Mobil Koko Kevin terus melaju perlahan melewati jalan aspal menuju rumahku. Kali ini aku pikir suasananya terlihat agak berbeda. Sepanjang jalan yang kami lalui, kini lebih banyak orang-orang duduk di tepi jalanan. Ada juga sebagian dari mereka yang berdiri. Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu. Semakin mendekati rumahku, semakin banyak yang bergerombol sembari menatap ke satu arah, yakni tujuan kami.
Di pekarangan rumahku, ternyata sudah penuh sesak oleh para tetangga yang berkerumun.
Apakah orang-orang yang kulihat sepanjang jalan tadi, membicarakan kerumunan ini? Ada apa, ya? Mengapa tetanggaku pada berkerumun? Seketika aku menelan ludah, gugup. Feeling-ku mengatakan ada sesuatu perkara buruk yang telah terjadi.
"Terima kasih, ya, Ko. Itu rumah saya," kataku menunjuk rumah yang pintunya menganga terbuka.
"Kok rame? Kamu ada acara?" Ko Kevin ternyata merasakan perasaan heran juga, sama sepertiku.
Aku menggeleng. "Saya juga gak tau, Ko." Tergesa-gesa kubuka pintu mobil, setengah menunduk pada Ko Kevin, lantas kututup lagi pintu mobilnya.
"Ibu! Ibu!" Nurul berlari ke arahku sembari menangis. Sontak warga yang berkumpul memalingkan wajah menatap ke arahku.
"Ada apa, Nak? Kok orang-orang berkumpul di rumah kita?" Kuusap-usap kepala Nurul dalam pelukan. Kupindai wajah tetangga satu demi satu.
"Ayah, Bu. Sama Bude Yuli." Nurul memiringkan kepalanya, menatap ke arah rumah.
Bu Rahmi, tetangga persis depan rumah yang kebetulan ibunya Rodiyah temannya anakku, melangkah mendekat dan meraih pundak Nurul. "Nurul, ke rumah Ibu dulu, yuk. Rodiyah sendirian di dalam. Tolong temani dia di sana."
Bu Rahmi lalu menatapku dengan sorot mata yang tak bisa kutebak. "Masuk dulu ke dalam, Li. Liat apa yang terjadi. Udah ada Pak RT sama beberapa warga di dalam." Bu Rahmi membalik badan dan membawa Nurul bersamanya.
Hatiku berdetak tak enak. Aku melangkah menyibak kerumunan. Telingaku mendengar tangisan Mbak Yuli saat kakiku menginjak lantai teras. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum memutuskan masuk ke rumah.
"Akhirnya Mbak Lia pulang juga." Pak RT yang duduk di ruang tamu, berdiri menyambutku.
"Ada apa, ya, Pak RT? Kenapa rumah saya dikepung warga begini?"
"Mari kita bicarakan di dalam, Mbak."
Aku melanjutkan langkah. Di ruang keluarga, Mbak Yuli masih terus menangis dan di sebelahnya Mas Arman menunduk dalam diam.
"Kami memergoki Mas Arman dan Mbak Yuli sedang melakukan hal yang tidak senonoh, Mbak."
Aku mematung. Akhirnya apa yang kutakutkan terjadi. Kupandangi mereka berdua, tapi orang yang kutatap tidak berani memalingkan wajah dan membalas tatapanku.
"Bikin sial daerah sini aja!"
"Emang dasar gak tau malu!"
"Bini kerja, lakinya malah asyik-asyikan mesum sama perempuan lain!"
"Ini juga. Yang cewenya gatal gak tau diri. Laki sodara aja diembat!"
Masih banyak umpatan-umpatan lain yang terdengar setelah penjelasan dari Pak RT barusan. Malah kulihat ada beberapa warga yang berusaha melayangkan tamparan dan tendangan ke mereka berdua, tapi berhasil dicegah oleh warga yang lain.
"Jadi, gimana Mbak Lia? Saya menunggu keputusan dari Mbak terlebih dahulu."
Aku mengembuskan napas. "Saya serahkan hal ini pada warga aja, Pak. Saya nyerah. Saya udah pernah ngingatin Mas Arman, tapi dia mengabaikan."
Mas Arman mendongak, menatapku.
Aku melangkah ke kamar, lantas meraih tas koper di atas lemari. Aku mengisinya dengan baju-baju milikku dan juga Nurul. Aku akan membawa barang-barang yang penting dulu. Sisanya bisa menyusul kemudian.
Biarlah Mas Arman menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia sudah dewasa dan juga seorang laki-laki. Jika aku tak pergi dari rumah ini, kutakutkan Nurul akan trauma setelah kejadian hari ini.
"Li, mau kemana kamu?!" Mas Arman berdiri setelah melihatku kesusahan menyeret koper-koper dan beberapa tas keluar dari kamar. Raut pria itu cemas. Bibirnya bergetar."Aku mau ngungsi ke tempat adikku, Mas. Mas selesaikan aja masalah ini. Mas harus berani bertanggung jawab karena Mas-lah yang telah memulainya sendiri. Cari jalan yang terbaik. Kalo perlu nikahi Mbak Yuli. Nanti surat perceraian kita bisa menyusul belakangan.""Gak! Aku gak mau kita bercerai! Aku gak mau pisah sama kamu."Aku menggeleng tegas. "Aku gak bisa lagi hidup bersama seorang pengkhianat, apalagi Mas telah berzina dengan perempuan itu." Aku melangkah pergi keluar rumah diiringi tatapan kasian dari orang-orang yang melihat.Aku menuju rumah Bu Rahmi, kumasuki pekarangannya. Kutinggalkan koper dan tas di bawah teras, lalu melangkah memasuki ruang tamu di mana Nurul sudah menungguku."Rodiyah, ajakin Nurul ke kamarmu, ya. Mama mau ngobrol sama Tante Lia sebentar," titah Bu Rahmi pada putrinya yang sedang bermain bon
Aku bersandar pada tembok kamar berukuran lima kali lima meter persegi, bernuansa pink dan putih. Ada satu tempat tidur nomor dua, satu lemari dua pintu, meja kompor dan satu kulkas mini. Nurul sudah tertidur pulas di atas seprai bermotif Hello Kitty. Dia meringkuk memeluk guling menghadap ke dinding. Lita melangkah mendekat, meletakkan secangkir kopi di hadapanku, lalu menyusul duduk di sebelah. Beralaskan karpet rasfur berwarna abu-abu kami duduk bersisian. "Jadi ... apa yang bakal Mbak lakuin ke depan ntar?" Sejenak hening. Lantas aku menggeleng tidak tahu. Rasanya otakku merasa belum sanggup untuk berpikir secara jernih. Aku raih secangkir kopi yang disuguhkan Lita tadi. Perlahan aku menyeruput cairan berkafein itu. "Tinggal di sini juga gak apa-apa, kok, Mbak. Toh, aku malah senang. Tadi aku juga udah laporan pada Bu Kos. Dia ngebolehin. Yang penting katanya lapor kalo ada tamu yang datang menginap di sini." Lita melanjutkan. "Mbak mikirin sekolahnya Nurul, Ta," sahutku. "K
Aku terbangun dalam keadaan kepala berdenyut. Wajar saja. Tidurku hanya dua jam. Kulihat Lita masih tertidur dan Nurul duduk di tepian tempat tidur menatapku."Nurul udah bangun?" Aku bangkit, menyibak selimut yang menutupi tubuhku. Pasti semalam Lita yang memasangkannya."Ibu tidur di bawah?""Ibu gak sengaja ketiduran, Nak," jawabku. "Oh, ya. Nanti Nurul sekolah diantar jemput Tante Lita, ya."Nurul mengangguk. "Tapi, buku-buku dan tas sekolah Nurul lupa dibawa, Bu.""Oh, iya, ya." Aku menepuk dahi.Duh, semalam aku lupa membawanya. Benda-benda itu berada di rak mini sebelah TV di ruang keluarga. Aku hanya fokus membawa baju-baju saja dan ingin cepat keluar dari rumah itu."Besok kita jemput. Hari ini Nurul izin gak masuk dulu aja, ya. Nanti jam tujuh Ibu telepon wali kelas Nurul. Minta izin.""Iya, Bu." Nurul mengangguk setuju.~AA~Siti terbelalak. "Gila!" katanya. "Emang lakimu gak tau diri, ya. Udah pengangguran, eh, malah selingkuh," ujarnya lagi.Aku tak menyahut, masih fokus m
Aku, Lita, dan Nurul dalam perjalanan menuju rumah kontrakan yang pernah kutinggali bersama Mas Arman, menggunakan taksi online. Lita bersikeras ingin ikut menemani. Dia takut jika nanti terjadi sesuatu padaku berhubung Mas Arman masih tinggal di rumah itu. Adikku itu mengkhawatirkan keselamatan kakaknya. Menurut dia, bisa saja Mas Arman menyimpan dendam dan amarah setelah kutinggalkan begitu saja.Mobil yang membawa kami berhenti sempurna di pekarangan rumah. Suasana sepi. Tak banyak warga di kanan kiri jalan sebab saat ini tengah hari. Mungkin sebagian dari mereka sedang tidur siang atau jalan-jalan keluar rumah di hari Minggu.Setelah membayar ongkos kami bertiga turun, melangkah ke teras yang pintunya tertutup rapat. Aku hendak mengetuk daunnya, tetapi terdengar suara cekikik perempuan dari dalam.Astaghfirullah. Memang pasangan tak tau malu. Dengan sedikit emosi kuraih gerendel pintu dan mendorongnya. Seperti dugaan, Mas Arman tidak mengunci pintu."Assalamualaikum!" Aku menyapa s
Kembali kulanjutkan kegiatanku agar segera selesai dan meninggalkan rumah ini. Sesak rasanya berlama-lama oleh sebab rasa muak serta jijik yang menyelimuti relung dada."Li! Aku gak pegang uang sama sekali."Aku berhenti memasukkan buku-buku ke dalam kardus, berbalik menatapnya, heran. "Lah, terus? Apa urusannya denganku, Mas?""Pegangin aku uang, Li. Untuk beberapa hari aja. Setelah beberapa hari aku bakal cari kerjaan." Mas Arman menunjukkan wajah memelas.Akhirnya aku tertawa, keras. "Setelah menzalimi aku, Mas masih gak ada muka minta-minta duit ke aku?" Aku tertawa lagi. "Makanya dari kemarin itu kerja, Mas. Mas itu laki-laki." Aku berdecak, menggeleng, kembali melanjutkan mengemasi buku yang tadi sempat terhenti."Masa kamu tega, Li?"Kuabaikan pertanyaannya barusan. Anggap saja aku mendadak budek dan tak mendengar ucapannya. Dasar lelaki egois. Hanya mementingkan diri sendiri.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Lega rasanya Lita dan anakku sudah kembali dari mini market. Ter
Tak membutuhkan waktu lama bagi hakim untuk mengetuk palu atas perceraian aku dan Mas Arman. Sebab pada tim survey pengadilan, kukatakan yang sesungguhnya tanpa ada hal yang harus disembunyikan atau pun ditambah-tambahi. Terlebih lagi dari bukti kuat jika Mas Arman yang melakukan kesalahan, mediasi antara kami berdua tak lagi dibutuhkan.Hidupku terasa tenang setelahnya. Tanpa beban, kujalani pekerjaan seperti biasa. Nurul juga kembali ke rutinitasnya bersekolah dengan Lita yang selalu bersedia mengantar jemput setiap hari.Dari Bu Rahmi aku mendapat kabar bahwa Mas Arman dan Mbak Yuli sudah menikah secara sederhana, dihadiri aparat setempat dan juga beberapa tetangga. Jujur aku lega mendengar itu. Setidaknya, Mas Arman tidak melakukan perzinahan secara terus-terusan.Siang ini, Siti yang baru selesai makan berjalan menghampiriku. "Aku udah kelar, Li. Gantian sana. Giliran kamu yang makan."Kutolehkan kepala ke arah jam dinding. "Waktu untukmu istirahat masih sepuluh menit lagi, Ti. Ko
Memang gila, ya. Mantan suamiku ini. Tak tahu malu sekali. Perihal duit, kok, larinya malah ke aku."Aku gak punya simpanan, Mas. Biaya buku, baju dan sekolah Nurul udah kubayar buat beberapa bulan. Aku gak ada pegangan lagi," ujarku bohong."Ah, masak gak punya simpanan. Kan kamu dan Nurul numpang gratis di kosannya adikmu itu."Mataku menyipit tak percaya pada ucapan pria yang pernah jadi parasit dalam hidupku ini."Gratis Mas bilang? Jangan samakan aku dengan diri Mas Arman, ya, yang cuma bisanya menengadahkan tangan pada istri. Aku tinggal dengan Lita juga bantu buat makan dan bayar kos-kosan, Mas. Aku ini punya otak dan sadar diri," ucapku berapi-rapi. "Udah, ah. Jangan pernah nemuin aku lagi kalo cuma mau bicara tentang duit, Mas. Sana kerja! Kalo perlu suruh istri Mas jadi tukang cuci biar bisa kasih duit buat laki barunya.""Aku ngomong baik-baik, ya, Li. Kenapa kamu jadi kasar gitu?!" Mas Arman berkacak pinggang. Suaranya meninggi. Orang-orang yang lewat di sekitar, menoleh ke
Mas Arman memang kelewatan. Belum lagi hilang pusing di kepalaku karena ulahnya tempo hari, siang ini Bu Rahmi memberiku kabar yang tak enak.Hari ini Minggu. Aku sedang mengajari Nurul mengerjakan tugas sekolahnya. Sembari mengawasi, aku bermain ponsel, membuka-buka beranda F******k, melihat-lihat status temanku yang lewat di sana.Tak lama, layar ponsel menampilkan panggilan dari Bu Rahmi. Segera kuangkat, berhubung aku sedang tidak sibuk kali ini."Hallo, Bu Rahmi. Apa kabar?" sapaku ramah."Li, saya mau kasih tau. Tapi, jangan bilang-bilang si Arman, ya." Bu Rahmi berbicara dari panggilan telepon dengan nada setengah berbisik."Iya, Bu. Ada apa, ya? Bikin saya penasaran aja." Aku mengerutkan dahi."Beberapa hari ini si Arman nawarin perabotan di rumahnya. Kayak tempat tidur, kulkas, sama elektronik yang lain. Kamu tau, gak?"Kupijat pelipis yang mendadak berdenyut. "Saya gak tau, Bu. Saya gak pernah suruh Mas Arman menjual barang-barang di rumah itu. Itu kan barang-barang hasil say