Ketiga wanita itu pun akhirnya pergi untuk menuju rumah Mila. Kebetulan memang tidak ada siapa-siapa di rumah wanita itu. Betapa kaget Bu Sinta melihat rumah Mila yang megah. Begitupun dengan Winda. Seketika wanita itu kena mental, karena melihat rumah berbeda jauh dengan rumah miliknya. "Ini rumahnya Mbak Mila." "Kamu yakin ini rumahnya wanita sundal itu?!" tanya Bu Sinta tidak percaya, karena setahunya Mila itu miskin. Bahkan hidupnya ditanggung oleh Lusi sewaktu masih di sini. Dengan cepat Maura juga menganggukkan kepala. "Iya, ini rumahnya. Aku bahkan tinggal di sini walaupun baru satu hari, sih." "Jadi, kamu baru tinggal di sini 1 hari?" tanya Winda tak percaya."Iya, Mbak. Masalahnya satu hari saja sudah terlihat sekali kalau dia itu memperbudak aku. Bagaimana kalau aku berhari-hari di sini? Bisa-bisa aku mati berdiri," ungkap Maura mengeluarkan kekesalan. Tentu saja wanita itu tidak akan berani mengatakan hal seperti ini di depan Mila langsung. Tetapi, dia juga melakukan
"Gimana, Pak Haris? Apa sudah menemukan hasil?" tanya Devan setelah dia sampai di restoran yang benar-benar kacau.Bahkan selama dalam penjara tampaknya restoran ini tutup. Pria itu menyadari semua karena kekacauan di tempat ini. Yang pasti dia akan mengembalikan nama baik restoran ini. Lebih mengagetkan lagi uang di kasir tidak ada dan hanya menyisakan uang koin saja. Beberapa bahan untuk menu hilang sebagian. Dia tidak tahu siapa yang melakukan ini semua, tapi Devan benar-benar geram dan akan memberikan perhitungan kepada orang yang sudah membuat restorannya kacau balau."Saya tidak menemukan jejak apa-apa, Pak. Tampaknya Pak Arya itu pergi saat keadaan sepi, sampai tidak ada satu pun yang melihatnya."Mendengar itu Devan mengusap kasar rambutnya. Dia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Maura tidak ada, restoran hancur dan dia baru mengetahui kalau sepupunya sendirilah yang membuat hidupnya jadi berantakan seperti ini. "Pokoknya cari dia, Pak. Pasang semua selebaran DPO te
"Kamu ngomong apa sih, Mas? Tentu saja aku kaget dan pucat karena baru tahu kalau ternyata Mas Arya seperti itu. Lagian kan, aku kenal sama dia itu pas kerja di sini, Mas," ujar Amanda akhirnya bisa mengeles juga. Butuh keberanian penuh sampai dia mengucapkan hal seperti itu. Sungguh di luar dugaan dan dia tidak tahu kalau Devan tak percaya begitu saja. "Benarkah?" "Iya, Mas. Untuk apa aku bohong? Memang kamu pernah lihat kalau aku itu seakrab apa dengan Mas Arya?" tanya Amanda salah melontarkan perkataan seperti itu.Devan langsung berdiri dan kembali melipat tangan di depan dada. "Kamu pikir aku tidak punya mata, Amanda? Sejak kamu datang ke sini, aku merasa heran. Kenapa kamu begitu akrab dengan Arya? Bahkan tak butuh waktu beberapa hari. Aneh aja, karyawanku yang lain tidak seperti itu dengan Arya. Bahkan Arya itu adalah orang yang begitu antipati. Dia akan benar-benar dekat jika sudah dirasa orang itu mau mengikuti keinginannya, beda saja denganmu. Baru juga dua hari sudah te
"Kamu tadi bilang apa, Mas? Menikahi Maura?!" tanya Amanda, tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Dia harus menanyakannya sekali lagi, takut jika telinganya salah dengar. Dengan santainya Devan menganggukkan kepala. Dia bahkan kembali duduk dan menyandarkan punggung, tampak sekali santai. Berbeda dengan Amanda yang sudah uring-uringan dan benar-benar merasa terpojok. Dia seolah tidak mendapatkan kesempatan berharga. Padahal sudah melakukan hal terbaik untuk Devan, menurutnya sendiri itu. "Benar-benar konyol, Mas," ucap Amanda dengan terang-terangan dan berani. "Kenapa kamu berkata seperti itu? Itu kan hak aku mau menikahi siapa saja." "Maksudku, dia kan masih dibawah umur." "Ya, gampang. Tinggal nikah sirih dulu, lalu disahkan setelah dia menginjak usia dewasa." "Katanya dia itu bukan tipemu? Kamu sudah pernah bilang itu kan? Bahkan, aku mendengarnya langsung saat kamu berbicara dengan Maura," ucap Amanda membuat Devan terduduk tegak."Jadi, kamu mendengarkan pemb
"Iya, Bu. Aku janji, aku akan berusaha untuk membuka diri bagi pria manapun yang mau mendekati. Tapi masalah keputusan dan hati aku tidak bisa memaksa. Ibu, paham kan maksudku?"Bu Melati langsung menganggukkan kepala. "Iya, Ibu paham. Yang penting kita sama-sama mulai dari awal, ya?" "Tapi, satu lagi, Bu. Lusi palingan ikut dengan kita.""Tidak masalah, Ibu malah senang. Jadi, Ibu punya temen pas kalian kerja. Alia akan dengan bersama kita juga, kan?" Adiba langsung menganggukkan kepala. "Bagus! Dengan begitu Ibu tidak akan merasa kesepian lagi. Ya sudah, sebaiknya kamu cepat bersih-bersih. Nanti Ibu akan membereskan barang seadanya untuk ikut kamu, nanti sisanya bisa dikirim kapan saja, kan?""Iya, Bu. Ibu, benar." Setelahnya Adiba pergi dengan perasaan senang. Dia akan benar-benar memulai hidup baru bersama orang yang dicintainya. Ini tak masalah, jika bertemu dengan ibu tiri dan ayahnya, yang penting selama masih ada Ibu, dia akan tetap kuat menghadapi semua tantangan di hidup
"Kamu bisa nggak sih, sekali saja tidak curiga kepadaku? Lalu aku harus apa? diam saja di kantor dan melihat tumpukan kertas itu? Kamu pikir aku tidak bosan terus-terusan ada di ruangan? Bosan! Aku sengaja keluar untuk melihat-lihat dan berusaha agar cepat paham dengan metode penjualan seperti ini. Kebetulan saja bertemu dengan pelanggan itu, tidak niat apa-apa, kok. Bahkan kenal pun saja tidak," papar Raka, berusaha menjelaskan agar Mila tidak terus mencurigainya.Kesal saja kalau terus-terusan dituduh seperti ini. Padahal memang mereka tidak punya hubungan apa-apa, murni hanya melayani pelanggan yang ada di sana. Raka juga tidak tahu kalau misalkan perlakuannya itu berlebihan menurut Mila. Harusnya wanita itu menjelaskan secara terperinci, bukan malah menuduh yang macam-macam. "Tapi itu berlebihan, Mas! Kamu tidak perlu sampai seperti itu.""Kalau memang begitu, bicara baik-baik kepadaku. Jangan malah terus-terusan menuduhku macam-macam. Kita belum satu minggu balikan lagi, loh, M
"Ibu, kenapa bisa sampai di sini?" Raka langsung tersadar setelah Winda terus memandanginya. Dia benar-benar kaget karena Bu Sinta tahu keberadaan dirinya saat ini. Padahal pria itu sudah benar-benar menutup diri, sampai tidak mengakses media sosial demi menghindari ibunya.Namun siapa sangka? Orang yang sedang dihindari sudah ada di depan mata. "Kamu juga kenapa kamu bertanya seperti itu kepada ibumu? Ibu ke sini untuk menjemputmu," ucap Bu Sinta to the point, membuat Raka kaget.Raka memejamkan mata sembari menghela napas panjang. Dia berusaha tenang, saat ini hatinya dan pikiran benar-benar kacau. Kalau misalkan dia kembali bersama Bu Sinta, bisa-bisa semua rencananya hilang total."Tidak, Bu. Aku tidak bisa kembali kepada Ibu," terang Raka, membuat Mila langsung menoleh dengan mata berkaca-kaca. Awalnya dia kaget dan takut saat Bu Sinta mengajak Raka pulang. Ya, khawatir kalau pria itu benar-benar pergi meninggalkannya setelah pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi di anta
Raka kaget karena Mila tiba-tiba saja melontarkan pertanyaan seperti itu kepada ibunya. "Mila, apa yang kamu lakukan?! Kenapa kamu berkata seperti itu kepada ibuku?" "Loh itu kan benar, Mas. Aku punya hak atas kamu dan ibumu tidak perlu ikut campur terlalu jauh.""Iya, aku paham. Tapi kamu tidak seharusnya berkata seperti itu kepada orang tua. Di mana sopan santunmu?!" seru Raka membuat semua orang yang ada di sana diam. Baik itu Winda, Maura maupun Bu Sinta sendiri. Sang wanita paruh baya tidak menyangka kalau ternyata Raka masih membelanya, artinya pria itu masih memihak kepadanya. Mungkin Raka memang benar-benar masih marah kepada Bu Sinta sebab kejadian-kejadian yang menimpa pria itu selama ini. "Nak, kamu masih membela Ibu?" tanya Bu Sinta dengan mata yang berkaca-kaca. Melihat itu Raka benar-benar tak kuasa. Hatinya sakit karena ibunya sampai mau menangis. Tetapi dia harus kuat demi mengubah sifat ibunya yang selalu saja pemaksa dan melakukan segala sesuatu sekehendak hati.
"Tidak akan. Aku jamin dia tidak akan tahu masalah ini, kecuali kamu yang ngomong. Tapi sepertinya kalau kamu ngomong pun jika tidak ada bukti percuma," ucap Mila. Dia tidak sadar kalau dari tadi Maura sedang mengambil buktinya. Wanita itu juga tidak berniat untuk mengatakan kalau dirinya punya bukti. Dia akan menyimpan ini baik-baik dan menjadi kejutan untuk Mila, memberikan semua ini kepada Raka tanpa sepengetahuan wanita hamil itu. Ingin tahu, betapa terkejutnya Mila setelah Raka mengambil tindakan. Karena Maura yakin, Raka tidak akan diam saja jika diperlakukan tidak baik oleh istrinya. Apalagi martabatnya sebagai seorang suami diinjak-injak begitu saja."Dengar, ya. Sekali lagi aku tegaskan, kamu jangan macam-macam sama aku dan jangan terlalu senang seolah Mas Raka itu akan benar-benar mendukungmu, kecuali kalau kamu itu adalah pelakor," ujar Mila dengan santai.Maura hanya diam saja. Dia memilih untuk mematikan rekaman dan hendak pergi dari sana, tetapi baru juga beberapa lang
"Apa tadi Mbak bilang? Mas Raka itu hidup dari uang Kakak, begitu?" tanya Maura memperjelas.Dia ingin merekam semua perkataan Mila. Dengan begitu secara kontan Raka pasti akan sakit hati dan meninggalkan Mila. Menurutnya tak masalah kalau Raka tiba-tiba saja meninggalkan Mila dengan alasan yang jelas. Lagi pula masalah perceraian bisa diurus setelah anak yang ada dalam kandungan Mila lahir. "Iya, kamu nggak sadar juga? Suamiku itu bisa hidup karena aku. Dia juga bisa mendapatkan apa-apa juga sebab uangku. Jadi, kamu jangan merasa senang karena dibela oleh Mas Raka. Karena dia juga akan tergantung padaku. Lalu, apa kamu pikir Mas Raka akan memberikan uang kepadamu? Tidak, kecuali dariku. Uang Mas Raka juga itu uangku. Apa kamu tidak menyadarinya?" ucap Mila. Dia sama sekali tidak curiga kepada Maura, apalagi wanita itu mengatakan hal tersebut sembari makan bubur. Perutnya sangat lapar. Anak yang ada dalam kandungan juga sudah menendang-nendang. Dia benar-benar merasa kalau hari ini
Awalnya Maura takut saat kakaknya tiba-tiba bertanya seperti itu, tetapi karena kelicikan yang sudah terlatih membuat dia berpikir lebih baik mempermainkan perasaan kakaknya itu, akan sangat menghancurkan Siapa tahu dengan tidak sengaja bisa berakibat fatal kepada anak yang ada dalam kandungan. Jadi, dia tidak perlu susah-susah menggugurkan kandungan Mila. Tinggal buat saja mental ibunya down, pasti anaknya ada dalam kandungan pun ikut terkena dampaknya. "Oh, Kakak mau tahu kenapa aku sampai yakin sekali kalau Mas Raka itu pasti membelaku? Sebab Mas Raka lebih percaya sama aku ketimbang sama istrinya. Kakak nggak sadar, ya? Kalau selama ini Mas Raka itu sudah lelah sekali berhubungan dengan Kak Mila, tetapi karena anak yang ada dalam kandungan itulah Mas Raka akhirnya bertahan. Dia sebenarnya berharap Kak Mila bisa berubah lebih baik, tidak terus mengekang dan cemburu buta. Tapi, sayangnya itu tidak terjadi juga. Aku yakin, memang itu ada sifat asli Kak Mila, kan? Pencemburu dan mend
Maura istirahat sejenak di sebuah masjid, tapi dia sama sekali tidak salat. Hanya berteduh. Sebelumnya wanita itu pergi ke kantin rumah sakit untuk makan. Sebab dia tidak mungkin menunggu terus Mila, sementara kakaknya itu menyebalkan. Ada saja kata-kata yang membuat dirinya semakin kesal.Wanita itu makan sambil melamun, banyak pikiran yang terus bergerilya di benak. Apa yang harus dia lakukan saat ini? Sementara Raka sama sekali tidak bisa dihubungi. Kalau misalkan dirinya pulang dengan Mila, apakah semua akan baik-baik saja dan rencananya untuk mengerjai kakaknya itu akan berhasil? Pertanyaan itu juga semakin menjadi-jadi di benaknya. Dia tak tahu harus melakukan apa. "Ah, capeknya! Aku harus benar-benar menerima semua ini. Lagi pula nggak ada salahnya, kan? Aku sudah menolongnya juga. Aku akan memulai aksiku nanti kalau sudah sampai rumah," gumam wanita itu langsung menghabiskan makanan.Dia memilih untuk kembali ke kamar kakaknya dan melihat kalau Mila sedang terduduk sembari he
"Sekarang masih diam lagi, kan? Berarti itu Kakak mengaku kalau selama ini aku belajar cara kejam dari Kakak. Aku tidak mungkin belajar dari orang lain. Pasti dari orang terdekat dulu. Coba saja dari awal saat aku datang ke sini untuk menjenguk Kakak di penjara, mungkin kejadiannya akan beda kalau Kakak bersikap baik saat itu. Ini pun aku pasti akan melupakan semua dendam dan kesakitan yang sudah Kakak beri. Sayangnya sampai detik terakhir, Kakak bersikap seperti ini. Jadi, untuk apa aku lembut dan tetap diam saja? Tidak, aku tidak mau bodoh dan menderita kedua kalinya. Sekarang terserah. Kalau misalkan aku harus keluar rumah, tanggung akibatnya. Kalau tidak mau, lakukan sesuai dengan keinginanku," ujar Maura. Setelah itu dia pergi dari hadapannya, membuat wanita hamil itu mengerang dengan hati yang dipenuhi amarah. "Maura, kurang ajar kamu! Awas! Aku akan buat perhitungan padamu!" seru Mila dengan suara parau. Maura memilih untuk keluar dan menenangkan diri terlebih dahulu. Tidak
Mila sampai tidak bisa berkata-kata mendengar semua perkataan adiknya. Jadi, selama ini Maura itu menyimpan dendam begitu banyak. Dia kira wanita itu tidak akan melakukan hal seperti ini, sebab tahu kalau dirinya adalah keluarga satu-satunya di sini. Melihat diamnya Mila, Maura tersenyum sinis sembari melipat tangan di depan dada."Kakak tahu? Ini adalah curahan hatiku selama ini. Inginnya aku memakai-maki Kakak sebisaku, tetapi sayang ini rumah sakit. Aku tidak bisa begitu saja mengeluarkan unek-unek. Tetapi satu hal yang pasti, Kakak jangan mengharapkan apa-apa dariku. Kecuali kalau bisa membayarku dengan uang yang mahal," ucap Maura menantang. Mila hanya diam saja memandangi adiknya yang dulu polos dan penurut, setelah masuk ke dunia luar dan tinggal di kota sifatnya berubah drastis seperti ini. Entah siapa yang sudah meracuni Maura, tetapi Mila yakin wanita ini tidak tiba-tiba seperti ini. Padahal belum lama di Jakarta, tapi sudah berubah drastis. Diyakini ada yang meracuni piki
"Dari dulu aku ingin tahu, bagaimana rasanya menyiksa Kakak seperti ini? Memang Tuhan itu Maha Adil. DIA akan memberikan balasan yang setimpal untuk orang-orang yang jahat seperti Kakak. sSekarang Kakak sendiri yang merasakan bagaimana sendiri tanpa bantuan siapapun. Harusnya dari dulu Kakak itu tahu kalau Kakak tidak bisa apa-apa sendiri tanpa bantuan orang lain, tapi sayangnya Kakak meremehkanku. Coba Kakak akan dibantu siapa kalau keadaan seperti ini?" papar Maura sepertinya masih belum puas mengeluarkan unek-uneknya kepada wanita hamil itu. Di saat seperti ini Mila bisa saja mengamuk. Tetapi dia tidak berdaya dengan keadaannya. Jadi, wanita itu pun memilih untuk tenang. Menghela nafas berkali-kali dan berusaha untuk menetralkan emosi yang tiba-tiba saja naik karena perkataan adiknya.Mila tahu, Maura pasti akan memancing emosi dan berusaha untuk membuatnya menderita. Tetapi Mila tidak mau disetel oleh anak ini. Dia harus memenangkan semua peperangan antara dirinya dan Maura. Ter
Entah sudah berapa lama Mila tak sadarkan diri, sampai akhirnya wanita itu pun membuka mata. Hal pertama yang membuatnya tersadar adalah aroma ruangan dan bau obat yang menyengat. Apalagi Mila dalam keadaan hamil. Indra penciumannya pasti terasa sensitif. Wanita itu pun sontak penutup hidungnya dengan tangan yang lemas. Dia melihat ke sekeliling dan mendapati kalau ada adiknya sedang tidur di sofa. Sudah dipastikan dia ada di rumah sakit. Sebelumnya, saat sudah melewati masa kritis, Mila pun dibawa ke ruang rawat untuk melakukan observasi apakah wanita itu masih harus dirawat atau diperbolehkan untuk pulang.Suara erangan saat kepalanya terasa berdenyut nyeri membuat Maura terkesiap. Dia melihat kalau kakaknya sudah tersadar. Wanita-wanita itu pun langsung terduduk. Dia hendak berdiri dan menghampiri Mila, tetapi langsung ke tempat semula. Baginya bukan hal yang harus dilakukan jika memerhatikan kakaknya. Dia sudah terlanjur sakit hati dengan wanita ini. Jadi, untuk apa Maura berbai
Setelah menunggu beberapa saat, keluarlah dokter dan suster yang sedang menangani Mila. Dengan cepat Maura menghampiri dan bertanya bagaimana keadaan kakaknya itu. "Kalau boleh tahu, Mbak ini siapanya pasien?" tanya dokter. Saat ini Maura tidak mau mengakui kalau Mila adalah kakaknya, lebih baik seperti ini dibandingkan nanti dirinya yang akan repot harus mengurus semuanya demi wanita hamil itu. "Kebetulan saya tetangganya, Dok. Tadi lihat dia kecelakaan di jalan. Jadi saya yang bawa ke sini," ujar Maura, memilih untuk menjawab secara demokratis. Kalau dia mengatakan hanya orang asing, pasti disuruh pergi dan menelepon keluarganya. Artinya dia harus menelepon kedua orang tua mereka, mengingat itu Maura langsung menggelengkan kepala. Mana sudi dia bertemu dengan kedua orang tuanya lagi, terutama ayah tiri yang membuatnya menderita sampai saat ini." Oh, kalau begitu bisakah Mbak menelepon keluarganya?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari dokter, tetapi setidaknya Maura sud