"Setelah misi ini selesai, setidaknya sampai Mbak Mila benar-benar tidak punya harapan untuk kembali ke Mas Raka, Mbak harus memberiku rumah.""Apa kamu gila?! Rumah itu berapa harganya? Itu bukan hal murah.""Ya, ini juga bukan hal mudah untukku. Membantu Mbak agar Mbak Mila kehilangan segalanya." "Maksud kamu apa, sih?" "Aku akan memberikan satu ide, bagaimana caranya agar Mas Raka meninggalkan Mbak Mila. Tapi hanya sampai Mas Raka meninggalkan Mbak Mila. Ya kalau misalkan urusan Mbak mendapatkan Mas Raka, itu beda lagi. Harus usaha Mbak sendiri."Winda tidak habis pikir dan tak paham dengan apa yang akan dilakukan oleh Maura. "Intinya, kalau Mbak setuju, aku akan bantu Mbak. Syaratnya tentu saja harus rumah, tidak perlu yang mewah, kok. Cukup untuk diriku sendiri saja. Jadi, aku tidak perlu bayar kontrakan dan tentu saja sisanya Mbak harus memberiku pekerjaan. Bagaimana?"Winda menggelengkan kepala, tak menyangka dengan pemikiran anak ini. Entah hal-hal apa yang sudah dilalui Ma
"Tidak, bukan begitu, kok. Aku hanya kaget saja. Soalnya Mbak ngasih makanan yang banyak," ucap Maura, sampai mengganti panggilan kepada kakaknya itu.Mila juga kaget mendengarnya. Tampaknya adiknya benar-benar tidak mau sampai Raka tahu ada hubungan apa di antara mereka."Halah, jangan lebay! Palingan di rumahmu juga ngabisin makanan, kan?" cetus Mila membuat Maura diam.Wanita hamil itu ingat betul saat dulu mereka masih tinggal bersama. Saat itu Mila masih SMP, sementara adiknya SD. Saat pulang sekolah perutnya lapar sekali dan berharap ada makanan yang bisa disantap. Tetapi siapa sangka? Bagian dirinya malah dimakan oleh Maura yang saat itu memang masih kecil.Mila benar-benar marah mengingat semua itu. Dia sampai harus bertengkar dengan ibunya perihal makanan gara-gara Maura. Melihat tetapan Mila kepadanya, Maura sebenarnya tahu apa yang dimaksud oleh wanita hamil itu. Pasti kakaknya mengungkit-ungkit masalah di saat dia menghabiskan makanan dan seharusnya menjadi jatah Mila.
Mila tersenyum santai, dia lalu duduk di hadapan Raka sembari menyenderkan punggung. Bahkan wanita itu tumpang kaki. Tampak santai sekali mendengar pernyataan yang dilontarkan oleh suaminya sendiri. "Tentu, Mas. Aku itu bukan wanita bodoh seperti Lusi." Mendengarnya, Raka tersentak. Rasanya sakit hati jika mantan istrinya itu jelekkan oleh Mila. Padahal sudah jelas Mila yang membuat hubungannya dengan Lusi hancur lebur, tetapi masih bisa berkata seperti itu. "Apa maksudmu? Jangan pernah membawa-bawa Lusi dalam masalah kita. Aku dan Lusi sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, jadi harusnya kamu pahami kalau sebenarnya tidak harus kamu bawa-bawa dia!" "Iya, aku hanya mengibaratkan kalau Lusi itu terlalu naif. Memberikan kepercayaan kepadamu dan juga memberikan uang yang banyak kepada ibumu, tapi masih untung semua asetnya tidak atas nama kamu. Mungkin saat ini bisa saja semua harta Lusi jatuh ke tanganmu kalau dia memberikan semua aset kepadamu," terang Mila. Raka memandangi istrin
"Kenapa jadi bisa seperti ini, sih?! Harusnya Mas Raka mau nerima harta dariku. Lagian apa susahnya tinggal menjadi suami yang baik dan juga Ayah yang baik untuk anak ini?" gumam Mila.Dia tidak habis pikir apa yang terlintas di benak Raka, sampai berkata seperti itu kepadanya. Ini sungguh luar biasa, tak dipahami oleh Mila. Wanita hamil itu tidak sadar apa yang membuat Raka tidak betah berlama-lama dengannya. Dia pun memilih untuk pergi dari sana. Sebaiknya bersiap untuk tidur. Bagaimanapun Mila harus banyak beristirahat, tidak boleh aktivitas berlebihan atau berpikiran stres. Sementara itu Maura masih di dapur. Raka yang melihatnya pun langsung menghampiri wanita itu. Ada yang harus ditanyakan kepada Maura, karena dia benar-benar tidak bisa berpikir jernih saat ini. "Maura, kamu masih di sini?"Tiba-tiba saja Raka di belakangnya. Untung saja wanita itu tidak memecahkan piring yang sedang dicuci. Kalau tidak pasti Mila akan marah-marah. "Apa aku membuatmu kaget?" "Sedikit. Soaln
"Mila?" tanya Raka kaget.Dia benar-benar tidak tahu kalau istrinya itu ada di sini. Tanpa aba-aba wanita hamil itu mendekat kepada Maura dan melayangkan tamparan yang begitu keras, sampai menggema di ruangan dapur itu. Raka kaget, sementara Maura merasa perih di pipi hingga menjalar ke telinga. Jantung wanita itu berdetak dengan sangat kencang. Tampaknya dia benar-benar sudah salah tempat mengatakan itu semua, dikira tidak ada Mila di situ.Namun, ternyata wanita hamil itu dari tadi menguping pembicaraan mereka berdua. Sampai akhirnya di puncak pembicaraan Maura malah menyodorkan Winda kepada Raka. Tentu saja Mila tidak bisa diam saja. Adiknya benar-benar kurang ajar. Sudah dikasih tumpangan malah seperti ini, bukannya terima kasih. "Kurang ajar! Dasar wanita sundal! Apa yang kamu katakan kepada suamiku?!" teriak Mila dengan wajah memerah, membuat Maura menunduk sembari memegangi pipinya. Raka pun langsung meraih tubuh Mila agar menjauh dari Maura. Wanita hamil itu hendak memuku
Dengan sigap Maura langsung menelepon Winda. Walaupun ini sudah malam, dia tidak peduli. Yang pasti ide yang baru saja terlintas itu harus segera disalurkan, takut malah hilang karena rasa takut yang saat ini masih menghukumnya. Kakaknya itu benar-benar seperti monster, kalau marah itu tidak ada batasan. Mungkin saja dia bisa dianiaya habis-habisan jika terus-terusan berada di sini. Dia harus segera keluar dari sini, tidak mau lama-lama atau malah dirinya akan benar-benar merasa bahaya dan celaka.Winda yang saat itu sedang berusaha untuk tidur dikagetkan oleh dering ponsel. Sang wanita hampir saja merutuk, tetapi langsung terkesiap kala nama Maura yang menelepon. Dengan cepat Winda pun menerima panggilan dari wanita di seberang sana. "Halo, Maura. Ada apa?" tanya Winda dengan perasaan yang campur aduk, karena aneh saja jika wanita itu tiba-tiba menelepon. Padahal sebelumnya sudah menghubungi Winda. "Mbak, maaf ya aku ganggu malam-malam. Tapi barusan aku mendengar percakapan Mbak
"Sepertinya kamu sudah benar-benar enggak waras, ya, Maura? Ngapain kamu menyuruhku untuk melakukan hal keji seperti itu? Kamu tahu? Ide apa yang kamu katakan barusan itu sudah benar-benar di luar batas!" ungkap Winda dengan nada yang agak tinggi. Dia benar-benar tidak bisa berpikir jernih saat Maura mengatakan hal seperti itu. "Loh, Mbak kok marah-marah, sih? Aku kan cuma ngasih ide, cara yang cepat menjatuhkan Mbak Mila juga cara yang paling ampuh dan Mbak bisa mendapatkan Mas Raka." Winda terduduk sembari memijat kepalanya yang berdenyut, bukannya memberikan solusi, Maura malah membuat dia stres karena harus memikirkan ide Maura berulang-ulang. Jangan sampai malah merugikan dirinya sendiri. "Aku tidak bisa mengambil keputusan sekarang, nanti aku akan hubungi kamu lagi." Setelah itu Winda mematikan panggilan. Maura hanya terperangah sembari menatap ponselnya yang berubah menjadi gelap. "Padahal kan aku cuma kasih solusi saja. Kalau misalkan enggak mau ya udah, ngapain juga kay
Suara pintu diketuk dengan sangat keras membuat Maura terkesiap. Wanita itu sebelumnya masih tidur. Dia melihat jam di dinding, sudah pukul 06.00. "Sial! Aku kesiangan!" seru Maura membuat dirinya langsung terduduk dengan rasa takut.Di depan sana terdengar suara Mila yang terus menggedor-gedor pintu agar Maura keluar. "Heh, wanita malas. Keluar! Kamu gila, ya? Kamu di sini numpang, tapi masih bisa bangun siang. Apa kamu tidak merasa malu, hah?!" seru Mila membuat Maura semakin ketakutan. Tubuhnya bahkan bergetar hebat, tidak tahu harus bagaimana. Kalau diam saja bisa-bisa wanita ini dipukul juga diusir. Sementara dirinya belum mendapatkan tempat tinggal yang layak.Kalau tidak keluar, mungkin dia akan dianiaya oleh Mila. sebuah keputusan yang membuatnya bingung. "Kalau kamu tidak keluar, hari ini juga akan kubuat kamu menyesal, Maura!" seru Mila lagi dengan berteriak, membuat Maura tidak punya pilihan. Akhirnya dengan ketakutan yang masih mengungkung, wanita itu pun membuka pint
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan
Raka masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa, karena semuanya serba mendadak. Padahal sebelumnya pria itu berpikir kalau Winda akan dengan senang hati memberinya bantuan tanpa harus meminta apa pun darinya. Tetapi, semua itu ternyata salah. Winda tetap saja meminta hal yang rasanya mustahil dilakukan oleh Raka. Masalahnya Raka memang tidak punya perasaan kepada wanita ini, ditambah lagi kalau misalkan Mila tahu apa yang sudah dilakukan Raka maka rencana semula akan benar-benar hancur. Hanya saja, pria itu juga ingin bertemu dengan Alia. Bagaimana kalau misalkan Alia ternyata dibawa ke luar negeri oleh Lusi? Entah berapa lama dia akan memendam rasa rindu kepada anaknya itu. Semua ini seperti sebuah simalakama untuknya. Melihat diamnya Raka, Winda tersenyum sinis. Dia menghela napas panjang, tahu kalau semua ini sulit untuk Raka dan mungkin pada akhirnya pria ini akan menolak tawaran itu. Jadi, tidak ada alasan Winda untuk menerima semua permintaan Raka. "Baiklah, Mas. Kalau mema
Maura menutup mulut, tak menyangka. Dia ingin menjerit dan memprotes apa yang dikatakan oleh Winda. Jika memang Winda tidak mengejar Raka, maka dia tidak akan mendapatkan rumah kecuali kalau misalkan dia memberikan ancaman. Tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa memanfaatkan Winda kalau wanita itu tidak mengejar Raka lagi. Ini akan berat untuknya, tapi Maura juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai. Tidak lupa wanita itu menyetel rekaman keduanya. Dia melakukan ini demi sebuah keamanan dan juga materi. Karena bagaimanapun hidup di sini butuh uang, jadi Maura tidak mau menjual rasa kasihannya demi orang lain. "Kenapa, Mas? Kamu diam saja. Kamu tidak beranikan menentukan jaminan apa-apa?" Winda menghela napas panjang. "Mas, aku memang prihatin dengan apa yang terjadi kepadamu. Tapi seperti yang kamu bilang, semua ini berawal dari kamu sendiri, kan? Kalau memang kamu mau aku membantu bertemu dengan Alia, maka kamu harus menikah
Raka terperangah. Dia berusaha untuk meyakinkan diri kalau yang didengarnya itu hanyalah salah."Kamu bercanda, kan, Win?"Winda tampak serius. Kali ini bahkan tidak ada senyum sama sekali."Tidak, Mas. Aku serius." "Kenapa? Bukankah kamu selama ini mau mendekatiku. Kamu juga selalu membantu ibuku?" tanya Raka. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Padahal pria itu sudah sampai sembunyi-sembunyi untuk pergi dari Mila. Pagi-pagi sekali bertemu dengan Winda, berharap kalau wanita ini bisa membantunya.Sementara itu Maura hanya terdiam dan berusaha untuk mendengarkan apa yang terjadi, karena bagaimanapun ini informasi penting. Dia akan meminta harga yang mahal kepada kakaknya atas semua ini. "Iya, Mas. Aku memang selalu membantumu. Aku juga membantu Ibu jika itu adalah kebaikan, tetapi untuk masalah Lusi, tidak." "Kenapa? Apakah kamu takut aku kembali kepada Lusi atau memang kamu berharap aku memberikan hadiah?" Lagi, kalimat tadi itu langsung m
"Bantuan? Bantuan apa, Mas?" tanya Winda.Dia mengajukan pertanyaan itu karena Winda juga tidak tahu harus melakukan apa. Sebab dirinya merasa ragu, apakah bisa membantu pria ini atau tidak. Raka terlihat senyum merekah. Entah kenapa itu malah membuat Winda khawatir kalau Raka akan meminta hal yang aneh kepadanya. "Benar kamu bisa membantuku, kan?" tanya Raka memastikan dulu. Sekarang Winda tersenyum kaku. Dia juga bingung apakah harus mengiyakan atau menggelengkan kepala, karena wanita ragu apa yang diinginkan oleh pria ini."Tolong bantu aku mencari Lusi dan Alia." "Apa?!" Seketika wajah yang sebelumnya terlihat khawatir dan bingung berubah menjadi kaget ada rasa kecewa yang menusuk dalam dada. Maura yang mendengarnya pun menutup mulut, hampir saja bersuara. Ternyata Raka masih memikirkan perihal Lusi, sampai meminta semua ini kepada Winda yang bukan siapa-siapa. Winda hanya bisa terdiam saja. Dia tidak tahu harus memberikan reaksi apa, karena ini sudah memastikan kalau Raka
"Kamu serius, Mas? Kamu tidak salah lihat atau mungkin tetanggamu itu pura-pura tidak tahu?" tanya Winda tiba-tiba saja membuat Raka terdiam. Raka baru terpikir, bisa saja Bu Murni itu memang sebenarnya tahu ke mana Lusi berada, tetapi tampaknya disembunyikan. Namun demikian, Raka tidak mungkin memaksa wanita paruh baya itu untuk berbicara jujur. Yang ada dia bisa dipidanakan, karena sudah melakukan pemaksaan kepada orang tua. "Aku juga tidak tahu, mungkin sesuatu itu terjadi. Tapi yang pasti, saat ini aku tidak punya informasi apa pun. Nomorku diblokir orang, pasti aku tidak bisa melacak keberadaan anakku," ungkap Raka, semakin frustrasi. Membuat Maura akhirnya paham apa yang sebenarnya terjadi kepada Raka, sampai pria itu akhir-akhir ini memilih untuk diam saja."Ya, Mas. Aku paham posisi kamu. Kamu pasti merasa hampa dan takut kehilangan Alia, kan?" "Tentu saja, Winda. Aku benar-benar tidak bisa kehilangan anakku. Dari kecil aku mengasuhnya. Aku memberikan kasih sayang berlimpa
Raka dan Winda memesan tempat di pojokan. Dia tidak mau sampai ada orang yang melihat keberadaan mereka, terlebih mungkin mata-mata yang akan mengambil foto Raka dan juga Winda. Raka sudah memperkirakan ini, tapi dia tidak sadar kalau dirinya sudah dari tadi diikuti oleh Maura. Maura tidak mau kalah. Dia akhirnya membayar argo taksi dan memilih untuk mengikuti keduanya. Dia kembali memakai hoodie dan kacamata, lalu duduk tak jauh dari tempat itu. Tentu saja posisinya membelakangi keduanya, takut diketahui identitasnya oleh Raka ataupun Winda. Raka memesan makanan yang cukup mewah di sana, membuat Winda keheranan. Karena dia tahu kalau Raka itu pasti mendapatkan uang dari Mila. Tetapi wanita itu tidak mau melukai harga diri sang pria dan memilih untuk diam saja. Dia akan tunggu apa saja yang diinginkan oleh Raka. Bahkan di mobil saja pria itu sudah meminta sesuatu kepada Winda. Mungkin saja pembicaraan ini pun penting. Meskipun dia tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh sang pria,