Aku terbangun dalam keadaan kepala berdenyut. Wajar saja. Tidurku hanya dua jam. Kulihat Lita masih tertidur dan Nurul duduk di tepian tempat tidur menatapku.
"Nurul udah bangun?" Aku bangkit, menyibak selimut yang menutupi tubuhku. Pasti semalam Lita yang memasangkannya.
"Ibu tidur di bawah?"
"Ibu gak sengaja ketiduran, Nak," jawabku. "Oh, ya. Nanti Nurul sekolah diantar jemput Tante Lita, ya."
Nurul mengangguk. "Tapi, buku-buku dan tas sekolah Nurul lupa dibawa, Bu."
"Oh, iya, ya." Aku menepuk dahi.
Duh, semalam aku lupa membawanya. Benda-benda itu berada di rak mini sebelah TV di ruang keluarga. Aku hanya fokus membawa baju-baju saja dan ingin cepat keluar dari rumah itu.
"Besok kita jemput. Hari ini Nurul izin gak masuk dulu aja, ya. Nanti jam tujuh Ibu telepon wali kelas Nurul. Minta izin."
"Iya, Bu." Nurul mengangguk setuju.
~AA~
Siti terbelalak. "Gila!" katanya. "Emang lakimu gak tau diri, ya. Udah pengangguran, eh, malah selingkuh," ujarnya lagi.
Aku tak menyahut, masih fokus membersihkan kaca-kaca etalase yang memajang barang-barang jualan.
"Trus, kamu tinggal di mana sekarang, Li?" Siti bertanya, melanjutkan menyapu lantai yang tadi terhenti sebentar.
"Di kosan adikku. Gak jauh dari sini."
"Emang, ya, benar-benar si Arman." Siti berdecak. "Kalo aku jadi kamu, mereka berdua udah habis aku bejek-bejek." Siti nyerocos sewot.
Suara pintu mobil terdengar ditutup berasal dari parkiran depan ruko. Aku dan Siti bersamaan menoleh ke arah yang sama, memandang ke pria yang berjalan mendekat. Ko Kevin berkaos putih dan celana jeans selutut dengan sepatu kets. Kostum khas yang sering dipakainya jika bos kami itu akan bermain badminton di Sabtu pagi. Ada dua kardus di pelukannya. Tampaknya berisi barang-barang baru.
Siti memberi kode padaku. Bergegas aku menghampiri pria berwajah oriental itu, ingin merebut kardus-kardus yang dia bawa. Namun, dia hanya memberi satu. Satunya lagi masih dia pertahankan dengan alasan lumayan berat.
Aku mengekor di belakang Koko Kevin, melewati rak-rak dan berakhir di sebuah pintu pembatas antara toko dan kantornya. Melangkah masuk, aku meniru gerakannya meletakkan kardus ke atas meja di sudut ruangan. Sedikit mengangguk hendak pamit, aku bermaksud meninggalkannya. Namun, sapaannya menghentikan langkahku.
"Kamu gak apa-apa?" Koko Kevin menatap dengan bola matanya yang hitam.
Aku membalik badan, menghadap ke arahnya. Dahiku berkerut tanda tak mengerti.
"Maaf. Kemarin pas saya antar kamu pulang, saya sempat bertanya pada salah satu warga yang sedang berkerumun. Saya cuma khawatir, terjadi perampokan atau sesuatu di rumahmu." Koko Kevin berucap dengan nada tulus. "Kamu gak apa-apa?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk lantas mengulas senyum. "Saya gak apa-apa, Ko."
"Seumpama kamu butuh hari libur. Bilang aja. Kamu butuh menenangkan diri."
Aku menggeleng. "Gak, Ko. Dengan bekerja saya bisa fokus melupakan semuanya. Jika saya sendirian, saya malah selalu teringat pada masalah yang sedang saya alami."
Koko Kevin mengangguk berulang kali. "Bagus, saya suka cara berpikir perempuan hebat seperti kamu. Jangan sia-siakan air mata untuk seorang pengkhianat. Apa, ya, namanya? Mubazir?"
Mau tak mau aku tertawa. "Betul, Ko. Mubazir."
Dia pun ikut tersenyum. Ah, lagi-lagi bosku itu memberi senyuman kepadaku yang mampu menghangatkan hati. Kupastikan wajahku terlihat bersemu dari pantulan kaca lemari di sudut kantornya.
~AA~
Aku, Lita, dan Nurul dalam perjalanan menuju rumah kontrakan yang pernah kutinggali bersama Mas Arman, menggunakan taksi online. Lita bersikeras ingin ikut menemani. Dia takut jika nanti terjadi sesuatu padaku berhubung Mas Arman masih tinggal di rumah itu. Adikku itu mengkhawatirkan keselamatan kakaknya. Menurut dia, bisa saja Mas Arman menyimpan dendam dan amarah setelah kutinggalkan begitu saja.Mobil yang membawa kami berhenti sempurna di pekarangan rumah. Suasana sepi. Tak banyak warga di kanan kiri jalan sebab saat ini tengah hari. Mungkin sebagian dari mereka sedang tidur siang atau jalan-jalan keluar rumah di hari Minggu.Setelah membayar ongkos kami bertiga turun, melangkah ke teras yang pintunya tertutup rapat. Aku hendak mengetuk daunnya, tetapi terdengar suara cekikik perempuan dari dalam.Astaghfirullah. Memang pasangan tak tau malu. Dengan sedikit emosi kuraih gerendel pintu dan mendorongnya. Seperti dugaan, Mas Arman tidak mengunci pintu."Assalamualaikum!" Aku menyapa s
Kembali kulanjutkan kegiatanku agar segera selesai dan meninggalkan rumah ini. Sesak rasanya berlama-lama oleh sebab rasa muak serta jijik yang menyelimuti relung dada."Li! Aku gak pegang uang sama sekali."Aku berhenti memasukkan buku-buku ke dalam kardus, berbalik menatapnya, heran. "Lah, terus? Apa urusannya denganku, Mas?""Pegangin aku uang, Li. Untuk beberapa hari aja. Setelah beberapa hari aku bakal cari kerjaan." Mas Arman menunjukkan wajah memelas.Akhirnya aku tertawa, keras. "Setelah menzalimi aku, Mas masih gak ada muka minta-minta duit ke aku?" Aku tertawa lagi. "Makanya dari kemarin itu kerja, Mas. Mas itu laki-laki." Aku berdecak, menggeleng, kembali melanjutkan mengemasi buku yang tadi sempat terhenti."Masa kamu tega, Li?"Kuabaikan pertanyaannya barusan. Anggap saja aku mendadak budek dan tak mendengar ucapannya. Dasar lelaki egois. Hanya mementingkan diri sendiri.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Lega rasanya Lita dan anakku sudah kembali dari mini market. Ter
Tak membutuhkan waktu lama bagi hakim untuk mengetuk palu atas perceraian aku dan Mas Arman. Sebab pada tim survey pengadilan, kukatakan yang sesungguhnya tanpa ada hal yang harus disembunyikan atau pun ditambah-tambahi. Terlebih lagi dari bukti kuat jika Mas Arman yang melakukan kesalahan, mediasi antara kami berdua tak lagi dibutuhkan.Hidupku terasa tenang setelahnya. Tanpa beban, kujalani pekerjaan seperti biasa. Nurul juga kembali ke rutinitasnya bersekolah dengan Lita yang selalu bersedia mengantar jemput setiap hari.Dari Bu Rahmi aku mendapat kabar bahwa Mas Arman dan Mbak Yuli sudah menikah secara sederhana, dihadiri aparat setempat dan juga beberapa tetangga. Jujur aku lega mendengar itu. Setidaknya, Mas Arman tidak melakukan perzinahan secara terus-terusan.Siang ini, Siti yang baru selesai makan berjalan menghampiriku. "Aku udah kelar, Li. Gantian sana. Giliran kamu yang makan."Kutolehkan kepala ke arah jam dinding. "Waktu untukmu istirahat masih sepuluh menit lagi, Ti. Ko
Memang gila, ya. Mantan suamiku ini. Tak tahu malu sekali. Perihal duit, kok, larinya malah ke aku."Aku gak punya simpanan, Mas. Biaya buku, baju dan sekolah Nurul udah kubayar buat beberapa bulan. Aku gak ada pegangan lagi," ujarku bohong."Ah, masak gak punya simpanan. Kan kamu dan Nurul numpang gratis di kosannya adikmu itu."Mataku menyipit tak percaya pada ucapan pria yang pernah jadi parasit dalam hidupku ini."Gratis Mas bilang? Jangan samakan aku dengan diri Mas Arman, ya, yang cuma bisanya menengadahkan tangan pada istri. Aku tinggal dengan Lita juga bantu buat makan dan bayar kos-kosan, Mas. Aku ini punya otak dan sadar diri," ucapku berapi-rapi. "Udah, ah. Jangan pernah nemuin aku lagi kalo cuma mau bicara tentang duit, Mas. Sana kerja! Kalo perlu suruh istri Mas jadi tukang cuci biar bisa kasih duit buat laki barunya.""Aku ngomong baik-baik, ya, Li. Kenapa kamu jadi kasar gitu?!" Mas Arman berkacak pinggang. Suaranya meninggi. Orang-orang yang lewat di sekitar, menoleh ke
Mas Arman memang kelewatan. Belum lagi hilang pusing di kepalaku karena ulahnya tempo hari, siang ini Bu Rahmi memberiku kabar yang tak enak.Hari ini Minggu. Aku sedang mengajari Nurul mengerjakan tugas sekolahnya. Sembari mengawasi, aku bermain ponsel, membuka-buka beranda F******k, melihat-lihat status temanku yang lewat di sana.Tak lama, layar ponsel menampilkan panggilan dari Bu Rahmi. Segera kuangkat, berhubung aku sedang tidak sibuk kali ini."Hallo, Bu Rahmi. Apa kabar?" sapaku ramah."Li, saya mau kasih tau. Tapi, jangan bilang-bilang si Arman, ya." Bu Rahmi berbicara dari panggilan telepon dengan nada setengah berbisik."Iya, Bu. Ada apa, ya? Bikin saya penasaran aja." Aku mengerutkan dahi."Beberapa hari ini si Arman nawarin perabotan di rumahnya. Kayak tempat tidur, kulkas, sama elektronik yang lain. Kamu tau, gak?"Kupijat pelipis yang mendadak berdenyut. "Saya gak tau, Bu. Saya gak pernah suruh Mas Arman menjual barang-barang di rumah itu. Itu kan barang-barang hasil say
Aku berdecak dan menggeleng, menghitung lagi uang di tangan, mengambilnya sedikit lalu menyodorkannya pada mantan suamiku itu."Ini, Mas. Anggap aja harta gono gini. Mulai dari sekarang, aku gak ada urusan apa-apa lagi denganmu." Aku berucap tegas."Kalo segini gak cukup, Li." Raut Mas Arman masam. Meski begitu, tetap saja uang itu diterimanya. "Masih kurang buat bayar kontrakan.""Cukup lah buat nambahin bayar kontrakan. Mas seharusnya berterima kasih karena aku masih berbaik hati." Suaraku agak meninggi. "Sisanya Mas cari sendiri. Bukan urusanku lagi."Aku sudah berbalik badan, akan menuju rumah Bu Rahmi. Namun, karena ada ide yang melintas di kepala, kuhentikan langkah dan menghadap ke ibu-ibu pembeli perabotanku tadi."Sebagai bonus, Ibu bisa ambil barang-barang di dalam. Banyak yang udah gak saya butuhkan lagi. Ambil aja sesuka hati Ibu." Sudut bibirku terangkat sebelah, melirik sinis pada Mas Arman yang bertambah masam mukanya."Beneran, Mbak?""Iya, Bu. Ambil aja." Aku menegaska
Beberapa bulan berlalu sejak kejadian itu. Hidupku sudah tenang dan kujalani seperti biasa. Dari Bu Rahmi aku mendapatkan kabar bahwa Mas Arman pindah dari rumah kontrakan di mana tempat pernah kami habiskan waktu bersama. Alasannya mereka pindah ke tempat tinggal yang letaknya lebih dekat dengan tempat kerja Mbak Yuli.Sesuai dugaanku, suatu saat sepupuku itu bakal menanggung beban suami benalu seperti Mas Arman yang malas dan pemilih dalam pekerjaan. Apalagi kata Bu Rahmi, Mbak Yuli bekerja serabutan sebagai tukang cuci dan setrika dari pintu ke pintu. Padahal yang kutau, dia sangat gengsi dengan pekerjaan itu. Pastilah kebutuhan hidup yang mendesak, membuatnya mau tidak mau, harus mau bekerja banting tulang dan membuang jauh-jauh segala gengsi untuk menutupi segala kebutuhan rumah tangga mereka.Pagi ini setelah membuat sarapan serta makan bersama Nurul dan Lita, aku pamit bekerja. Menuju ke pintu, Nurul yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya pun mengiringi langkahku keluar kosan
"Kamu sekarang jemput Mbak, ya. Kita ke rumah Mas Arman jemput Nurul.""Iya, Mbak." Lalu Lita buru-buru mematikan panggilan telepon. Aku pun berlari bergegas ke ruang istirahat, membuka loker pegawai, meraih tasku di sana."Ti, aku izin keluar sebentar, ya? Mendesak banget, ini." Aku meraih tangan Siti setelah kembali ke konter toko."Iya, tenang aja. Tapi, ada apa dulu? Jangan bikin aku ikutan cemas, Li." Siti sedikit menahan lenganku."Nurul dijemput Mas Arman. Ini bukan hal yang biasa. Seumur-umur dia gak pernah antar jemput anakku, Ti. Aku takut dia niat nyulik Nurul." Aku bertambah panik gara-gara pikiran buruk yang tiba-tiba melintas di pikiran. "Duh, mana Lita lama lagi." Aku mengangkat tangan kiri, melirik arloji di pergelangan."Tenang, Li. Mungkin masih di jalan." Siti menenangkan.Aku berjalan mondar-mandir menunggu jemputan Lita. Kadang berkacak pinggang, kadang menggigit kuku jempol. Ah, Mas Arman memang kelewatan, selalu membuat ulah.Bunyi klakson terdengar di depan toko