"Iya. Ibu memang ibunya, tapi aku adalah istrinya. Ingat ya, Bu! Setelah menikah, istri juga punya andil besar untuk suaminya. Jadi, Ibu jangan pernah berpikiran untuk mengatur-mengatur Mas Raka, karena bagaimanapun dia sudah menikah denganku," ujar Mila masih saja bersikukuh untuk membenarkan semua tindakannya ini.Bu Sinta menggelengkan kepala dengan tingkah wanita hamil itu. "Iya, benar. Tapi kamu jangan lupa, sampai mati seorang anak laki-laki itu adalah milik ibunya. Bagaimanapun Raka itu harus tetap bersama Ibu, menjaga Ibu. Apalagi saya sudah tidak punya suami. Apakah kamu tidak sadar dengan hal itu?"Mila terdiam. Sialnya semua itu tidak bisa dipatahkan oleh sang wanita hamil. Dia benar-benar harus memutar otak bagaimana caranya membuat Bu Sinta jera dan tak berpikiran macam-macam lagi kepadanya. "Sudahlah, Bu. Tidak usah berdebat apa-apa lagi. Sekarang, keluar dari rumah ini. Mas Raka juga sudah menyuruh Ibu pulang, kan?" terang Mila, ingin mengakhiri perdebatan ini. Tidak
Raka langsung masuk ke kamar dan terduduk di kasur. Dia benar-benar merasa hancur mengusir ibunya sendiri. Tetapi kalau tidak begini Bu Sinta akan sama-sama menghancurkan rencana yang sudah disusunnya. Walaupun belum maksimal, tapi Raka sudah membayangkan apa yang akan dilakukannya nanti setelah bisa menduduki jabatan sebagai bos di tempat Mila. Di saat seperti itu Mila yang masuk. Dia melihat Raka sepertinya merasa bersalah atas apa yang dilakukan kepada Bu Sinta. Mila tentu saja tidak mau sampai itu terjadi, takut jika hati Raka goyah dan malah memilih ibunya. Dengan pelan Mila duduk di samping Raka. Kali ini dia harus memberikan perkataan yang lembut agar mengena. Sang wanita hamil itu pun mengelus pundak Raka, membuat sang pria menoleh sebentar lalu kembali menunduk. "Maaf, ya, tadi aku emosi. Hampir melukai ibumu, tapi aku melakukannya karena terpaksa. Ibumu sudah keterlaluan, memojokkanku dan menawarkan wanita di depan istrinya sendiri. Siapapun dia pasti akan sakit hati ka
"Di mana kamu? Apa kamu masih merasa aman? Ingat, kamu tidak akan bisa lepas dariku." Tubuh marah bergetar dengan jantung berdetak kencang. Ketakutan langsung menyusup dada. Wanita itu langsung mematikan panggilan. Napasnya sampai terengah-engah. Sakit, ketakutan mendengar suara itu. Ya, itu adalah suara Arya. Tetapi menggunakan nomor baru. Ini benar-benar mengherankan. Kenapa Arya tiba-tiba saja meneleponnya dengan nomor baru? Mungkinkah pria itu ingin menjebak Maura atau mencelakainya dengan cara baru?Memikirkannya saja membuat wanita itu benar-benar merasa terancam. Dia jadi tidak berani keluar dari lingkungan ini, lalu sang wanita berpikir, bagaimana kalau misalkan Maura tidak di tempat ini dan malah ikut dengan Winda? Mungkinkah dirinya akan aman? Semua pertanyaan-pertanyaan itu bersarang dan juga menjadi bumerang untuknya sendiri. Suara ponsel kembali membuat jantungnya kembali berdetak dengan kencang, tapi seketika rasa lega itu menyusup karena yang menelepon adalah Winda.
"Setelah misi ini selesai, setidaknya sampai Mbak Mila benar-benar tidak punya harapan untuk kembali ke Mas Raka, Mbak harus memberiku rumah.""Apa kamu gila?! Rumah itu berapa harganya? Itu bukan hal murah.""Ya, ini juga bukan hal mudah untukku. Membantu Mbak agar Mbak Mila kehilangan segalanya." "Maksud kamu apa, sih?" "Aku akan memberikan satu ide, bagaimana caranya agar Mas Raka meninggalkan Mbak Mila. Tapi hanya sampai Mas Raka meninggalkan Mbak Mila. Ya kalau misalkan urusan Mbak mendapatkan Mas Raka, itu beda lagi. Harus usaha Mbak sendiri."Winda tidak habis pikir dan tak paham dengan apa yang akan dilakukan oleh Maura. "Intinya, kalau Mbak setuju, aku akan bantu Mbak. Syaratnya tentu saja harus rumah, tidak perlu yang mewah, kok. Cukup untuk diriku sendiri saja. Jadi, aku tidak perlu bayar kontrakan dan tentu saja sisanya Mbak harus memberiku pekerjaan. Bagaimana?"Winda menggelengkan kepala, tak menyangka dengan pemikiran anak ini. Entah hal-hal apa yang sudah dilalui Ma
"Tidak, bukan begitu, kok. Aku hanya kaget saja. Soalnya Mbak ngasih makanan yang banyak," ucap Maura, sampai mengganti panggilan kepada kakaknya itu.Mila juga kaget mendengarnya. Tampaknya adiknya benar-benar tidak mau sampai Raka tahu ada hubungan apa di antara mereka."Halah, jangan lebay! Palingan di rumahmu juga ngabisin makanan, kan?" cetus Mila membuat Maura diam.Wanita hamil itu ingat betul saat dulu mereka masih tinggal bersama. Saat itu Mila masih SMP, sementara adiknya SD. Saat pulang sekolah perutnya lapar sekali dan berharap ada makanan yang bisa disantap. Tetapi siapa sangka? Bagian dirinya malah dimakan oleh Maura yang saat itu memang masih kecil.Mila benar-benar marah mengingat semua itu. Dia sampai harus bertengkar dengan ibunya perihal makanan gara-gara Maura. Melihat tetapan Mila kepadanya, Maura sebenarnya tahu apa yang dimaksud oleh wanita hamil itu. Pasti kakaknya mengungkit-ungkit masalah di saat dia menghabiskan makanan dan seharusnya menjadi jatah Mila.
Mila tersenyum santai, dia lalu duduk di hadapan Raka sembari menyenderkan punggung. Bahkan wanita itu tumpang kaki. Tampak santai sekali mendengar pernyataan yang dilontarkan oleh suaminya sendiri. "Tentu, Mas. Aku itu bukan wanita bodoh seperti Lusi." Mendengarnya, Raka tersentak. Rasanya sakit hati jika mantan istrinya itu jelekkan oleh Mila. Padahal sudah jelas Mila yang membuat hubungannya dengan Lusi hancur lebur, tetapi masih bisa berkata seperti itu. "Apa maksudmu? Jangan pernah membawa-bawa Lusi dalam masalah kita. Aku dan Lusi sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, jadi harusnya kamu pahami kalau sebenarnya tidak harus kamu bawa-bawa dia!" "Iya, aku hanya mengibaratkan kalau Lusi itu terlalu naif. Memberikan kepercayaan kepadamu dan juga memberikan uang yang banyak kepada ibumu, tapi masih untung semua asetnya tidak atas nama kamu. Mungkin saat ini bisa saja semua harta Lusi jatuh ke tanganmu kalau dia memberikan semua aset kepadamu," terang Mila. Raka memandangi istrin
"Kenapa jadi bisa seperti ini, sih?! Harusnya Mas Raka mau nerima harta dariku. Lagian apa susahnya tinggal menjadi suami yang baik dan juga Ayah yang baik untuk anak ini?" gumam Mila.Dia tidak habis pikir apa yang terlintas di benak Raka, sampai berkata seperti itu kepadanya. Ini sungguh luar biasa, tak dipahami oleh Mila. Wanita hamil itu tidak sadar apa yang membuat Raka tidak betah berlama-lama dengannya. Dia pun memilih untuk pergi dari sana. Sebaiknya bersiap untuk tidur. Bagaimanapun Mila harus banyak beristirahat, tidak boleh aktivitas berlebihan atau berpikiran stres. Sementara itu Maura masih di dapur. Raka yang melihatnya pun langsung menghampiri wanita itu. Ada yang harus ditanyakan kepada Maura, karena dia benar-benar tidak bisa berpikir jernih saat ini. "Maura, kamu masih di sini?"Tiba-tiba saja Raka di belakangnya. Untung saja wanita itu tidak memecahkan piring yang sedang dicuci. Kalau tidak pasti Mila akan marah-marah. "Apa aku membuatmu kaget?" "Sedikit. Soaln
"Mila?" tanya Raka kaget.Dia benar-benar tidak tahu kalau istrinya itu ada di sini. Tanpa aba-aba wanita hamil itu mendekat kepada Maura dan melayangkan tamparan yang begitu keras, sampai menggema di ruangan dapur itu. Raka kaget, sementara Maura merasa perih di pipi hingga menjalar ke telinga. Jantung wanita itu berdetak dengan sangat kencang. Tampaknya dia benar-benar sudah salah tempat mengatakan itu semua, dikira tidak ada Mila di situ.Namun, ternyata wanita hamil itu dari tadi menguping pembicaraan mereka berdua. Sampai akhirnya di puncak pembicaraan Maura malah menyodorkan Winda kepada Raka. Tentu saja Mila tidak bisa diam saja. Adiknya benar-benar kurang ajar. Sudah dikasih tumpangan malah seperti ini, bukannya terima kasih. "Kurang ajar! Dasar wanita sundal! Apa yang kamu katakan kepada suamiku?!" teriak Mila dengan wajah memerah, membuat Maura menunduk sembari memegangi pipinya. Raka pun langsung meraih tubuh Mila agar menjauh dari Maura. Wanita hamil itu hendak memuku