"Iya, Bu. Aku janji, aku akan berusaha untuk membuka diri bagi pria manapun yang mau mendekati. Tapi masalah keputusan dan hati aku tidak bisa memaksa. Ibu, paham kan maksudku?"Bu Melati langsung menganggukkan kepala. "Iya, Ibu paham. Yang penting kita sama-sama mulai dari awal, ya?" "Tapi, satu lagi, Bu. Lusi palingan ikut dengan kita.""Tidak masalah, Ibu malah senang. Jadi, Ibu punya temen pas kalian kerja. Alia akan dengan bersama kita juga, kan?" Adiba langsung menganggukkan kepala. "Bagus! Dengan begitu Ibu tidak akan merasa kesepian lagi. Ya sudah, sebaiknya kamu cepat bersih-bersih. Nanti Ibu akan membereskan barang seadanya untuk ikut kamu, nanti sisanya bisa dikirim kapan saja, kan?""Iya, Bu. Ibu, benar." Setelahnya Adiba pergi dengan perasaan senang. Dia akan benar-benar memulai hidup baru bersama orang yang dicintainya. Ini tak masalah, jika bertemu dengan ibu tiri dan ayahnya, yang penting selama masih ada Ibu, dia akan tetap kuat menghadapi semua tantangan di hidup
"Kamu bisa nggak sih, sekali saja tidak curiga kepadaku? Lalu aku harus apa? diam saja di kantor dan melihat tumpukan kertas itu? Kamu pikir aku tidak bosan terus-terusan ada di ruangan? Bosan! Aku sengaja keluar untuk melihat-lihat dan berusaha agar cepat paham dengan metode penjualan seperti ini. Kebetulan saja bertemu dengan pelanggan itu, tidak niat apa-apa, kok. Bahkan kenal pun saja tidak," papar Raka, berusaha menjelaskan agar Mila tidak terus mencurigainya.Kesal saja kalau terus-terusan dituduh seperti ini. Padahal memang mereka tidak punya hubungan apa-apa, murni hanya melayani pelanggan yang ada di sana. Raka juga tidak tahu kalau misalkan perlakuannya itu berlebihan menurut Mila. Harusnya wanita itu menjelaskan secara terperinci, bukan malah menuduh yang macam-macam. "Tapi itu berlebihan, Mas! Kamu tidak perlu sampai seperti itu.""Kalau memang begitu, bicara baik-baik kepadaku. Jangan malah terus-terusan menuduhku macam-macam. Kita belum satu minggu balikan lagi, loh, M
"Ibu, kenapa bisa sampai di sini?" Raka langsung tersadar setelah Winda terus memandanginya. Dia benar-benar kaget karena Bu Sinta tahu keberadaan dirinya saat ini. Padahal pria itu sudah benar-benar menutup diri, sampai tidak mengakses media sosial demi menghindari ibunya.Namun siapa sangka? Orang yang sedang dihindari sudah ada di depan mata. "Kamu juga kenapa kamu bertanya seperti itu kepada ibumu? Ibu ke sini untuk menjemputmu," ucap Bu Sinta to the point, membuat Raka kaget.Raka memejamkan mata sembari menghela napas panjang. Dia berusaha tenang, saat ini hatinya dan pikiran benar-benar kacau. Kalau misalkan dia kembali bersama Bu Sinta, bisa-bisa semua rencananya hilang total."Tidak, Bu. Aku tidak bisa kembali kepada Ibu," terang Raka, membuat Mila langsung menoleh dengan mata berkaca-kaca. Awalnya dia kaget dan takut saat Bu Sinta mengajak Raka pulang. Ya, khawatir kalau pria itu benar-benar pergi meninggalkannya setelah pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi di anta
Raka kaget karena Mila tiba-tiba saja melontarkan pertanyaan seperti itu kepada ibunya. "Mila, apa yang kamu lakukan?! Kenapa kamu berkata seperti itu kepada ibuku?" "Loh itu kan benar, Mas. Aku punya hak atas kamu dan ibumu tidak perlu ikut campur terlalu jauh.""Iya, aku paham. Tapi kamu tidak seharusnya berkata seperti itu kepada orang tua. Di mana sopan santunmu?!" seru Raka membuat semua orang yang ada di sana diam. Baik itu Winda, Maura maupun Bu Sinta sendiri. Sang wanita paruh baya tidak menyangka kalau ternyata Raka masih membelanya, artinya pria itu masih memihak kepadanya. Mungkin Raka memang benar-benar masih marah kepada Bu Sinta sebab kejadian-kejadian yang menimpa pria itu selama ini. "Nak, kamu masih membela Ibu?" tanya Bu Sinta dengan mata yang berkaca-kaca. Melihat itu Raka benar-benar tak kuasa. Hatinya sakit karena ibunya sampai mau menangis. Tetapi dia harus kuat demi mengubah sifat ibunya yang selalu saja pemaksa dan melakukan segala sesuatu sekehendak hati.
Raka langsung mendorong Mila hingga terpojok di pintu. "Apa yang kamu lakukan kepada ibuku?! Jadi, sifatmu seperti ini, hah?!""Mas, ibumu begitu jahat. Dia ingin memisahkan aku denganmu!""Tapi tidak dengan cara main fisik, Mila. Ingat! Kamu itu sedang hamil dan dia juga ibuku. Bagaimanapun jahatnya ibuku, dia ibuku! Harusnya kamu mengerti itu.""Tapi, Mas!" "Cukup! Kalau kamu melakukan hal seperti itu lagi, jangan salahkan aku kalau sekarang meninggalkanmu!" seru Raka membuat Mila terdiam. Dia tidak bisa berbuat apa-apa jika Raka sudah mengatakan hal seperti itu. Mendengarnya Bu Sinta merasa kalau ini adalah kesempatan bagus untuk mengambil hati Raka. "Lihatlah, Raka! Winda sampai rela melindungi ibumu dari kejahatan istrimu itu. Apa kamu pikir Winda itu bukan wanita yang baik? Justru wanita yang kamu perjuangkan di sebelah itu ingin memukul ibumu sendiri! Apa kamu tidak bisa berpikir jauh? Kali ini Ibu benar-benar tulus untuk mencari kamu wanita yang baik. Ibu tidak peduli lagi
"Iya. Ibu memang ibunya, tapi aku adalah istrinya. Ingat ya, Bu! Setelah menikah, istri juga punya andil besar untuk suaminya. Jadi, Ibu jangan pernah berpikiran untuk mengatur-mengatur Mas Raka, karena bagaimanapun dia sudah menikah denganku," ujar Mila masih saja bersikukuh untuk membenarkan semua tindakannya ini.Bu Sinta menggelengkan kepala dengan tingkah wanita hamil itu. "Iya, benar. Tapi kamu jangan lupa, sampai mati seorang anak laki-laki itu adalah milik ibunya. Bagaimanapun Raka itu harus tetap bersama Ibu, menjaga Ibu. Apalagi saya sudah tidak punya suami. Apakah kamu tidak sadar dengan hal itu?"Mila terdiam. Sialnya semua itu tidak bisa dipatahkan oleh sang wanita hamil. Dia benar-benar harus memutar otak bagaimana caranya membuat Bu Sinta jera dan tak berpikiran macam-macam lagi kepadanya. "Sudahlah, Bu. Tidak usah berdebat apa-apa lagi. Sekarang, keluar dari rumah ini. Mas Raka juga sudah menyuruh Ibu pulang, kan?" terang Mila, ingin mengakhiri perdebatan ini. Tidak
Raka langsung masuk ke kamar dan terduduk di kasur. Dia benar-benar merasa hancur mengusir ibunya sendiri. Tetapi kalau tidak begini Bu Sinta akan sama-sama menghancurkan rencana yang sudah disusunnya. Walaupun belum maksimal, tapi Raka sudah membayangkan apa yang akan dilakukannya nanti setelah bisa menduduki jabatan sebagai bos di tempat Mila. Di saat seperti itu Mila yang masuk. Dia melihat Raka sepertinya merasa bersalah atas apa yang dilakukan kepada Bu Sinta. Mila tentu saja tidak mau sampai itu terjadi, takut jika hati Raka goyah dan malah memilih ibunya. Dengan pelan Mila duduk di samping Raka. Kali ini dia harus memberikan perkataan yang lembut agar mengena. Sang wanita hamil itu pun mengelus pundak Raka, membuat sang pria menoleh sebentar lalu kembali menunduk. "Maaf, ya, tadi aku emosi. Hampir melukai ibumu, tapi aku melakukannya karena terpaksa. Ibumu sudah keterlaluan, memojokkanku dan menawarkan wanita di depan istrinya sendiri. Siapapun dia pasti akan sakit hati ka
"Di mana kamu? Apa kamu masih merasa aman? Ingat, kamu tidak akan bisa lepas dariku." Tubuh marah bergetar dengan jantung berdetak kencang. Ketakutan langsung menyusup dada. Wanita itu langsung mematikan panggilan. Napasnya sampai terengah-engah. Sakit, ketakutan mendengar suara itu. Ya, itu adalah suara Arya. Tetapi menggunakan nomor baru. Ini benar-benar mengherankan. Kenapa Arya tiba-tiba saja meneleponnya dengan nomor baru? Mungkinkah pria itu ingin menjebak Maura atau mencelakainya dengan cara baru?Memikirkannya saja membuat wanita itu benar-benar merasa terancam. Dia jadi tidak berani keluar dari lingkungan ini, lalu sang wanita berpikir, bagaimana kalau misalkan Maura tidak di tempat ini dan malah ikut dengan Winda? Mungkinkah dirinya akan aman? Semua pertanyaan-pertanyaan itu bersarang dan juga menjadi bumerang untuknya sendiri. Suara ponsel kembali membuat jantungnya kembali berdetak dengan kencang, tapi seketika rasa lega itu menyusup karena yang menelepon adalah Winda.