"Kamu kenapa melamun dari tadi, Li?" Siti bertanya saat kami duduk di kursi belakang konter sembari menanti pelanggan. Jam segini memang waktu-waktu yang sepi pembeli. Kami jadi bisa duduk sambil berbicara berdua.
"Ada yang mengganggu pikiranku, Ti. Tapi, aku gak mau mengikuti kecurigaanku." Kuembuskan napas panjang-panjang. "Nanti malah kesannya jadi suudzon."
"Tentang apa?"
Kupandangi Siti. Meski aku mengenal Siti adalah sosok yang amanah dan agamis, tapi aku masih ragu untuk mengungkapkan segala isi hatiku padanya. Tapi jika dipikir lagi, apa aku sanggup memendam rasa ini sendirian?
"Tentang Mas Arman." Akhirnya aku menyerah. Kupikir aku butuh teman berbagi dan meminta pendapat.
"Tentang pekerjaan lagi?"
Aku menggeleng. "Bukan. Aku curiga dia main belakang dengan sepupuku. Kemarin, Nurul cerita Mas Arman dan sepupuku itu sering berduaan di rumah. Sedangkan anakku sering disuruh main keluar, kayak sengaja diusir sebentar." Aku mengembuskan napas, lagi.
"Ya Allah. Nanti jadi fitnahan tetangga, lho. Udah kamu tegor suamimu itu?"
Aku mengangguk. "Udah. Dia malah marah. Katanya aku terlalu curigaan."
"Kalo gak begini aja. Kamu pesenin ke Nurul, Li. Lain kali kalo Nurul disuruh pergi ke luar rumah jangan mau. Suruh tetap di dalam aja. Dengan alasan ingin nonton TV atau ngerjain tugas sekolah." Siti menyarankan.
Saran Siti masuk akal juga. Sepertinya itu jalan yang terbaik. Tapi, bagaimana dengan Mas Arman? Dia masih marah padaku perihal perkara obrolan kami tadi malam. Subuh tadi, saat aku membangunkannya untuk Sholat Subuh, dia tidak menyahut. Padahal aku tahu dia sudah bangun.
"Makasih, ya, Ti. Beban pikiranku agak berkurang sekarang." Ucapanku tulus, sembari tersenyum padanya.
"Tau, gak, Li. Sebenarnya aku mau ngomongin ini ke kamu sejak lama." Siti nyengir.
"Tentang apa?" Kini gantian aku yang penasaran.
"Bos kita."
"Koko Kevin?" Alisku berkerut.
"Aku udah lama meratiin. Dia sering curi-curi pandang sama kamu."
"Ah, gila. Sembarangan kamu. Jangan ngomong yang aneh-aneh, Ti. Gak enak didengar orang."
"Sumpah, Li. Tau gak tempo hari pas kamu nungguin angkot, Koko kayak nungguin kamu di dalam mobilnya. Dia pergi setelah kamu dapat angkot. Mungkin dia mau kasih tumpangan kalo kamu gak nemu-nemu angkot."
Aku berdiri dan menggeleng, bersiap menyambut pelanggan yang berjalan mendekat ke arah toko kami. "Jangan bahas, ah, Ti. Gak pantes. Aku ini istri orang." Kulirik Siti yang wajahnya berubah menjadi tak enak, seperti orang yang menyesal karena telah salah bicara. Aku segera mengembang senyum, agar dia tidak merasa bersalah.
"Permisi, Mbak. Jual ini, gak?" Ibu-ibu berbaju merah mendekat, memperlihatkan layar ponselnya.
"Oh, ada, Bu. Tunggu sebentar, ya." Aku berjalan ke rak paling ujung, meraih benda yang dicari ibu-ibu tersebut lalu menyerahkan padanya. Dia mengecek dan mengangguk, lalu memberiku sejumlah uang pas sesuai dengan harga yang tertera di kotak barang tersebut.
"Mau kantong plastik, Bu?" tawarku.
"Gak usah, Mbak. Biar saya masukin tas aja." Wanita itu kemudian pergi berjalan menjauh.
"Makasih, ya, Bu," kataku meski tak ada balasan darinya.
~AA~
Ah, ada apa, sih, dengan angkot beberapa hari ini? Sudah satu jam aku berdiri menanti kedatangan kendaraan umum itu. Jari-jari kaki di dalam sepatu kurasa sudah kesemutan. Ck!
Mobil sport Koko Kevin berhenti tepat di hadapan. Kaca jendelanya terbuka perlahan. Wajahnya melongok dari dalam. "Ayo, sekalian, Lia. Saya juga mau ke arah sana."
Aku ragu, malah menggaruk kepala yang tak gatal. Namun, aku lebih merasa tak enak jika menolak apalagi sampai bosku itu menunggu lama.
Aku melangkah mendekati mobilnya. Kuraih pegangan pintu, menariknya hingga terbuka. Setelah duduk, kututup dan memasang seltbet. Aroma pewangi mobil berpadu dengan parfum maskulin Ko Kevin menguar menusuk indera penciuman. Mobil kemudian mulai berjalan dikendarai pemiliknya.
"Kamu tiap hari naik angkot?"
"Iya, Ko."
Hening.
"Kayaknya sopir-sopir angkot pada demo. Saya gak ngeliat mereka melintas sejak tadi."
"Iya." Aku kikuk. Sebab baru kali ini mengobrol secara pribadi dengan bos tempatku bekerja ini.
Koko Kevin, yang kutahu pria single keturunan Tionghoa berusia 30. Dia punya beberapa cabang toko di kota ini. Pria berpostur tinggi ini mampir ke toko di mana aku dan Siti sebagai pekerjanya, hanya di hari Sabtu saja.
"Saya turun di gapura itu aja, Ko." Aku menunjuk ke arah gapura simpang tiga tempat biasa angkot menurunkanku.
Namun, Koko Kevin membelokkan mobil dan memasuki gapura. "Saya antar sampai rumah," katanya.
"Aduh, jadi ngerepotin." Aku menelan ludah.
"Gak apa-apa. Santai aja." Dia tersenyum. Ya ampun. Aku pikir Koko Kevin seorang bos yang dingin lantaran karena dia jarang berbicara pada kami jika di toko. Untuk pertama kalinya kulihat dia tersenyum, dan itu manis. Menurutku.
~AA~
Mobil Koko Kevin terus melaju perlahan melewati jalan aspal menuju rumahku. Kali ini aku pikir suasananya terlihat agak berbeda. Sepanjang jalan yang kami lalui, kini lebih banyak orang-orang duduk di tepi jalanan. Ada juga sebagian dari mereka yang berdiri. Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu. Semakin mendekati rumahku, semakin banyak yang bergerombol sembari menatap ke satu arah, yakni tujuan kami.Di pekarangan rumahku, ternyata sudah penuh sesak oleh para tetangga yang berkerumun.Apakah orang-orang yang kulihat sepanjang jalan tadi, membicarakan kerumunan ini? Ada apa, ya? Mengapa tetanggaku pada berkerumun? Seketika aku menelan ludah, gugup. Feeling-ku mengatakan ada sesuatu perkara buruk yang telah terjadi."Terima kasih, ya, Ko. Itu rumah saya," kataku menunjuk rumah yang pintunya menganga terbuka."Kok rame? Kamu ada acara?" Ko Kevin ternyata merasakan perasaan heran juga, sama sepertiku.Aku menggeleng. "Saya juga gak tau, Ko." Tergesa-gesa kubuka pintu mobil, setengah
"Li, mau kemana kamu?!" Mas Arman berdiri setelah melihatku kesusahan menyeret koper-koper dan beberapa tas keluar dari kamar. Raut pria itu cemas. Bibirnya bergetar."Aku mau ngungsi ke tempat adikku, Mas. Mas selesaikan aja masalah ini. Mas harus berani bertanggung jawab karena Mas-lah yang telah memulainya sendiri. Cari jalan yang terbaik. Kalo perlu nikahi Mbak Yuli. Nanti surat perceraian kita bisa menyusul belakangan.""Gak! Aku gak mau kita bercerai! Aku gak mau pisah sama kamu."Aku menggeleng tegas. "Aku gak bisa lagi hidup bersama seorang pengkhianat, apalagi Mas telah berzina dengan perempuan itu." Aku melangkah pergi keluar rumah diiringi tatapan kasian dari orang-orang yang melihat.Aku menuju rumah Bu Rahmi, kumasuki pekarangannya. Kutinggalkan koper dan tas di bawah teras, lalu melangkah memasuki ruang tamu di mana Nurul sudah menungguku."Rodiyah, ajakin Nurul ke kamarmu, ya. Mama mau ngobrol sama Tante Lia sebentar," titah Bu Rahmi pada putrinya yang sedang bermain bon
Aku bersandar pada tembok kamar berukuran lima kali lima meter persegi, bernuansa pink dan putih. Ada satu tempat tidur nomor dua, satu lemari dua pintu, meja kompor dan satu kulkas mini. Nurul sudah tertidur pulas di atas seprai bermotif Hello Kitty. Dia meringkuk memeluk guling menghadap ke dinding. Lita melangkah mendekat, meletakkan secangkir kopi di hadapanku, lalu menyusul duduk di sebelah. Beralaskan karpet rasfur berwarna abu-abu kami duduk bersisian. "Jadi ... apa yang bakal Mbak lakuin ke depan ntar?" Sejenak hening. Lantas aku menggeleng tidak tahu. Rasanya otakku merasa belum sanggup untuk berpikir secara jernih. Aku raih secangkir kopi yang disuguhkan Lita tadi. Perlahan aku menyeruput cairan berkafein itu. "Tinggal di sini juga gak apa-apa, kok, Mbak. Toh, aku malah senang. Tadi aku juga udah laporan pada Bu Kos. Dia ngebolehin. Yang penting katanya lapor kalo ada tamu yang datang menginap di sini." Lita melanjutkan. "Mbak mikirin sekolahnya Nurul, Ta," sahutku. "K
Aku terbangun dalam keadaan kepala berdenyut. Wajar saja. Tidurku hanya dua jam. Kulihat Lita masih tertidur dan Nurul duduk di tepian tempat tidur menatapku."Nurul udah bangun?" Aku bangkit, menyibak selimut yang menutupi tubuhku. Pasti semalam Lita yang memasangkannya."Ibu tidur di bawah?""Ibu gak sengaja ketiduran, Nak," jawabku. "Oh, ya. Nanti Nurul sekolah diantar jemput Tante Lita, ya."Nurul mengangguk. "Tapi, buku-buku dan tas sekolah Nurul lupa dibawa, Bu.""Oh, iya, ya." Aku menepuk dahi.Duh, semalam aku lupa membawanya. Benda-benda itu berada di rak mini sebelah TV di ruang keluarga. Aku hanya fokus membawa baju-baju saja dan ingin cepat keluar dari rumah itu."Besok kita jemput. Hari ini Nurul izin gak masuk dulu aja, ya. Nanti jam tujuh Ibu telepon wali kelas Nurul. Minta izin.""Iya, Bu." Nurul mengangguk setuju.~AA~Siti terbelalak. "Gila!" katanya. "Emang lakimu gak tau diri, ya. Udah pengangguran, eh, malah selingkuh," ujarnya lagi.Aku tak menyahut, masih fokus m
Aku, Lita, dan Nurul dalam perjalanan menuju rumah kontrakan yang pernah kutinggali bersama Mas Arman, menggunakan taksi online. Lita bersikeras ingin ikut menemani. Dia takut jika nanti terjadi sesuatu padaku berhubung Mas Arman masih tinggal di rumah itu. Adikku itu mengkhawatirkan keselamatan kakaknya. Menurut dia, bisa saja Mas Arman menyimpan dendam dan amarah setelah kutinggalkan begitu saja.Mobil yang membawa kami berhenti sempurna di pekarangan rumah. Suasana sepi. Tak banyak warga di kanan kiri jalan sebab saat ini tengah hari. Mungkin sebagian dari mereka sedang tidur siang atau jalan-jalan keluar rumah di hari Minggu.Setelah membayar ongkos kami bertiga turun, melangkah ke teras yang pintunya tertutup rapat. Aku hendak mengetuk daunnya, tetapi terdengar suara cekikik perempuan dari dalam.Astaghfirullah. Memang pasangan tak tau malu. Dengan sedikit emosi kuraih gerendel pintu dan mendorongnya. Seperti dugaan, Mas Arman tidak mengunci pintu."Assalamualaikum!" Aku menyapa s
Kembali kulanjutkan kegiatanku agar segera selesai dan meninggalkan rumah ini. Sesak rasanya berlama-lama oleh sebab rasa muak serta jijik yang menyelimuti relung dada."Li! Aku gak pegang uang sama sekali."Aku berhenti memasukkan buku-buku ke dalam kardus, berbalik menatapnya, heran. "Lah, terus? Apa urusannya denganku, Mas?""Pegangin aku uang, Li. Untuk beberapa hari aja. Setelah beberapa hari aku bakal cari kerjaan." Mas Arman menunjukkan wajah memelas.Akhirnya aku tertawa, keras. "Setelah menzalimi aku, Mas masih gak ada muka minta-minta duit ke aku?" Aku tertawa lagi. "Makanya dari kemarin itu kerja, Mas. Mas itu laki-laki." Aku berdecak, menggeleng, kembali melanjutkan mengemasi buku yang tadi sempat terhenti."Masa kamu tega, Li?"Kuabaikan pertanyaannya barusan. Anggap saja aku mendadak budek dan tak mendengar ucapannya. Dasar lelaki egois. Hanya mementingkan diri sendiri.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Lega rasanya Lita dan anakku sudah kembali dari mini market. Ter
Tak membutuhkan waktu lama bagi hakim untuk mengetuk palu atas perceraian aku dan Mas Arman. Sebab pada tim survey pengadilan, kukatakan yang sesungguhnya tanpa ada hal yang harus disembunyikan atau pun ditambah-tambahi. Terlebih lagi dari bukti kuat jika Mas Arman yang melakukan kesalahan, mediasi antara kami berdua tak lagi dibutuhkan.Hidupku terasa tenang setelahnya. Tanpa beban, kujalani pekerjaan seperti biasa. Nurul juga kembali ke rutinitasnya bersekolah dengan Lita yang selalu bersedia mengantar jemput setiap hari.Dari Bu Rahmi aku mendapat kabar bahwa Mas Arman dan Mbak Yuli sudah menikah secara sederhana, dihadiri aparat setempat dan juga beberapa tetangga. Jujur aku lega mendengar itu. Setidaknya, Mas Arman tidak melakukan perzinahan secara terus-terusan.Siang ini, Siti yang baru selesai makan berjalan menghampiriku. "Aku udah kelar, Li. Gantian sana. Giliran kamu yang makan."Kutolehkan kepala ke arah jam dinding. "Waktu untukmu istirahat masih sepuluh menit lagi, Ti. Ko
Memang gila, ya. Mantan suamiku ini. Tak tahu malu sekali. Perihal duit, kok, larinya malah ke aku."Aku gak punya simpanan, Mas. Biaya buku, baju dan sekolah Nurul udah kubayar buat beberapa bulan. Aku gak ada pegangan lagi," ujarku bohong."Ah, masak gak punya simpanan. Kan kamu dan Nurul numpang gratis di kosannya adikmu itu."Mataku menyipit tak percaya pada ucapan pria yang pernah jadi parasit dalam hidupku ini."Gratis Mas bilang? Jangan samakan aku dengan diri Mas Arman, ya, yang cuma bisanya menengadahkan tangan pada istri. Aku tinggal dengan Lita juga bantu buat makan dan bayar kos-kosan, Mas. Aku ini punya otak dan sadar diri," ucapku berapi-rapi. "Udah, ah. Jangan pernah nemuin aku lagi kalo cuma mau bicara tentang duit, Mas. Sana kerja! Kalo perlu suruh istri Mas jadi tukang cuci biar bisa kasih duit buat laki barunya.""Aku ngomong baik-baik, ya, Li. Kenapa kamu jadi kasar gitu?!" Mas Arman berkacak pinggang. Suaranya meninggi. Orang-orang yang lewat di sekitar, menoleh ke