Bukannya menjawab pertanyaan Adiba, Bu Melati malah langsung menyuruh dua wanita itu untuk makan. Takut makanannya dingin, begitu alasan Bu Melati. Membuat Adiba terdiam, tampak sekali wajahnya kesal karena ibunya tidak menjawab pertanyaan. Padahal sudah jelas-jelas ada di depan Lusi. Wanita itu merasa gugup melihat reaksi dari Ibu dan anak. Dia seperti berada di tengah-tengah perang dingin yang begitu menegangkan. "Selamat makan." Bu Melati berusaha untuk mencairkan suasana dengan bertanya berbagai hal kepada Lusi. Wanita itu berusaha untuk mengikuti alur yang dibuat oleh Bu Melati, berusaha agar mood Adiba kembali naik. Tetapi tampaknya itu tidak berhasil. "Aku sudah selesai makan. Mau kamar dulu," ujar Adiba membuat Lusi maupun Bu Melati terkesiap. Setelah kepergian Adiba, wanita paruh baya itu tampak murung. Dia tak kuasa menahan air mata, membuat Lusi kaget. Wanita itu pun langsung menghampiri Bu Melati, pura-pura tidak tahu dan bertanya apa yang terjadi sampai wanita paruh
"Ayo, Maura! Sini makan dulu," ucap Raka, mengajak wanita itu untuk duduk bersama. Meskipun dia tahu kalau Mila sangat sebal kepada Maura, tetapi Raka harus bersikap baik. Setidaknya membuat Maura benar-benar betah sampai memastikan wanita ini menikah dengan Devan. Maura senyum kaku, tetapi tak urung tetap duduk juga. Mila memperlihatkan kebenciannya kepada Maura, sejelas itu. Maura menyendokkan nasi ke piringnya. Saat hendak mengambil ayam, Mila langsung menarik piring itu dan menatapnya dengan tajam. "Jadi tamu itu harus tahu diri, ya. Kamu itu numpang di sini. Jadi, makan yang sekiranya tidak mewah. Hitung-hitung kalau kamu itu masih punya rasa malu," ujar Mila tiba-tiba saja membuat Raka terkesiap, sampai langsung menoleh dengan wajah malu. "Kenapa kamu seperti itu sih, Mil? Biarkan saja ayam ini dia makan." "Ayam itu mahal, Mas! Jadi, aku tidak mau sampai dimakan oleh orang yang bukan semestinya, khusus untuk kita berdua saja. Apalagi ada anak yang ada di dalam kandungan but
Begitu juga Arya, langsung pergi. Bahkan dia berusaha untuk memakai topi dan kacamata, takut jika wajahnya sudah disebarkan sebagai DPO. Dia bahkan meninggalkan mobilnya, memilih untuk memakai angkutan umum. Hanya uang dan beberapa barang-barang yang berharga dibawa oleh pria itu. Dia punya rasa dendam kepada Adiba, karena sang wanita yang sudah membocorkan semuanya. Pelet yang hendak digunakan pun tidak dilakukan dan memilih untuk mencari jalan lain, yaitu dengan guna-guna atau santet. Tetapi tentu saja itu akan dilakukan nanti setelah dia benar-benar bebas dari incaran polisi dan juga Devan. Ini bukan kabar baik untuknya, tetapi sang pria harus benar-benar terbebas dari semua tuduhan itu. Dia tidak mau masuk penjara bagaimanapun caranya.Devan kembali ke rumahnya. Dia benar-benar merasa kalau terbebas dan menghirup udara segar, tetapi dirinya belum benar-benar bisa beraktivitas seperti biasanya.Pertama, yang harus dilakukan adalah membersihkan nama baiknya. Dia akan membuat vide
"Siapa, ya?" tanya Bu Murni memastikan, takut kalau pandangannya buram sebab ini masih pagi. "Ini saya, Bu. Devan," ucap pria itu membuat Bu Murni tersentak. Ternyata benar, pria yang ada di depan gerbangnya itu adalah Devan. Wanita paruh baya itu sempat berpikir sejenak untuk mengusir sang pria, tetapi rasanya tidak sopan. Mungkin saja memang ada hal lain yang ingin ditanyakan. Kalaupun benar pria itu ingin bertanya di mana keberadaan Lusi, tentu saja Bu Murni akan memberikan alasan sesuai dengan permintaan wanita itu. Akhirnya sang wanita paruh baya pun memilih untuk menghampiri Devan, tetapi tidak membukakan gerbang untuknya. "Ada apa, ya, Nak?" "Maaf, Bu. Saya mau tanya, kenapa rumah Lusi kosong, ya? Mereka ke mana?" tanya Devan berharap kalau jawabannya itu tidak mengecewakan.Sesuai dengan perkiraan sang wanita paruh baya, pria ini benar-benar mencari tahu di mana keberadaan Lusi. "Kalau soal itu Ibu juga nggak tahu, Nak. Kemarin sih Ibu lihat masih ada dan mereka tampak
Setelah sarapan Lusi pun berusaha untuk berbaur dengan Bu Melati walaupun Adiba hanya diam dengan ekspresi yang terlihat kesal. Kebetulan setelah Lusi selesai mandi, Alia bangun.Sang gadis kecil langsung sarapan ditemani dengan Bu Melati. Sesekali wanita paruh baya itu mengajak bercanda anak yang begitu menggemaskan. Pemandangan itu ditangkap oleh Adiba dan Lusi.Tampaknya Ibu Melati begitu antusias dan senang karena ada anak yang bisa diajak bermain seperti Alia. Adiba terlihat melamun dan terpantau sekali kalau dia sedang berpikir keras melihat reaksi dari Bu Melati saat bermain dengan Alia.Ini kesempatan bagus untuk Lusi agar dia bisa menasehati temannya untuk segera menikah dan melupakan masa lalu yang kelam. "Tampaknya Ibu kamu terlihat bahagia. Dia bermain dengan Alia," cetus Lusi, tiba-tiba membuat gadis itu tersenyum kaku, lalu dia berusaha menggonta-ganti channel TV."Di mana-manapun seorang Ibu pasti akan senang jika bermain dengan anak kecil," timpal Adiba berusaha untuk
"Sebaiknya kalian jalan-jalan dulu di sini, mumpung masih pagi. Siapa tahu ada jajanan enak. Jarang-jarang, kan?" ucap Bu Melati saat Alia sudah selesai makan. Dia menyuruh ketiga orang itu untuk jalan-jalan di sekitar sini. Suasana di sini begitu asri, masih banyak sawah, air sungai yang mengalir jernih dan aroma udara pagi yang sehat. Berbeda sekali jika masih ada di Jakarta.Sebenarnya Bu Melati mengatakan itu sengaja, agar dia bisa berpikir jernih untuk mengambil keputusan. Anaknya besok akan pergi dari sini dan dia harus benar-benar bisa memberikan jawaban tepat untuk Adiba. Lusi menganggukkan kepala setuju saja. Mereka bertiga pun berkeliling jalan kaki, mungkin saja ada makanan atau cemilan yang akan mengisi perut. Meskipun tadi sempat sarapan, tetapi tidak ada salahnya kalau hanya membeli camilan saja. Sepeninggalnya mereka bertiga, dua orang yang menyamar itu langsung menghampiri rumah Bu Melati. Kebetulan sang wanita paruh baya sedang menyapu halaman. Dia dikagetkan denga
"Kenapa kamu bicara seperti itu sih, Mil? Kamu selalu saja melakukan hal-hal yang terlalu ekstrem.""Ya, itu karena kesalahanmu juga, Mas. Aku sudah bilang jangan bahas siapa pun selama di kantor, apalagi Maura. Aku tidak sudi menyebut namanya saja. Lagian, aku yakin dia bisa kok menjaga dirinya baik-baik. Walaupun tidak mencari pekerjaan, Maura pasti sedang terdiam diri di rumah. Bukankah itu enak, ya? Kecuali kalau dia mau mencuri barang-barangku," terang Mila membuat Raka terkesiap. "Jaga bicaramu! Aku yakin Maura tidak seperti itu." Ya, memang adiknya tidak seperti itu. Sedari kecil Maura itu anak yang penurut dan mudah sekali disetir, tetapi itulah yang membuat Mila benci. Ditambah lagi kasih sayangnya terbagi karena kehadiran dari adiknya itu, yang membuatnya lebih benci Maura adalah anak dari ayahnya Lusi. Yang secara tidak langsung Adik Lusi juga. Mila masih belum sadar kalau Lusi sudah mengetahui jika Maura adalah adiknya, tetapi itulah deretan kebencian Mila terhadap Maur
Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00, tapi Maura masih tinggal di rumah Mila dan tidak tahu harus pergi ke mana. Kalau misalkan mencari pekerjaan pun pasti tidak mudah. Sebab dia tidak punya ijazah SMA, usianya juga masih 17 tahun. Kelas 2 SMA. Ijazah SMP pun adanya di rumah ibunya dulu. Ini benar-benar sulit untuknya. Kalau misalkan dia tiba-tiba saja datang ke rumah ibunya dan mengambil ijazah SMP di kampung halaman, bisa-bisa wanita itu tidak bisa pulang lagi ke tempat ini. Itu adalah mimpi buruk untuknya. Jadi, mau tidak mau Maura memilih untuk keluar dan mencari kerjaan. Apa saja yang bisa dia dapatkan, terpenting halal dan tidak membahayakan dirinya. Wanita itu keluar dari rumah Mila dan beberapa orang melihat padanya. Ada tetangga yang heran melihat kehadiran wanita baru di tempat itu. Mereka beberapa kali berbisik untuk bergunjing. Tetapi tampaknya Maura tidak mau menghiraukan hal seperti itu. Dia sudah terbiasa dicemooh dan digunjingkan, jadi lebih baik untuk fokus mencari