Tak lama kemudian mereka pun akhirnya sampai di sebuah kota kecil. Kabupaten yang berada di Jawa Barat, yaitu Majalengka. Mungkin jika yang mengendarai adalah seorang laki-laki, perjalanannya akan memakan satu jam. Tetapi karena mereka berdua sering berhenti sejenak karena kelelahan menyetir, akhirnya kedua wanita itu pun sampai di tempat tujuan satu setengah jam. Harusnya mereka sampai itu di Bandung, tempat mereka dulu berada. Terapi katanya Ibu Adiba itu pindah untuk hijrah dan memulai hidup baru di sini. Sungguh aneh bagi Lusi, sebab seharusnya ibunya Adiba akan betah karena di tempat kelahiran. Tetapi kenapa harus hijrah ke Majalengka? Hanya saja sang wanita tidak mau bertanya lebih rinci dan memilih untuk ikut saja dengan Adiba. Kedatangan mereka berdua itu tepat pukul 22.30. Ketiganya langsung disambut oleh ibunya Adiba, Melati. Sementara Lusi syok, tampak mematung melihat penampilan ibunya Adiba. Terlihat kurus dan juga tidak dikenali. Merasa pangling. Dia benar-benar tidak
"Jangan bohong, Bu! Aku tahu, Ibu pasti melakukan semua ini hanya untuk menunggu pria brengsek itu, kan?!" Mata Lusi benar-benar membulat mendengarnya. Dia tidak jadi meninggalkan dapur dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, sampai mereka bertengkar seperti ini. Padahal Adiba dan ibunya itu baru bertemu setelah sekian lama Adiba berada di Jakarta. Tetapi kenapa tiba-tiba saja temannya mengatakan hal yang seperti itu? "Jaga ucapan kamu, Adiba! Bagaimanapun dia itu adalah ayahmu." "Bukan! Dia adalah pria yang membuat Ibu dan aku menderita seperti ini.""Adiba!""Kenapa, Bu? Memang kenyataannya seperti itu, kan? Ibu sampai pindah ke Majalengka hanya untuk menghindari Ayah. Padahal rumah itu adalah rumah kita, Bu. Ibu berhak tinggal di sana." "Bukankah ayahmu memang sudah meninggalkan rumah itu?" elak Bu Melati membuat Lusi semakin bingung, tetapi tak urung wanita itu tetap berada di sana untuk mendengar semuanya. Mungkin saja ada tabir rahasia yang baru terungkap dan pertanyaa
"Bukankah akan lebih baik kalau Ibu melanjutkan hidup di sini? Tenang, damai dan Ibu juga bisa bersosialisasi dengan tetangga, sangat baik. Mereka kenal Ibu dari kecil, Nak," ucap Ibu Melati.Tampaknya dia benar-benar tidak mau kembali ke Bandung. Sementara itu Adiba juga bersikukuh untuk mengajak ibunya kembali ke tempat mereka dulu. "Bu, kalau Ibu ingin aku sembuh dari trauma, ikutlah denganku ke Bandung. Kecuali kalau ingin aku melajang seumur hidup. Silakan Ibu tetap tinggal di sini."Pernyataan itu membuat Bu Melati terperangah. Wanita paruh baya itu langsung memegang kedua pundak anaknya, berusaha untuk menyadarkan Adiba agar tidak mengambil keputusan sembarangan. "Kamu jangan seperti itu, Adiba. Hidup itu harus punya pasangan, kamu harus punya teman hidup. Kalau Ibu tidak ada, kamu dengan siapa?" "Ada Lusi, kok. Aku bisa hidup dengan Lusi." "Tidak, Nak. Kalau Lusi kembali berumah tangga, apakah suaminya akan terima jika kamu juga tinggal bersama mereka?" Tiba-tiba saja Adi
Bukannya menjawab pertanyaan Adiba, Bu Melati malah langsung menyuruh dua wanita itu untuk makan. Takut makanannya dingin, begitu alasan Bu Melati. Membuat Adiba terdiam, tampak sekali wajahnya kesal karena ibunya tidak menjawab pertanyaan. Padahal sudah jelas-jelas ada di depan Lusi. Wanita itu merasa gugup melihat reaksi dari Ibu dan anak. Dia seperti berada di tengah-tengah perang dingin yang begitu menegangkan. "Selamat makan." Bu Melati berusaha untuk mencairkan suasana dengan bertanya berbagai hal kepada Lusi. Wanita itu berusaha untuk mengikuti alur yang dibuat oleh Bu Melati, berusaha agar mood Adiba kembali naik. Tetapi tampaknya itu tidak berhasil. "Aku sudah selesai makan. Mau kamar dulu," ujar Adiba membuat Lusi maupun Bu Melati terkesiap. Setelah kepergian Adiba, wanita paruh baya itu tampak murung. Dia tak kuasa menahan air mata, membuat Lusi kaget. Wanita itu pun langsung menghampiri Bu Melati, pura-pura tidak tahu dan bertanya apa yang terjadi sampai wanita paruh
"Ayo, Maura! Sini makan dulu," ucap Raka, mengajak wanita itu untuk duduk bersama. Meskipun dia tahu kalau Mila sangat sebal kepada Maura, tetapi Raka harus bersikap baik. Setidaknya membuat Maura benar-benar betah sampai memastikan wanita ini menikah dengan Devan. Maura senyum kaku, tetapi tak urung tetap duduk juga. Mila memperlihatkan kebenciannya kepada Maura, sejelas itu. Maura menyendokkan nasi ke piringnya. Saat hendak mengambil ayam, Mila langsung menarik piring itu dan menatapnya dengan tajam. "Jadi tamu itu harus tahu diri, ya. Kamu itu numpang di sini. Jadi, makan yang sekiranya tidak mewah. Hitung-hitung kalau kamu itu masih punya rasa malu," ujar Mila tiba-tiba saja membuat Raka terkesiap, sampai langsung menoleh dengan wajah malu. "Kenapa kamu seperti itu sih, Mil? Biarkan saja ayam ini dia makan." "Ayam itu mahal, Mas! Jadi, aku tidak mau sampai dimakan oleh orang yang bukan semestinya, khusus untuk kita berdua saja. Apalagi ada anak yang ada di dalam kandungan but
Begitu juga Arya, langsung pergi. Bahkan dia berusaha untuk memakai topi dan kacamata, takut jika wajahnya sudah disebarkan sebagai DPO. Dia bahkan meninggalkan mobilnya, memilih untuk memakai angkutan umum. Hanya uang dan beberapa barang-barang yang berharga dibawa oleh pria itu. Dia punya rasa dendam kepada Adiba, karena sang wanita yang sudah membocorkan semuanya. Pelet yang hendak digunakan pun tidak dilakukan dan memilih untuk mencari jalan lain, yaitu dengan guna-guna atau santet. Tetapi tentu saja itu akan dilakukan nanti setelah dia benar-benar bebas dari incaran polisi dan juga Devan. Ini bukan kabar baik untuknya, tetapi sang pria harus benar-benar terbebas dari semua tuduhan itu. Dia tidak mau masuk penjara bagaimanapun caranya.Devan kembali ke rumahnya. Dia benar-benar merasa kalau terbebas dan menghirup udara segar, tetapi dirinya belum benar-benar bisa beraktivitas seperti biasanya.Pertama, yang harus dilakukan adalah membersihkan nama baiknya. Dia akan membuat vide
"Siapa, ya?" tanya Bu Murni memastikan, takut kalau pandangannya buram sebab ini masih pagi. "Ini saya, Bu. Devan," ucap pria itu membuat Bu Murni tersentak. Ternyata benar, pria yang ada di depan gerbangnya itu adalah Devan. Wanita paruh baya itu sempat berpikir sejenak untuk mengusir sang pria, tetapi rasanya tidak sopan. Mungkin saja memang ada hal lain yang ingin ditanyakan. Kalaupun benar pria itu ingin bertanya di mana keberadaan Lusi, tentu saja Bu Murni akan memberikan alasan sesuai dengan permintaan wanita itu. Akhirnya sang wanita paruh baya pun memilih untuk menghampiri Devan, tetapi tidak membukakan gerbang untuknya. "Ada apa, ya, Nak?" "Maaf, Bu. Saya mau tanya, kenapa rumah Lusi kosong, ya? Mereka ke mana?" tanya Devan berharap kalau jawabannya itu tidak mengecewakan.Sesuai dengan perkiraan sang wanita paruh baya, pria ini benar-benar mencari tahu di mana keberadaan Lusi. "Kalau soal itu Ibu juga nggak tahu, Nak. Kemarin sih Ibu lihat masih ada dan mereka tampak
Setelah sarapan Lusi pun berusaha untuk berbaur dengan Bu Melati walaupun Adiba hanya diam dengan ekspresi yang terlihat kesal. Kebetulan setelah Lusi selesai mandi, Alia bangun.Sang gadis kecil langsung sarapan ditemani dengan Bu Melati. Sesekali wanita paruh baya itu mengajak bercanda anak yang begitu menggemaskan. Pemandangan itu ditangkap oleh Adiba dan Lusi.Tampaknya Ibu Melati begitu antusias dan senang karena ada anak yang bisa diajak bermain seperti Alia. Adiba terlihat melamun dan terpantau sekali kalau dia sedang berpikir keras melihat reaksi dari Bu Melati saat bermain dengan Alia.Ini kesempatan bagus untuk Lusi agar dia bisa menasehati temannya untuk segera menikah dan melupakan masa lalu yang kelam. "Tampaknya Ibu kamu terlihat bahagia. Dia bermain dengan Alia," cetus Lusi, tiba-tiba membuat gadis itu tersenyum kaku, lalu dia berusaha menggonta-ganti channel TV."Di mana-manapun seorang Ibu pasti akan senang jika bermain dengan anak kecil," timpal Adiba berusaha untuk
Raka menundukkan kepala dengan menutupi wajahnya. Terdengar suara sesenggukan begitu menyakitkan. Tiba-tiba saja Bu Sinta merasa kalau dirinya saat ini benar-benar melihat anaknya yang masih kecil. Raka yang begitu polos dan memohon agar apa yang diinginkannya dikabulkan.Sudah cukup lama dia tidak melihat sisi rapuh anaknya sendiri."Aku bingung, Bu. Aku harus bagaimana? Semua orang menghimpitku, menyalahkanku seolah-olah aku ini adalah orang yang paling berdosa di sini. Aku tidak ingin hal yang lebih, Bu. Aku ingin kembali kepada Lusi dan hidup seperti dulu bersama anakku. Tapi, itu juga tidak bisa. Sekarang yang aku inginkan adalah bertemu dengan Alia. Dia anakku, dia adalah hidupku. Jika aku sekarang hancur karena perbuatanku dulu, setidaknya ada anakku yang bisa menguatkanku untuk tetap bertahan dan melanjutkan hidup," ungkap Raka, kembali sesenggukan. "Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tidak bisa mengerti dengan keadaanku saat ini? Aku menghukum Ibu karena memang Ibu sudah sangat keterlal
Bu Sinta kembali pura-pura menangis, karena dia akan benar-benar membuat anaknya merasa bersalah sebab sudah meninggalkannya. "Jadi, karena itu kamu berani mengusir Ibu? Kamu meninggalkan Ibu karena wanita itu?" tanya Bu Sinta dengan mata berkaca-kaca.Raka langsung menggelengkan kepala, menghela napas berkali-kali dan berusaha untuk tenang. Di hadapannya ini adalah ibunya sendiri. Dia harus membuat Bu Sinta mengerti, kalau dirinya punya tujuan tertentu dan tidak sembarangan melakukan hal-hal itu. "Bu, Kalau boleh jujur. Dari dulu saat aku bersama Lusi sudah berkali-kali aku ingatkan, Ibu tolong jaga sikap. Jangan terlalu banyak meminta uang kepada Lusi dan apa pun yang membuat Lusi mungkin merasa terbebani, tapi apa? Jawaban Ibu selalu saja memaksakan kehendak. Itu pun aku tetap diam, karena memang Lusi tidak mempermasalahkan itu. Tapi kemarin, aku hampir saja benar-benar kehilangan Lusi karena ide Ibu, kan? Apa Ibu tidak merasa bersalah kepadaku?" Sekarang giliran Raka mengungkap
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan
Raka masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa, karena semuanya serba mendadak. Padahal sebelumnya pria itu berpikir kalau Winda akan dengan senang hati memberinya bantuan tanpa harus meminta apa pun darinya. Tetapi, semua itu ternyata salah. Winda tetap saja meminta hal yang rasanya mustahil dilakukan oleh Raka. Masalahnya Raka memang tidak punya perasaan kepada wanita ini, ditambah lagi kalau misalkan Mila tahu apa yang sudah dilakukan Raka maka rencana semula akan benar-benar hancur. Hanya saja, pria itu juga ingin bertemu dengan Alia. Bagaimana kalau misalkan Alia ternyata dibawa ke luar negeri oleh Lusi? Entah berapa lama dia akan memendam rasa rindu kepada anaknya itu. Semua ini seperti sebuah simalakama untuknya. Melihat diamnya Raka, Winda tersenyum sinis. Dia menghela napas panjang, tahu kalau semua ini sulit untuk Raka dan mungkin pada akhirnya pria ini akan menolak tawaran itu. Jadi, tidak ada alasan Winda untuk menerima semua permintaan Raka. "Baiklah, Mas. Kalau mema
Maura menutup mulut, tak menyangka. Dia ingin menjerit dan memprotes apa yang dikatakan oleh Winda. Jika memang Winda tidak mengejar Raka, maka dia tidak akan mendapatkan rumah kecuali kalau misalkan dia memberikan ancaman. Tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa memanfaatkan Winda kalau wanita itu tidak mengejar Raka lagi. Ini akan berat untuknya, tapi Maura juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai. Tidak lupa wanita itu menyetel rekaman keduanya. Dia melakukan ini demi sebuah keamanan dan juga materi. Karena bagaimanapun hidup di sini butuh uang, jadi Maura tidak mau menjual rasa kasihannya demi orang lain. "Kenapa, Mas? Kamu diam saja. Kamu tidak beranikan menentukan jaminan apa-apa?" Winda menghela napas panjang. "Mas, aku memang prihatin dengan apa yang terjadi kepadamu. Tapi seperti yang kamu bilang, semua ini berawal dari kamu sendiri, kan? Kalau memang kamu mau aku membantu bertemu dengan Alia, maka kamu harus menikah
Raka terperangah. Dia berusaha untuk meyakinkan diri kalau yang didengarnya itu hanyalah salah."Kamu bercanda, kan, Win?"Winda tampak serius. Kali ini bahkan tidak ada senyum sama sekali."Tidak, Mas. Aku serius." "Kenapa? Bukankah kamu selama ini mau mendekatiku. Kamu juga selalu membantu ibuku?" tanya Raka. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Padahal pria itu sudah sampai sembunyi-sembunyi untuk pergi dari Mila. Pagi-pagi sekali bertemu dengan Winda, berharap kalau wanita ini bisa membantunya.Sementara itu Maura hanya terdiam dan berusaha untuk mendengarkan apa yang terjadi, karena bagaimanapun ini informasi penting. Dia akan meminta harga yang mahal kepada kakaknya atas semua ini. "Iya, Mas. Aku memang selalu membantumu. Aku juga membantu Ibu jika itu adalah kebaikan, tetapi untuk masalah Lusi, tidak." "Kenapa? Apakah kamu takut aku kembali kepada Lusi atau memang kamu berharap aku memberikan hadiah?" Lagi, kalimat tadi itu langsung m
"Bantuan? Bantuan apa, Mas?" tanya Winda.Dia mengajukan pertanyaan itu karena Winda juga tidak tahu harus melakukan apa. Sebab dirinya merasa ragu, apakah bisa membantu pria ini atau tidak. Raka terlihat senyum merekah. Entah kenapa itu malah membuat Winda khawatir kalau Raka akan meminta hal yang aneh kepadanya. "Benar kamu bisa membantuku, kan?" tanya Raka memastikan dulu. Sekarang Winda tersenyum kaku. Dia juga bingung apakah harus mengiyakan atau menggelengkan kepala, karena wanita ragu apa yang diinginkan oleh pria ini."Tolong bantu aku mencari Lusi dan Alia." "Apa?!" Seketika wajah yang sebelumnya terlihat khawatir dan bingung berubah menjadi kaget ada rasa kecewa yang menusuk dalam dada. Maura yang mendengarnya pun menutup mulut, hampir saja bersuara. Ternyata Raka masih memikirkan perihal Lusi, sampai meminta semua ini kepada Winda yang bukan siapa-siapa. Winda hanya bisa terdiam saja. Dia tidak tahu harus memberikan reaksi apa, karena ini sudah memastikan kalau Raka