"Oh, ya, Nak. Memangnya Bude Yuli sering ke sini sendirian, ya, kalo ibu lagi gak ada?" Aku mencoba mengorek informasi dengan nada biasa. Agar putriku ini tidak berpikiran yang tidak-tidak.
Tak disangka, putriku mengangguk sembari melanjutkan kunyahannya.
"Lama gak?" tanyaku lagi.
"Lumayan lama, Bu. Pernah sampe Nurul pulang Bude Yuli masih di sini," jawab Nurul. "Kadang suara ketawanya terdengar sampai ke luar rumah, Bu."
Astaghfirullah! Aku hanya bisa mengucap dalam hati saja.
Tunggu. Dahiku berkerut dalam. Aku masih ingin menanyakan satu pertanyaan lagi, tapi apa pantas jika aku bertanya pada Nurul; Ayah sama Bude Yuli ngapain aja di rumah?
Huh! Tapi ucapan itu berhasil kusimpan dalam benak. Aku tak ingin pertanyaan itu akan menjadi beban pikiran untuk anakku.
Meski Nurul masih berusia delapan tahun, tapi aku yakin dia bakal bisa mencerna dan menilai semua apa yang terjadi di depan matanya. Jika aku memperlihatkan kecurigaan pada Nurul, pasti ini akan menjadi beban pikiran baginya. Aku tahu Nurul anak yang pintar dan bisa menyimpulkan sendiri.
Setelahnya kami makan dalam diam. Nurul mengangkat piring kotor ke tempat cucian piring, lalu membantuku mencucinya sampai bersih. Bocah pintar itu juga menyusun rapi semua peralatan makan yang telah bersih ke rak piring. Hal ini sudah menjadi kebiasaan yang kuajarkan padanya sejak dini agar dia menjadi sosok yang mandiri.
Sedang aku, pikiranku masih berisi sekelumit kecurigaan pada tingkah Mas Arman dan Mbak Yuli. Hingga membuatku menyerah menghabiskan makanan di pinggan. Sudahlah. Kudorong piring ke tengah meja. Aku jadi tak berselera makan meski tadi aku sangat lah lapar.
~AA~
Kupandangi bayangan Mas Arman di balik cermin meja rias. Dia tengah tersenyum sendiri sembari memandangi ponsel di tangan. Kulirik jam di tembok, pukul 22.30 malam. Dengan siapa dia berbicara via pesan selarut ini.
"Mas?"
"Hmm." Dia tak mengalihkan pandangan. Matanya masih terpaku pada layar ponsel.
"Emang Mbak Yuli sering ke sini, ya?" Kuusap secara merata wajah menggunakan kapas yang sudah dibaluri toner penyegar untuk mengangkat sisa make up dan kulit-kulit mati. Aromanya cukup menenangkan dan setidaknya mampu meredam emosi yang tertahan di diri sejak tadi.
"Iya, Dek. Dia nganterin makanan buat Nurul." Mas Arman menjawab acuh.
"Oh, gitu. Langsung pulang ato mampir lama? Ngajakin Mas ngobrol? Emang ngobrolin apa aja, sih, sampe berjam-jam?"
Mas Arman mendongak. "Kamu curiga sama aku?" Matanya menatap sinis ke padaku.
"Lho, aku, kan, cuma nanya. Kok respons Mas kayak gitu, sih?" Kuhentikan usapan pada wajah. Kubalas tatapannya yang terbalut amarah. "Trus kenapa pake acara nyuruh Nurul main keluar rumah? Kalian berdua bisa jadi bahan fitnahan orang sekitar, lho, Mas." Aku mencoba mengingatkan Mas Arman.
"Ah, ngapain dengerin omongan orang, sih. Kamu kayak gak ada kerjaan aja." Wajah Mas Arman kembali menunduk, menatap ponselnya. Namun, rautnya kentara terlihat tidak suka pada ucapanku.
"Mas. Kita ini tinggal di lingkungan yang masih menjaga adab. Mas juga seharusnya jadi contoh yang baik buat Nurul. Apa Mas gak merasa risih ngeliat pakaian Mbak Yuli yang terbuka seperti tadi? Aku sebagai perempuan aja ngeliatnya risih, Mas. Lain kali kalo dia main sendirian ke sini, lebih baik Mas menghindar. Keluar rumah. Jangan diladeni."
"Kamu berisik, ah!" Mas Arman bangkit berdiri. Dia meraih satu bantal dan keluar kamar. Pasti dia bakal tidur di depan TV malam ini. Begitulah Mas Arman. Dia selalu menghindar jika diajak diskusi. Padahal apa yang kusampaikan, menurutku tidak salah. Aku hanya tak ingin, dia dan Mbak Yuli jadi bahan gunjingan para tetangga. Lagi pula bagaimana jika mereka khilaf sampai melakukan hal yang tidak pantas. Setan bisa menggoda kapan pun dan dengan beragam cara. Ditambah lagi bila mereka hanya berdua saja di dalam rumah.
~AA~
"Kamu kenapa melamun dari tadi, Li?" Siti bertanya saat kami duduk di kursi belakang konter sembari menanti pelanggan. Jam segini memang waktu-waktu yang sepi pembeli. Kami jadi bisa duduk sambil berbicara berdua."Ada yang mengganggu pikiranku, Ti. Tapi, aku gak mau mengikuti kecurigaanku." Kuembuskan napas panjang-panjang. "Nanti malah kesannya jadi suudzon.""Tentang apa?"Kupandangi Siti. Meski aku mengenal Siti adalah sosok yang amanah dan agamis, tapi aku masih ragu untuk mengungkapkan segala isi hatiku padanya. Tapi jika dipikir lagi, apa aku sanggup memendam rasa ini sendirian?"Tentang Mas Arman." Akhirnya aku menyerah. Kupikir aku butuh teman berbagi dan meminta pendapat."Tentang pekerjaan lagi?"Aku menggeleng. "Bukan. Aku curiga dia main belakang dengan sepupuku. Kemarin, Nurul cerita Mas Arman dan sepupuku itu sering berduaan di rumah. Sedangkan anakku sering disuruh main keluar, kayak sengaja diusir sebentar." Aku mengembuskan napas, lagi."Ya Allah. Nanti jadi fitnahan
Mobil Koko Kevin terus melaju perlahan melewati jalan aspal menuju rumahku. Kali ini aku pikir suasananya terlihat agak berbeda. Sepanjang jalan yang kami lalui, kini lebih banyak orang-orang duduk di tepi jalanan. Ada juga sebagian dari mereka yang berdiri. Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu. Semakin mendekati rumahku, semakin banyak yang bergerombol sembari menatap ke satu arah, yakni tujuan kami.Di pekarangan rumahku, ternyata sudah penuh sesak oleh para tetangga yang berkerumun.Apakah orang-orang yang kulihat sepanjang jalan tadi, membicarakan kerumunan ini? Ada apa, ya? Mengapa tetanggaku pada berkerumun? Seketika aku menelan ludah, gugup. Feeling-ku mengatakan ada sesuatu perkara buruk yang telah terjadi."Terima kasih, ya, Ko. Itu rumah saya," kataku menunjuk rumah yang pintunya menganga terbuka."Kok rame? Kamu ada acara?" Ko Kevin ternyata merasakan perasaan heran juga, sama sepertiku.Aku menggeleng. "Saya juga gak tau, Ko." Tergesa-gesa kubuka pintu mobil, setengah
"Li, mau kemana kamu?!" Mas Arman berdiri setelah melihatku kesusahan menyeret koper-koper dan beberapa tas keluar dari kamar. Raut pria itu cemas. Bibirnya bergetar."Aku mau ngungsi ke tempat adikku, Mas. Mas selesaikan aja masalah ini. Mas harus berani bertanggung jawab karena Mas-lah yang telah memulainya sendiri. Cari jalan yang terbaik. Kalo perlu nikahi Mbak Yuli. Nanti surat perceraian kita bisa menyusul belakangan.""Gak! Aku gak mau kita bercerai! Aku gak mau pisah sama kamu."Aku menggeleng tegas. "Aku gak bisa lagi hidup bersama seorang pengkhianat, apalagi Mas telah berzina dengan perempuan itu." Aku melangkah pergi keluar rumah diiringi tatapan kasian dari orang-orang yang melihat.Aku menuju rumah Bu Rahmi, kumasuki pekarangannya. Kutinggalkan koper dan tas di bawah teras, lalu melangkah memasuki ruang tamu di mana Nurul sudah menungguku."Rodiyah, ajakin Nurul ke kamarmu, ya. Mama mau ngobrol sama Tante Lia sebentar," titah Bu Rahmi pada putrinya yang sedang bermain bon
Aku bersandar pada tembok kamar berukuran lima kali lima meter persegi, bernuansa pink dan putih. Ada satu tempat tidur nomor dua, satu lemari dua pintu, meja kompor dan satu kulkas mini. Nurul sudah tertidur pulas di atas seprai bermotif Hello Kitty. Dia meringkuk memeluk guling menghadap ke dinding. Lita melangkah mendekat, meletakkan secangkir kopi di hadapanku, lalu menyusul duduk di sebelah. Beralaskan karpet rasfur berwarna abu-abu kami duduk bersisian. "Jadi ... apa yang bakal Mbak lakuin ke depan ntar?" Sejenak hening. Lantas aku menggeleng tidak tahu. Rasanya otakku merasa belum sanggup untuk berpikir secara jernih. Aku raih secangkir kopi yang disuguhkan Lita tadi. Perlahan aku menyeruput cairan berkafein itu. "Tinggal di sini juga gak apa-apa, kok, Mbak. Toh, aku malah senang. Tadi aku juga udah laporan pada Bu Kos. Dia ngebolehin. Yang penting katanya lapor kalo ada tamu yang datang menginap di sini." Lita melanjutkan. "Mbak mikirin sekolahnya Nurul, Ta," sahutku. "K
Aku terbangun dalam keadaan kepala berdenyut. Wajar saja. Tidurku hanya dua jam. Kulihat Lita masih tertidur dan Nurul duduk di tepian tempat tidur menatapku."Nurul udah bangun?" Aku bangkit, menyibak selimut yang menutupi tubuhku. Pasti semalam Lita yang memasangkannya."Ibu tidur di bawah?""Ibu gak sengaja ketiduran, Nak," jawabku. "Oh, ya. Nanti Nurul sekolah diantar jemput Tante Lita, ya."Nurul mengangguk. "Tapi, buku-buku dan tas sekolah Nurul lupa dibawa, Bu.""Oh, iya, ya." Aku menepuk dahi.Duh, semalam aku lupa membawanya. Benda-benda itu berada di rak mini sebelah TV di ruang keluarga. Aku hanya fokus membawa baju-baju saja dan ingin cepat keluar dari rumah itu."Besok kita jemput. Hari ini Nurul izin gak masuk dulu aja, ya. Nanti jam tujuh Ibu telepon wali kelas Nurul. Minta izin.""Iya, Bu." Nurul mengangguk setuju.~AA~Siti terbelalak. "Gila!" katanya. "Emang lakimu gak tau diri, ya. Udah pengangguran, eh, malah selingkuh," ujarnya lagi.Aku tak menyahut, masih fokus m
Aku, Lita, dan Nurul dalam perjalanan menuju rumah kontrakan yang pernah kutinggali bersama Mas Arman, menggunakan taksi online. Lita bersikeras ingin ikut menemani. Dia takut jika nanti terjadi sesuatu padaku berhubung Mas Arman masih tinggal di rumah itu. Adikku itu mengkhawatirkan keselamatan kakaknya. Menurut dia, bisa saja Mas Arman menyimpan dendam dan amarah setelah kutinggalkan begitu saja.Mobil yang membawa kami berhenti sempurna di pekarangan rumah. Suasana sepi. Tak banyak warga di kanan kiri jalan sebab saat ini tengah hari. Mungkin sebagian dari mereka sedang tidur siang atau jalan-jalan keluar rumah di hari Minggu.Setelah membayar ongkos kami bertiga turun, melangkah ke teras yang pintunya tertutup rapat. Aku hendak mengetuk daunnya, tetapi terdengar suara cekikik perempuan dari dalam.Astaghfirullah. Memang pasangan tak tau malu. Dengan sedikit emosi kuraih gerendel pintu dan mendorongnya. Seperti dugaan, Mas Arman tidak mengunci pintu."Assalamualaikum!" Aku menyapa s
Kembali kulanjutkan kegiatanku agar segera selesai dan meninggalkan rumah ini. Sesak rasanya berlama-lama oleh sebab rasa muak serta jijik yang menyelimuti relung dada."Li! Aku gak pegang uang sama sekali."Aku berhenti memasukkan buku-buku ke dalam kardus, berbalik menatapnya, heran. "Lah, terus? Apa urusannya denganku, Mas?""Pegangin aku uang, Li. Untuk beberapa hari aja. Setelah beberapa hari aku bakal cari kerjaan." Mas Arman menunjukkan wajah memelas.Akhirnya aku tertawa, keras. "Setelah menzalimi aku, Mas masih gak ada muka minta-minta duit ke aku?" Aku tertawa lagi. "Makanya dari kemarin itu kerja, Mas. Mas itu laki-laki." Aku berdecak, menggeleng, kembali melanjutkan mengemasi buku yang tadi sempat terhenti."Masa kamu tega, Li?"Kuabaikan pertanyaannya barusan. Anggap saja aku mendadak budek dan tak mendengar ucapannya. Dasar lelaki egois. Hanya mementingkan diri sendiri.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Lega rasanya Lita dan anakku sudah kembali dari mini market. Ter
Tak membutuhkan waktu lama bagi hakim untuk mengetuk palu atas perceraian aku dan Mas Arman. Sebab pada tim survey pengadilan, kukatakan yang sesungguhnya tanpa ada hal yang harus disembunyikan atau pun ditambah-tambahi. Terlebih lagi dari bukti kuat jika Mas Arman yang melakukan kesalahan, mediasi antara kami berdua tak lagi dibutuhkan.Hidupku terasa tenang setelahnya. Tanpa beban, kujalani pekerjaan seperti biasa. Nurul juga kembali ke rutinitasnya bersekolah dengan Lita yang selalu bersedia mengantar jemput setiap hari.Dari Bu Rahmi aku mendapat kabar bahwa Mas Arman dan Mbak Yuli sudah menikah secara sederhana, dihadiri aparat setempat dan juga beberapa tetangga. Jujur aku lega mendengar itu. Setidaknya, Mas Arman tidak melakukan perzinahan secara terus-terusan.Siang ini, Siti yang baru selesai makan berjalan menghampiriku. "Aku udah kelar, Li. Gantian sana. Giliran kamu yang makan."Kutolehkan kepala ke arah jam dinding. "Waktu untukmu istirahat masih sepuluh menit lagi, Ti. Ko