"Ya, karena aku kasihan kepadanya, Mil. Aku kenal dia." "Jadi, maksudmu kalau kamu kenal seorang wanita jika dia kesusahan, kamu akan membawa ke sini dan menampungnya? Memberikan perhatian lebih selayaknya seorang selingkuhan?" "Mila!" "Kenapa, Mas? Aku mengatakan yang sebenarnya, kan?! Kalau bukan karena hubungan terlarang, untuk apa lagi kamu menyimpan wanita itu di sini?" Raka greget sendiri menghadapi wanita ini, tetapi pria itu berusaha untuk sabar. Bagaimanapun ini adalah rumah Mila dan tidak mungkin dia memaksakan kehendak. Sementara pemilik rumahnya saja begitu menolak seperti ini. "Tidak seperti itu, Mil. Baiklah, aku akan menceritakan yang sebenarnya. Maura ini adalah anak yang tinggal dengan Lusi." "Lusi lagi! Jadi, kamu sengaja menampung wanita itu untuk mendapatkan Lusi?!" "Bukan seperti itu, Mila. Makanya dengarkan dulu kalau aku bicara," ujar Raka, masih berusaha untuk tenang dan menjelaskan semuanya dengan terperinci. "Luai mengambil hak asuh untuk menyekolahka
"Berapa hari dia tinggal di sini?" tanya Mila, tiba-tiba saja membuat Raka terkesiap. Pria itu benar-benar kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh istrinya. "Ya, aku tidak bisa pastikan, Mil. Tapi aku akan berusaha sebisa mungkin untuk mencari kontrakan untuknya atau kalau perlu, biarkan saja dia jadi pelayan di toko. Dengan begitu dia kan tidak perlu lagi menumpang di sini dan bisa hidup layak sebagaimana mestinya," papar Raka memberikan alasan dan dia juga memang ingin melakukan semua itu untuk Maura. Setidaknya Maura tidak pergi ke mana-mana sampai wanita itu bisa mendapatkan Devan. Mila diam sejenak, ini benar-benar memuakkan untuknya. Sungguh, dari hati kecilnya wanita itu tidak mau menampung Adik yang tidak pernah dianggap. Tetapi kalau misalkan dia menolak, takut malah akan menjadi karma untuk anak yang ada dalam kandungan. Akhirnya setelah dipertimbangkan Mila pun mengizinkan Maura tinggal di sini."Baiklah, Mas. Aku izinkan dia tinggal di sini." Raka tersenyum pen
"Mila, kamu jangan keterlaluan, ya. Masa anak orang di suruh tidur di sini? Bisakah kamu cari tempat lain yang lebih layak?" ucap Raka, merasa heran. Mila berdecak sembari melipat tangan di depan dada. "Mas, aku mengizinkan dia tinggal di sini, bukan berarti dia bisa seenaknya tinggal di sini. Tinggal pilih saja, mau di sini atau sebaiknya keluar dari rumah ini," ungkap Mila memberikan pilihan, membuat Raka mengusap kepalanya dengan kasar.Wanita ini lama-lama membuatnya jadi pusing dan merasa malu, sebab membiarkan Maura tinggal dalam keadaan seperti ini.Maura sepertinya tahu kalau sebentar lagi pasti akan ada perdebatan di antara kakaknya dan Raka, akhirnya wanita itu pun mengambil keputusan sendiri. "Sudah biarkan saja, tidak apa-apa. Lagian memang aku di sini numpang, kan? Jadi, tidak masalah aku tidur di sini," ujar wanita itu akhirnya mengalah. Mila tersenyum miring sembari menganggukkan kepala. Dalam hati merasa puas, ini akan lebih seru karena Maura menerima begitu saja ap
Sementara itu, di tempat lain saat ini Devan sedang bersiap-siap untuk kebebasannya besok. Dia akhirnya menggunakan pengacara Pak Haris dan memberikan uang jaminan. Meskipun itu sangat besar, tapi meyakinkan pihak polisi bahwa mereka akan menginvestigasi ulang apa yang sebenarnya terjadi. Karena saat itu dia dalam keadaan tidak sadar. Amanda yang sebelumnya menjanjikan untuk membebaskannya pun tak muncul. Entah kenapa, yang pasti saat ini kebebasan Devan itu utamanya untuk membalaskan semua perbuatan Arya kepadanya.Sementara seharian ini Devan terus memikirkan tentang Maura. Entah kenapa pria itu tiba-tiba saja sangat rindu kepada wanita itu. Sebelumnya sang pria bertanya kepada pengacaranya, apakah bertemu dengan Maura. Tetapi tentu saja sang pengacara tidak tahu. Sebab dia hanya singgah di kediaman Arya, hingga pria itu menyuruh pengacaranya untuk mencari Maura. Setelah dipikir-pikir, pria itu mungkin sudah keterlaluan kepada sang wanita. Untuk mendapatkan Lusi rasanya mustahil ,
"Loh, pada ke mana?" ucap Adiba saat melihat meja yang sebelumnya di tempat Lusi dan Alia kosong.Wanita itu membawa nampan berisi makanan yang sudah dipesan oleh kedua orang yang sebelumnya ada di sana. Tetapi saat sampai, tidak ada siapa-siapa. Dia menyimpan nampan itu dan terlihat bingung, melihat ke segala penjuru rest area.Adiba menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia sadar kalau tadi mengantri terlalu lama, karena memang banyak orang yang pesan di tempat yang sama. Tetapi harusnya Lusi memberitahunya kan kalau misalkan memang mau pindah tempat atau pergi? Begitu pikir Adiba.Dia memilih untuk menelepon temannya, tetapi belum sampai mendiang nomor Lusi, terlihat sang teman dengan anaknya itu berjalan menuju Adiba. Betapa terkejutnya gadis itu melihat pakaian Lusi yang begitu Kotor. "Ya Tuhan, Lus! Ada apa ini? Kenapa kamu tampak kotor sekali?" tanya Adiba, khawatir. Dia berpikir yang aneh-aneh dan mungkin saja terjadi sesuatu yang buruk kepada temannya ini. "Tadi Ibu tidak
Selama mereka makan, Lusi dan Adiba beserta Alia pun menyelingi aktivitas mereka dengan canda tawa. Sang pria dari tadi mendengarkan pun ikut tersenyum, apalagi saat mendengar Lusi terkekeh dan tertawa. Entah kenapa itu terdengar seksi di telinganya. Dia benar-benar sudah terhipnotis dengan wanita itu. Tampaknya sang pria harus benar-benar mencari tahu siapa wanita yang sudah ditabraknya tadi. "Ibu, apa perjalanan kita masih jauh?" tanya Alia di sela makannya.Wanita itu mengusap kepala sang anak dengan sayang. "Sebentar lagi, ya. Alia yang sabar, nanti kalau misalkan Alia capek bobo aja," ucap Lusi berusaha untuk menenangkan anaknya. Pasti Alia bosan sekali karena harus menunggu perjalanan jauh. Sementara itu, pria yang ada di sana juga masih berusaha mendengarkan percakapan mereka. Untunglah di meja tempat mereka berada itu hanya beberapa orang saja, sementara yang ramai itu dekat food count, tempat Adiba mengantri makanan tadi. Tanpa menceritakan apa pun, pria itu sepertinya pa
Selama mereka makan, Lusi dan Adiba beserta Alia pun menyelingi aktivitas mereka dengan canda tawa. Sang pria dari tadi mendengarkan pun ikut tersenyum, apalagi saat mendengar Lusi terkekeh dan tertawa. Entah kenapa itu terdengar seksi di telinganya. Dia benar-benar sudah terhipnotis dengan wanita itu. Tampaknya sang pria harus benar-benar mencari tahu siapa wanita yang sudah ditabraknya tadi. "Ibu, apa perjalanan kita masih jauh?" tanya Alia di sela makannya.Wanita itu mengusap kepala sang anak dengan sayang. "Sebentar lagi, ya. Alia yang sabar, nanti kalau misalkan Alia capek bobo aja," ucap Lusi berusaha untuk menenangkan anaknya. Pasti Alia bosan sekali karena harus menunggu perjalanan jauh. Sementara itu, pria yang ada di sana juga masih berusaha mendengarkan percakapan mereka. Untunglah di meja tempat mereka berada itu hanya beberapa orang saja, sementara yang ramai itu dekat food count, tempat Adiba mengantri makanan tadi. Tanpa menceritakan apa pun, pria itu sepertinya pa
Tak lama kemudian mereka pun akhirnya sampai di sebuah kota kecil. Kabupaten yang berada di Jawa Barat, yaitu Majalengka. Mungkin jika yang mengendarai adalah seorang laki-laki, perjalanannya akan memakan satu jam. Tetapi karena mereka berdua sering berhenti sejenak karena kelelahan menyetir, akhirnya kedua wanita itu pun sampai di tempat tujuan satu setengah jam. Harusnya mereka sampai itu di Bandung, tempat mereka dulu berada. Terapi katanya Ibu Adiba itu pindah untuk hijrah dan memulai hidup baru di sini. Sungguh aneh bagi Lusi, sebab seharusnya ibunya Adiba akan betah karena di tempat kelahiran. Tetapi kenapa harus hijrah ke Majalengka? Hanya saja sang wanita tidak mau bertanya lebih rinci dan memilih untuk ikut saja dengan Adiba. Kedatangan mereka berdua itu tepat pukul 22.30. Ketiganya langsung disambut oleh ibunya Adiba, Melati. Sementara Lusi syok, tampak mematung melihat penampilan ibunya Adiba. Terlihat kurus dan juga tidak dikenali. Merasa pangling. Dia benar-benar tidak