"Jangan bohong, Bu! Aku tahu, Ibu pasti melakukan semua ini hanya untuk menunggu pria brengsek itu, kan?!" Mata Lusi benar-benar membulat mendengarnya. Dia tidak jadi meninggalkan dapur dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, sampai mereka bertengkar seperti ini. Padahal Adiba dan ibunya itu baru bertemu setelah sekian lama Adiba berada di Jakarta. Tetapi kenapa tiba-tiba saja temannya mengatakan hal yang seperti itu? "Jaga ucapan kamu, Adiba! Bagaimanapun dia itu adalah ayahmu." "Bukan! Dia adalah pria yang membuat Ibu dan aku menderita seperti ini.""Adiba!""Kenapa, Bu? Memang kenyataannya seperti itu, kan? Ibu sampai pindah ke Majalengka hanya untuk menghindari Ayah. Padahal rumah itu adalah rumah kita, Bu. Ibu berhak tinggal di sana." "Bukankah ayahmu memang sudah meninggalkan rumah itu?" elak Bu Melati membuat Lusi semakin bingung, tetapi tak urung wanita itu tetap berada di sana untuk mendengar semuanya. Mungkin saja ada tabir rahasia yang baru terungkap dan pertanyaa
"Bukankah akan lebih baik kalau Ibu melanjutkan hidup di sini? Tenang, damai dan Ibu juga bisa bersosialisasi dengan tetangga, sangat baik. Mereka kenal Ibu dari kecil, Nak," ucap Ibu Melati.Tampaknya dia benar-benar tidak mau kembali ke Bandung. Sementara itu Adiba juga bersikukuh untuk mengajak ibunya kembali ke tempat mereka dulu. "Bu, kalau Ibu ingin aku sembuh dari trauma, ikutlah denganku ke Bandung. Kecuali kalau ingin aku melajang seumur hidup. Silakan Ibu tetap tinggal di sini."Pernyataan itu membuat Bu Melati terperangah. Wanita paruh baya itu langsung memegang kedua pundak anaknya, berusaha untuk menyadarkan Adiba agar tidak mengambil keputusan sembarangan. "Kamu jangan seperti itu, Adiba. Hidup itu harus punya pasangan, kamu harus punya teman hidup. Kalau Ibu tidak ada, kamu dengan siapa?" "Ada Lusi, kok. Aku bisa hidup dengan Lusi." "Tidak, Nak. Kalau Lusi kembali berumah tangga, apakah suaminya akan terima jika kamu juga tinggal bersama mereka?" Tiba-tiba saja Adi
Bukannya menjawab pertanyaan Adiba, Bu Melati malah langsung menyuruh dua wanita itu untuk makan. Takut makanannya dingin, begitu alasan Bu Melati. Membuat Adiba terdiam, tampak sekali wajahnya kesal karena ibunya tidak menjawab pertanyaan. Padahal sudah jelas-jelas ada di depan Lusi. Wanita itu merasa gugup melihat reaksi dari Ibu dan anak. Dia seperti berada di tengah-tengah perang dingin yang begitu menegangkan. "Selamat makan." Bu Melati berusaha untuk mencairkan suasana dengan bertanya berbagai hal kepada Lusi. Wanita itu berusaha untuk mengikuti alur yang dibuat oleh Bu Melati, berusaha agar mood Adiba kembali naik. Tetapi tampaknya itu tidak berhasil. "Aku sudah selesai makan. Mau kamar dulu," ujar Adiba membuat Lusi maupun Bu Melati terkesiap. Setelah kepergian Adiba, wanita paruh baya itu tampak murung. Dia tak kuasa menahan air mata, membuat Lusi kaget. Wanita itu pun langsung menghampiri Bu Melati, pura-pura tidak tahu dan bertanya apa yang terjadi sampai wanita paruh
"Ayo, Maura! Sini makan dulu," ucap Raka, mengajak wanita itu untuk duduk bersama. Meskipun dia tahu kalau Mila sangat sebal kepada Maura, tetapi Raka harus bersikap baik. Setidaknya membuat Maura benar-benar betah sampai memastikan wanita ini menikah dengan Devan. Maura senyum kaku, tetapi tak urung tetap duduk juga. Mila memperlihatkan kebenciannya kepada Maura, sejelas itu. Maura menyendokkan nasi ke piringnya. Saat hendak mengambil ayam, Mila langsung menarik piring itu dan menatapnya dengan tajam. "Jadi tamu itu harus tahu diri, ya. Kamu itu numpang di sini. Jadi, makan yang sekiranya tidak mewah. Hitung-hitung kalau kamu itu masih punya rasa malu," ujar Mila tiba-tiba saja membuat Raka terkesiap, sampai langsung menoleh dengan wajah malu. "Kenapa kamu seperti itu sih, Mil? Biarkan saja ayam ini dia makan." "Ayam itu mahal, Mas! Jadi, aku tidak mau sampai dimakan oleh orang yang bukan semestinya, khusus untuk kita berdua saja. Apalagi ada anak yang ada di dalam kandungan but
Begitu juga Arya, langsung pergi. Bahkan dia berusaha untuk memakai topi dan kacamata, takut jika wajahnya sudah disebarkan sebagai DPO. Dia bahkan meninggalkan mobilnya, memilih untuk memakai angkutan umum. Hanya uang dan beberapa barang-barang yang berharga dibawa oleh pria itu. Dia punya rasa dendam kepada Adiba, karena sang wanita yang sudah membocorkan semuanya. Pelet yang hendak digunakan pun tidak dilakukan dan memilih untuk mencari jalan lain, yaitu dengan guna-guna atau santet. Tetapi tentu saja itu akan dilakukan nanti setelah dia benar-benar bebas dari incaran polisi dan juga Devan. Ini bukan kabar baik untuknya, tetapi sang pria harus benar-benar terbebas dari semua tuduhan itu. Dia tidak mau masuk penjara bagaimanapun caranya.Devan kembali ke rumahnya. Dia benar-benar merasa kalau terbebas dan menghirup udara segar, tetapi dirinya belum benar-benar bisa beraktivitas seperti biasanya.Pertama, yang harus dilakukan adalah membersihkan nama baiknya. Dia akan membuat vide
"Siapa, ya?" tanya Bu Murni memastikan, takut kalau pandangannya buram sebab ini masih pagi. "Ini saya, Bu. Devan," ucap pria itu membuat Bu Murni tersentak. Ternyata benar, pria yang ada di depan gerbangnya itu adalah Devan. Wanita paruh baya itu sempat berpikir sejenak untuk mengusir sang pria, tetapi rasanya tidak sopan. Mungkin saja memang ada hal lain yang ingin ditanyakan. Kalaupun benar pria itu ingin bertanya di mana keberadaan Lusi, tentu saja Bu Murni akan memberikan alasan sesuai dengan permintaan wanita itu. Akhirnya sang wanita paruh baya pun memilih untuk menghampiri Devan, tetapi tidak membukakan gerbang untuknya. "Ada apa, ya, Nak?" "Maaf, Bu. Saya mau tanya, kenapa rumah Lusi kosong, ya? Mereka ke mana?" tanya Devan berharap kalau jawabannya itu tidak mengecewakan.Sesuai dengan perkiraan sang wanita paruh baya, pria ini benar-benar mencari tahu di mana keberadaan Lusi. "Kalau soal itu Ibu juga nggak tahu, Nak. Kemarin sih Ibu lihat masih ada dan mereka tampak
Setelah sarapan Lusi pun berusaha untuk berbaur dengan Bu Melati walaupun Adiba hanya diam dengan ekspresi yang terlihat kesal. Kebetulan setelah Lusi selesai mandi, Alia bangun.Sang gadis kecil langsung sarapan ditemani dengan Bu Melati. Sesekali wanita paruh baya itu mengajak bercanda anak yang begitu menggemaskan. Pemandangan itu ditangkap oleh Adiba dan Lusi.Tampaknya Ibu Melati begitu antusias dan senang karena ada anak yang bisa diajak bermain seperti Alia. Adiba terlihat melamun dan terpantau sekali kalau dia sedang berpikir keras melihat reaksi dari Bu Melati saat bermain dengan Alia.Ini kesempatan bagus untuk Lusi agar dia bisa menasehati temannya untuk segera menikah dan melupakan masa lalu yang kelam. "Tampaknya Ibu kamu terlihat bahagia. Dia bermain dengan Alia," cetus Lusi, tiba-tiba membuat gadis itu tersenyum kaku, lalu dia berusaha menggonta-ganti channel TV."Di mana-manapun seorang Ibu pasti akan senang jika bermain dengan anak kecil," timpal Adiba berusaha untuk
"Sebaiknya kalian jalan-jalan dulu di sini, mumpung masih pagi. Siapa tahu ada jajanan enak. Jarang-jarang, kan?" ucap Bu Melati saat Alia sudah selesai makan. Dia menyuruh ketiga orang itu untuk jalan-jalan di sekitar sini. Suasana di sini begitu asri, masih banyak sawah, air sungai yang mengalir jernih dan aroma udara pagi yang sehat. Berbeda sekali jika masih ada di Jakarta.Sebenarnya Bu Melati mengatakan itu sengaja, agar dia bisa berpikir jernih untuk mengambil keputusan. Anaknya besok akan pergi dari sini dan dia harus benar-benar bisa memberikan jawaban tepat untuk Adiba. Lusi menganggukkan kepala setuju saja. Mereka bertiga pun berkeliling jalan kaki, mungkin saja ada makanan atau cemilan yang akan mengisi perut. Meskipun tadi sempat sarapan, tetapi tidak ada salahnya kalau hanya membeli camilan saja. Sepeninggalnya mereka bertiga, dua orang yang menyamar itu langsung menghampiri rumah Bu Melati. Kebetulan sang wanita paruh baya sedang menyapu halaman. Dia dikagetkan denga