"Loh, pada ke mana?" ucap Adiba saat melihat meja yang sebelumnya di tempat Lusi dan Alia kosong.Wanita itu membawa nampan berisi makanan yang sudah dipesan oleh kedua orang yang sebelumnya ada di sana. Tetapi saat sampai, tidak ada siapa-siapa. Dia menyimpan nampan itu dan terlihat bingung, melihat ke segala penjuru rest area.Adiba menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia sadar kalau tadi mengantri terlalu lama, karena memang banyak orang yang pesan di tempat yang sama. Tetapi harusnya Lusi memberitahunya kan kalau misalkan memang mau pindah tempat atau pergi? Begitu pikir Adiba.Dia memilih untuk menelepon temannya, tetapi belum sampai mendiang nomor Lusi, terlihat sang teman dengan anaknya itu berjalan menuju Adiba. Betapa terkejutnya gadis itu melihat pakaian Lusi yang begitu Kotor. "Ya Tuhan, Lus! Ada apa ini? Kenapa kamu tampak kotor sekali?" tanya Adiba, khawatir. Dia berpikir yang aneh-aneh dan mungkin saja terjadi sesuatu yang buruk kepada temannya ini. "Tadi Ibu tidak
Selama mereka makan, Lusi dan Adiba beserta Alia pun menyelingi aktivitas mereka dengan canda tawa. Sang pria dari tadi mendengarkan pun ikut tersenyum, apalagi saat mendengar Lusi terkekeh dan tertawa. Entah kenapa itu terdengar seksi di telinganya. Dia benar-benar sudah terhipnotis dengan wanita itu. Tampaknya sang pria harus benar-benar mencari tahu siapa wanita yang sudah ditabraknya tadi. "Ibu, apa perjalanan kita masih jauh?" tanya Alia di sela makannya.Wanita itu mengusap kepala sang anak dengan sayang. "Sebentar lagi, ya. Alia yang sabar, nanti kalau misalkan Alia capek bobo aja," ucap Lusi berusaha untuk menenangkan anaknya. Pasti Alia bosan sekali karena harus menunggu perjalanan jauh. Sementara itu, pria yang ada di sana juga masih berusaha mendengarkan percakapan mereka. Untunglah di meja tempat mereka berada itu hanya beberapa orang saja, sementara yang ramai itu dekat food count, tempat Adiba mengantri makanan tadi. Tanpa menceritakan apa pun, pria itu sepertinya pa
Selama mereka makan, Lusi dan Adiba beserta Alia pun menyelingi aktivitas mereka dengan canda tawa. Sang pria dari tadi mendengarkan pun ikut tersenyum, apalagi saat mendengar Lusi terkekeh dan tertawa. Entah kenapa itu terdengar seksi di telinganya. Dia benar-benar sudah terhipnotis dengan wanita itu. Tampaknya sang pria harus benar-benar mencari tahu siapa wanita yang sudah ditabraknya tadi. "Ibu, apa perjalanan kita masih jauh?" tanya Alia di sela makannya.Wanita itu mengusap kepala sang anak dengan sayang. "Sebentar lagi, ya. Alia yang sabar, nanti kalau misalkan Alia capek bobo aja," ucap Lusi berusaha untuk menenangkan anaknya. Pasti Alia bosan sekali karena harus menunggu perjalanan jauh. Sementara itu, pria yang ada di sana juga masih berusaha mendengarkan percakapan mereka. Untunglah di meja tempat mereka berada itu hanya beberapa orang saja, sementara yang ramai itu dekat food count, tempat Adiba mengantri makanan tadi. Tanpa menceritakan apa pun, pria itu sepertinya pa
Tak lama kemudian mereka pun akhirnya sampai di sebuah kota kecil. Kabupaten yang berada di Jawa Barat, yaitu Majalengka. Mungkin jika yang mengendarai adalah seorang laki-laki, perjalanannya akan memakan satu jam. Tetapi karena mereka berdua sering berhenti sejenak karena kelelahan menyetir, akhirnya kedua wanita itu pun sampai di tempat tujuan satu setengah jam. Harusnya mereka sampai itu di Bandung, tempat mereka dulu berada. Terapi katanya Ibu Adiba itu pindah untuk hijrah dan memulai hidup baru di sini. Sungguh aneh bagi Lusi, sebab seharusnya ibunya Adiba akan betah karena di tempat kelahiran. Tetapi kenapa harus hijrah ke Majalengka? Hanya saja sang wanita tidak mau bertanya lebih rinci dan memilih untuk ikut saja dengan Adiba. Kedatangan mereka berdua itu tepat pukul 22.30. Ketiganya langsung disambut oleh ibunya Adiba, Melati. Sementara Lusi syok, tampak mematung melihat penampilan ibunya Adiba. Terlihat kurus dan juga tidak dikenali. Merasa pangling. Dia benar-benar tidak
"Jangan bohong, Bu! Aku tahu, Ibu pasti melakukan semua ini hanya untuk menunggu pria brengsek itu, kan?!" Mata Lusi benar-benar membulat mendengarnya. Dia tidak jadi meninggalkan dapur dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, sampai mereka bertengkar seperti ini. Padahal Adiba dan ibunya itu baru bertemu setelah sekian lama Adiba berada di Jakarta. Tetapi kenapa tiba-tiba saja temannya mengatakan hal yang seperti itu? "Jaga ucapan kamu, Adiba! Bagaimanapun dia itu adalah ayahmu." "Bukan! Dia adalah pria yang membuat Ibu dan aku menderita seperti ini.""Adiba!""Kenapa, Bu? Memang kenyataannya seperti itu, kan? Ibu sampai pindah ke Majalengka hanya untuk menghindari Ayah. Padahal rumah itu adalah rumah kita, Bu. Ibu berhak tinggal di sana." "Bukankah ayahmu memang sudah meninggalkan rumah itu?" elak Bu Melati membuat Lusi semakin bingung, tetapi tak urung wanita itu tetap berada di sana untuk mendengar semuanya. Mungkin saja ada tabir rahasia yang baru terungkap dan pertanyaa
"Bukankah akan lebih baik kalau Ibu melanjutkan hidup di sini? Tenang, damai dan Ibu juga bisa bersosialisasi dengan tetangga, sangat baik. Mereka kenal Ibu dari kecil, Nak," ucap Ibu Melati.Tampaknya dia benar-benar tidak mau kembali ke Bandung. Sementara itu Adiba juga bersikukuh untuk mengajak ibunya kembali ke tempat mereka dulu. "Bu, kalau Ibu ingin aku sembuh dari trauma, ikutlah denganku ke Bandung. Kecuali kalau ingin aku melajang seumur hidup. Silakan Ibu tetap tinggal di sini."Pernyataan itu membuat Bu Melati terperangah. Wanita paruh baya itu langsung memegang kedua pundak anaknya, berusaha untuk menyadarkan Adiba agar tidak mengambil keputusan sembarangan. "Kamu jangan seperti itu, Adiba. Hidup itu harus punya pasangan, kamu harus punya teman hidup. Kalau Ibu tidak ada, kamu dengan siapa?" "Ada Lusi, kok. Aku bisa hidup dengan Lusi." "Tidak, Nak. Kalau Lusi kembali berumah tangga, apakah suaminya akan terima jika kamu juga tinggal bersama mereka?" Tiba-tiba saja Adi
Bukannya menjawab pertanyaan Adiba, Bu Melati malah langsung menyuruh dua wanita itu untuk makan. Takut makanannya dingin, begitu alasan Bu Melati. Membuat Adiba terdiam, tampak sekali wajahnya kesal karena ibunya tidak menjawab pertanyaan. Padahal sudah jelas-jelas ada di depan Lusi. Wanita itu merasa gugup melihat reaksi dari Ibu dan anak. Dia seperti berada di tengah-tengah perang dingin yang begitu menegangkan. "Selamat makan." Bu Melati berusaha untuk mencairkan suasana dengan bertanya berbagai hal kepada Lusi. Wanita itu berusaha untuk mengikuti alur yang dibuat oleh Bu Melati, berusaha agar mood Adiba kembali naik. Tetapi tampaknya itu tidak berhasil. "Aku sudah selesai makan. Mau kamar dulu," ujar Adiba membuat Lusi maupun Bu Melati terkesiap. Setelah kepergian Adiba, wanita paruh baya itu tampak murung. Dia tak kuasa menahan air mata, membuat Lusi kaget. Wanita itu pun langsung menghampiri Bu Melati, pura-pura tidak tahu dan bertanya apa yang terjadi sampai wanita paruh
"Ayo, Maura! Sini makan dulu," ucap Raka, mengajak wanita itu untuk duduk bersama. Meskipun dia tahu kalau Mila sangat sebal kepada Maura, tetapi Raka harus bersikap baik. Setidaknya membuat Maura benar-benar betah sampai memastikan wanita ini menikah dengan Devan. Maura senyum kaku, tetapi tak urung tetap duduk juga. Mila memperlihatkan kebenciannya kepada Maura, sejelas itu. Maura menyendokkan nasi ke piringnya. Saat hendak mengambil ayam, Mila langsung menarik piring itu dan menatapnya dengan tajam. "Jadi tamu itu harus tahu diri, ya. Kamu itu numpang di sini. Jadi, makan yang sekiranya tidak mewah. Hitung-hitung kalau kamu itu masih punya rasa malu," ujar Mila tiba-tiba saja membuat Raka terkesiap, sampai langsung menoleh dengan wajah malu. "Kenapa kamu seperti itu sih, Mil? Biarkan saja ayam ini dia makan." "Ayam itu mahal, Mas! Jadi, aku tidak mau sampai dimakan oleh orang yang bukan semestinya, khusus untuk kita berdua saja. Apalagi ada anak yang ada di dalam kandungan but
Kali ini Raka cukup lama sekali diam dibandingkan dengan pertanyaan sebelumnya. Winda sudah mulai takut kalau apa yang ditanyakan itu membuat Raka murka. Dia tidak mau ada pertengkaran di hari bulan madunya, berharap kalau Raka bisa mengabulkan semua permintaannya. Termasuk pertanyaan yang diucapkan oleh Winda barusan. Sebab selama berhari-hari bulan madu dengan Raka, pria itu lebih banyak diam dan melamun. Ini membuat sang wanita merasa kalau bulan madunya ini hanya berjalan apa adanya. Tidak ada yang lebih baik kecuali mereka menghabiskan waktu bersama. Itupun Raka berkali-kali terus saja memikirkan Alia. Tetapi Winda hanya bisa mengerti dan bersabar, berharap kalau Raka punya inisiatif sendiri untuk memberikan kejutan di hari bulan madu.Namun, sampai detik ini pun tak ada yang lebih spesial kecuali pertanyaan ini dan berharap pria itu mau menjawab semuanya."Kamu diam artinya kamu tidak mau punya anak dariku," ucap Winda dengan nada kecewa. Raka tahu pasti, Winda menginginkan ha
Raka kembali menatap Winda dalam diam. Apakah wanita itu benar-benar ingin tahu apa yang sedang dipikirkan oleh dirinya? Lalu, untuk apa? Begitu pikir Raka. Tetapi kalau tidak dijawab juga Winda pasti akan terus bertanya dan itu akan diulang-ulang sampai wanita ini mendapatkan jawabannya entah kapan. Tetapi rasanya Raka akan kelas kalau terus ditanya hal yang serupa. "Apakah kamu sangat penasaran dengan jawabanku?" tanya Raka, tiba-tiba saja membuat Winda terkesiap. "Bukan begitu, Mas. Maksudku, kita kan sudah jadi suami istri. Memang aku sudah berjanji untuk tidak saling ikut campur antara aku dan urusan Mila. Tetapi apakah aku salah hanya bertanya? Aku tidak akan menyalahi semua keputusanmu. Aku hanya ingin bertanya. Anggaplah ini rasa penasaranku, karena kalau tidak dilakukan mungkin aku akan terus-terusan kepikiran dan hanya ingin tahu jawaban apa yang akan kamu berikan jika pertanyaan serupa kembali diucapkan," ungkap Winda, sesuai dengan pemikiran Raka sebelumnya. Pria itu me
Raka kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Winda. Bahkan pria itu sampai tidak berkedip, seolah apa yang dikatakan oleh Winda barusan itu sebuah bom yang hampir meledak. "Maksudnya hamil?""Ya, Mas. Aku mau tanya, kalau misalkan aku hamil kamu akan gimana?""Gimana apanya, Winda? Aku tidak paham dengan maksudmu." "Aku tahu kamu menikahi Mila karena dia sedang mengandung anakmu, kan? Tetapi kalau misalkan aku juga mengandung anakmu, bagaimana, Mas? Atau Seandainya Mila tidak mengandung anakmu, apakah kamu juga akan tetap bersamanya?" tanya Winda. Sebenarnya dia butuh validasi dari Raka. Apakah benar yang dikatakan Bu Sinta dan Maura tentang hubungan Mila dan Raka yang diikat hanya karena ada anak di antara mereka. Raka menatap Winda dalam, tapi wanita itu tidak bisa mengartikan semuanya. Lalu sang pria menoleh lurus ke depan. Ada sesuatu yang mengganjal di hati dan pikiran. Apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya kepada Winda atau memilih untuk diam? Rasanya sudah se
Tempat pukul 12.00 siang akhirnya Maura istirahat. Ternyata di sana tidak disediakan makan siang dan membeli sendiri. Kalau tahu begini, harusnya wanita itu membawa saja makanan di rumah Mila. Tetapi sayangnya semua sudah terlambat. Dia pun akhirnya memilih untuk makan apa saja yang tersedia di sekitar supermarket, yang penting bisa mengenyangkan.Namun, lagi-lagi ada suasana yang tidak mengenakan sang wanita. Di mana para pegawai yang begitu antipati dan menjauh kepada Maura. Awalnya dia merasa kesal, tetapi lama-lama tidak mempermasalahkan. Lagipula dia sudah kenal dengan Winda. Kalau memang ada yang macam-macam, tinggal lapor saja kepada wanita itu.Maura memilih untuk membeli siomay saja, lebih murah tapi mengenyangkan. Dia pun duduk agak jauh dari teman-temannya, karena memang di sini yang baru hanya Maura saja, jadi dia tidak punya teman yang satu angkatan dan memilih untuk diam. Tidak ada inisiatif sama sekali untuk berbaur atau memperkenalkan diri.Lagi pula di sini niatnya u
Mila menyantap makanan yang dibeli lewat online. Imel pun sama, tetapi gadis itu tampak sekali berbeda dari biasanya. Seperti ada yang dipikirkan dan semua gerak-gerik dari Imel membuat Mila merasa tidak nyaman. Wanita hamil itu pun menghentikan makannya dan berusaha berbicara baik-baik kepada Imel. "Kamu kenapa sih, Mel? Kok diam saja?" tanya Mila tiba-tiba, membuat Imel terkesiap. Dia sedikit bingung, tapi ada juga rasa takut. Namun demikian sang gadis tetap menjawab pertanyaan dari majikannya, takut malah salah paham. "Enggak kok, Bu. Saya cuma berpikir aja, bisa nggak ya melaksanakan tugas dari Ibu? Mengatur semuanya," ungkap gadis itu sebab sebelumnya setelah Imel selesai membereskan isi kamar dia dan Mila sama-sama menyusun jobdesk apa saja yang akan Imel laksanakan di rumah ini, termasuk menyiapkan makanan untuk Mila. Itulah yang paling berat dilakukan oleh sang gadis. Bagaimana kalau Ibu hamil ini rewel dan dia harus mencari makanan susah? Bukankah itu adalah tugasnya seo
Di tempat lain, saat ini Raka dan Winda sedang bersiap-siap untuk pulang. Tetapi hanya packing saja, karena kepulangannya nanti malam Raka akan langsung pulang ke rumah Mila. Sementara Winda ke rumahnya sendiri. "Mas, hari ini kita mau ke mana dulu?" tanya Winda, memastikan karena dia ingin menghabiskan waktu yang sebentar ini. Sebab setelah 7 hari baru dia bisa bertemu dengan Raka lagi."Apa kamu sudah menemukan jejak Alia?" tanya Raka tiba-tiba saja membuat harapan Winda langsung putus. Dia lagi-lagi harus bisa sadar kalau dirinya hanya dimanfaatkan untuk mencari Alia. Tetapi wanita itu akan tetap bersabar dan menjalani semua ini dengan ikhlas. Sesuatu yang dijalani dengan tulus pasti akan berbuah manis. "Belum, Mas. Aku sudah coba tanya sama temen-temen di berbagai kota yang memang ada penyetok barang-barang di supermarket aku, katanya sih belum pernah lihat. Tapi kita coba aja lihat ya, Mas. Moga-moga saja minggu depan atau mungkin besok lusa ada kabar baik," ungkap Winda. Dia
Sesudah zuhur berkumandang, Lusi pun segera bersiap. David memang dari tadi sedang menunggu wanita itu, mencoba untuk mengikutinya. Dia akan mengajak Lusi untuk sama-sama berangkat kerja. Sementara itu Adiba saat ini bekerja di rumah. Dia bisa mengerjakan projectnya dan tidak perlu ke kantor. Jadi, gadis itu bisa menjaga Alia. Lusi sudah semangat untuk pergi bekerja. Ini hari pertama dan harus menjadi momen yang paling berharga. David yang melihat wanita itu keluar pun berusaha untuk mengejarnya. "Hai, mau berangkat kerja, ya?" tanya David, tiba-tiba saja membuat Lusi terkesiap. Dia langsung menoleh kepada pria itu."Oh, hai. Kamu juga mau berangkat kerja?""Iya." "Shif siang?" tanya Lusi, memastikan."Iya," jawab David sembari tersenyum. Lusi hanya tersenyum kikuk, merasa perkataan Adiba tempo hari ada benarnya. Mungkin saja pria ini punya maksud buruk, karena semuanya itu serba mendadak. Tetapi melihat bagaimana pria ini tidak melakukan hal yang di luar batas membuat Lusi mas
Di kamar yang sudah disediakan oleh Mila, Imel hanya termenung menatap lurus. Dia sama sekali tidak merasa antusias untuk melihat kamar yang akan ditempatinya. Meskipun ukurannya sama seperti kontrakan yang sebelumnya dia tinggali, tetapi kali ini pikirannya benar-benar kacau. Apa yang harus dia lakukan mendengar berita-berita itu? Apakah Imel harus menelepon orang yang memasang iklan memberitahukan alamat Mila yang sebenarnya? Gadis itu akan mendapatkan uang yang banyak, bisa membuka usaha atau membeli kios untuknya. Terlepas dari status sebagai buruh. Tetapi, bagaimana kalau Mila tahu dan malah balas dendam kepadanya? Gadis itu tidak tahu bagaimana sifat Mila yang sebenarnya, jadi harus hati-hati dengan segala perlakuan Mila. Ini benar-benar membingungkan juga syok. Dia tidak tahu harus melakukan apa sekarang.Tiba-tiba saja suara Mila terdengar menyerukan nama Imel. Gadis itu langsung terkesiap dan memilih untuk menghampiri bosnya."Iya, Bu. Bagaimana?""Kamu sudah beres-beresnya
Setelah membereskan barang-barang di kontrakan yang dahulu, Imel berpamitan dan langsung pergi menggunakan angkot. Sebelumnya dia memang ingin menggunakan taksi, tetapi tarifnya pasti mahal. Tidak masalah kalau menggunakan angkot. Lagi pula barang bawaannya hanya sedikit.Saat di dalam angkutan umum, dia mendengar pembicaraan kalau ada iklan yang memberikan hadiah besar bagi yang bisa menemukan dan memberi informasi tentang Mila. "Oh, aku tahu! Ini yang dulu sempat viral kan gara-gara dia selingkuh dan digrebek sama istrinya? Benar-benar enggak tahu diri, ya!" "Kayaknya ini orang juga membuat masalah sampai dicari sama yang pasang iklan," timpal seseorang membuat Imel langsung menoleh. Dia kaget sebab yang disebutkan oleh penumpang angkot lainnya itu Mila. Imel terperanjat sebab dikatakan kalau Mila ini adalah orang yang dulu sempat digerebek karena perselingkuhan, ini sama persis yang seperti yang dikatakan oleh Maura tempo hari, saat mereka masih ada di rumah sakit.Kalau benar b