Beranda / Romansa / Kulepas Suami Benalu Untuk Pelakor / 1. Tulang Punggung Keluarga

Share

Kulepas Suami Benalu Untuk Pelakor
Kulepas Suami Benalu Untuk Pelakor
Penulis: Narpendyah Kahurangi

1. Tulang Punggung Keluarga

Aku melambai ke arah Siti yang pergi menjauh di atas boncengan motor hitam suaminya. Setelah sosoknya menghilang, kualihkan pandangan, memanjangkan leher melihat angkutan kota jurusan ke rumah. Aku mengembuskan napas, lelah karena telah bekerja seharian.

Energiku telah banyak terkuras. Beragam watak dan keinginan pelanggan hari ini, membuatku bekerja tidak seperti biasanya. Entah apa mimpiku semalam, apa yang mereka inginkan tidak sesuai dengan apa yang mereka tuturkan.

Semisalnya saja saat tadi di waktu lima menit sebelum aku beristirahat hendak makan, seorang ibu-ibu setengah baya datang ke toko untuk membeli alat pengocok kue alias mixer, tapi sedari awal kedatangannya, dia ngotot minta diambilkan blender. Setelah barangnya kuperlihakan, dengan tersipu malu ibu itu bilang bahwa dia butuh mixer bukan blender.

Aku maklumi saja, wanita seusia beliau terkadang keliru menamai benda-benda tertentu. Seperti ibuku yang kadang bilang warna biru adalah warna hijau. Tipe emak-emak jaman dulu.

Sekali lagi kutolehkan kepala ke ujung jalan. Belum ada tanda-tanda kendaraan merah itu akan muncul. Padahal biasanya aku tak begitu sulit menemukan benda beroda empat itu.

Namaku Lia. Aku seorang ibu rumah tangga berusia 25 tahun yang memiliki seorang putri. Nurul namanya. Aku baru saja selesai bekerja. Pekerjaanku sebagai karyawan toko sejak pukul 08.00 pagi hingga 17.00 sore.

Suamiku? Mas Arman baru saja di-PHK dan masih menganggur di rumah. Di masa pandemi ini, tentulah sulit mencari pekerjaan lagi. Itu sebabnya sembari menunggu Mas Arman mendapat pekerjaan, aku untuk sementara menggantikannya bekerja. Gaji yang kudapat? Ya ... lumayan lah. Bisa untuk membayar kontrakan rumah dan makan sehari-hari. Aku harus lebih bersyukur, bukan, sebab yang lebih kesusahan dariku lebih banyak lagi.

Angkot yang kutunggu akhirnya datang. Tanpa menunggu lama, aku segera naik ke kendaraan umum itu. Aku mengambil bangku paling ujung dan mengenyakan diri. Ah, akhirnya aku bisa mengistirahatkan kaki setelah berdiri lumayan lama sejak tadi. Tak sabar ingin segera tiba di rumah dan bertemu anakku.

Kebetulan penumpang di angkot itu cuma aku sendiri. Secara leluasa aku buka lebar kaca di sisi. Kubiarkan angin meriap-riapkan rambutku yang hitam, yang hari ini kubiarkan bebas tergerai. Angin yang masuk cukup menenangkan pikiranku dari kekalutan hidup yang mendera.

Bagaimana tidak, sebelum bekerja aku selalu bersama putriku selama 24 jam. Ke mana pun dia pergi; ke sekolah atau pun mengaji, selalu aku yang antar. Kini, putriku harus menjadi mandiri, seperti ibunya yang telah berubah menjadi tulang punggung keluarga.

Lamunan-lamunan menyedihkan sepanjang perjalanan ini cukup menyita waktu. Tanpa sadar gapura lorong ke arah rumah sudah terlihat dari kejauhan. Kuberi aba-aba pada Pak Sopir untuk menghentikan angkotnya di situ. Sesudah mobil berhenti secara sempurna, aku lekas turun dan membayar ongkos.

Butuh lima menit lagi bagiku berjalan kaki untuk tiba di rumah. Aku melangkah santai sembari menikmati angin sore. Ketika melewati beberapa bedeng, kubalas satu-satu sapaan orang-orang yang kukenal, menyapa mereka dengan ramah.

Ya, kawasan tempat aku tinggal ini banyak bedeng dan rumah kos-kosan. Harganya masih terbilang murah. Itu sebabnya daerah ini ramai, orang-orang selalu berebut masuk jika ada salah satu warga yang pindah. Selain dekat dengan pasar, di sini juga dekat dengan stasiun kereta api. Mudah bagi penghuni kawasan ini untuk pergi ke mana pun.

Aku menjejakkan kaki di halaman rumah kontrakan. Rumah minimalis dengan dua kamar. Teras sederhana berpilar dua, bercat putih. Kami memilih rumah ini sebab kamar mandi berada di dalam. Tidak seperti bedeng-bedeng yang kulewati tadi, yang hanya punya satu kamar mandi dan digunakan secara bersama-sama. Memang harga per bulannya lebih murah, tapi untuk perempuan pekerja seperti aku, tentu tidak bisa mengantre berlama-lama di kamar mandi. Bisa-bisa aku terlambat pergi bekerja.

Yah ... kekurangannya hanya itu, menurutku. Tapi, tinggal di daerah ini cukup aman. Warganya juga ramah dan bersahabat.

Kulihat pintu depan rumahku terbuka. Ada sepasang sendal jepit asing berada di lantai teras. Itu bukan milikku apalagi milik Mas Arman. Penuh rasa penasaran aku mempercepat langkah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status