Raka langsung mendorong Mila hingga terpojok di pintu. "Apa yang kamu lakukan kepada ibuku?! Jadi, sifatmu seperti ini, hah?!""Mas, ibumu begitu jahat. Dia ingin memisahkan aku denganmu!""Tapi tidak dengan cara main fisik, Mila. Ingat! Kamu itu sedang hamil dan dia juga ibuku. Bagaimanapun jahatnya ibuku, dia ibuku! Harusnya kamu mengerti itu.""Tapi, Mas!" "Cukup! Kalau kamu melakukan hal seperti itu lagi, jangan salahkan aku kalau sekarang meninggalkanmu!" seru Raka membuat Mila terdiam. Dia tidak bisa berbuat apa-apa jika Raka sudah mengatakan hal seperti itu. Mendengarnya Bu Sinta merasa kalau ini adalah kesempatan bagus untuk mengambil hati Raka. "Lihatlah, Raka! Winda sampai rela melindungi ibumu dari kejahatan istrimu itu. Apa kamu pikir Winda itu bukan wanita yang baik? Justru wanita yang kamu perjuangkan di sebelah itu ingin memukul ibumu sendiri! Apa kamu tidak bisa berpikir jauh? Kali ini Ibu benar-benar tulus untuk mencari kamu wanita yang baik. Ibu tidak peduli lagi
"Iya. Ibu memang ibunya, tapi aku adalah istrinya. Ingat ya, Bu! Setelah menikah, istri juga punya andil besar untuk suaminya. Jadi, Ibu jangan pernah berpikiran untuk mengatur-mengatur Mas Raka, karena bagaimanapun dia sudah menikah denganku," ujar Mila masih saja bersikukuh untuk membenarkan semua tindakannya ini.Bu Sinta menggelengkan kepala dengan tingkah wanita hamil itu. "Iya, benar. Tapi kamu jangan lupa, sampai mati seorang anak laki-laki itu adalah milik ibunya. Bagaimanapun Raka itu harus tetap bersama Ibu, menjaga Ibu. Apalagi saya sudah tidak punya suami. Apakah kamu tidak sadar dengan hal itu?"Mila terdiam. Sialnya semua itu tidak bisa dipatahkan oleh sang wanita hamil. Dia benar-benar harus memutar otak bagaimana caranya membuat Bu Sinta jera dan tak berpikiran macam-macam lagi kepadanya. "Sudahlah, Bu. Tidak usah berdebat apa-apa lagi. Sekarang, keluar dari rumah ini. Mas Raka juga sudah menyuruh Ibu pulang, kan?" terang Mila, ingin mengakhiri perdebatan ini. Tidak
Raka langsung masuk ke kamar dan terduduk di kasur. Dia benar-benar merasa hancur mengusir ibunya sendiri. Tetapi kalau tidak begini Bu Sinta akan sama-sama menghancurkan rencana yang sudah disusunnya. Walaupun belum maksimal, tapi Raka sudah membayangkan apa yang akan dilakukannya nanti setelah bisa menduduki jabatan sebagai bos di tempat Mila. Di saat seperti itu Mila yang masuk. Dia melihat Raka sepertinya merasa bersalah atas apa yang dilakukan kepada Bu Sinta. Mila tentu saja tidak mau sampai itu terjadi, takut jika hati Raka goyah dan malah memilih ibunya. Dengan pelan Mila duduk di samping Raka. Kali ini dia harus memberikan perkataan yang lembut agar mengena. Sang wanita hamil itu pun mengelus pundak Raka, membuat sang pria menoleh sebentar lalu kembali menunduk. "Maaf, ya, tadi aku emosi. Hampir melukai ibumu, tapi aku melakukannya karena terpaksa. Ibumu sudah keterlaluan, memojokkanku dan menawarkan wanita di depan istrinya sendiri. Siapapun dia pasti akan sakit hati ka
"Di mana kamu? Apa kamu masih merasa aman? Ingat, kamu tidak akan bisa lepas dariku." Tubuh marah bergetar dengan jantung berdetak kencang. Ketakutan langsung menyusup dada. Wanita itu langsung mematikan panggilan. Napasnya sampai terengah-engah. Sakit, ketakutan mendengar suara itu. Ya, itu adalah suara Arya. Tetapi menggunakan nomor baru. Ini benar-benar mengherankan. Kenapa Arya tiba-tiba saja meneleponnya dengan nomor baru? Mungkinkah pria itu ingin menjebak Maura atau mencelakainya dengan cara baru?Memikirkannya saja membuat wanita itu benar-benar merasa terancam. Dia jadi tidak berani keluar dari lingkungan ini, lalu sang wanita berpikir, bagaimana kalau misalkan Maura tidak di tempat ini dan malah ikut dengan Winda? Mungkinkah dirinya akan aman? Semua pertanyaan-pertanyaan itu bersarang dan juga menjadi bumerang untuknya sendiri. Suara ponsel kembali membuat jantungnya kembali berdetak dengan kencang, tapi seketika rasa lega itu menyusup karena yang menelepon adalah Winda.
"Setelah misi ini selesai, setidaknya sampai Mbak Mila benar-benar tidak punya harapan untuk kembali ke Mas Raka, Mbak harus memberiku rumah.""Apa kamu gila?! Rumah itu berapa harganya? Itu bukan hal murah.""Ya, ini juga bukan hal mudah untukku. Membantu Mbak agar Mbak Mila kehilangan segalanya." "Maksud kamu apa, sih?" "Aku akan memberikan satu ide, bagaimana caranya agar Mas Raka meninggalkan Mbak Mila. Tapi hanya sampai Mas Raka meninggalkan Mbak Mila. Ya kalau misalkan urusan Mbak mendapatkan Mas Raka, itu beda lagi. Harus usaha Mbak sendiri."Winda tidak habis pikir dan tak paham dengan apa yang akan dilakukan oleh Maura. "Intinya, kalau Mbak setuju, aku akan bantu Mbak. Syaratnya tentu saja harus rumah, tidak perlu yang mewah, kok. Cukup untuk diriku sendiri saja. Jadi, aku tidak perlu bayar kontrakan dan tentu saja sisanya Mbak harus memberiku pekerjaan. Bagaimana?"Winda menggelengkan kepala, tak menyangka dengan pemikiran anak ini. Entah hal-hal apa yang sudah dilalui Ma
"Tidak, bukan begitu, kok. Aku hanya kaget saja. Soalnya Mbak ngasih makanan yang banyak," ucap Maura, sampai mengganti panggilan kepada kakaknya itu.Mila juga kaget mendengarnya. Tampaknya adiknya benar-benar tidak mau sampai Raka tahu ada hubungan apa di antara mereka."Halah, jangan lebay! Palingan di rumahmu juga ngabisin makanan, kan?" cetus Mila membuat Maura diam.Wanita hamil itu ingat betul saat dulu mereka masih tinggal bersama. Saat itu Mila masih SMP, sementara adiknya SD. Saat pulang sekolah perutnya lapar sekali dan berharap ada makanan yang bisa disantap. Tetapi siapa sangka? Bagian dirinya malah dimakan oleh Maura yang saat itu memang masih kecil.Mila benar-benar marah mengingat semua itu. Dia sampai harus bertengkar dengan ibunya perihal makanan gara-gara Maura. Melihat tetapan Mila kepadanya, Maura sebenarnya tahu apa yang dimaksud oleh wanita hamil itu. Pasti kakaknya mengungkit-ungkit masalah di saat dia menghabiskan makanan dan seharusnya menjadi jatah Mila.
Mila tersenyum santai, dia lalu duduk di hadapan Raka sembari menyenderkan punggung. Bahkan wanita itu tumpang kaki. Tampak santai sekali mendengar pernyataan yang dilontarkan oleh suaminya sendiri. "Tentu, Mas. Aku itu bukan wanita bodoh seperti Lusi." Mendengarnya, Raka tersentak. Rasanya sakit hati jika mantan istrinya itu jelekkan oleh Mila. Padahal sudah jelas Mila yang membuat hubungannya dengan Lusi hancur lebur, tetapi masih bisa berkata seperti itu. "Apa maksudmu? Jangan pernah membawa-bawa Lusi dalam masalah kita. Aku dan Lusi sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, jadi harusnya kamu pahami kalau sebenarnya tidak harus kamu bawa-bawa dia!" "Iya, aku hanya mengibaratkan kalau Lusi itu terlalu naif. Memberikan kepercayaan kepadamu dan juga memberikan uang yang banyak kepada ibumu, tapi masih untung semua asetnya tidak atas nama kamu. Mungkin saat ini bisa saja semua harta Lusi jatuh ke tanganmu kalau dia memberikan semua aset kepadamu," terang Mila. Raka memandangi istrin
"Kenapa jadi bisa seperti ini, sih?! Harusnya Mas Raka mau nerima harta dariku. Lagian apa susahnya tinggal menjadi suami yang baik dan juga Ayah yang baik untuk anak ini?" gumam Mila.Dia tidak habis pikir apa yang terlintas di benak Raka, sampai berkata seperti itu kepadanya. Ini sungguh luar biasa, tak dipahami oleh Mila. Wanita hamil itu tidak sadar apa yang membuat Raka tidak betah berlama-lama dengannya. Dia pun memilih untuk pergi dari sana. Sebaiknya bersiap untuk tidur. Bagaimanapun Mila harus banyak beristirahat, tidak boleh aktivitas berlebihan atau berpikiran stres. Sementara itu Maura masih di dapur. Raka yang melihatnya pun langsung menghampiri wanita itu. Ada yang harus ditanyakan kepada Maura, karena dia benar-benar tidak bisa berpikir jernih saat ini. "Maura, kamu masih di sini?"Tiba-tiba saja Raka di belakangnya. Untung saja wanita itu tidak memecahkan piring yang sedang dicuci. Kalau tidak pasti Mila akan marah-marah. "Apa aku membuatmu kaget?" "Sedikit. Soaln
Suara dering ponsel membuat Mila terkesiap dan kontan menghentikan tangisannya. Ternyata dari karyawannya. Tampaknya wanita itu harus segera kembali ke butik, sebab pasti kerjaannya semakin banyak.Dia tidak mungkin terus-terusan larut dalam kesedihan karena menangisi Raka, sementara ada usaha yang harus terus dijalankan. Kalau tidak, dirinya akan jatuh miskin dan benar-benar kehilangan Raka. Pria itu tidak mungkin mau hidup susah dengannya, jadi cara satu-satunya mempertahankan Raka yaitu dengan banyak uang. Miris, bukan? Harusnya di sini seorang pria yang melakukan ini semua, tetapi Mila mau tidak mau harus menghasilkan banyak uang demi mempertahankan Raka.Ya, demi agar anaknya bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah. Demi dirinya yang tidak lagi dijandakan oleh pria itu. Mila hanya bisa tersenyum miris, tetapi tak urung tetap kembali menjalankan mobilnya. Berusaha untuk tegar. Wanita hamil itu mengelus-elus perutnya yang mulai membesar. "Sabar ya, Nak. Ibu akan berusaha sebaik
"Kamu sudah gila, ya? Apa yang baru saja kamu katakan?!" tanya Bu Sinta, kali ini wanita paruh baya itu marah karena anaknya malah merahasiakan pernikahan dengan Winda. Harusnya biarkan saja diberi tahu semua orang, termasuk Mila. Agar ketahuan bagaimana reaksi wanita hamil itu, berharap kalau Mila mau tahu diri dan memilih untuk pergi dari kehidupan Raka. Tetapi tampaknya Raka sama sekali enggan untuk mempublikasikan hubungannya dengan Winda. "Aku tidak gila, Bu. Karena aku waras, makanya merahasiakan semua ini.""Lalu, bagaimana dengan perasaan Winda?" "Aku yakin, Winda juga pasti akan mengerti dengan situasi ini. Kami sudah saling sepakat. Jadi, aku harap Ibu tidak merecoki rencana kami.""Apa yang sedang kamu rencanakan sebenarnya, Raka? Ibu kasihan kalau Winda statusnya disembunyikan dari siapa pun." "Bu, aku melakukan ini demi kebaikan bersama. Bahkan Winda juga berkata, dia tidak akan ikut campur urusan aku dan juga Mila. Sebaliknya, Mila juga tidak boleh ikut campur urusan
"Itulah masalahnya, Bu. Mila tidak sebodoh yang kita kira. Dia bisa saja mengantisipasi untuk mendapatkan hak asuh anak dengan cara menahanku. Dia pasti sudah melakukan berbagai cara agar aku bisa berada di sisinya, termasuk anak itu." "Lalu, bagaimana? Kalau memang kamu tidak mau terikat dengan Mila, lepaskan anak itu. Kalau misalkan kamu ingin anak itu, cari cara menyingkirkan Mila. Mudah, kan?" "Tidak semudah itu, Bu. Aku tahu Ibu benci Mila, tapi tolong jangan benci anakku. Dia tidak tahu apa-apa. Bukankah bayi yang ada di dalam kandungan setiap Ibu hamil itu tidak berdosa? Kalau pun memang harus disalahkan, Mila sendiri dan aku. Jadi, kumohon kali ini saja Ibu mau menuruti permintaanku." Bu Sinta menghela napas kasar. Dalam hatinya tidak mau mengurusi cucunya itu. Lagi pula menurutnya cucu yang baik itu hanya Alia. Walaupun dia tidak tahu bagaimana nanti anak Mila, tapi wanita paruh baya sudah menafsirkan kalau sifat Mila pasti akan turun kepada anaknya sendiri. "Ya, terserah
"Bagus, bagus! Ibu setuju dengan keputusanmu. Kan sudah Ibu bilang, Winda itu adalah istri yang baik untuk kamu. Dibandingkan dengan Mila, Ibu lebih setuju dengan Winda. Dia itu baik hati, tidak perhitungan dan juga mengerti keadaan kamu dan Ibu. Jadi, menurut Ibu kamu itu memang harus memilih Winda. Bagus-bagus," papar Bu Sinta dengan semangat. Dia bahkan terus-terusan tersenyum sembari membereskan piring bekas makan Raka. Pria itu belum berani untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, kalau diam saja pun tidak akan mengubah situasi yang ada. Keadaan semakin kacau karena pasti Bu Sinta akan menyerang Mila atau malah melakukan sesuatu yang sangat membahayakan untuk rencana ke depannya."Iya, Bu. Tapi aku akan menjadikannya istri kedua."Bu Sinta hampir saja melepaskan piring yang ada di tangan saat Raka mengatakan hal tersebut. Wanita paruh baya itu langsung menyimpan piring kotor dan kembali ke hadapan anaknya dengan wajah kaget. "Apa kamu bilang tadi? Istri kedua? Maks
Wanita hamil itu hanya bisa pergi dengan perasaan kesal. Mungkin Mila bisa saja menerobos masuk, tetapi dia khawatir kalau Raka akan benar-benar murka kepadanya dan semua perkataan pria itu menjadi kenyataan. Membayangkannya saja membuat Mila ketakutan, apalagi kalau benar Raka akan meninggalkannya dan anak yang ada di dalam kandungan. Akhirnya Mila tidak punya pilihan lain, kecuali mengalah terlebih dahulu. Dia akan mencoba kembali untuk membujuk Raka setelah 3 hari, berharap kalau pria itu benar-benar akan kembali kepadanya. Setelah kepergian Mila, Raka dan Bu Sinta pun sedang duduk berhadapan di meja makan, tepat di depannya tampak sekali makanan yang sudah terhidang dan aromanya begitu menggugah selera Raka. Kebetulan pria itu hanya makan ala kadarnya. Saat melihat semua ini, tentu rasa lapar pria itu menyeruak. Tetapi sebelumnya Raka harus memberitahukan kedatangan dirinya kepada Bu Sinta. "Ibu masak untukku?" "Tentu saja. Kamu pikir Ibu akan masak untuk siapa? Istrimu? Ibu
"Mas, aku mohon. Pulanglah bersamaku, jangan seperti ini." Mila sekarang menghiba sembari menangis. "Tolong, jangan buat aku merasa menderita dan tertekan seperti ini. Aku janji, aku tidak akan mengekangmu lagi. Kamu boleh keluar, asalkan kamu bicara dulu kepadaku." "Tidak, ini sudah ketiga kalinya kamu mengatakan hal yang sama, tetapi kenyataannya seperti apa? Kamu tetap saja mengganggu dan menuduhku macam-macam.""Lalu, aku dengan siapa, Mas? Aku tidak mungkin sendiri.""Ada Maura."Seketika Mila malah terdiam. Dia sedang berusaha untuk akting sebaik mungkin agar Raka mau pulang dengannya. Tetapi malah nama Maura yang disebutkan. Dia benar-benar kesal karena adiknya itu malah masuk dalam permasalahan rumah tangganya. "Dia kan bukan siapa-siapa kita. Lagi pula di sini yang harus tanggung jawab atas keselamatan aku dan anak ini kan kamu, Mas." Mila sama sekali tidak bisa diajak berbicara baik-baik. Sekeras apa pun Raka menjelaskan, Mila juga sama kerasnya. Tidak mau mengalah. Rak
"Tidak sekarang, Mila. Aku akan pulang setelah semua urusanku selesai." Mila menautkan kedua alis dengan perasaan bingung. "Apa maksud kamu, Mas? Urusan apa yang kamu lakukan di sini?" Raka menghela napas panjang sembari memijat pelipisnya yang berdenyut. Tidak mungkin dia mengatakan kalau besok dirinya akan menikah dengan Winda. Yang pasti pria itu harus mengelabui Mila. Jangan sampai wanita itu benar-benar menghancurkan semua rencananya. Karena kalau Mila tahu kalau dirinya ingin mencari Lusi dan juga Alia, maka saat itu juga dia mendapat tekanan lagi dari wanita ini. "Aku hanya ingin bertemu dengan ibuku, menghabiskan waktu dengan ibuku." "Lalu, kamu meninggalkan istrimu?" tanya Mila. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Raka akan melakukan hal seperti ini. Padahal yang harus ditemani adalah Mila. Dia sedang hamil. Kenapa Raka tidak mau melakukan itu? "Dia anakku. Hak dia dong untuk menemani ibunya!"Mila kesal karena Bu Sinta malah ikut campur. Harusnya wanita paruh bay
Bu Sinta maupun Mila kaget mendengar suara Raka yang menggelegar, tampak sekali wajahnya memerah seperti menahan emosi karena sudah dari tadi kedua wanita berbeda usia ini terus saja bertengkar. "Apa kalian tidak bisa diam?! Jangan terus-terusan mengoceh dengan berbagai macam alasan! Aku punya keputusan sendiri," ucap Raka, membuat Bu Sinta dan Mila kaget bersamaan. Mereka takut jika Raka mengambil keputusan yang salah dan merugikan kedua belah pihak. Mila berharap kalau Raka tidak meninggalkannya, berbeda dengan Bu Sinta yang ingin anaknya kembali kepada Bu Sinta dan menceraikan Mila. Pria itu menoleh kepada Mila dengan tatapan sinis. Dia sudah jengah dengan semua perlakuan istrinya ini. Mila berbeda jauh dengan wanita yang dulu pernah menjalin hubungan dengannya. Apa mungkin memang sifat asli Mila seperti ini? Begitu pikir Raka atau hanya karena perubahan hormon Ibu hamil akhirnya Mila lebih protektif dan temperamental? Semua itu masih bergerilya di pikiran Raka, belum bisa menga
"Jangan percaya sama Ibu, Mas! Kamu tahu sendiri, kan? Gara-gara Ibu, kamu hampir kehilangan anak ini. Dia yang memalsukan tes DNA anak ini!" seru Mila tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraan, membuat Bu Sinta terdiam dan wanita paruh baya itu benar-benar kaget kala Mila membahas lagi masalah yang sudah berlalu. Padahal sekarang permasalahan utamanya adalah Mila yang tidak pernah bisa membebaskan Raka, selalu saja mengekang dan harus berada di samping wanita itu. "Kenapa kamu malah ngomongin itu sekarang? Bukan waktunya kamu berbicara hal yang sudah berlalu.""Oh, kenapa tidak, Bu? Tentu saja aku harus bicara dengan Mas Raka, kalau Ibu itu tidak mau melihat anak ini lahir, kan?" Keadaan semakin genting saat ini. Kalau Mila mengatakan hal seperti itu, tentu saja Bu Sinta tidak mau kalah. Baginya pertarungan ini harus dimenangkan olehnya, karena ini adalah satu-satunya cara dan kesempatan yang langka untuk mendapatkan anaknya kembali. "Jaga bicaramu! Itu sudah berlalu, aku melakukan