Terima kasih buat pembaca setiaku. Maaf ... banget karena cerita ini lama dilanjut karena kesibukanku di duta. Aku janji bakal namatin cerita ini secepat mungkin. Karena digantung itu gak enak banget rasanya.
Mobil sport Ko Kevin berhenti sempurna di pelataran parkir rumah sakit. Dengan tak sabaran Nurul mengajakku segera turun dari kendaraan roda empat itu. Sebelum melangkah pergi, kuucapkan terima kasih pada Ko Kevin. Sebab dia berbaik hati sudah mengantarkanku sampai ke sini. Pria berkulit putih itu mengangguk dan tersenyum sebagai balasannya.Derap langkah kaki kami bertiga berlari menapaki koridor rumah sakit beralaskan karpet merah, hendak menuju IGD di mana Mas Arman sedang berjuang melawan maut saat ini. Info yang kudapat dari Bu Rahmi, ada Joko adiknya Mas Arman yang menemani sepanjang waktu.Di tikungan berikutnya, benar saja kami bertemu dengannya. Pemuda itu sedang terduduk lesu di depan ruangan IGD. Ketika melihatku, Joko segera bangkit berdiri menyambutku."Ayah di mana, Om?" Nurul berlari menghampiri pemuda itu."Di dalam. Nurul mau liat sekarang?" Joko bertanya pada Nurul, tetapi menoleh ke arahku, seperti minta persetujuan terlebih dulu.Aku mengangguk pada Joko, mengizinka
"Ayah gak bangun-bangun, Bu. Ayah gak jawab panggilan Nurul." Nurul terisak dalam pelukanku. Sungguh perih hatiku mendengar tangisannya."Nurul bantu doa, ya. Semoga ayah cepat bangun. Nurul jangan nangis terus. Nanti ayah jadi ikutan sedih." Kuusap puncak kepalanya. Nurul mengangguk, meski air matanya masih saja terus menggenang."Mbak ke dalam, gih. Biar Nurul sama aku." Lita menarik pundak Nurul lantas membawa gadis kecil itu duduk di kursi besi panjang tak jauh dari kami berdiri."Mas Arman di ranjang paling sudut sebelah kanan, Mbak. Atau Mbak mau aku antar?" Joko menawarkan diri.Aku menggeleng. "Gak usah, Ko. Mbak bisa sendiri." Perlahan aku melangkah meninggalkan mereka. Sebelum mendorong pelan pintu kaca itu, aku menarik napas dalam-dalam.Di ranjang paling sudut, tampak Mas Arman memejamkan mata. Napasnya tak beraturan naik turun dengan cepat. Berbagai macam kabel berwarna-warni menempel di dadanya yang terhubung ke alat monitor di atas kepala.Seketika rasa sakit, marah, den
Aku mengantarkan Mas Arman hingga ke peristirahatan terakhirnya. Tentu demi Nurul, aku harus membuang semua rasa egoku. Tak banyak yang ikut mengantar, hanya beberapa keluarga dan teman dekat Mas Arman saja. Mungkin beberapa orang yang tau masalah kemarin, enggan takziah. Itu sebabnya di rumah duka pun, sedikit tetangga yang hadir.Mbak Yuli datang di saat tubuh Mas Arman sudah dikebumikan. Dia menangis, hanya saja tidak sehisteris seperti di kematian Mas Burhan tempo hari. Dari situ aku bisa menilai, sepupuku itu lebih mencintai siapa. Yang lebih meyakinkan lagi, pasti Mas Arman hanya sebagai pelariannya saja.Saat para petakziah satu persatu mulai meninggalkan makam, aku membujuk Nurul agar pulang juga. Gadis kecilku itu masih menangis tapi tidak seperti tadi. Tampaknya dia sudah bisa menguasai diri dan menerima kenyataan bahwa ayahnya kini harus diikhlaskan.Aku, Nurul dan Lita--yang diam sejak tadi--baru akan mulai melangkah meninggalkan makam Mas Arman, mau tak mau menghentikan g
"Mbak ... gak mau cerita sesuatu ke aku?" Lita menunduk. Jemarinya asyik men-scroll laptop di hadapan.Aku yang tidak mengerti akan ucapannya lantas mengerutkan dahi. "Sesuatu? Cerita apa, ya, Dek?""Aku kemarin sempat liat bos Mbak itu genggam tangan Mbak saat aku masuk ke mobil." Nada bicara yang digunakan Lita terdengar santai. Tapi, aku bisa menemukan keseriusan di dalamnya. Yah ... ada sedikit penekanan. Bahwa hal yang dia bicarakan adalah sesuatu yang serius."Oh ... itu." Aku menelan ludah, gugup. "Sebenarnya ... mbak udah lama pengin cerita ini. Tapi, mbak masih ragu, Dek.""Ragu kenapa? Bos Mbak udah punya istri?" Tatapan Lita beralih dari layar laptop, tajam menusuk menghujam bola mataku."Enggak. Dia masih single, kok, Dek. Mbak udah tanya-tanya karyawan lain dan konfirmasi. Mbak tau, kok. Mbak harus berhati-hati.""Terus? Masalahnya apa?""Mbak masih ragu aja. Dia beneran serius ato hanya sekadar main-main. Usia mbak udah gak muda lagi. Bukan waktunya 'tuk main-main. Mbak
Alunan musik terdengar indah dimainkan oleh sebuah grup band di sudut kafe: merdu, mendayu, memanjakan indera pendengaran. Sangat mendukung suasana syahdu bagi pasangan-pasangan di balik meja-meja beralaskan taplak merah jambu dengan vas-vas dan bunga mawar merah merekah.Ini kali pertamanya kencan pertama kami, aku dan Ko Kevin. Setelah berulang kali menolak dengan beragam alasan, baru lah saat ini aku menerima ajakannya.Gugup, tentu itu yang kurasakan. Apalagi degub jantung seperti yang terjadi sewaktu aku merasakan puber dulu, kini mendera dada. Berulang kali aku meneguk minuman di hadapan untuk menyamarkan rasa tak nyaman ini. Ditambah lagi, sesekali aku mendapati Ko Kevin menatapku lekat. Sorot matanya bak ingin menghunus hingga ke relung jiwaku. Ugh!Pancaran matanya seperti menghujam hingga tembus ke jantung, semakin membuatku salah tingkah. Pria itu terlihat berbeda sekali malam ini. Meski setiap hari dia selalu berpenampilan rapi dan modis, tetapi malam ini Ko Kevin sungguh
Dengan mantap aku mengangguk dan berkata 'Ya'. Tentu saja aku tidak akan menolak pria di depanku ini. Pria yang tulus dan tidak memandang kasta serta harta. Pria yang menerima semua kekuranganku, terlebih lagi aku mencintainya.Gemuruh sorakan semakin kuat terdengar. Ko Kevin dengan senyum mengembang lantas berdiri, meraih cincin di genggamanku dan menyematkannya di jari manis. "Terima kasih." Kecupan lembut mendarat di dahiku, setelah dia mengucapkan dua kalimat itu.~AA~Mesin mobil Ko Kevin telah dimatikan sejak tadi. Kami sudah pulang dan tiba di depan kontrakanku. Namun, sejak mesin mobil dimatikan, Ko Kevin mau pun aku tidak juga mengeluarkan kata-kata sedikit pun. Kami hanya duduk saling diam.Entah apa yang tengah dipikirkan Ko Kevin saat ini, sedangkan aku, aku sungguh merasakan gugup yang tidak terkira.Tentu saja, siapa yang menyangka Ko Kevin baru saja melamarku. Seorang pria berwajah rupawan, memiliki harta dan juga bukan dari keluarga sembarangan, berniat menjadikanku se
Dada Lia berdebar. Sejak dari kemarin sore, Kevin telah memberitahunya untuk bersiap-siap. Sebab pada hari ini pria itu ingin mengajak kekasihnya pergi mengunjungi orang tua Kevin yang tinggal di kota sebelah."Aku ingin memperkenalkan kamu ke mereka, Li. Kamu lihat, kan, kalau aku benar-benar serius ingin menikahi kamu."Kevin bicara pada Lia via telepon."Tapi ... gimana kalo mereka gak suka sama aku, Ko?" Lia malah balik bertanya dengan perasaan ragu.Kevin tertawa. "Jangan berprasangka buruk dulu sebelum melihat sendiri, Li. Mereka baik kok. Tapi ... ya memang orang tuaku tipe orang tua yang memegang prinsip jaman dulu. Mereka amat disiplin dan tegas.""Baru mendengarnya aja aku udah panas-dingin, Ko." Lia mulai merasakan buku-buku jemarinya mengeluarkan keringat dingin.Terdengar lagi suara renyah Kevin. "Panas-dingin karena kamu udah gak sabaran lagi bertemu dengan mereka? Atau takut?"Lia menggeleng. "Entah lah, Ko. Susah bagi aku untuk menjelaskannya." Lia menarik napas panjang
Kevin tertawa renyah sembari mencubit kedua pipi ibunya itu."Mami kayak anak kecil aja. Aku kan sering ke sini, Mi. Cuma beberapa hari ini aku memang lagi sibuk banget. Ada beberapa barang yang harus aku kirimkan ke luar kota." Kevin menjelaskan secara panjang lebar.Baru lah wanita itu yang merupakan ibu dari Kevin bisa memberikan senyuman walau tipis."Oh ya, Mi. Kenalin ini yang namanya Lia, dan ini putrinya Nurul."Mami Kevin menoleh kepada Lia yang sedari tadi diam saja. Wanita itu tidak banyak berkata-kata. Hanya menerima ciuman tangan Lia dan Nurul yang meniru gerakan ibunya itu."Ayo, masuk ke dalam kalo gitu. Jangan berdiri di luar." Mami Kevin mendahului masuk lalu duduk di ruang tamu. Kevin duduk menyusul di sebelah ibunya."Papi mana, Mi?""Tadi keluar sebentar. Jemput teman masa kecilnya di bandara dari Singapura. Teman Papi-mu itu mau nginep di sini katanya beberapa hari.""Siapa, Mi?" Kevin mengerutkan dahi."Om Sarwono. Kamu masih ingat, gak?"Raut Kevin langsung beru