"Ya, pokoknya sekarang aku mau makan dulu. Setelah itu akan aku beritahu apa yang kuinginkan," cetus Maura. Wanita itu menyandarkan punggung sembari melipat tangan di depan dada. Lagian, tidak ada salahnya kan kalau dia mau memberi tahu keberadaan Raka? Ini akan menguntungkan untuknya dan juga menguntungkan dari pihak Bu Sinta. Lagi pula Maura merasa kasihan kepada Raka yang terus diatur-atur oleh Mila, sebab wanita itu punya segalanya. Tetapi tentu saja ini akan melukai harga diri seorang laki-laki. Tak lama kemudian, mereka pun sampai di sebuah restoran ternama yang dipilih oleh Maura. Winda sampai terperangah. Dia saja jarang sekali mengunjungi restoran-restoran mewah seperti ini. Tetapi hanya untuk menemukan Raka, sang wanita harus rela merogoh kocek dan memberikan semua yang diinginkan oleh wanita ini. Tanpa malu-malu, Maura pun memesan apa saja yang diinginkan. Kapan lagi kan ditraktir dengan sepuasnya oleh orang yang tidak dikenal? Berharap mereka tidak mengingkari janjinya
"Eh, anak kecil! Kamu mau memeras kami, ya?" tanya Bu Sinta, akhirnya emosi juga. Karena tiba-tiba saja Maura berkata seperti itu. Meminta hal yang tidak seharusnya diajukan kepada orang yang baru dikenal. Winda kaget tiba-tiba saja wanita paruh baya ini marah-marah. Maura sampai terkesiap melihatnya. Ternyata Bu Sinta memang seperti ini. Pantas saja Raka muak. Untung saja Lusi bisa bertahan sejauh ini. Bagaimana kalau misalkan Winda juga jadi menantu Ibu Sinta? Mungkinkah nasibnya itu akan sama seperti Mila atau Lusi? "Loh, kok Ibu marah-marah, sih? Aku ini memang anak kecil, tapi aku udah hidup pahit begitu lama. Jadi, aku tahu kalau misalkan berhadapan orang dewasa seperti kalian tidak bisa gratis. Terserah sih, kalau misalkan mau bertemu dengan Mas Raka tinggal ikuti saja kemauanku. Kalau misalkan kalian mau muter-muter sendiri, ya itu pilihan kalian sendiri," papar Maura sembari menyadarkan punggungnya. Bahkan anak itu berani melipat tangan di depan dada sembari tumpang kaki,
Ketiga wanita itu pun akhirnya pergi untuk menuju rumah Mila. Kebetulan memang tidak ada siapa-siapa di rumah wanita itu. Betapa kaget Bu Sinta melihat rumah Mila yang megah. Begitupun dengan Winda. Seketika wanita itu kena mental, karena melihat rumah berbeda jauh dengan rumah miliknya. "Ini rumahnya Mbak Mila." "Kamu yakin ini rumahnya wanita sundal itu?!" tanya Bu Sinta tidak percaya, karena setahunya Mila itu miskin. Bahkan hidupnya ditanggung oleh Lusi sewaktu masih di sini. Dengan cepat Maura juga menganggukkan kepala. "Iya, ini rumahnya. Aku bahkan tinggal di sini walaupun baru satu hari, sih." "Jadi, kamu baru tinggal di sini 1 hari?" tanya Winda tak percaya."Iya, Mbak. Masalahnya satu hari saja sudah terlihat sekali kalau dia itu memperbudak aku. Bagaimana kalau aku berhari-hari di sini? Bisa-bisa aku mati berdiri," ungkap Maura mengeluarkan kekesalan. Tentu saja wanita itu tidak akan berani mengatakan hal seperti ini di depan Mila langsung. Tetapi, dia juga melakukan
"Gimana, Pak Haris? Apa sudah menemukan hasil?" tanya Devan setelah dia sampai di restoran yang benar-benar kacau.Bahkan selama dalam penjara tampaknya restoran ini tutup. Pria itu menyadari semua karena kekacauan di tempat ini. Yang pasti dia akan mengembalikan nama baik restoran ini. Lebih mengagetkan lagi uang di kasir tidak ada dan hanya menyisakan uang koin saja. Beberapa bahan untuk menu hilang sebagian. Dia tidak tahu siapa yang melakukan ini semua, tapi Devan benar-benar geram dan akan memberikan perhitungan kepada orang yang sudah membuat restorannya kacau balau."Saya tidak menemukan jejak apa-apa, Pak. Tampaknya Pak Arya itu pergi saat keadaan sepi, sampai tidak ada satu pun yang melihatnya."Mendengar itu Devan mengusap kasar rambutnya. Dia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Maura tidak ada, restoran hancur dan dia baru mengetahui kalau sepupunya sendirilah yang membuat hidupnya jadi berantakan seperti ini. "Pokoknya cari dia, Pak. Pasang semua selebaran DPO te
"Kamu ngomong apa sih, Mas? Tentu saja aku kaget dan pucat karena baru tahu kalau ternyata Mas Arya seperti itu. Lagian kan, aku kenal sama dia itu pas kerja di sini, Mas," ujar Amanda akhirnya bisa mengeles juga. Butuh keberanian penuh sampai dia mengucapkan hal seperti itu. Sungguh di luar dugaan dan dia tidak tahu kalau Devan tak percaya begitu saja. "Benarkah?" "Iya, Mas. Untuk apa aku bohong? Memang kamu pernah lihat kalau aku itu seakrab apa dengan Mas Arya?" tanya Amanda salah melontarkan perkataan seperti itu.Devan langsung berdiri dan kembali melipat tangan di depan dada. "Kamu pikir aku tidak punya mata, Amanda? Sejak kamu datang ke sini, aku merasa heran. Kenapa kamu begitu akrab dengan Arya? Bahkan tak butuh waktu beberapa hari. Aneh aja, karyawanku yang lain tidak seperti itu dengan Arya. Bahkan Arya itu adalah orang yang begitu antipati. Dia akan benar-benar dekat jika sudah dirasa orang itu mau mengikuti keinginannya, beda saja denganmu. Baru juga dua hari sudah te
"Kamu tadi bilang apa, Mas? Menikahi Maura?!" tanya Amanda, tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Dia harus menanyakannya sekali lagi, takut jika telinganya salah dengar. Dengan santainya Devan menganggukkan kepala. Dia bahkan kembali duduk dan menyandarkan punggung, tampak sekali santai. Berbeda dengan Amanda yang sudah uring-uringan dan benar-benar merasa terpojok. Dia seolah tidak mendapatkan kesempatan berharga. Padahal sudah melakukan hal terbaik untuk Devan, menurutnya sendiri itu. "Benar-benar konyol, Mas," ucap Amanda dengan terang-terangan dan berani. "Kenapa kamu berkata seperti itu? Itu kan hak aku mau menikahi siapa saja." "Maksudku, dia kan masih dibawah umur." "Ya, gampang. Tinggal nikah sirih dulu, lalu disahkan setelah dia menginjak usia dewasa." "Katanya dia itu bukan tipemu? Kamu sudah pernah bilang itu kan? Bahkan, aku mendengarnya langsung saat kamu berbicara dengan Maura," ucap Amanda membuat Devan terduduk tegak."Jadi, kamu mendengarkan pemb
"Iya, Bu. Aku janji, aku akan berusaha untuk membuka diri bagi pria manapun yang mau mendekati. Tapi masalah keputusan dan hati aku tidak bisa memaksa. Ibu, paham kan maksudku?"Bu Melati langsung menganggukkan kepala. "Iya, Ibu paham. Yang penting kita sama-sama mulai dari awal, ya?" "Tapi, satu lagi, Bu. Lusi palingan ikut dengan kita.""Tidak masalah, Ibu malah senang. Jadi, Ibu punya temen pas kalian kerja. Alia akan dengan bersama kita juga, kan?" Adiba langsung menganggukkan kepala. "Bagus! Dengan begitu Ibu tidak akan merasa kesepian lagi. Ya sudah, sebaiknya kamu cepat bersih-bersih. Nanti Ibu akan membereskan barang seadanya untuk ikut kamu, nanti sisanya bisa dikirim kapan saja, kan?""Iya, Bu. Ibu, benar." Setelahnya Adiba pergi dengan perasaan senang. Dia akan benar-benar memulai hidup baru bersama orang yang dicintainya. Ini tak masalah, jika bertemu dengan ibu tiri dan ayahnya, yang penting selama masih ada Ibu, dia akan tetap kuat menghadapi semua tantangan di hidup
"Kamu bisa nggak sih, sekali saja tidak curiga kepadaku? Lalu aku harus apa? diam saja di kantor dan melihat tumpukan kertas itu? Kamu pikir aku tidak bosan terus-terusan ada di ruangan? Bosan! Aku sengaja keluar untuk melihat-lihat dan berusaha agar cepat paham dengan metode penjualan seperti ini. Kebetulan saja bertemu dengan pelanggan itu, tidak niat apa-apa, kok. Bahkan kenal pun saja tidak," papar Raka, berusaha menjelaskan agar Mila tidak terus mencurigainya.Kesal saja kalau terus-terusan dituduh seperti ini. Padahal memang mereka tidak punya hubungan apa-apa, murni hanya melayani pelanggan yang ada di sana. Raka juga tidak tahu kalau misalkan perlakuannya itu berlebihan menurut Mila. Harusnya wanita itu menjelaskan secara terperinci, bukan malah menuduh yang macam-macam. "Tapi itu berlebihan, Mas! Kamu tidak perlu sampai seperti itu.""Kalau memang begitu, bicara baik-baik kepadaku. Jangan malah terus-terusan menuduhku macam-macam. Kita belum satu minggu balikan lagi, loh, M
Raka menundukkan kepala dengan menutupi wajahnya. Terdengar suara sesenggukan begitu menyakitkan. Tiba-tiba saja Bu Sinta merasa kalau dirinya saat ini benar-benar melihat anaknya yang masih kecil. Raka yang begitu polos dan memohon agar apa yang diinginkannya dikabulkan.Sudah cukup lama dia tidak melihat sisi rapuh anaknya sendiri."Aku bingung, Bu. Aku harus bagaimana? Semua orang menghimpitku, menyalahkanku seolah-olah aku ini adalah orang yang paling berdosa di sini. Aku tidak ingin hal yang lebih, Bu. Aku ingin kembali kepada Lusi dan hidup seperti dulu bersama anakku. Tapi, itu juga tidak bisa. Sekarang yang aku inginkan adalah bertemu dengan Alia. Dia anakku, dia adalah hidupku. Jika aku sekarang hancur karena perbuatanku dulu, setidaknya ada anakku yang bisa menguatkanku untuk tetap bertahan dan melanjutkan hidup," ungkap Raka, kembali sesenggukan. "Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tidak bisa mengerti dengan keadaanku saat ini? Aku menghukum Ibu karena memang Ibu sudah sangat keterlal
Bu Sinta kembali pura-pura menangis, karena dia akan benar-benar membuat anaknya merasa bersalah sebab sudah meninggalkannya. "Jadi, karena itu kamu berani mengusir Ibu? Kamu meninggalkan Ibu karena wanita itu?" tanya Bu Sinta dengan mata berkaca-kaca.Raka langsung menggelengkan kepala, menghela napas berkali-kali dan berusaha untuk tenang. Di hadapannya ini adalah ibunya sendiri. Dia harus membuat Bu Sinta mengerti, kalau dirinya punya tujuan tertentu dan tidak sembarangan melakukan hal-hal itu. "Bu, Kalau boleh jujur. Dari dulu saat aku bersama Lusi sudah berkali-kali aku ingatkan, Ibu tolong jaga sikap. Jangan terlalu banyak meminta uang kepada Lusi dan apa pun yang membuat Lusi mungkin merasa terbebani, tapi apa? Jawaban Ibu selalu saja memaksakan kehendak. Itu pun aku tetap diam, karena memang Lusi tidak mempermasalahkan itu. Tapi kemarin, aku hampir saja benar-benar kehilangan Lusi karena ide Ibu, kan? Apa Ibu tidak merasa bersalah kepadaku?" Sekarang giliran Raka mengungkap
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan
Raka masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa, karena semuanya serba mendadak. Padahal sebelumnya pria itu berpikir kalau Winda akan dengan senang hati memberinya bantuan tanpa harus meminta apa pun darinya. Tetapi, semua itu ternyata salah. Winda tetap saja meminta hal yang rasanya mustahil dilakukan oleh Raka. Masalahnya Raka memang tidak punya perasaan kepada wanita ini, ditambah lagi kalau misalkan Mila tahu apa yang sudah dilakukan Raka maka rencana semula akan benar-benar hancur. Hanya saja, pria itu juga ingin bertemu dengan Alia. Bagaimana kalau misalkan Alia ternyata dibawa ke luar negeri oleh Lusi? Entah berapa lama dia akan memendam rasa rindu kepada anaknya itu. Semua ini seperti sebuah simalakama untuknya. Melihat diamnya Raka, Winda tersenyum sinis. Dia menghela napas panjang, tahu kalau semua ini sulit untuk Raka dan mungkin pada akhirnya pria ini akan menolak tawaran itu. Jadi, tidak ada alasan Winda untuk menerima semua permintaan Raka. "Baiklah, Mas. Kalau mema
Maura menutup mulut, tak menyangka. Dia ingin menjerit dan memprotes apa yang dikatakan oleh Winda. Jika memang Winda tidak mengejar Raka, maka dia tidak akan mendapatkan rumah kecuali kalau misalkan dia memberikan ancaman. Tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa memanfaatkan Winda kalau wanita itu tidak mengejar Raka lagi. Ini akan berat untuknya, tapi Maura juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai. Tidak lupa wanita itu menyetel rekaman keduanya. Dia melakukan ini demi sebuah keamanan dan juga materi. Karena bagaimanapun hidup di sini butuh uang, jadi Maura tidak mau menjual rasa kasihannya demi orang lain. "Kenapa, Mas? Kamu diam saja. Kamu tidak beranikan menentukan jaminan apa-apa?" Winda menghela napas panjang. "Mas, aku memang prihatin dengan apa yang terjadi kepadamu. Tapi seperti yang kamu bilang, semua ini berawal dari kamu sendiri, kan? Kalau memang kamu mau aku membantu bertemu dengan Alia, maka kamu harus menikah
Raka terperangah. Dia berusaha untuk meyakinkan diri kalau yang didengarnya itu hanyalah salah."Kamu bercanda, kan, Win?"Winda tampak serius. Kali ini bahkan tidak ada senyum sama sekali."Tidak, Mas. Aku serius." "Kenapa? Bukankah kamu selama ini mau mendekatiku. Kamu juga selalu membantu ibuku?" tanya Raka. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Padahal pria itu sudah sampai sembunyi-sembunyi untuk pergi dari Mila. Pagi-pagi sekali bertemu dengan Winda, berharap kalau wanita ini bisa membantunya.Sementara itu Maura hanya terdiam dan berusaha untuk mendengarkan apa yang terjadi, karena bagaimanapun ini informasi penting. Dia akan meminta harga yang mahal kepada kakaknya atas semua ini. "Iya, Mas. Aku memang selalu membantumu. Aku juga membantu Ibu jika itu adalah kebaikan, tetapi untuk masalah Lusi, tidak." "Kenapa? Apakah kamu takut aku kembali kepada Lusi atau memang kamu berharap aku memberikan hadiah?" Lagi, kalimat tadi itu langsung m
"Bantuan? Bantuan apa, Mas?" tanya Winda.Dia mengajukan pertanyaan itu karena Winda juga tidak tahu harus melakukan apa. Sebab dirinya merasa ragu, apakah bisa membantu pria ini atau tidak. Raka terlihat senyum merekah. Entah kenapa itu malah membuat Winda khawatir kalau Raka akan meminta hal yang aneh kepadanya. "Benar kamu bisa membantuku, kan?" tanya Raka memastikan dulu. Sekarang Winda tersenyum kaku. Dia juga bingung apakah harus mengiyakan atau menggelengkan kepala, karena wanita ragu apa yang diinginkan oleh pria ini."Tolong bantu aku mencari Lusi dan Alia." "Apa?!" Seketika wajah yang sebelumnya terlihat khawatir dan bingung berubah menjadi kaget ada rasa kecewa yang menusuk dalam dada. Maura yang mendengarnya pun menutup mulut, hampir saja bersuara. Ternyata Raka masih memikirkan perihal Lusi, sampai meminta semua ini kepada Winda yang bukan siapa-siapa. Winda hanya bisa terdiam saja. Dia tidak tahu harus memberikan reaksi apa, karena ini sudah memastikan kalau Raka