Purwari tersenyum, tetapi matanya tak lepas dari pekerjaan di tangan. "Modelan bapakmu mana mau pakai sarung baru, Li. Sarung ini adem katanya. Bapakmu bakal terus memakainya sampai kain ini benar-benar lapuk dan rapuh."Lia sudah tau tentang kebiasaan Tarjo itu. Jadi Lia tidak menyarankan apa-apa lagi."Gimana pekerjaanmu di Jakarta, Nduk? Apa ada masalah?"Lia menggeleng. "Enggak, Mak. Alhamdulillah aku bekerja pada bos yang baik.""Syukurlah. Lalu ... apa kamu masih sering bertemu Yuli?" Purwari berhati-hati sekali menanyakan hal yang sensitif ini. "Walau gimana pun, dia sepupumu, Nak."Lia tersenyum penuh ketulusan. "Mak, sungguh aku udah maafin Mbak Yuli. Bahkan ketika mendiang Mas Arman masih hidup. Udah jalan hidup dan takdirku begini. Mau gimana lagi." Lia mengedik bahu.Purwari menoleh sepintas pada anaknya. Wanita itu mencoba membaca raut Lia. "Apa kamu mau Emak jodohkan?"Seketika Lia tergelak. "Mak, Mak. Zaman udah moderen gini, ah. Lagian Lita pun belum menikah. Aku mah t
Aku melambai ke arah Siti yang pergi menjauh di atas boncengan motor hitam suaminya. Setelah sosoknya menghilang, kualihkan pandangan, memanjangkan leher melihat angkutan kota jurusan ke rumah. Aku mengembuskan napas, lelah karena telah bekerja seharian.Energiku telah banyak terkuras. Beragam watak dan keinginan pelanggan hari ini, membuatku bekerja tidak seperti biasanya. Entah apa mimpiku semalam, apa yang mereka inginkan tidak sesuai dengan apa yang mereka tuturkan.Semisalnya saja saat tadi di waktu lima menit sebelum aku beristirahat hendak makan, seorang ibu-ibu setengah baya datang ke toko untuk membeli alat pengocok kue alias mixer, tapi sedari awal kedatangannya, dia ngotot minta diambilkan blender. Setelah barangnya kuperlihakan, dengan tersipu malu ibu itu bilang bahwa dia butuh mixer bukan blender.Aku maklumi saja, wanita seusia beliau terkadang keliru menamai benda-benda tertentu. Seperti ibuku yang kadang bilang warna biru adalah warna hijau. Tipe emak-emak jaman dulu.
"Assalamualaikum ...."Ketika langkahku memasuki rumah, terdengar derit engsel pintu kamar depan terbuka, itu ialah kamarku. Langkah seseorang seperti berlari ke arah dapur. Pintu kamarku menghadap ke bagian belakang rumah, itu sebabnya aku tak bisa menjangkaunya dengan mata.Kian penasaran sebab salamku juga tak dibalas, aku mendapati Mas Arman sedang menyisir rambutnya yang berantakan di dalam kamar."Eh, Ibu udah pulang!" Dia nyengir tak jelas."Aku tadi salam. Emang Mas gak dengar?" Aku meraih tangannya dan kucium. "Mana Nurul?""Tadi dia main ke luar sama teman-temannya.""Ajakin pulang, Mas. Hari udah mau Magrib." Aku meminta Mas Arman mencari Nurul sambil melangkah ke dapur.Suara keran tempat cucian piring menyala. Ada Mbak Yuli sedang mencuci piring-piring kotor. "Lho, Mbak?" Aku agak terkejut. Tak biasanya dia datang sewaktu tidak ada aku di rumah.Mbak Yuli adalah sepupuku. Dia anak dari kakak perempuan ibuku. Rumahnya juga tak jauh dari sini. Terpisah hanya beberapa rumah s
"Oh, ya, Nak. Memangnya Bude Yuli sering ke sini sendirian, ya, kalo ibu lagi gak ada?" Aku mencoba mengorek informasi dengan nada biasa. Agar putriku ini tidak berpikiran yang tidak-tidak.Tak disangka, putriku mengangguk sembari melanjutkan kunyahannya."Lama gak?" tanyaku lagi."Lumayan lama, Bu. Pernah sampe Nurul pulang Bude Yuli masih di sini," jawab Nurul. "Kadang suara ketawanya terdengar sampai ke luar rumah, Bu."Astaghfirullah! Aku hanya bisa mengucap dalam hati saja.Tunggu. Dahiku berkerut dalam. Aku masih ingin menanyakan satu pertanyaan lagi, tapi apa pantas jika aku bertanya pada Nurul; Ayah sama Bude Yuli ngapain aja di rumah?Huh! Tapi ucapan itu berhasil kusimpan dalam benak. Aku tak ingin pertanyaan itu akan menjadi beban pikiran untuk anakku.Meski Nurul masih berusia delapan tahun, tapi aku yakin dia bakal bisa mencerna dan menilai semua apa yang terjadi di depan matanya. Jika aku memperlihatkan kecurigaan pada Nurul, pasti ini akan menjadi beban pikiran baginya.
"Kamu kenapa melamun dari tadi, Li?" Siti bertanya saat kami duduk di kursi belakang konter sembari menanti pelanggan. Jam segini memang waktu-waktu yang sepi pembeli. Kami jadi bisa duduk sambil berbicara berdua."Ada yang mengganggu pikiranku, Ti. Tapi, aku gak mau mengikuti kecurigaanku." Kuembuskan napas panjang-panjang. "Nanti malah kesannya jadi suudzon.""Tentang apa?"Kupandangi Siti. Meski aku mengenal Siti adalah sosok yang amanah dan agamis, tapi aku masih ragu untuk mengungkapkan segala isi hatiku padanya. Tapi jika dipikir lagi, apa aku sanggup memendam rasa ini sendirian?"Tentang Mas Arman." Akhirnya aku menyerah. Kupikir aku butuh teman berbagi dan meminta pendapat."Tentang pekerjaan lagi?"Aku menggeleng. "Bukan. Aku curiga dia main belakang dengan sepupuku. Kemarin, Nurul cerita Mas Arman dan sepupuku itu sering berduaan di rumah. Sedangkan anakku sering disuruh main keluar, kayak sengaja diusir sebentar." Aku mengembuskan napas, lagi."Ya Allah. Nanti jadi fitnahan
Mobil Koko Kevin terus melaju perlahan melewati jalan aspal menuju rumahku. Kali ini aku pikir suasananya terlihat agak berbeda. Sepanjang jalan yang kami lalui, kini lebih banyak orang-orang duduk di tepi jalanan. Ada juga sebagian dari mereka yang berdiri. Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu. Semakin mendekati rumahku, semakin banyak yang bergerombol sembari menatap ke satu arah, yakni tujuan kami.Di pekarangan rumahku, ternyata sudah penuh sesak oleh para tetangga yang berkerumun.Apakah orang-orang yang kulihat sepanjang jalan tadi, membicarakan kerumunan ini? Ada apa, ya? Mengapa tetanggaku pada berkerumun? Seketika aku menelan ludah, gugup. Feeling-ku mengatakan ada sesuatu perkara buruk yang telah terjadi."Terima kasih, ya, Ko. Itu rumah saya," kataku menunjuk rumah yang pintunya menganga terbuka."Kok rame? Kamu ada acara?" Ko Kevin ternyata merasakan perasaan heran juga, sama sepertiku.Aku menggeleng. "Saya juga gak tau, Ko." Tergesa-gesa kubuka pintu mobil, setengah
"Li, mau kemana kamu?!" Mas Arman berdiri setelah melihatku kesusahan menyeret koper-koper dan beberapa tas keluar dari kamar. Raut pria itu cemas. Bibirnya bergetar."Aku mau ngungsi ke tempat adikku, Mas. Mas selesaikan aja masalah ini. Mas harus berani bertanggung jawab karena Mas-lah yang telah memulainya sendiri. Cari jalan yang terbaik. Kalo perlu nikahi Mbak Yuli. Nanti surat perceraian kita bisa menyusul belakangan.""Gak! Aku gak mau kita bercerai! Aku gak mau pisah sama kamu."Aku menggeleng tegas. "Aku gak bisa lagi hidup bersama seorang pengkhianat, apalagi Mas telah berzina dengan perempuan itu." Aku melangkah pergi keluar rumah diiringi tatapan kasian dari orang-orang yang melihat.Aku menuju rumah Bu Rahmi, kumasuki pekarangannya. Kutinggalkan koper dan tas di bawah teras, lalu melangkah memasuki ruang tamu di mana Nurul sudah menungguku."Rodiyah, ajakin Nurul ke kamarmu, ya. Mama mau ngobrol sama Tante Lia sebentar," titah Bu Rahmi pada putrinya yang sedang bermain bon
Aku bersandar pada tembok kamar berukuran lima kali lima meter persegi, bernuansa pink dan putih. Ada satu tempat tidur nomor dua, satu lemari dua pintu, meja kompor dan satu kulkas mini. Nurul sudah tertidur pulas di atas seprai bermotif Hello Kitty. Dia meringkuk memeluk guling menghadap ke dinding. Lita melangkah mendekat, meletakkan secangkir kopi di hadapanku, lalu menyusul duduk di sebelah. Beralaskan karpet rasfur berwarna abu-abu kami duduk bersisian. "Jadi ... apa yang bakal Mbak lakuin ke depan ntar?" Sejenak hening. Lantas aku menggeleng tidak tahu. Rasanya otakku merasa belum sanggup untuk berpikir secara jernih. Aku raih secangkir kopi yang disuguhkan Lita tadi. Perlahan aku menyeruput cairan berkafein itu. "Tinggal di sini juga gak apa-apa, kok, Mbak. Toh, aku malah senang. Tadi aku juga udah laporan pada Bu Kos. Dia ngebolehin. Yang penting katanya lapor kalo ada tamu yang datang menginap di sini." Lita melanjutkan. "Mbak mikirin sekolahnya Nurul, Ta," sahutku. "K