Pukul 13.00 siang seperti biasa aku istirahat makan. Bergantian dengan Siti, aku menuju ruang istirahat setelah teman kerjaku itu kembali ke konter.Oleh sebab sangat lapar, aku segera menyantap bekal yang kubawa dari rumah, tentu sesudah mencuci tangan terlebih dahulu.Tak menunggu lama, seporsi nasi dengan tumisan sayur dan sepotong ayam goreng ludes tak bersisa. Kemudian berdiri, melangkah ke sudut ruangan itu, kubersihkan tempat bekal yang kini kosong.Waktu yang kuhabiskan untuk makan hanya sepuluh menit. Lumayan, sisa waktu istirahat yang aku punya bisa dipakai untuk melanjutkan tontonan drama Korea yang belum selesai.Kembali ke kursi plastik di sisi meja panjang yang menempel di tembok, kuraih tas jinjing, lantas meraih ponsel dengan antusias. Tapi, tunggu. Ada tampilan tiga puluh panggilan tak terjawab terpampang di layarnya. Sepuluh dari Bu Rahmi, sisanya dari Lita. Ada apa gerangan?Dengan penuh rasa penasaran aku melakukan panggilan balik ke Bu Rahmi. Tak butuh waktu lama p
"Ya ampun!" Siti hampir terpekik. Namun, dia berhasil menguasai diri. " Ya udah. Sana buruan. Hati-hati, Li."Aku mengangguk pada Siti, bergegas menuju halte bus, menanti dengan perasaan cemas angkot yang tidak kunjung datang. Kupandangi arloji di tangan kiri. Duh, lama! Apa aku pesan ojek online saja, ya?Namun, belum sempat aku mengambil keputusan, sebuah mobil sport berhenti di depanku. Kaca penumpangnya perlahan turun sehingga aku bisa melihat pengemudinya di balik stir mobil itu."Ayo, saya anterin!" Ko Kevin memerintah. Tanpa berpikir lagi aku segera naik ke mobilnya. Sebab situasi yang kuhadapi sekarang tak membutuhkan banyak pertimbangan."Sekarang mau ke mana kita?" Ko Kevin bertanya masih dengan tatapan lurus ke jalan raya, fokus mengemudi."Ke rumah dulu, Ko. Saya mau jemput anak saya. Habis itu langsung ke rumah sakit.""Ok!" Ko Kevin menjawab singkat tanpa memberi pertanyaan lagi. Kupandangi bosku itu. Aku tau dia punya pertanyaan, tapi sepertinya dia mampu menahan diri un
POV ArmanPerutku lapar, sejak tadi suaranya meronta tiada henti. Kupandangi layar ponsel, pesanku ke Yuli tidak kunjung dibalas sejak sebulan yang lalu.Betapa egoisnya dia, kini dia membuangku serupa sampah. Padahal dulu wanita itu selalu merayu, mendekatiku dengan beragam cara ketika Lia pergi bekerja dan tidak ada siapa pun di rumah.Sejak ditinggal Yuli, aku sudah berusaha mencari pekerjaan, apa pun. Tak kupedulikan lagi sengatan matahari yang membakar kulit, kutelusuri emperan toko untuk bertanya pada orang-orang mengenai lowongan pekerjaan. Menjadi tukang bersih-bersih tak apa, asal aku bisa dapat uang dan membeli makan.Sempat aku melihat Lia waktu itu. Kini dia terlihat berbeda. Wajahnya semakin bersinar saja. Apakah dia bahagia setelah berpisah denganku? Apakah selama menikah denganku dia banyak menderita? Ah, semua ini gara-gara si Yuli.Sungguh aku menyesal telah menyia-nyiakan Lia, perempuan manis yang tidak pernah menuntut dan tidak banyak tingkah.Aku pernah menghubungin
Terburu-buru aku menyibak kembali daun pintu, tetapi Bu Rahmi bersuara, "Kamu lapar? Makanlah dulu. Saya akan siapkan makan siang buat kamu."Bu Rahmi kembali ke dapur. Tak berapa lama dia membawa nasi beserta lauk-pauk dan juga minuman, lantas menghindangkannya di meja ruang tamu.Aku masih terdiam, menatap makanan yang membuat perutku semakin berkerucuk keras."Makanlah, Arman. Saya tau kamu lapar."Perut ini memang sungguh tidak bisa diajak kompromi. Baiklah, aku akan menghilangkan segala gengsi untuk hari ini. Biarlah bila Bu Rahmi ingin mengadu, aku sudah terlanjur dianggap pria benalu oleh Lia.Aku duduk, dengan lahap aku memakan segala makanan yang terhidang, tanpa bersisa. Wajar saja, sudah dua hari lambungku tidak bertemu nasi."Setelah ini, carilah pekerjaan, Man. Hilangkan segala gengsi, jadilah jantan untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu."Tiba-tiba Bu Rahmi berkata begitu. Aku diam, mendengarkan."Seenggaknya pikirkan perasaaan Nurul. Meski bagaimana pun, dia pun
Mobil sport Ko Kevin berhenti sempurna di pelataran parkir rumah sakit. Dengan tak sabaran Nurul mengajakku segera turun dari kendaraan roda empat itu. Sebelum melangkah pergi, kuucapkan terima kasih pada Ko Kevin. Sebab dia berbaik hati sudah mengantarkanku sampai ke sini. Pria berkulit putih itu mengangguk dan tersenyum sebagai balasannya.Derap langkah kaki kami bertiga berlari menapaki koridor rumah sakit beralaskan karpet merah, hendak menuju IGD di mana Mas Arman sedang berjuang melawan maut saat ini. Info yang kudapat dari Bu Rahmi, ada Joko adiknya Mas Arman yang menemani sepanjang waktu.Di tikungan berikutnya, benar saja kami bertemu dengannya. Pemuda itu sedang terduduk lesu di depan ruangan IGD. Ketika melihatku, Joko segera bangkit berdiri menyambutku."Ayah di mana, Om?" Nurul berlari menghampiri pemuda itu."Di dalam. Nurul mau liat sekarang?" Joko bertanya pada Nurul, tetapi menoleh ke arahku, seperti minta persetujuan terlebih dulu.Aku mengangguk pada Joko, mengizinka
"Ayah gak bangun-bangun, Bu. Ayah gak jawab panggilan Nurul." Nurul terisak dalam pelukanku. Sungguh perih hatiku mendengar tangisannya."Nurul bantu doa, ya. Semoga ayah cepat bangun. Nurul jangan nangis terus. Nanti ayah jadi ikutan sedih." Kuusap puncak kepalanya. Nurul mengangguk, meski air matanya masih saja terus menggenang."Mbak ke dalam, gih. Biar Nurul sama aku." Lita menarik pundak Nurul lantas membawa gadis kecil itu duduk di kursi besi panjang tak jauh dari kami berdiri."Mas Arman di ranjang paling sudut sebelah kanan, Mbak. Atau Mbak mau aku antar?" Joko menawarkan diri.Aku menggeleng. "Gak usah, Ko. Mbak bisa sendiri." Perlahan aku melangkah meninggalkan mereka. Sebelum mendorong pelan pintu kaca itu, aku menarik napas dalam-dalam.Di ranjang paling sudut, tampak Mas Arman memejamkan mata. Napasnya tak beraturan naik turun dengan cepat. Berbagai macam kabel berwarna-warni menempel di dadanya yang terhubung ke alat monitor di atas kepala.Seketika rasa sakit, marah, den
Aku mengantarkan Mas Arman hingga ke peristirahatan terakhirnya. Tentu demi Nurul, aku harus membuang semua rasa egoku. Tak banyak yang ikut mengantar, hanya beberapa keluarga dan teman dekat Mas Arman saja. Mungkin beberapa orang yang tau masalah kemarin, enggan takziah. Itu sebabnya di rumah duka pun, sedikit tetangga yang hadir.Mbak Yuli datang di saat tubuh Mas Arman sudah dikebumikan. Dia menangis, hanya saja tidak sehisteris seperti di kematian Mas Burhan tempo hari. Dari situ aku bisa menilai, sepupuku itu lebih mencintai siapa. Yang lebih meyakinkan lagi, pasti Mas Arman hanya sebagai pelariannya saja.Saat para petakziah satu persatu mulai meninggalkan makam, aku membujuk Nurul agar pulang juga. Gadis kecilku itu masih menangis tapi tidak seperti tadi. Tampaknya dia sudah bisa menguasai diri dan menerima kenyataan bahwa ayahnya kini harus diikhlaskan.Aku, Nurul dan Lita--yang diam sejak tadi--baru akan mulai melangkah meninggalkan makam Mas Arman, mau tak mau menghentikan g
"Mbak ... gak mau cerita sesuatu ke aku?" Lita menunduk. Jemarinya asyik men-scroll laptop di hadapan.Aku yang tidak mengerti akan ucapannya lantas mengerutkan dahi. "Sesuatu? Cerita apa, ya, Dek?""Aku kemarin sempat liat bos Mbak itu genggam tangan Mbak saat aku masuk ke mobil." Nada bicara yang digunakan Lita terdengar santai. Tapi, aku bisa menemukan keseriusan di dalamnya. Yah ... ada sedikit penekanan. Bahwa hal yang dia bicarakan adalah sesuatu yang serius."Oh ... itu." Aku menelan ludah, gugup. "Sebenarnya ... mbak udah lama pengin cerita ini. Tapi, mbak masih ragu, Dek.""Ragu kenapa? Bos Mbak udah punya istri?" Tatapan Lita beralih dari layar laptop, tajam menusuk menghujam bola mataku."Enggak. Dia masih single, kok, Dek. Mbak udah tanya-tanya karyawan lain dan konfirmasi. Mbak tau, kok. Mbak harus berhati-hati.""Terus? Masalahnya apa?""Mbak masih ragu aja. Dia beneran serius ato hanya sekadar main-main. Usia mbak udah gak muda lagi. Bukan waktunya 'tuk main-main. Mbak