Winda kaget mendengar suara Bu Sinta yang menggelegar. Wanita itu tentu saja bertanya, takut jika sang wanita paruh baya terluka. "Ada apa, Bu?" "Itu, itu!" seru Bu Sinta sembari menunjuk.Winda langsung mengikuti arah telunjuk Bu Sinta dan ikutan kaget. "Loh, itu bukannya anak yang tinggal di rumah Lusi, Bu?" tanya Winda antusias. "Benar, coba kamu tanya dia. Mungkin saja dia tahu di mana keberadaan Raka." Winda menganggukkan kepala. Dengan cepat sang wanita langsung menghampiri Maura. Wanita itu yang hampir saja menaiki angkutan umum."Hai, kamu! Tunggu dulu!"Seruan itu membuatmu Maura kaget. Dia ditarik tangannya hingga mundur beberapa langkah. Maura ketakutan. Ya, dia takut kalau mungkin saja wanita ini adalah suruhan Arya untuk mencurinya dan menyakiti Maura. "Ini ngapain, sih?!""Neng, jadi nggak naik angkotnya?" tanya sopir angkot itu. Saat Maura hendak bersuara, tiba-tiba saja Winda langsung menimpali. "Tidak, Pak. Dia orang yang saya kenal."Setelahnya, angkot itu p
"Maksud kamu apa, Winda?" tanya Bu Sinta kebingungan, karena tiba-tiba saja wanita itu malah mengatakan hal yang membuatnya bingung. Winda tersenyum sembari menggelengkan kepala. Dia memberikan tatapan kepada bu Sinta, seolah isyarat jika wanita paruh baya itu cukup diam saja. Dia sendiri akan menyelesaikan ini, yang penting bisa tahu di mana keberadaan Raka. "Apa maksud Mbak dengan imbalan?" tanya Maura masih menyelidiki.Dia tidak bisa begitu saja dibohongi. Pengalaman hidup yang pahit membuat Maura lebih teliti lagi dalam menerima tawaran, apalagi sejak dia tahu kalau Arya itu punya sisi gelap yang hampir saja membunuhnya. Jadi, sang wanita sekarang lebih hati-hati lagi jika bertemu dengan orang baru. "Pokoknya kamu ikut saja. Apa pun yang kamu mau aku akan ikuti, tapi jangan yang aneh-aneh, ya?" tawar Winda membuat Maura terdiam. Wanita itu jadi berpikiran memanfaatkan Winda jika memang mereka membutuhkan informasi darinya."Baiklah, tapi aku tidak mau sampai terjadi hal buruk
"Ya, pokoknya sekarang aku mau makan dulu. Setelah itu akan aku beritahu apa yang kuinginkan," cetus Maura. Wanita itu menyandarkan punggung sembari melipat tangan di depan dada. Lagian, tidak ada salahnya kan kalau dia mau memberi tahu keberadaan Raka? Ini akan menguntungkan untuknya dan juga menguntungkan dari pihak Bu Sinta. Lagi pula Maura merasa kasihan kepada Raka yang terus diatur-atur oleh Mila, sebab wanita itu punya segalanya. Tetapi tentu saja ini akan melukai harga diri seorang laki-laki. Tak lama kemudian, mereka pun sampai di sebuah restoran ternama yang dipilih oleh Maura. Winda sampai terperangah. Dia saja jarang sekali mengunjungi restoran-restoran mewah seperti ini. Tetapi hanya untuk menemukan Raka, sang wanita harus rela merogoh kocek dan memberikan semua yang diinginkan oleh wanita ini. Tanpa malu-malu, Maura pun memesan apa saja yang diinginkan. Kapan lagi kan ditraktir dengan sepuasnya oleh orang yang tidak dikenal? Berharap mereka tidak mengingkari janjinya
"Eh, anak kecil! Kamu mau memeras kami, ya?" tanya Bu Sinta, akhirnya emosi juga. Karena tiba-tiba saja Maura berkata seperti itu. Meminta hal yang tidak seharusnya diajukan kepada orang yang baru dikenal. Winda kaget tiba-tiba saja wanita paruh baya ini marah-marah. Maura sampai terkesiap melihatnya. Ternyata Bu Sinta memang seperti ini. Pantas saja Raka muak. Untung saja Lusi bisa bertahan sejauh ini. Bagaimana kalau misalkan Winda juga jadi menantu Ibu Sinta? Mungkinkah nasibnya itu akan sama seperti Mila atau Lusi? "Loh, kok Ibu marah-marah, sih? Aku ini memang anak kecil, tapi aku udah hidup pahit begitu lama. Jadi, aku tahu kalau misalkan berhadapan orang dewasa seperti kalian tidak bisa gratis. Terserah sih, kalau misalkan mau bertemu dengan Mas Raka tinggal ikuti saja kemauanku. Kalau misalkan kalian mau muter-muter sendiri, ya itu pilihan kalian sendiri," papar Maura sembari menyadarkan punggungnya. Bahkan anak itu berani melipat tangan di depan dada sembari tumpang kaki,
Ketiga wanita itu pun akhirnya pergi untuk menuju rumah Mila. Kebetulan memang tidak ada siapa-siapa di rumah wanita itu. Betapa kaget Bu Sinta melihat rumah Mila yang megah. Begitupun dengan Winda. Seketika wanita itu kena mental, karena melihat rumah berbeda jauh dengan rumah miliknya. "Ini rumahnya Mbak Mila." "Kamu yakin ini rumahnya wanita sundal itu?!" tanya Bu Sinta tidak percaya, karena setahunya Mila itu miskin. Bahkan hidupnya ditanggung oleh Lusi sewaktu masih di sini. Dengan cepat Maura juga menganggukkan kepala. "Iya, ini rumahnya. Aku bahkan tinggal di sini walaupun baru satu hari, sih." "Jadi, kamu baru tinggal di sini 1 hari?" tanya Winda tak percaya."Iya, Mbak. Masalahnya satu hari saja sudah terlihat sekali kalau dia itu memperbudak aku. Bagaimana kalau aku berhari-hari di sini? Bisa-bisa aku mati berdiri," ungkap Maura mengeluarkan kekesalan. Tentu saja wanita itu tidak akan berani mengatakan hal seperti ini di depan Mila langsung. Tetapi, dia juga melakukan
"Gimana, Pak Haris? Apa sudah menemukan hasil?" tanya Devan setelah dia sampai di restoran yang benar-benar kacau.Bahkan selama dalam penjara tampaknya restoran ini tutup. Pria itu menyadari semua karena kekacauan di tempat ini. Yang pasti dia akan mengembalikan nama baik restoran ini. Lebih mengagetkan lagi uang di kasir tidak ada dan hanya menyisakan uang koin saja. Beberapa bahan untuk menu hilang sebagian. Dia tidak tahu siapa yang melakukan ini semua, tapi Devan benar-benar geram dan akan memberikan perhitungan kepada orang yang sudah membuat restorannya kacau balau."Saya tidak menemukan jejak apa-apa, Pak. Tampaknya Pak Arya itu pergi saat keadaan sepi, sampai tidak ada satu pun yang melihatnya."Mendengar itu Devan mengusap kasar rambutnya. Dia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Maura tidak ada, restoran hancur dan dia baru mengetahui kalau sepupunya sendirilah yang membuat hidupnya jadi berantakan seperti ini. "Pokoknya cari dia, Pak. Pasang semua selebaran DPO te
"Kamu ngomong apa sih, Mas? Tentu saja aku kaget dan pucat karena baru tahu kalau ternyata Mas Arya seperti itu. Lagian kan, aku kenal sama dia itu pas kerja di sini, Mas," ujar Amanda akhirnya bisa mengeles juga. Butuh keberanian penuh sampai dia mengucapkan hal seperti itu. Sungguh di luar dugaan dan dia tidak tahu kalau Devan tak percaya begitu saja. "Benarkah?" "Iya, Mas. Untuk apa aku bohong? Memang kamu pernah lihat kalau aku itu seakrab apa dengan Mas Arya?" tanya Amanda salah melontarkan perkataan seperti itu.Devan langsung berdiri dan kembali melipat tangan di depan dada. "Kamu pikir aku tidak punya mata, Amanda? Sejak kamu datang ke sini, aku merasa heran. Kenapa kamu begitu akrab dengan Arya? Bahkan tak butuh waktu beberapa hari. Aneh aja, karyawanku yang lain tidak seperti itu dengan Arya. Bahkan Arya itu adalah orang yang begitu antipati. Dia akan benar-benar dekat jika sudah dirasa orang itu mau mengikuti keinginannya, beda saja denganmu. Baru juga dua hari sudah te
"Kamu tadi bilang apa, Mas? Menikahi Maura?!" tanya Amanda, tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Dia harus menanyakannya sekali lagi, takut jika telinganya salah dengar. Dengan santainya Devan menganggukkan kepala. Dia bahkan kembali duduk dan menyandarkan punggung, tampak sekali santai. Berbeda dengan Amanda yang sudah uring-uringan dan benar-benar merasa terpojok. Dia seolah tidak mendapatkan kesempatan berharga. Padahal sudah melakukan hal terbaik untuk Devan, menurutnya sendiri itu. "Benar-benar konyol, Mas," ucap Amanda dengan terang-terangan dan berani. "Kenapa kamu berkata seperti itu? Itu kan hak aku mau menikahi siapa saja." "Maksudku, dia kan masih dibawah umur." "Ya, gampang. Tinggal nikah sirih dulu, lalu disahkan setelah dia menginjak usia dewasa." "Katanya dia itu bukan tipemu? Kamu sudah pernah bilang itu kan? Bahkan, aku mendengarnya langsung saat kamu berbicara dengan Maura," ucap Amanda membuat Devan terduduk tegak."Jadi, kamu mendengarkan pemb
Suara dering ponsel membuat Mila terkesiap dan kontan menghentikan tangisannya. Ternyata dari karyawannya. Tampaknya wanita itu harus segera kembali ke butik, sebab pasti kerjaannya semakin banyak.Dia tidak mungkin terus-terusan larut dalam kesedihan karena menangisi Raka, sementara ada usaha yang harus terus dijalankan. Kalau tidak, dirinya akan jatuh miskin dan benar-benar kehilangan Raka. Pria itu tidak mungkin mau hidup susah dengannya, jadi cara satu-satunya mempertahankan Raka yaitu dengan banyak uang. Miris, bukan? Harusnya di sini seorang pria yang melakukan ini semua, tetapi Mila mau tidak mau harus menghasilkan banyak uang demi mempertahankan Raka.Ya, demi agar anaknya bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah. Demi dirinya yang tidak lagi dijandakan oleh pria itu. Mila hanya bisa tersenyum miris, tetapi tak urung tetap kembali menjalankan mobilnya. Berusaha untuk tegar. Wanita hamil itu mengelus-elus perutnya yang mulai membesar. "Sabar ya, Nak. Ibu akan berusaha sebaik
"Kamu sudah gila, ya? Apa yang baru saja kamu katakan?!" tanya Bu Sinta, kali ini wanita paruh baya itu marah karena anaknya malah merahasiakan pernikahan dengan Winda. Harusnya biarkan saja diberi tahu semua orang, termasuk Mila. Agar ketahuan bagaimana reaksi wanita hamil itu, berharap kalau Mila mau tahu diri dan memilih untuk pergi dari kehidupan Raka. Tetapi tampaknya Raka sama sekali enggan untuk mempublikasikan hubungannya dengan Winda. "Aku tidak gila, Bu. Karena aku waras, makanya merahasiakan semua ini.""Lalu, bagaimana dengan perasaan Winda?" "Aku yakin, Winda juga pasti akan mengerti dengan situasi ini. Kami sudah saling sepakat. Jadi, aku harap Ibu tidak merecoki rencana kami.""Apa yang sedang kamu rencanakan sebenarnya, Raka? Ibu kasihan kalau Winda statusnya disembunyikan dari siapa pun." "Bu, aku melakukan ini demi kebaikan bersama. Bahkan Winda juga berkata, dia tidak akan ikut campur urusan aku dan juga Mila. Sebaliknya, Mila juga tidak boleh ikut campur urusan
"Itulah masalahnya, Bu. Mila tidak sebodoh yang kita kira. Dia bisa saja mengantisipasi untuk mendapatkan hak asuh anak dengan cara menahanku. Dia pasti sudah melakukan berbagai cara agar aku bisa berada di sisinya, termasuk anak itu." "Lalu, bagaimana? Kalau memang kamu tidak mau terikat dengan Mila, lepaskan anak itu. Kalau misalkan kamu ingin anak itu, cari cara menyingkirkan Mila. Mudah, kan?" "Tidak semudah itu, Bu. Aku tahu Ibu benci Mila, tapi tolong jangan benci anakku. Dia tidak tahu apa-apa. Bukankah bayi yang ada di dalam kandungan setiap Ibu hamil itu tidak berdosa? Kalau pun memang harus disalahkan, Mila sendiri dan aku. Jadi, kumohon kali ini saja Ibu mau menuruti permintaanku." Bu Sinta menghela napas kasar. Dalam hatinya tidak mau mengurusi cucunya itu. Lagi pula menurutnya cucu yang baik itu hanya Alia. Walaupun dia tidak tahu bagaimana nanti anak Mila, tapi wanita paruh baya sudah menafsirkan kalau sifat Mila pasti akan turun kepada anaknya sendiri. "Ya, terserah
"Bagus, bagus! Ibu setuju dengan keputusanmu. Kan sudah Ibu bilang, Winda itu adalah istri yang baik untuk kamu. Dibandingkan dengan Mila, Ibu lebih setuju dengan Winda. Dia itu baik hati, tidak perhitungan dan juga mengerti keadaan kamu dan Ibu. Jadi, menurut Ibu kamu itu memang harus memilih Winda. Bagus-bagus," papar Bu Sinta dengan semangat. Dia bahkan terus-terusan tersenyum sembari membereskan piring bekas makan Raka. Pria itu belum berani untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, kalau diam saja pun tidak akan mengubah situasi yang ada. Keadaan semakin kacau karena pasti Bu Sinta akan menyerang Mila atau malah melakukan sesuatu yang sangat membahayakan untuk rencana ke depannya."Iya, Bu. Tapi aku akan menjadikannya istri kedua."Bu Sinta hampir saja melepaskan piring yang ada di tangan saat Raka mengatakan hal tersebut. Wanita paruh baya itu langsung menyimpan piring kotor dan kembali ke hadapan anaknya dengan wajah kaget. "Apa kamu bilang tadi? Istri kedua? Maks
Wanita hamil itu hanya bisa pergi dengan perasaan kesal. Mungkin Mila bisa saja menerobos masuk, tetapi dia khawatir kalau Raka akan benar-benar murka kepadanya dan semua perkataan pria itu menjadi kenyataan. Membayangkannya saja membuat Mila ketakutan, apalagi kalau benar Raka akan meninggalkannya dan anak yang ada di dalam kandungan. Akhirnya Mila tidak punya pilihan lain, kecuali mengalah terlebih dahulu. Dia akan mencoba kembali untuk membujuk Raka setelah 3 hari, berharap kalau pria itu benar-benar akan kembali kepadanya. Setelah kepergian Mila, Raka dan Bu Sinta pun sedang duduk berhadapan di meja makan, tepat di depannya tampak sekali makanan yang sudah terhidang dan aromanya begitu menggugah selera Raka. Kebetulan pria itu hanya makan ala kadarnya. Saat melihat semua ini, tentu rasa lapar pria itu menyeruak. Tetapi sebelumnya Raka harus memberitahukan kedatangan dirinya kepada Bu Sinta. "Ibu masak untukku?" "Tentu saja. Kamu pikir Ibu akan masak untuk siapa? Istrimu? Ibu
"Mas, aku mohon. Pulanglah bersamaku, jangan seperti ini." Mila sekarang menghiba sembari menangis. "Tolong, jangan buat aku merasa menderita dan tertekan seperti ini. Aku janji, aku tidak akan mengekangmu lagi. Kamu boleh keluar, asalkan kamu bicara dulu kepadaku." "Tidak, ini sudah ketiga kalinya kamu mengatakan hal yang sama, tetapi kenyataannya seperti apa? Kamu tetap saja mengganggu dan menuduhku macam-macam.""Lalu, aku dengan siapa, Mas? Aku tidak mungkin sendiri.""Ada Maura."Seketika Mila malah terdiam. Dia sedang berusaha untuk akting sebaik mungkin agar Raka mau pulang dengannya. Tetapi malah nama Maura yang disebutkan. Dia benar-benar kesal karena adiknya itu malah masuk dalam permasalahan rumah tangganya. "Dia kan bukan siapa-siapa kita. Lagi pula di sini yang harus tanggung jawab atas keselamatan aku dan anak ini kan kamu, Mas." Mila sama sekali tidak bisa diajak berbicara baik-baik. Sekeras apa pun Raka menjelaskan, Mila juga sama kerasnya. Tidak mau mengalah. Rak
"Tidak sekarang, Mila. Aku akan pulang setelah semua urusanku selesai." Mila menautkan kedua alis dengan perasaan bingung. "Apa maksud kamu, Mas? Urusan apa yang kamu lakukan di sini?" Raka menghela napas panjang sembari memijat pelipisnya yang berdenyut. Tidak mungkin dia mengatakan kalau besok dirinya akan menikah dengan Winda. Yang pasti pria itu harus mengelabui Mila. Jangan sampai wanita itu benar-benar menghancurkan semua rencananya. Karena kalau Mila tahu kalau dirinya ingin mencari Lusi dan juga Alia, maka saat itu juga dia mendapat tekanan lagi dari wanita ini. "Aku hanya ingin bertemu dengan ibuku, menghabiskan waktu dengan ibuku." "Lalu, kamu meninggalkan istrimu?" tanya Mila. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Raka akan melakukan hal seperti ini. Padahal yang harus ditemani adalah Mila. Dia sedang hamil. Kenapa Raka tidak mau melakukan itu? "Dia anakku. Hak dia dong untuk menemani ibunya!"Mila kesal karena Bu Sinta malah ikut campur. Harusnya wanita paruh bay
Bu Sinta maupun Mila kaget mendengar suara Raka yang menggelegar, tampak sekali wajahnya memerah seperti menahan emosi karena sudah dari tadi kedua wanita berbeda usia ini terus saja bertengkar. "Apa kalian tidak bisa diam?! Jangan terus-terusan mengoceh dengan berbagai macam alasan! Aku punya keputusan sendiri," ucap Raka, membuat Bu Sinta dan Mila kaget bersamaan. Mereka takut jika Raka mengambil keputusan yang salah dan merugikan kedua belah pihak. Mila berharap kalau Raka tidak meninggalkannya, berbeda dengan Bu Sinta yang ingin anaknya kembali kepada Bu Sinta dan menceraikan Mila. Pria itu menoleh kepada Mila dengan tatapan sinis. Dia sudah jengah dengan semua perlakuan istrinya ini. Mila berbeda jauh dengan wanita yang dulu pernah menjalin hubungan dengannya. Apa mungkin memang sifat asli Mila seperti ini? Begitu pikir Raka atau hanya karena perubahan hormon Ibu hamil akhirnya Mila lebih protektif dan temperamental? Semua itu masih bergerilya di pikiran Raka, belum bisa menga
"Jangan percaya sama Ibu, Mas! Kamu tahu sendiri, kan? Gara-gara Ibu, kamu hampir kehilangan anak ini. Dia yang memalsukan tes DNA anak ini!" seru Mila tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraan, membuat Bu Sinta terdiam dan wanita paruh baya itu benar-benar kaget kala Mila membahas lagi masalah yang sudah berlalu. Padahal sekarang permasalahan utamanya adalah Mila yang tidak pernah bisa membebaskan Raka, selalu saja mengekang dan harus berada di samping wanita itu. "Kenapa kamu malah ngomongin itu sekarang? Bukan waktunya kamu berbicara hal yang sudah berlalu.""Oh, kenapa tidak, Bu? Tentu saja aku harus bicara dengan Mas Raka, kalau Ibu itu tidak mau melihat anak ini lahir, kan?" Keadaan semakin genting saat ini. Kalau Mila mengatakan hal seperti itu, tentu saja Bu Sinta tidak mau kalah. Baginya pertarungan ini harus dimenangkan olehnya, karena ini adalah satu-satunya cara dan kesempatan yang langka untuk mendapatkan anaknya kembali. "Jaga bicaramu! Itu sudah berlalu, aku melakukan