Aku sedang menonton drama Korea yang on going di ponsel saat benda pintar itu berbunyi nyaring. Tampilan wajah Lee Min Ho kini berganti dengan layar yang menampilkan panggilan dari nomor asing. Ah, siapa, sih? Mengganggu waktu bersantaiku saja.Secara berat hati, kuangkat juga panggilan itu. "Hallo?"" ... " Tak ada sahutan meski aku tau seseorang bisa mendengar suaraku dari seberang sana."Hallo? Siapa, ya?" ulangku sekali lagi dengan rasa penasaran yang tinggi. Masih juga tak ada sahutan. Akhirnya kuakhiri saja panggilan itu.Namun, tak lama kemudian panggilan dari nomor yang tadi muncul lagi. Awas saja jika orang itu hanya diam saja seperti tadi. Akan segera kublokir nomornya di ponselku ini."Hallo? Siapa, sih? Tolong, ya, jangan iseng!" Aku sedikit membentak."Li!" Ah, aku mengenali suara itu. Mas Arman. Ada gerangan apa dia menghubungiku lagi. Apakah dia membutuhkan uang?"Ya, Mas. Bentar. Aku panggilin Nurul kalo Mas mau ngomong sama dia." Aku hendak beranjak ke teras, di mana N
"Aku ngelihatnya baru kemarin. Pas dia lagi buang sampah ke luar rumah. Dia ngelihat aku kek malu gitu, Li. Buru-buru masuk ke dalam sambil nunduk.""Aku juga terakhir ketemu pas takziah ke rumah mantan suaminya. Dia nangis-nangis waktu itu. Kayak menyesal. Tapi buat apa. Udah terlambat, kan?" Aku mengembuskan napas."Aku juga kasian liat dia. Badannya kurus, Li. Gak semok kayak dulu." Siti berhenti membersihkan, lalu menatapku."Mungkin kelelahan kerja kali, Ti. Aku gak pernah komunikasi dengan dia. Jadi gak tau kabarnya gimana sekarang.""Nah, yang mengherankan. Dia kerja di rumah tetanggaku itu nginap, Li. Padahal sebenarnya bisa pulang. Apa suaminya gak keberatan, ya, ditinggal begitu? Apa jangan-jangan mereka udah pisah?" Siti menggeleng-geleng."Udah, ah. Jangan nyerempet ke mas Arman lagi." Aku mencoba mengingatkan."Eh, iya. Maaf." Siti berujar tak enak.Klakson mobil Ko Kevin berbunyi di depan toko. Aku segera bergegas menghampiri. Biasanya dia memberi kode bahwa ada barang la
Kejadian tempo hari, membuat aku tak berani menatap wajah Ko Kevin berlama-lama. Bila dia mengajakku bicara, aku selalu memandang ke arah tempat lain. Entah lah. Aku hanya takut debaran di dada membuat mukaku merona di depannya dan itu pasti bakal menjadi bahan ledekan Ko Kevin padaku, terlebih Siti.Saat itu, Siti masuk ke kantor Ko Kevin tanpa mengetuk. Alasannya sebab ada aku di dalam. Ternyata dia memergoki Ko Kevin sedang memelukku. Anehnya lagi bosku itu bersikap biasa saja, melepaskan pelukan sembari mengedipkan sebelah mata pada Siti.Semenjak itu perhatian-perhatian Ko Kevin semakin jelas dia tunjukkan di depanku mau pun Siti. Membuat temanku itu terus saja menggoda.Seperti saat ini, kami duduk berdua di balik kaca konter. Melalui perandaiannya, lagi-lagi Siti menggodaku."Seumpama, nih, Li. Kalo Ko Kevin nembak, kamu terima gak? Kan mana tau kamu dilamar. Apa aku harus panggil 'Nyonya' ke kamu, ya, Li. Nyonya Lia." Siti nyengir."Apaan, sih, Ti? Jangan ngaco, ah. Halu kamu k
Kisah gadis desa yang dipersunting pria kaya bagiku cuma ada di dongeng atau film saja. Lagi pula, aku bukan gadis melainkan janda. Tapi, apa salah jika aku merasakan jatuh cinta lagi?Aku menggeleng keras, mengusir pikiran-pikiran aneh yang tiba-tiba bersemayam di benak. Cukup, Lia, cukup. Kehaluanmu terlalu tinggi.Tak terasa langkahku sudah di depan ruko. Tanganku merogoh tas yang tersampir di lengan kiri, mencoba mencari kunci ruko yang kubawa kemarin. Biasanya kunci itu dipegang Siti. Dia selalu datang di awal. Berhubung pagi ini dia ada urusan, mau tidak mau kunci ruko diserahkannya padaku di sore hari kemarin sebelum kami berpisah meninggalkan ruko.Dua menit mencari, kunci itu kutemukan di lipatan dompet. Dapat! Berjalan ke pintu ruko, benda itu kuselipkan di lubang gembok."Pagi ...!"Aku terpekik kaget oleh sebab Ko Kevin, yang entah kapan datangnya, sudah berdiri di belakangku dan menyapa. Lebih tepatnya berbisik lirih di sebelah telinga. Kunci di tanganku, sontak terlepas l
Pukul 13.00 siang seperti biasa aku istirahat makan. Bergantian dengan Siti, aku menuju ruang istirahat setelah teman kerjaku itu kembali ke konter.Oleh sebab sangat lapar, aku segera menyantap bekal yang kubawa dari rumah, tentu sesudah mencuci tangan terlebih dahulu.Tak menunggu lama, seporsi nasi dengan tumisan sayur dan sepotong ayam goreng ludes tak bersisa. Kemudian berdiri, melangkah ke sudut ruangan itu, kubersihkan tempat bekal yang kini kosong.Waktu yang kuhabiskan untuk makan hanya sepuluh menit. Lumayan, sisa waktu istirahat yang aku punya bisa dipakai untuk melanjutkan tontonan drama Korea yang belum selesai.Kembali ke kursi plastik di sisi meja panjang yang menempel di tembok, kuraih tas jinjing, lantas meraih ponsel dengan antusias. Tapi, tunggu. Ada tampilan tiga puluh panggilan tak terjawab terpampang di layarnya. Sepuluh dari Bu Rahmi, sisanya dari Lita. Ada apa gerangan?Dengan penuh rasa penasaran aku melakukan panggilan balik ke Bu Rahmi. Tak butuh waktu lama p
"Ya ampun!" Siti hampir terpekik. Namun, dia berhasil menguasai diri. " Ya udah. Sana buruan. Hati-hati, Li."Aku mengangguk pada Siti, bergegas menuju halte bus, menanti dengan perasaan cemas angkot yang tidak kunjung datang. Kupandangi arloji di tangan kiri. Duh, lama! Apa aku pesan ojek online saja, ya?Namun, belum sempat aku mengambil keputusan, sebuah mobil sport berhenti di depanku. Kaca penumpangnya perlahan turun sehingga aku bisa melihat pengemudinya di balik stir mobil itu."Ayo, saya anterin!" Ko Kevin memerintah. Tanpa berpikir lagi aku segera naik ke mobilnya. Sebab situasi yang kuhadapi sekarang tak membutuhkan banyak pertimbangan."Sekarang mau ke mana kita?" Ko Kevin bertanya masih dengan tatapan lurus ke jalan raya, fokus mengemudi."Ke rumah dulu, Ko. Saya mau jemput anak saya. Habis itu langsung ke rumah sakit.""Ok!" Ko Kevin menjawab singkat tanpa memberi pertanyaan lagi. Kupandangi bosku itu. Aku tau dia punya pertanyaan, tapi sepertinya dia mampu menahan diri un
POV ArmanPerutku lapar, sejak tadi suaranya meronta tiada henti. Kupandangi layar ponsel, pesanku ke Yuli tidak kunjung dibalas sejak sebulan yang lalu.Betapa egoisnya dia, kini dia membuangku serupa sampah. Padahal dulu wanita itu selalu merayu, mendekatiku dengan beragam cara ketika Lia pergi bekerja dan tidak ada siapa pun di rumah.Sejak ditinggal Yuli, aku sudah berusaha mencari pekerjaan, apa pun. Tak kupedulikan lagi sengatan matahari yang membakar kulit, kutelusuri emperan toko untuk bertanya pada orang-orang mengenai lowongan pekerjaan. Menjadi tukang bersih-bersih tak apa, asal aku bisa dapat uang dan membeli makan.Sempat aku melihat Lia waktu itu. Kini dia terlihat berbeda. Wajahnya semakin bersinar saja. Apakah dia bahagia setelah berpisah denganku? Apakah selama menikah denganku dia banyak menderita? Ah, semua ini gara-gara si Yuli.Sungguh aku menyesal telah menyia-nyiakan Lia, perempuan manis yang tidak pernah menuntut dan tidak banyak tingkah.Aku pernah menghubungin
Terburu-buru aku menyibak kembali daun pintu, tetapi Bu Rahmi bersuara, "Kamu lapar? Makanlah dulu. Saya akan siapkan makan siang buat kamu."Bu Rahmi kembali ke dapur. Tak berapa lama dia membawa nasi beserta lauk-pauk dan juga minuman, lantas menghindangkannya di meja ruang tamu.Aku masih terdiam, menatap makanan yang membuat perutku semakin berkerucuk keras."Makanlah, Arman. Saya tau kamu lapar."Perut ini memang sungguh tidak bisa diajak kompromi. Baiklah, aku akan menghilangkan segala gengsi untuk hari ini. Biarlah bila Bu Rahmi ingin mengadu, aku sudah terlanjur dianggap pria benalu oleh Lia.Aku duduk, dengan lahap aku memakan segala makanan yang terhidang, tanpa bersisa. Wajar saja, sudah dua hari lambungku tidak bertemu nasi."Setelah ini, carilah pekerjaan, Man. Hilangkan segala gengsi, jadilah jantan untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu."Tiba-tiba Bu Rahmi berkata begitu. Aku diam, mendengarkan."Seenggaknya pikirkan perasaaan Nurul. Meski bagaimana pun, dia pun