"Kamu sekarang jemput Mbak, ya. Kita ke rumah Mas Arman jemput Nurul.""Iya, Mbak." Lalu Lita buru-buru mematikan panggilan telepon. Aku pun berlari bergegas ke ruang istirahat, membuka loker pegawai, meraih tasku di sana."Ti, aku izin keluar sebentar, ya? Mendesak banget, ini." Aku meraih tangan Siti setelah kembali ke konter toko."Iya, tenang aja. Tapi, ada apa dulu? Jangan bikin aku ikutan cemas, Li." Siti sedikit menahan lenganku."Nurul dijemput Mas Arman. Ini bukan hal yang biasa. Seumur-umur dia gak pernah antar jemput anakku, Ti. Aku takut dia niat nyulik Nurul." Aku bertambah panik gara-gara pikiran buruk yang tiba-tiba melintas di pikiran. "Duh, mana Lita lama lagi." Aku mengangkat tangan kiri, melirik arloji di pergelangan."Tenang, Li. Mungkin masih di jalan." Siti menenangkan.Aku berjalan mondar-mandir menunggu jemputan Lita. Kadang berkacak pinggang, kadang menggigit kuku jempol. Ah, Mas Arman memang kelewatan, selalu membuat ulah.Bunyi klakson terdengar di depan toko
Hari ini aku izin tidak bekerja. Pada Ko Kevin kubilang ada urusan penting yang tidak bisa kutunda. Untungnya dia mengerti dan mengizinkan.Sejak pagi aku dan Lita berkeliling mencari tempat kos-kosan yang sesuai keinginan kami, dekat dengan pemberhentian angkot dan juga Sekolah Dasar. Dengan alasan agar aku mudah pergi ke tempat kerja, sekaligus dekat dengan sekolah anakku.Sebelumnya, Nurul sudah kutitipkan pada Bu Rahmi. Sejak usaha Mas Arman membawa paksa Nurul, aku tidak bisa membiarkan anakku itu sendirian di mana pun dia berada. Aku takut, kejadian yang sama akan terulang lagi. Aku tak boleh lengah kali ini.Tempat pertama yang kami kunjungi tak jauh dari rel kereta api. Memang terbilang dekat dengan stasiun dan juga jalur angkot, tetapi mataku tak terbiasa pada pemandangan ibu-ibu berbaju seksi dan bergincu merah yang duduk di warung-warung sepanjang jalan menuju kos-kosan itu. Tampaknya Lita juga menyesal memilih review kos-kosan yang dia dapat dari sosmed itu. Terlihat dari w
"Nyari tempat kos-kosan, ya, Mbak?" Seorang pria berseragam hitam jingga yang berdiri di balik lemari kaca makanan menatap kami. Dia tak lain adalah karyawan rumah makan ini yang mungkin sejak tadi mendengar obrolan kami."Iya, Mas. Mas tau gak kontrakan yang bagus, yang ada di daerah sini? Bersih dan dekat dengan Sekolah Dasar?" tanyaku sambil menatap pria kurus berkulit sawo matang itu.Sejenak dia menatap langit-langit warung makan, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. "Setau saya ada, Mbak. Coba nanti dari jalan ini Mbak lurus aja. Paling ujung ada jalan aspal ke kiri. Terus aja. Di sebelah kanan ada gang gak terlalu besar. Tanya aja di situ, kos-kosan Pak Haji Munir.""Makasih, ya, Mas. Semoga masih ada tempat yang kosong buat saya." Aku tersenyum dan berharap tempat itu berjodoh denganku."Iya, Mbak. Sama-sama.""Ayo, buruan, Dek." Sekali lagi aku memperingatkan Lita agar bergegas menghabiskan makanannya.~AA~Berdasarkan petunjuk Mas karyawan rumah makan tadi, kami sudah berd
Pukul 04.00 subuh ponselku berdering nyaring. Kabar duka itu datang dari ibunya Mas Burhan yang mengabarkan bahwa putranya telah berpulang pada jam dua dini hari.Meski Mbak Yuli sudah tidak mempunyai hubungan lagi dengan Mas Burhan, tetapi aku sebagai sepupu mantan istrinya Mas Burhan, masih dekat dengan keluarganya. Itu sebabnya ibunya almarhum tak segan memberitahuku di jam segini.Aku segera mengirimkan pesan ke Siti, memberitahukan padanya bahwa aku bakal izin setengah hari tidak bekerja. Aku ingin takziah dulu sebab merasa tak enak jika tidak sampai hadir di hari duka ini. Setidaknya ucapan bela sungkawaku bisa sedikit menghibur keluarga yang ditinggalkan.Lagi-lagi aku menitipkan Nurul pada Bu Rahmi sebab hanya dia satu-satunya orang yang kupercayai menjaga putriku itu.Setelah mengantar Nurul, motor yang membawa aku dan Lita menuju rumah duka yang tak begitu jauh dari kediaman Bu Rahmi.Memasuki gang, tampak tenda tergelar menaungi puluhan kursi plastik. Sekumpulan bapak-bapak
Kami yang mengenalinya, cuma berdiri memerhatikan. Tak ada satu pun dari kami yang berusaha menenangkannya.Cukup lama Mbak Yuli menangis, hingga akhirnya ibunya Mas Burhan buka suara. "Sudah, kan, Yul? Ibu rasa cukup kamu melihat Mas Burhan. Sekarang ibu mohon segera tinggalkan tempat ini. Terlalu banyak orang-orang yang geram atas perilakumu terhadap almarhum."Perlahan namun pasti, Mbak Yuli beranjak pergi sambil menunduk. Orang-orang di sekeliling memandang dengan wajah tidak suka. Terlebih lagi Dian. Adik Mas Burhan itu terlihat seperti ingin mencabik-cabik wajah Mbak Yuli.Mas Arman mendekati Mbak Yuli. Namun, uluran tangannya segera ditepis wanita yang sekarang menjadi istrinya itu. "Ini semua gara-gara kamu, Arman!" Mbak Yuli berteriak histeris."Kamu kenapa, Yul? Eling." Mas Arman menatap terkejut. Rautnya jengah terhadap wajah-wajah yang menonton mereka di pekarangan itu. Apalagi setelah berteriak, Mbak Yuli menangis meraung-raung duduk bersimpuh di atas tanah."Ini semua gar
Aku sedang menonton drama Korea yang on going di ponsel saat benda pintar itu berbunyi nyaring. Tampilan wajah Lee Min Ho kini berganti dengan layar yang menampilkan panggilan dari nomor asing. Ah, siapa, sih? Mengganggu waktu bersantaiku saja.Secara berat hati, kuangkat juga panggilan itu. "Hallo?"" ... " Tak ada sahutan meski aku tau seseorang bisa mendengar suaraku dari seberang sana."Hallo? Siapa, ya?" ulangku sekali lagi dengan rasa penasaran yang tinggi. Masih juga tak ada sahutan. Akhirnya kuakhiri saja panggilan itu.Namun, tak lama kemudian panggilan dari nomor yang tadi muncul lagi. Awas saja jika orang itu hanya diam saja seperti tadi. Akan segera kublokir nomornya di ponselku ini."Hallo? Siapa, sih? Tolong, ya, jangan iseng!" Aku sedikit membentak."Li!" Ah, aku mengenali suara itu. Mas Arman. Ada gerangan apa dia menghubungiku lagi. Apakah dia membutuhkan uang?"Ya, Mas. Bentar. Aku panggilin Nurul kalo Mas mau ngomong sama dia." Aku hendak beranjak ke teras, di mana N
"Aku ngelihatnya baru kemarin. Pas dia lagi buang sampah ke luar rumah. Dia ngelihat aku kek malu gitu, Li. Buru-buru masuk ke dalam sambil nunduk.""Aku juga terakhir ketemu pas takziah ke rumah mantan suaminya. Dia nangis-nangis waktu itu. Kayak menyesal. Tapi buat apa. Udah terlambat, kan?" Aku mengembuskan napas."Aku juga kasian liat dia. Badannya kurus, Li. Gak semok kayak dulu." Siti berhenti membersihkan, lalu menatapku."Mungkin kelelahan kerja kali, Ti. Aku gak pernah komunikasi dengan dia. Jadi gak tau kabarnya gimana sekarang.""Nah, yang mengherankan. Dia kerja di rumah tetanggaku itu nginap, Li. Padahal sebenarnya bisa pulang. Apa suaminya gak keberatan, ya, ditinggal begitu? Apa jangan-jangan mereka udah pisah?" Siti menggeleng-geleng."Udah, ah. Jangan nyerempet ke mas Arman lagi." Aku mencoba mengingatkan."Eh, iya. Maaf." Siti berujar tak enak.Klakson mobil Ko Kevin berbunyi di depan toko. Aku segera bergegas menghampiri. Biasanya dia memberi kode bahwa ada barang la
Kejadian tempo hari, membuat aku tak berani menatap wajah Ko Kevin berlama-lama. Bila dia mengajakku bicara, aku selalu memandang ke arah tempat lain. Entah lah. Aku hanya takut debaran di dada membuat mukaku merona di depannya dan itu pasti bakal menjadi bahan ledekan Ko Kevin padaku, terlebih Siti.Saat itu, Siti masuk ke kantor Ko Kevin tanpa mengetuk. Alasannya sebab ada aku di dalam. Ternyata dia memergoki Ko Kevin sedang memelukku. Anehnya lagi bosku itu bersikap biasa saja, melepaskan pelukan sembari mengedipkan sebelah mata pada Siti.Semenjak itu perhatian-perhatian Ko Kevin semakin jelas dia tunjukkan di depanku mau pun Siti. Membuat temanku itu terus saja menggoda.Seperti saat ini, kami duduk berdua di balik kaca konter. Melalui perandaiannya, lagi-lagi Siti menggodaku."Seumpama, nih, Li. Kalo Ko Kevin nembak, kamu terima gak? Kan mana tau kamu dilamar. Apa aku harus panggil 'Nyonya' ke kamu, ya, Li. Nyonya Lia." Siti nyengir."Apaan, sih, Ti? Jangan ngaco, ah. Halu kamu k