Mas Arman memang kelewatan. Belum lagi hilang pusing di kepalaku karena ulahnya tempo hari, siang ini Bu Rahmi memberiku kabar yang tak enak.Hari ini Minggu. Aku sedang mengajari Nurul mengerjakan tugas sekolahnya. Sembari mengawasi, aku bermain ponsel, membuka-buka beranda F******k, melihat-lihat status temanku yang lewat di sana.Tak lama, layar ponsel menampilkan panggilan dari Bu Rahmi. Segera kuangkat, berhubung aku sedang tidak sibuk kali ini."Hallo, Bu Rahmi. Apa kabar?" sapaku ramah."Li, saya mau kasih tau. Tapi, jangan bilang-bilang si Arman, ya." Bu Rahmi berbicara dari panggilan telepon dengan nada setengah berbisik."Iya, Bu. Ada apa, ya? Bikin saya penasaran aja." Aku mengerutkan dahi."Beberapa hari ini si Arman nawarin perabotan di rumahnya. Kayak tempat tidur, kulkas, sama elektronik yang lain. Kamu tau, gak?"Kupijat pelipis yang mendadak berdenyut. "Saya gak tau, Bu. Saya gak pernah suruh Mas Arman menjual barang-barang di rumah itu. Itu kan barang-barang hasil say
Aku berdecak dan menggeleng, menghitung lagi uang di tangan, mengambilnya sedikit lalu menyodorkannya pada mantan suamiku itu."Ini, Mas. Anggap aja harta gono gini. Mulai dari sekarang, aku gak ada urusan apa-apa lagi denganmu." Aku berucap tegas."Kalo segini gak cukup, Li." Raut Mas Arman masam. Meski begitu, tetap saja uang itu diterimanya. "Masih kurang buat bayar kontrakan.""Cukup lah buat nambahin bayar kontrakan. Mas seharusnya berterima kasih karena aku masih berbaik hati." Suaraku agak meninggi. "Sisanya Mas cari sendiri. Bukan urusanku lagi."Aku sudah berbalik badan, akan menuju rumah Bu Rahmi. Namun, karena ada ide yang melintas di kepala, kuhentikan langkah dan menghadap ke ibu-ibu pembeli perabotanku tadi."Sebagai bonus, Ibu bisa ambil barang-barang di dalam. Banyak yang udah gak saya butuhkan lagi. Ambil aja sesuka hati Ibu." Sudut bibirku terangkat sebelah, melirik sinis pada Mas Arman yang bertambah masam mukanya."Beneran, Mbak?""Iya, Bu. Ambil aja." Aku menegaska
Beberapa bulan berlalu sejak kejadian itu. Hidupku sudah tenang dan kujalani seperti biasa. Dari Bu Rahmi aku mendapatkan kabar bahwa Mas Arman pindah dari rumah kontrakan di mana tempat pernah kami habiskan waktu bersama. Alasannya mereka pindah ke tempat tinggal yang letaknya lebih dekat dengan tempat kerja Mbak Yuli.Sesuai dugaanku, suatu saat sepupuku itu bakal menanggung beban suami benalu seperti Mas Arman yang malas dan pemilih dalam pekerjaan. Apalagi kata Bu Rahmi, Mbak Yuli bekerja serabutan sebagai tukang cuci dan setrika dari pintu ke pintu. Padahal yang kutau, dia sangat gengsi dengan pekerjaan itu. Pastilah kebutuhan hidup yang mendesak, membuatnya mau tidak mau, harus mau bekerja banting tulang dan membuang jauh-jauh segala gengsi untuk menutupi segala kebutuhan rumah tangga mereka.Pagi ini setelah membuat sarapan serta makan bersama Nurul dan Lita, aku pamit bekerja. Menuju ke pintu, Nurul yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya pun mengiringi langkahku keluar kosan
"Kamu sekarang jemput Mbak, ya. Kita ke rumah Mas Arman jemput Nurul.""Iya, Mbak." Lalu Lita buru-buru mematikan panggilan telepon. Aku pun berlari bergegas ke ruang istirahat, membuka loker pegawai, meraih tasku di sana."Ti, aku izin keluar sebentar, ya? Mendesak banget, ini." Aku meraih tangan Siti setelah kembali ke konter toko."Iya, tenang aja. Tapi, ada apa dulu? Jangan bikin aku ikutan cemas, Li." Siti sedikit menahan lenganku."Nurul dijemput Mas Arman. Ini bukan hal yang biasa. Seumur-umur dia gak pernah antar jemput anakku, Ti. Aku takut dia niat nyulik Nurul." Aku bertambah panik gara-gara pikiran buruk yang tiba-tiba melintas di pikiran. "Duh, mana Lita lama lagi." Aku mengangkat tangan kiri, melirik arloji di pergelangan."Tenang, Li. Mungkin masih di jalan." Siti menenangkan.Aku berjalan mondar-mandir menunggu jemputan Lita. Kadang berkacak pinggang, kadang menggigit kuku jempol. Ah, Mas Arman memang kelewatan, selalu membuat ulah.Bunyi klakson terdengar di depan toko
Hari ini aku izin tidak bekerja. Pada Ko Kevin kubilang ada urusan penting yang tidak bisa kutunda. Untungnya dia mengerti dan mengizinkan.Sejak pagi aku dan Lita berkeliling mencari tempat kos-kosan yang sesuai keinginan kami, dekat dengan pemberhentian angkot dan juga Sekolah Dasar. Dengan alasan agar aku mudah pergi ke tempat kerja, sekaligus dekat dengan sekolah anakku.Sebelumnya, Nurul sudah kutitipkan pada Bu Rahmi. Sejak usaha Mas Arman membawa paksa Nurul, aku tidak bisa membiarkan anakku itu sendirian di mana pun dia berada. Aku takut, kejadian yang sama akan terulang lagi. Aku tak boleh lengah kali ini.Tempat pertama yang kami kunjungi tak jauh dari rel kereta api. Memang terbilang dekat dengan stasiun dan juga jalur angkot, tetapi mataku tak terbiasa pada pemandangan ibu-ibu berbaju seksi dan bergincu merah yang duduk di warung-warung sepanjang jalan menuju kos-kosan itu. Tampaknya Lita juga menyesal memilih review kos-kosan yang dia dapat dari sosmed itu. Terlihat dari w
"Nyari tempat kos-kosan, ya, Mbak?" Seorang pria berseragam hitam jingga yang berdiri di balik lemari kaca makanan menatap kami. Dia tak lain adalah karyawan rumah makan ini yang mungkin sejak tadi mendengar obrolan kami."Iya, Mas. Mas tau gak kontrakan yang bagus, yang ada di daerah sini? Bersih dan dekat dengan Sekolah Dasar?" tanyaku sambil menatap pria kurus berkulit sawo matang itu.Sejenak dia menatap langit-langit warung makan, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. "Setau saya ada, Mbak. Coba nanti dari jalan ini Mbak lurus aja. Paling ujung ada jalan aspal ke kiri. Terus aja. Di sebelah kanan ada gang gak terlalu besar. Tanya aja di situ, kos-kosan Pak Haji Munir.""Makasih, ya, Mas. Semoga masih ada tempat yang kosong buat saya." Aku tersenyum dan berharap tempat itu berjodoh denganku."Iya, Mbak. Sama-sama.""Ayo, buruan, Dek." Sekali lagi aku memperingatkan Lita agar bergegas menghabiskan makanannya.~AA~Berdasarkan petunjuk Mas karyawan rumah makan tadi, kami sudah berd
Pukul 04.00 subuh ponselku berdering nyaring. Kabar duka itu datang dari ibunya Mas Burhan yang mengabarkan bahwa putranya telah berpulang pada jam dua dini hari.Meski Mbak Yuli sudah tidak mempunyai hubungan lagi dengan Mas Burhan, tetapi aku sebagai sepupu mantan istrinya Mas Burhan, masih dekat dengan keluarganya. Itu sebabnya ibunya almarhum tak segan memberitahuku di jam segini.Aku segera mengirimkan pesan ke Siti, memberitahukan padanya bahwa aku bakal izin setengah hari tidak bekerja. Aku ingin takziah dulu sebab merasa tak enak jika tidak sampai hadir di hari duka ini. Setidaknya ucapan bela sungkawaku bisa sedikit menghibur keluarga yang ditinggalkan.Lagi-lagi aku menitipkan Nurul pada Bu Rahmi sebab hanya dia satu-satunya orang yang kupercayai menjaga putriku itu.Setelah mengantar Nurul, motor yang membawa aku dan Lita menuju rumah duka yang tak begitu jauh dari kediaman Bu Rahmi.Memasuki gang, tampak tenda tergelar menaungi puluhan kursi plastik. Sekumpulan bapak-bapak
Kami yang mengenalinya, cuma berdiri memerhatikan. Tak ada satu pun dari kami yang berusaha menenangkannya.Cukup lama Mbak Yuli menangis, hingga akhirnya ibunya Mas Burhan buka suara. "Sudah, kan, Yul? Ibu rasa cukup kamu melihat Mas Burhan. Sekarang ibu mohon segera tinggalkan tempat ini. Terlalu banyak orang-orang yang geram atas perilakumu terhadap almarhum."Perlahan namun pasti, Mbak Yuli beranjak pergi sambil menunduk. Orang-orang di sekeliling memandang dengan wajah tidak suka. Terlebih lagi Dian. Adik Mas Burhan itu terlihat seperti ingin mencabik-cabik wajah Mbak Yuli.Mas Arman mendekati Mbak Yuli. Namun, uluran tangannya segera ditepis wanita yang sekarang menjadi istrinya itu. "Ini semua gara-gara kamu, Arman!" Mbak Yuli berteriak histeris."Kamu kenapa, Yul? Eling." Mas Arman menatap terkejut. Rautnya jengah terhadap wajah-wajah yang menonton mereka di pekarangan itu. Apalagi setelah berteriak, Mbak Yuli menangis meraung-raung duduk bersimpuh di atas tanah."Ini semua gar