"Aku ngelihatnya baru kemarin. Pas dia lagi buang sampah ke luar rumah. Dia ngelihat aku kek malu gitu, Li. Buru-buru masuk ke dalam sambil nunduk.""Aku juga terakhir ketemu pas takziah ke rumah mantan suaminya. Dia nangis-nangis waktu itu. Kayak menyesal. Tapi buat apa. Udah terlambat, kan?" Aku mengembuskan napas."Aku juga kasian liat dia. Badannya kurus, Li. Gak semok kayak dulu." Siti berhenti membersihkan, lalu menatapku."Mungkin kelelahan kerja kali, Ti. Aku gak pernah komunikasi dengan dia. Jadi gak tau kabarnya gimana sekarang.""Nah, yang mengherankan. Dia kerja di rumah tetanggaku itu nginap, Li. Padahal sebenarnya bisa pulang. Apa suaminya gak keberatan, ya, ditinggal begitu? Apa jangan-jangan mereka udah pisah?" Siti menggeleng-geleng."Udah, ah. Jangan nyerempet ke mas Arman lagi." Aku mencoba mengingatkan."Eh, iya. Maaf." Siti berujar tak enak.Klakson mobil Ko Kevin berbunyi di depan toko. Aku segera bergegas menghampiri. Biasanya dia memberi kode bahwa ada barang la
Kejadian tempo hari, membuat aku tak berani menatap wajah Ko Kevin berlama-lama. Bila dia mengajakku bicara, aku selalu memandang ke arah tempat lain. Entah lah. Aku hanya takut debaran di dada membuat mukaku merona di depannya dan itu pasti bakal menjadi bahan ledekan Ko Kevin padaku, terlebih Siti.Saat itu, Siti masuk ke kantor Ko Kevin tanpa mengetuk. Alasannya sebab ada aku di dalam. Ternyata dia memergoki Ko Kevin sedang memelukku. Anehnya lagi bosku itu bersikap biasa saja, melepaskan pelukan sembari mengedipkan sebelah mata pada Siti.Semenjak itu perhatian-perhatian Ko Kevin semakin jelas dia tunjukkan di depanku mau pun Siti. Membuat temanku itu terus saja menggoda.Seperti saat ini, kami duduk berdua di balik kaca konter. Melalui perandaiannya, lagi-lagi Siti menggodaku."Seumpama, nih, Li. Kalo Ko Kevin nembak, kamu terima gak? Kan mana tau kamu dilamar. Apa aku harus panggil 'Nyonya' ke kamu, ya, Li. Nyonya Lia." Siti nyengir."Apaan, sih, Ti? Jangan ngaco, ah. Halu kamu k
Kisah gadis desa yang dipersunting pria kaya bagiku cuma ada di dongeng atau film saja. Lagi pula, aku bukan gadis melainkan janda. Tapi, apa salah jika aku merasakan jatuh cinta lagi?Aku menggeleng keras, mengusir pikiran-pikiran aneh yang tiba-tiba bersemayam di benak. Cukup, Lia, cukup. Kehaluanmu terlalu tinggi.Tak terasa langkahku sudah di depan ruko. Tanganku merogoh tas yang tersampir di lengan kiri, mencoba mencari kunci ruko yang kubawa kemarin. Biasanya kunci itu dipegang Siti. Dia selalu datang di awal. Berhubung pagi ini dia ada urusan, mau tidak mau kunci ruko diserahkannya padaku di sore hari kemarin sebelum kami berpisah meninggalkan ruko.Dua menit mencari, kunci itu kutemukan di lipatan dompet. Dapat! Berjalan ke pintu ruko, benda itu kuselipkan di lubang gembok."Pagi ...!"Aku terpekik kaget oleh sebab Ko Kevin, yang entah kapan datangnya, sudah berdiri di belakangku dan menyapa. Lebih tepatnya berbisik lirih di sebelah telinga. Kunci di tanganku, sontak terlepas l
Pukul 13.00 siang seperti biasa aku istirahat makan. Bergantian dengan Siti, aku menuju ruang istirahat setelah teman kerjaku itu kembali ke konter.Oleh sebab sangat lapar, aku segera menyantap bekal yang kubawa dari rumah, tentu sesudah mencuci tangan terlebih dahulu.Tak menunggu lama, seporsi nasi dengan tumisan sayur dan sepotong ayam goreng ludes tak bersisa. Kemudian berdiri, melangkah ke sudut ruangan itu, kubersihkan tempat bekal yang kini kosong.Waktu yang kuhabiskan untuk makan hanya sepuluh menit. Lumayan, sisa waktu istirahat yang aku punya bisa dipakai untuk melanjutkan tontonan drama Korea yang belum selesai.Kembali ke kursi plastik di sisi meja panjang yang menempel di tembok, kuraih tas jinjing, lantas meraih ponsel dengan antusias. Tapi, tunggu. Ada tampilan tiga puluh panggilan tak terjawab terpampang di layarnya. Sepuluh dari Bu Rahmi, sisanya dari Lita. Ada apa gerangan?Dengan penuh rasa penasaran aku melakukan panggilan balik ke Bu Rahmi. Tak butuh waktu lama p
"Ya ampun!" Siti hampir terpekik. Namun, dia berhasil menguasai diri. " Ya udah. Sana buruan. Hati-hati, Li."Aku mengangguk pada Siti, bergegas menuju halte bus, menanti dengan perasaan cemas angkot yang tidak kunjung datang. Kupandangi arloji di tangan kiri. Duh, lama! Apa aku pesan ojek online saja, ya?Namun, belum sempat aku mengambil keputusan, sebuah mobil sport berhenti di depanku. Kaca penumpangnya perlahan turun sehingga aku bisa melihat pengemudinya di balik stir mobil itu."Ayo, saya anterin!" Ko Kevin memerintah. Tanpa berpikir lagi aku segera naik ke mobilnya. Sebab situasi yang kuhadapi sekarang tak membutuhkan banyak pertimbangan."Sekarang mau ke mana kita?" Ko Kevin bertanya masih dengan tatapan lurus ke jalan raya, fokus mengemudi."Ke rumah dulu, Ko. Saya mau jemput anak saya. Habis itu langsung ke rumah sakit.""Ok!" Ko Kevin menjawab singkat tanpa memberi pertanyaan lagi. Kupandangi bosku itu. Aku tau dia punya pertanyaan, tapi sepertinya dia mampu menahan diri un
POV ArmanPerutku lapar, sejak tadi suaranya meronta tiada henti. Kupandangi layar ponsel, pesanku ke Yuli tidak kunjung dibalas sejak sebulan yang lalu.Betapa egoisnya dia, kini dia membuangku serupa sampah. Padahal dulu wanita itu selalu merayu, mendekatiku dengan beragam cara ketika Lia pergi bekerja dan tidak ada siapa pun di rumah.Sejak ditinggal Yuli, aku sudah berusaha mencari pekerjaan, apa pun. Tak kupedulikan lagi sengatan matahari yang membakar kulit, kutelusuri emperan toko untuk bertanya pada orang-orang mengenai lowongan pekerjaan. Menjadi tukang bersih-bersih tak apa, asal aku bisa dapat uang dan membeli makan.Sempat aku melihat Lia waktu itu. Kini dia terlihat berbeda. Wajahnya semakin bersinar saja. Apakah dia bahagia setelah berpisah denganku? Apakah selama menikah denganku dia banyak menderita? Ah, semua ini gara-gara si Yuli.Sungguh aku menyesal telah menyia-nyiakan Lia, perempuan manis yang tidak pernah menuntut dan tidak banyak tingkah.Aku pernah menghubungin
Terburu-buru aku menyibak kembali daun pintu, tetapi Bu Rahmi bersuara, "Kamu lapar? Makanlah dulu. Saya akan siapkan makan siang buat kamu."Bu Rahmi kembali ke dapur. Tak berapa lama dia membawa nasi beserta lauk-pauk dan juga minuman, lantas menghindangkannya di meja ruang tamu.Aku masih terdiam, menatap makanan yang membuat perutku semakin berkerucuk keras."Makanlah, Arman. Saya tau kamu lapar."Perut ini memang sungguh tidak bisa diajak kompromi. Baiklah, aku akan menghilangkan segala gengsi untuk hari ini. Biarlah bila Bu Rahmi ingin mengadu, aku sudah terlanjur dianggap pria benalu oleh Lia.Aku duduk, dengan lahap aku memakan segala makanan yang terhidang, tanpa bersisa. Wajar saja, sudah dua hari lambungku tidak bertemu nasi."Setelah ini, carilah pekerjaan, Man. Hilangkan segala gengsi, jadilah jantan untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu."Tiba-tiba Bu Rahmi berkata begitu. Aku diam, mendengarkan."Seenggaknya pikirkan perasaaan Nurul. Meski bagaimana pun, dia pun
Mobil sport Ko Kevin berhenti sempurna di pelataran parkir rumah sakit. Dengan tak sabaran Nurul mengajakku segera turun dari kendaraan roda empat itu. Sebelum melangkah pergi, kuucapkan terima kasih pada Ko Kevin. Sebab dia berbaik hati sudah mengantarkanku sampai ke sini. Pria berkulit putih itu mengangguk dan tersenyum sebagai balasannya.Derap langkah kaki kami bertiga berlari menapaki koridor rumah sakit beralaskan karpet merah, hendak menuju IGD di mana Mas Arman sedang berjuang melawan maut saat ini. Info yang kudapat dari Bu Rahmi, ada Joko adiknya Mas Arman yang menemani sepanjang waktu.Di tikungan berikutnya, benar saja kami bertemu dengannya. Pemuda itu sedang terduduk lesu di depan ruangan IGD. Ketika melihatku, Joko segera bangkit berdiri menyambutku."Ayah di mana, Om?" Nurul berlari menghampiri pemuda itu."Di dalam. Nurul mau liat sekarang?" Joko bertanya pada Nurul, tetapi menoleh ke arahku, seperti minta persetujuan terlebih dulu.Aku mengangguk pada Joko, mengizinka
Purwari tersenyum, tetapi matanya tak lepas dari pekerjaan di tangan. "Modelan bapakmu mana mau pakai sarung baru, Li. Sarung ini adem katanya. Bapakmu bakal terus memakainya sampai kain ini benar-benar lapuk dan rapuh."Lia sudah tau tentang kebiasaan Tarjo itu. Jadi Lia tidak menyarankan apa-apa lagi."Gimana pekerjaanmu di Jakarta, Nduk? Apa ada masalah?"Lia menggeleng. "Enggak, Mak. Alhamdulillah aku bekerja pada bos yang baik.""Syukurlah. Lalu ... apa kamu masih sering bertemu Yuli?" Purwari berhati-hati sekali menanyakan hal yang sensitif ini. "Walau gimana pun, dia sepupumu, Nak."Lia tersenyum penuh ketulusan. "Mak, sungguh aku udah maafin Mbak Yuli. Bahkan ketika mendiang Mas Arman masih hidup. Udah jalan hidup dan takdirku begini. Mau gimana lagi." Lia mengedik bahu.Purwari menoleh sepintas pada anaknya. Wanita itu mencoba membaca raut Lia. "Apa kamu mau Emak jodohkan?"Seketika Lia tergelak. "Mak, Mak. Zaman udah moderen gini, ah. Lagian Lita pun belum menikah. Aku mah t
Bus yang membawa Lia, Lita dan Nurul melaju menembus pekatnya malam. Mereka membutuhkan waktu lima jam lagi hingga tiba di kampung halaman. Waktu menunjuk ke jam sebelas, tapi mata Lia belum bisa terpejam sedari tadi.Di sebelahnya, Nurul dan Lita telah tertidur pulas tertutup selimut kotak-kotak yang tersedia di masing-masing kursi penumpang.Sejak memantapkan hati untuk kembali menata hati, Lia jadi susah tidur. Ini kebiasaannya sedari remaja dulu bila diserang gundah gulana. Lia tidak ingin melawan rasa yang menyakitkan itu. Dia biarkan luka merambat ke hatinya hingga luka itu sembuh dengan sendirinya. Lia hanya butuh waktu.Lia kembali memandangi layar ponsel dan membaca pesan dari Kevin yang pria itu kirimkan sebelum masuk ke dalam mobil dan pergi bersama Siska.[Maaf aku belum sempat menjelaskan situasi ini kepadamu, Lia. Tapi aku berjanji akan segera berbicara denganmu dari hati ke hati. Enggak di sini. Aku butuh berdua aja denganmu.]Lia tidak berniat sedikit pun untuk membala
Sore harinya Kevin menepati ucapannya. Namun dia tidak datang sendirian. Ada Siska yang bersamanya. Tentu hal ini membuat Siti terheran-heran dan memaklumi kenapa sedari pagi Lia menjadi pendiam."Hai, ternyata kamu kerja di cabang yang ini, Mbak?" Siska melambai ke Lia secara bersahabat. Ini lah yang membuat kenapa Lia tidak bisa membenci gadis itu. Siska terlalu ramah dan baik, bahkan terlihat menyayangi Nurul saat di rumah orang tua Kevin kemarin."Iya, Mbak. Saya ditempatin di toko yang ini," jawab Lia memaksakan seulas senyum.Kevin sempat kebingungan, bagaimana menjelaskan kepada Lia. Namun Lia selalu menghindari tatapan pria itu. Sedang barang yang baru saja dibawa Kevin dari mobil, segera diambil Siti."Maaf aku gak bisa mampir lama, Li. Aku harus ... nganterin Siska ke suatu tempat." Kevin menjelaskan sembari garuk-garuk kepalanya."Iya, Ko. Gak apa-apa." Bibir Lia tersenyum, tapi tidak dengan matanya. "Oh, ya, Ko. Sekalian aku mau minta izin cuti.""Cuti?" Alis Kevin bertaut
Nurul telah tertidur sejak tadi, sedangkan Lia masih menonton televisi. Meski mata wanita itu menuju layar benda elektronik di hadapan, tapi Lita tau kakak perempuan satu-satunya itu tengah memikirkan sesuatu."Nih, kopi. Aku juga buatin buat Mbak Lia." Lita menyodorkan segelas kopi instan yang telah terseduh.Lia menoleh lantas menyambut pemberian adiknya itu. "Kamu kebiasaan, ya, Dek. Kasih kopi ke Mbak di jam segini." Lia menggeleng-gelengkan kepala.Lita tertawa, lantas menyusul duduk di sebelah kakaknya. "Gak minum kopi juga Mbak gak bakalan bisa tidur malam ini. Iya, kan?"Lia terdiam sejenak. "Kamu tau dari mana?""Tadi aku udah nanya ke Nurul tentang apa aja yang kalian lakuin di rumah orang tua Ko Kevin." Lita tak membalas tatapan kakaknya. Dia menyeruput kopinya sendiri sambil menatap televisi. "Siapa gadis cantik yang diceritain Nurul ke aku, Mbak?"Lia tersenyum miris lalu menggeleng. "Entah lah. Mbak juga belum tau pasti, tapi ... kayaknya dia dan Ko Kevin pernah punya hu
"Maaf, kalau ucapanku tadi ngagetin. Tapi benar, kok. Aku sama Kevin pernah tidur di ranjang yang sama. Waktu itu aku ketiduran di kamar Kevin, eh, Kevin-nya malah gak ngebangunin. Aku dibiarkan tidur di kamarnya sampai pagi." Siska kembali tertawa.Kevin menelan ludah. Dia baru menyadari bahwa ekspresi Lia sedang tidak baik-baik saja."Dulu aku kuliah di Singapura, tinggal di rumah Om Sarwono, Li. Makanya aku dan Siska dekat," terang Kevin.Lia manggut-manggut. Hatinya mulai lega. Keterangan dari Kevin itu cukup menjelaskan opini yang salah di kepala Lia sejak kedatangan Siska tadi."Tapi dulu Kevin pernah cium aku, Tante." Siska melirik Kevin lantas tersenyum simpul.Kali ini Kevin yang tersedak, tapi Siska malah semakin tergelak."Benar kah?" Mami Kevin terbelalak. "Bisa-bisanya, ya, kamu Kevin." Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala."Ya dimaklumi aja, Mi. Namanya aja anak kita waktu itu masih labil." Papi Kevin buka suara.Prasangka buruk yang sempat singgah lalu pergi, kini ber
Gadis yang dipanggil oleh Mami Kevin dengan nama Siska tersebut pun menoleh. Dia tersenyum lebar menuju wanita itu sembari membentang kedua tangannya. Mereka kemudian saling berpelukan erat sekali."Tante apa kabar? Tante makin cantik aja. Apa, sih, rahasianya?" sapa Siska ramah."Duh kamu ini, lho, yang makin cantik, Nak. Tante sempat bingung tadi mau ngebedain antara kamu sama bidadari. Tante pikir bidadari dari mana yang turun dari mobil suami Tante.""Ah, Tante bisa aja." Siska kembali tertawa renyah memamerkan giginya yang putih dan berderet rapi.Entah mengapa sejak kedatangan Siska, Lia merasa dirinya benar-benar di tempat yang asing. Penampilan terbaiknya hari ini, sungguh kalah jauh bila dibandingkan dengan gadis itu.Siska yang sejak tadi dipandangi oleh Lia dan Nurul tanpa berkedip, sontak menoleh kepada dua beranak tersebut."Siapa mereka, Tante?" tanya Siska.Mami Kevin seperti baru menyadari keberadaan Lia dan Nurul yang masih ada di tengah-tengah mereka. "Oh ... dia Lia
Kevin tertawa renyah sembari mencubit kedua pipi ibunya itu."Mami kayak anak kecil aja. Aku kan sering ke sini, Mi. Cuma beberapa hari ini aku memang lagi sibuk banget. Ada beberapa barang yang harus aku kirimkan ke luar kota." Kevin menjelaskan secara panjang lebar.Baru lah wanita itu yang merupakan ibu dari Kevin bisa memberikan senyuman walau tipis."Oh ya, Mi. Kenalin ini yang namanya Lia, dan ini putrinya Nurul."Mami Kevin menoleh kepada Lia yang sedari tadi diam saja. Wanita itu tidak banyak berkata-kata. Hanya menerima ciuman tangan Lia dan Nurul yang meniru gerakan ibunya itu."Ayo, masuk ke dalam kalo gitu. Jangan berdiri di luar." Mami Kevin mendahului masuk lalu duduk di ruang tamu. Kevin duduk menyusul di sebelah ibunya."Papi mana, Mi?""Tadi keluar sebentar. Jemput teman masa kecilnya di bandara dari Singapura. Teman Papi-mu itu mau nginep di sini katanya beberapa hari.""Siapa, Mi?" Kevin mengerutkan dahi."Om Sarwono. Kamu masih ingat, gak?"Raut Kevin langsung beru
Dada Lia berdebar. Sejak dari kemarin sore, Kevin telah memberitahunya untuk bersiap-siap. Sebab pada hari ini pria itu ingin mengajak kekasihnya pergi mengunjungi orang tua Kevin yang tinggal di kota sebelah."Aku ingin memperkenalkan kamu ke mereka, Li. Kamu lihat, kan, kalau aku benar-benar serius ingin menikahi kamu."Kevin bicara pada Lia via telepon."Tapi ... gimana kalo mereka gak suka sama aku, Ko?" Lia malah balik bertanya dengan perasaan ragu.Kevin tertawa. "Jangan berprasangka buruk dulu sebelum melihat sendiri, Li. Mereka baik kok. Tapi ... ya memang orang tuaku tipe orang tua yang memegang prinsip jaman dulu. Mereka amat disiplin dan tegas.""Baru mendengarnya aja aku udah panas-dingin, Ko." Lia mulai merasakan buku-buku jemarinya mengeluarkan keringat dingin.Terdengar lagi suara renyah Kevin. "Panas-dingin karena kamu udah gak sabaran lagi bertemu dengan mereka? Atau takut?"Lia menggeleng. "Entah lah, Ko. Susah bagi aku untuk menjelaskannya." Lia menarik napas panjang
Dengan mantap aku mengangguk dan berkata 'Ya'. Tentu saja aku tidak akan menolak pria di depanku ini. Pria yang tulus dan tidak memandang kasta serta harta. Pria yang menerima semua kekuranganku, terlebih lagi aku mencintainya.Gemuruh sorakan semakin kuat terdengar. Ko Kevin dengan senyum mengembang lantas berdiri, meraih cincin di genggamanku dan menyematkannya di jari manis. "Terima kasih." Kecupan lembut mendarat di dahiku, setelah dia mengucapkan dua kalimat itu.~AA~Mesin mobil Ko Kevin telah dimatikan sejak tadi. Kami sudah pulang dan tiba di depan kontrakanku. Namun, sejak mesin mobil dimatikan, Ko Kevin mau pun aku tidak juga mengeluarkan kata-kata sedikit pun. Kami hanya duduk saling diam.Entah apa yang tengah dipikirkan Ko Kevin saat ini, sedangkan aku, aku sungguh merasakan gugup yang tidak terkira.Tentu saja, siapa yang menyangka Ko Kevin baru saja melamarku. Seorang pria berwajah rupawan, memiliki harta dan juga bukan dari keluarga sembarangan, berniat menjadikanku se