sama Tante Lia sebentar," titah Bu Rahmi pada putrinya yang sedang bermain bon
Aku bersandar pada tembok kamar berukuran lima kali lima meter persegi, bernuansa pink dan putih. Ada satu tempat tidur nomor dua, satu lemari dua pintu, meja kompor dan satu kulkas mini. Nurul sudah tertidur pulas di atas seprai bermotif Hello Kitty. Dia meringkuk memeluk guling menghadap ke dinding. Lita melangkah mendekat, meletakkan secangkir kopi di hadapanku, lalu menyusul duduk di sebelah. Beralaskan karpet rasfur berwarna abu-abu kami duduk bersisian. "Jadi ... apa yang bakal Mbak lakuin ke depan ntar?" Sejenak hening. Lantas aku menggeleng tidak tahu. Rasanya otakku merasa belum sanggup untuk berpikir secara jernih. Aku raih secangkir kopi yang disuguhkan Lita tadi. Perlahan aku menyeruput cairan berkafein itu. "Tinggal di sini juga gak apa-apa, kok, Mbak. Toh, aku malah senang. Tadi aku juga udah laporan pada Bu Kos. Dia ngebolehin. Yang penting katanya lapor kalo ada tamu yang datang menginap di sini." Lita melanjutkan. "Mbak mikirin sekolahnya Nurul, Ta," sahutku. "K
Aku terbangun dalam keadaan kepala berdenyut. Wajar saja. Tidurku hanya dua jam. Kulihat Lita masih tertidur dan Nurul duduk di tepian tempat tidur menatapku."Nurul udah bangun?" Aku bangkit, menyibak selimut yang menutupi tubuhku. Pasti semalam Lita yang memasangkannya."Ibu tidur di bawah?""Ibu gak sengaja ketiduran, Nak," jawabku. "Oh, ya. Nanti Nurul sekolah diantar jemput Tante Lita, ya."Nurul mengangguk. "Tapi, buku-buku dan tas sekolah Nurul lupa dibawa, Bu.""Oh, iya, ya." Aku menepuk dahi.Duh, semalam aku lupa membawanya. Benda-benda itu berada di rak mini sebelah TV di ruang keluarga. Aku hanya fokus membawa baju-baju saja dan ingin cepat keluar dari rumah itu."Besok kita jemput. Hari ini Nurul izin gak masuk dulu aja, ya. Nanti jam tujuh Ibu telepon wali kelas Nurul. Minta izin.""Iya, Bu." Nurul mengangguk setuju.~AA~Siti terbelalak. "Gila!" katanya. "Emang lakimu gak tau diri, ya. Udah pengangguran, eh, malah selingkuh," ujarnya lagi.Aku tak menyahut, masih fokus m
Aku, Lita, dan Nurul dalam perjalanan menuju rumah kontrakan yang pernah kutinggali bersama Mas Arman, menggunakan taksi online. Lita bersikeras ingin ikut menemani. Dia takut jika nanti terjadi sesuatu padaku berhubung Mas Arman masih tinggal di rumah itu. Adikku itu mengkhawatirkan keselamatan kakaknya. Menurut dia, bisa saja Mas Arman menyimpan dendam dan amarah setelah kutinggalkan begitu saja.Mobil yang membawa kami berhenti sempurna di pekarangan rumah. Suasana sepi. Tak banyak warga di kanan kiri jalan sebab saat ini tengah hari. Mungkin sebagian dari mereka sedang tidur siang atau jalan-jalan keluar rumah di hari Minggu.Setelah membayar ongkos kami bertiga turun, melangkah ke teras yang pintunya tertutup rapat. Aku hendak mengetuk daunnya, tetapi terdengar suara cekikik perempuan dari dalam.Astaghfirullah. Memang pasangan tak tau malu. Dengan sedikit emosi kuraih gerendel pintu dan mendorongnya. Seperti dugaan, Mas Arman tidak mengunci pintu."Assalamualaikum!" Aku menyapa s
Kembali kulanjutkan kegiatanku agar segera selesai dan meninggalkan rumah ini. Sesak rasanya berlama-lama oleh sebab rasa muak serta jijik yang menyelimuti relung dada."Li! Aku gak pegang uang sama sekali."Aku berhenti memasukkan buku-buku ke dalam kardus, berbalik menatapnya, heran. "Lah, terus? Apa urusannya denganku, Mas?""Pegangin aku uang, Li. Untuk beberapa hari aja. Setelah beberapa hari aku bakal cari kerjaan." Mas Arman menunjukkan wajah memelas.Akhirnya aku tertawa, keras. "Setelah menzalimi aku, Mas masih gak ada muka minta-minta duit ke aku?" Aku tertawa lagi. "Makanya dari kemarin itu kerja, Mas. Mas itu laki-laki." Aku berdecak, menggeleng, kembali melanjutkan mengemasi buku yang tadi sempat terhenti."Masa kamu tega, Li?"Kuabaikan pertanyaannya barusan. Anggap saja aku mendadak budek dan tak mendengar ucapannya. Dasar lelaki egois. Hanya mementingkan diri sendiri.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Lega rasanya Lita dan anakku sudah kembali dari mini market. Ter
Purwari tersenyum, tetapi matanya tak lepas dari pekerjaan di tangan. "Modelan bapakmu mana mau pakai sarung baru, Li. Sarung ini adem katanya. Bapakmu bakal terus memakainya sampai kain ini benar-benar lapuk dan rapuh."Lia sudah tau tentang kebiasaan Tarjo itu. Jadi Lia tidak menyarankan apa-apa lagi."Gimana pekerjaanmu di Jakarta, Nduk? Apa ada masalah?"Lia menggeleng. "Enggak, Mak. Alhamdulillah aku bekerja pada bos yang baik.""Syukurlah. Lalu ... apa kamu masih sering bertemu Yuli?" Purwari berhati-hati sekali menanyakan hal yang sensitif ini. "Walau gimana pun, dia sepupumu, Nak."Lia tersenyum penuh ketulusan. "Mak, sungguh aku udah maafin Mbak Yuli. Bahkan ketika mendiang Mas Arman masih hidup. Udah jalan hidup dan takdirku begini. Mau gimana lagi." Lia mengedik bahu.Purwari menoleh sepintas pada anaknya. Wanita itu mencoba membaca raut Lia. "Apa kamu mau Emak jodohkan?"Seketika Lia tergelak. "Mak, Mak. Zaman udah moderen gini, ah. Lagian Lita pun belum menikah. Aku mah t
Bus yang membawa Lia, Lita dan Nurul melaju menembus pekatnya malam. Mereka membutuhkan waktu lima jam lagi hingga tiba di kampung halaman. Waktu menunjuk ke jam sebelas, tapi mata Lia belum bisa terpejam sedari tadi.Di sebelahnya, Nurul dan Lita telah tertidur pulas tertutup selimut kotak-kotak yang tersedia di masing-masing kursi penumpang.Sejak memantapkan hati untuk kembali menata hati, Lia jadi susah tidur. Ini kebiasaannya sedari remaja dulu bila diserang gundah gulana. Lia tidak ingin melawan rasa yang menyakitkan itu. Dia biarkan luka merambat ke hatinya hingga luka itu sembuh dengan sendirinya. Lia hanya butuh waktu.Lia kembali memandangi layar ponsel dan membaca pesan dari Kevin yang pria itu kirimkan sebelum masuk ke dalam mobil dan pergi bersama Siska.[Maaf aku belum sempat menjelaskan situasi ini kepadamu, Lia. Tapi aku berjanji akan segera berbicara denganmu dari hati ke hati. Enggak di sini. Aku butuh berdua aja denganmu.]Lia tidak berniat sedikit pun untuk membala
Sore harinya Kevin menepati ucapannya. Namun dia tidak datang sendirian. Ada Siska yang bersamanya. Tentu hal ini membuat Siti terheran-heran dan memaklumi kenapa sedari pagi Lia menjadi pendiam."Hai, ternyata kamu kerja di cabang yang ini, Mbak?" Siska melambai ke Lia secara bersahabat. Ini lah yang membuat kenapa Lia tidak bisa membenci gadis itu. Siska terlalu ramah dan baik, bahkan terlihat menyayangi Nurul saat di rumah orang tua Kevin kemarin."Iya, Mbak. Saya ditempatin di toko yang ini," jawab Lia memaksakan seulas senyum.Kevin sempat kebingungan, bagaimana menjelaskan kepada Lia. Namun Lia selalu menghindari tatapan pria itu. Sedang barang yang baru saja dibawa Kevin dari mobil, segera diambil Siti."Maaf aku gak bisa mampir lama, Li. Aku harus ... nganterin Siska ke suatu tempat." Kevin menjelaskan sembari garuk-garuk kepalanya."Iya, Ko. Gak apa-apa." Bibir Lia tersenyum, tapi tidak dengan matanya. "Oh, ya, Ko. Sekalian aku mau minta izin cuti.""Cuti?" Alis Kevin bertaut
Nurul telah tertidur sejak tadi, sedangkan Lia masih menonton televisi. Meski mata wanita itu menuju layar benda elektronik di hadapan, tapi Lita tau kakak perempuan satu-satunya itu tengah memikirkan sesuatu."Nih, kopi. Aku juga buatin buat Mbak Lia." Lita menyodorkan segelas kopi instan yang telah terseduh.Lia menoleh lantas menyambut pemberian adiknya itu. "Kamu kebiasaan, ya, Dek. Kasih kopi ke Mbak di jam segini." Lia menggeleng-gelengkan kepala.Lita tertawa, lantas menyusul duduk di sebelah kakaknya. "Gak minum kopi juga Mbak gak bakalan bisa tidur malam ini. Iya, kan?"Lia terdiam sejenak. "Kamu tau dari mana?""Tadi aku udah nanya ke Nurul tentang apa aja yang kalian lakuin di rumah orang tua Ko Kevin." Lita tak membalas tatapan kakaknya. Dia menyeruput kopinya sendiri sambil menatap televisi. "Siapa gadis cantik yang diceritain Nurul ke aku, Mbak?"Lia tersenyum miris lalu menggeleng. "Entah lah. Mbak juga belum tau pasti, tapi ... kayaknya dia dan Ko Kevin pernah punya hu
"Maaf, kalau ucapanku tadi ngagetin. Tapi benar, kok. Aku sama Kevin pernah tidur di ranjang yang sama. Waktu itu aku ketiduran di kamar Kevin, eh, Kevin-nya malah gak ngebangunin. Aku dibiarkan tidur di kamarnya sampai pagi." Siska kembali tertawa.Kevin menelan ludah. Dia baru menyadari bahwa ekspresi Lia sedang tidak baik-baik saja."Dulu aku kuliah di Singapura, tinggal di rumah Om Sarwono, Li. Makanya aku dan Siska dekat," terang Kevin.Lia manggut-manggut. Hatinya mulai lega. Keterangan dari Kevin itu cukup menjelaskan opini yang salah di kepala Lia sejak kedatangan Siska tadi."Tapi dulu Kevin pernah cium aku, Tante." Siska melirik Kevin lantas tersenyum simpul.Kali ini Kevin yang tersedak, tapi Siska malah semakin tergelak."Benar kah?" Mami Kevin terbelalak. "Bisa-bisanya, ya, kamu Kevin." Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala."Ya dimaklumi aja, Mi. Namanya aja anak kita waktu itu masih labil." Papi Kevin buka suara.Prasangka buruk yang sempat singgah lalu pergi, kini ber
Gadis yang dipanggil oleh Mami Kevin dengan nama Siska tersebut pun menoleh. Dia tersenyum lebar menuju wanita itu sembari membentang kedua tangannya. Mereka kemudian saling berpelukan erat sekali."Tante apa kabar? Tante makin cantik aja. Apa, sih, rahasianya?" sapa Siska ramah."Duh kamu ini, lho, yang makin cantik, Nak. Tante sempat bingung tadi mau ngebedain antara kamu sama bidadari. Tante pikir bidadari dari mana yang turun dari mobil suami Tante.""Ah, Tante bisa aja." Siska kembali tertawa renyah memamerkan giginya yang putih dan berderet rapi.Entah mengapa sejak kedatangan Siska, Lia merasa dirinya benar-benar di tempat yang asing. Penampilan terbaiknya hari ini, sungguh kalah jauh bila dibandingkan dengan gadis itu.Siska yang sejak tadi dipandangi oleh Lia dan Nurul tanpa berkedip, sontak menoleh kepada dua beranak tersebut."Siapa mereka, Tante?" tanya Siska.Mami Kevin seperti baru menyadari keberadaan Lia dan Nurul yang masih ada di tengah-tengah mereka. "Oh ... dia Lia
Kevin tertawa renyah sembari mencubit kedua pipi ibunya itu."Mami kayak anak kecil aja. Aku kan sering ke sini, Mi. Cuma beberapa hari ini aku memang lagi sibuk banget. Ada beberapa barang yang harus aku kirimkan ke luar kota." Kevin menjelaskan secara panjang lebar.Baru lah wanita itu yang merupakan ibu dari Kevin bisa memberikan senyuman walau tipis."Oh ya, Mi. Kenalin ini yang namanya Lia, dan ini putrinya Nurul."Mami Kevin menoleh kepada Lia yang sedari tadi diam saja. Wanita itu tidak banyak berkata-kata. Hanya menerima ciuman tangan Lia dan Nurul yang meniru gerakan ibunya itu."Ayo, masuk ke dalam kalo gitu. Jangan berdiri di luar." Mami Kevin mendahului masuk lalu duduk di ruang tamu. Kevin duduk menyusul di sebelah ibunya."Papi mana, Mi?""Tadi keluar sebentar. Jemput teman masa kecilnya di bandara dari Singapura. Teman Papi-mu itu mau nginep di sini katanya beberapa hari.""Siapa, Mi?" Kevin mengerutkan dahi."Om Sarwono. Kamu masih ingat, gak?"Raut Kevin langsung beru
Dada Lia berdebar. Sejak dari kemarin sore, Kevin telah memberitahunya untuk bersiap-siap. Sebab pada hari ini pria itu ingin mengajak kekasihnya pergi mengunjungi orang tua Kevin yang tinggal di kota sebelah."Aku ingin memperkenalkan kamu ke mereka, Li. Kamu lihat, kan, kalau aku benar-benar serius ingin menikahi kamu."Kevin bicara pada Lia via telepon."Tapi ... gimana kalo mereka gak suka sama aku, Ko?" Lia malah balik bertanya dengan perasaan ragu.Kevin tertawa. "Jangan berprasangka buruk dulu sebelum melihat sendiri, Li. Mereka baik kok. Tapi ... ya memang orang tuaku tipe orang tua yang memegang prinsip jaman dulu. Mereka amat disiplin dan tegas.""Baru mendengarnya aja aku udah panas-dingin, Ko." Lia mulai merasakan buku-buku jemarinya mengeluarkan keringat dingin.Terdengar lagi suara renyah Kevin. "Panas-dingin karena kamu udah gak sabaran lagi bertemu dengan mereka? Atau takut?"Lia menggeleng. "Entah lah, Ko. Susah bagi aku untuk menjelaskannya." Lia menarik napas panjang
Dengan mantap aku mengangguk dan berkata 'Ya'. Tentu saja aku tidak akan menolak pria di depanku ini. Pria yang tulus dan tidak memandang kasta serta harta. Pria yang menerima semua kekuranganku, terlebih lagi aku mencintainya.Gemuruh sorakan semakin kuat terdengar. Ko Kevin dengan senyum mengembang lantas berdiri, meraih cincin di genggamanku dan menyematkannya di jari manis. "Terima kasih." Kecupan lembut mendarat di dahiku, setelah dia mengucapkan dua kalimat itu.~AA~Mesin mobil Ko Kevin telah dimatikan sejak tadi. Kami sudah pulang dan tiba di depan kontrakanku. Namun, sejak mesin mobil dimatikan, Ko Kevin mau pun aku tidak juga mengeluarkan kata-kata sedikit pun. Kami hanya duduk saling diam.Entah apa yang tengah dipikirkan Ko Kevin saat ini, sedangkan aku, aku sungguh merasakan gugup yang tidak terkira.Tentu saja, siapa yang menyangka Ko Kevin baru saja melamarku. Seorang pria berwajah rupawan, memiliki harta dan juga bukan dari keluarga sembarangan, berniat menjadikanku se