Mila tersenyum santai, dia lalu duduk di hadapan Raka sembari menyenderkan punggung. Bahkan wanita itu tumpang kaki. Tampak santai sekali mendengar pernyataan yang dilontarkan oleh suaminya sendiri. "Tentu, Mas. Aku itu bukan wanita bodoh seperti Lusi." Mendengarnya, Raka tersentak. Rasanya sakit hati jika mantan istrinya itu jelekkan oleh Mila. Padahal sudah jelas Mila yang membuat hubungannya dengan Lusi hancur lebur, tetapi masih bisa berkata seperti itu. "Apa maksudmu? Jangan pernah membawa-bawa Lusi dalam masalah kita. Aku dan Lusi sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, jadi harusnya kamu pahami kalau sebenarnya tidak harus kamu bawa-bawa dia!" "Iya, aku hanya mengibaratkan kalau Lusi itu terlalu naif. Memberikan kepercayaan kepadamu dan juga memberikan uang yang banyak kepada ibumu, tapi masih untung semua asetnya tidak atas nama kamu. Mungkin saat ini bisa saja semua harta Lusi jatuh ke tanganmu kalau dia memberikan semua aset kepadamu," terang Mila. Raka memandangi istrin
"Kenapa jadi bisa seperti ini, sih?! Harusnya Mas Raka mau nerima harta dariku. Lagian apa susahnya tinggal menjadi suami yang baik dan juga Ayah yang baik untuk anak ini?" gumam Mila.Dia tidak habis pikir apa yang terlintas di benak Raka, sampai berkata seperti itu kepadanya. Ini sungguh luar biasa, tak dipahami oleh Mila. Wanita hamil itu tidak sadar apa yang membuat Raka tidak betah berlama-lama dengannya. Dia pun memilih untuk pergi dari sana. Sebaiknya bersiap untuk tidur. Bagaimanapun Mila harus banyak beristirahat, tidak boleh aktivitas berlebihan atau berpikiran stres. Sementara itu Maura masih di dapur. Raka yang melihatnya pun langsung menghampiri wanita itu. Ada yang harus ditanyakan kepada Maura, karena dia benar-benar tidak bisa berpikir jernih saat ini. "Maura, kamu masih di sini?"Tiba-tiba saja Raka di belakangnya. Untung saja wanita itu tidak memecahkan piring yang sedang dicuci. Kalau tidak pasti Mila akan marah-marah. "Apa aku membuatmu kaget?" "Sedikit. Soaln
"Mila?" tanya Raka kaget.Dia benar-benar tidak tahu kalau istrinya itu ada di sini. Tanpa aba-aba wanita hamil itu mendekat kepada Maura dan melayangkan tamparan yang begitu keras, sampai menggema di ruangan dapur itu. Raka kaget, sementara Maura merasa perih di pipi hingga menjalar ke telinga. Jantung wanita itu berdetak dengan sangat kencang. Tampaknya dia benar-benar sudah salah tempat mengatakan itu semua, dikira tidak ada Mila di situ.Namun, ternyata wanita hamil itu dari tadi menguping pembicaraan mereka berdua. Sampai akhirnya di puncak pembicaraan Maura malah menyodorkan Winda kepada Raka. Tentu saja Mila tidak bisa diam saja. Adiknya benar-benar kurang ajar. Sudah dikasih tumpangan malah seperti ini, bukannya terima kasih. "Kurang ajar! Dasar wanita sundal! Apa yang kamu katakan kepada suamiku?!" teriak Mila dengan wajah memerah, membuat Maura menunduk sembari memegangi pipinya. Raka pun langsung meraih tubuh Mila agar menjauh dari Maura. Wanita hamil itu hendak memuku
Dengan sigap Maura langsung menelepon Winda. Walaupun ini sudah malam, dia tidak peduli. Yang pasti ide yang baru saja terlintas itu harus segera disalurkan, takut malah hilang karena rasa takut yang saat ini masih menghukumnya. Kakaknya itu benar-benar seperti monster, kalau marah itu tidak ada batasan. Mungkin saja dia bisa dianiaya habis-habisan jika terus-terusan berada di sini. Dia harus segera keluar dari sini, tidak mau lama-lama atau malah dirinya akan benar-benar merasa bahaya dan celaka.Winda yang saat itu sedang berusaha untuk tidur dikagetkan oleh dering ponsel. Sang wanita hampir saja merutuk, tetapi langsung terkesiap kala nama Maura yang menelepon. Dengan cepat Winda pun menerima panggilan dari wanita di seberang sana. "Halo, Maura. Ada apa?" tanya Winda dengan perasaan yang campur aduk, karena aneh saja jika wanita itu tiba-tiba menelepon. Padahal sebelumnya sudah menghubungi Winda. "Mbak, maaf ya aku ganggu malam-malam. Tapi barusan aku mendengar percakapan Mbak
"Sepertinya kamu sudah benar-benar enggak waras, ya, Maura? Ngapain kamu menyuruhku untuk melakukan hal keji seperti itu? Kamu tahu? Ide apa yang kamu katakan barusan itu sudah benar-benar di luar batas!" ungkap Winda dengan nada yang agak tinggi. Dia benar-benar tidak bisa berpikir jernih saat Maura mengatakan hal seperti itu. "Loh, Mbak kok marah-marah, sih? Aku kan cuma ngasih ide, cara yang cepat menjatuhkan Mbak Mila juga cara yang paling ampuh dan Mbak bisa mendapatkan Mas Raka." Winda terduduk sembari memijat kepalanya yang berdenyut, bukannya memberikan solusi, Maura malah membuat dia stres karena harus memikirkan ide Maura berulang-ulang. Jangan sampai malah merugikan dirinya sendiri. "Aku tidak bisa mengambil keputusan sekarang, nanti aku akan hubungi kamu lagi." Setelah itu Winda mematikan panggilan. Maura hanya terperangah sembari menatap ponselnya yang berubah menjadi gelap. "Padahal kan aku cuma kasih solusi saja. Kalau misalkan enggak mau ya udah, ngapain juga kay
Suara pintu diketuk dengan sangat keras membuat Maura terkesiap. Wanita itu sebelumnya masih tidur. Dia melihat jam di dinding, sudah pukul 06.00. "Sial! Aku kesiangan!" seru Maura membuat dirinya langsung terduduk dengan rasa takut.Di depan sana terdengar suara Mila yang terus menggedor-gedor pintu agar Maura keluar. "Heh, wanita malas. Keluar! Kamu gila, ya? Kamu di sini numpang, tapi masih bisa bangun siang. Apa kamu tidak merasa malu, hah?!" seru Mila membuat Maura semakin ketakutan. Tubuhnya bahkan bergetar hebat, tidak tahu harus bagaimana. Kalau diam saja bisa-bisa wanita ini dipukul juga diusir. Sementara dirinya belum mendapatkan tempat tinggal yang layak.Kalau tidak keluar, mungkin dia akan dianiaya oleh Mila. sebuah keputusan yang membuatnya bingung. "Kalau kamu tidak keluar, hari ini juga akan kubuat kamu menyesal, Maura!" seru Mila lagi dengan berteriak, membuat Maura tidak punya pilihan. Akhirnya dengan ketakutan yang masih mengungkung, wanita itu pun membuka pint
Di tempat lain, saat ini Lusi, Adiba beserta Bu Melati sudah sampai. Alia juga bangun dan melihat pemandangan yang begitu menakjubkan. Hawa dingin menyusup tubuh, membuat Alia langsung merapatkan jaketnya. "Ternyata di Bandung itu benar-benar dingin, ya, Bu?" Bu Melati tersenyum, sementara Lusi hanya mengusap kepala anaknya itu. "Ya, Sayang. Di sini beda dengan di Jakarta. Pasti dingin dan nyaman. Semoga Alia suka, ya? Kita nggak apa-apa kan tinggal di sini?" Alia mendongak sembari menganggukkan kepala dengan senang. "Tentu saja, dengan begitu Alia akan punya teman. Jadi, kalau misalkan Ibu bekerja, Alia masih ada teman," ujar Alia membuat hati Lusi merenyut sakit.Dia benar-benar tidak menginginkan keadaan ini, harus meninggalkan anak demi mencari nafkah. Tetapi kalau terus-terusan bersama Raka pun bukan solusi yang terbaik. Dia akan menjalani hubungan toxic dengan Raka, ditambah lagi mertua seperti Bu Sinta. Bukanlah jalan terbaik untuk terus hidup bersama."Maaf, ya. Kalau mis
"Sekarang tenang dulu, ya. Ibu, udah sarapan sebelum ke sini?" "Sudah, tadi Ibu sudah sarapan karena Ibu pikir hari ini juga bisa menemui Raka lagi. Jadi, Ibu harus banyak tenaga," ujar Bu Sinta setelah dipersilakan duduk di daerah rumah Winda yang kebetulan disediakan kursi dan meja. Winda tampak kebingungan. Dia ingin menceritakan apa yang dikatakan Maura malam tadi, tapi takut kalau Bu Sinta akan marah besar. Bagaimanapun yang ada di dalam kandungan Mila itu adalah cucunya. Dia berpikir, mungkin wanita paruh baya ini tidak akan tega kalau misalkan menghilangkan calon cucunya. Namun kalau misalkan tidak diceritakan juga bingung mencari alasan dan solusi, apalagi untuk mendekati Raka agar mau kembali kepada Bu Sinta dan mendekat kepadanya juga susah. "Bu, kalau misalkan kita tunggu beberapa hari atau beberapa minggu sampai Mas Raka berpikir tentang kedatangan kita kemarin, bagaimana?""Beberapa minggu? Nggak, Win! Ibu, nggak mau menunggu selama itu. Bagaimana kalau misalkan Raka