Sementara itu, di tempat lain saat ini Devan sedang bersiap-siap untuk kebebasannya besok. Dia akhirnya menggunakan pengacara Pak Haris dan memberikan uang jaminan. Meskipun itu sangat besar, tapi meyakinkan pihak polisi bahwa mereka akan menginvestigasi ulang apa yang sebenarnya terjadi. Karena saat itu dia dalam keadaan tidak sadar. Amanda yang sebelumnya menjanjikan untuk membebaskannya pun tak muncul. Entah kenapa, yang pasti saat ini kebebasan Devan itu utamanya untuk membalaskan semua perbuatan Arya kepadanya.Sementara seharian ini Devan terus memikirkan tentang Maura. Entah kenapa pria itu tiba-tiba saja sangat rindu kepada wanita itu. Sebelumnya sang pria bertanya kepada pengacaranya, apakah bertemu dengan Maura. Tetapi tentu saja sang pengacara tidak tahu. Sebab dia hanya singgah di kediaman Arya, hingga pria itu menyuruh pengacaranya untuk mencari Maura. Setelah dipikir-pikir, pria itu mungkin sudah keterlaluan kepada sang wanita. Untuk mendapatkan Lusi rasanya mustahil ,
"Loh, pada ke mana?" ucap Adiba saat melihat meja yang sebelumnya di tempat Lusi dan Alia kosong.Wanita itu membawa nampan berisi makanan yang sudah dipesan oleh kedua orang yang sebelumnya ada di sana. Tetapi saat sampai, tidak ada siapa-siapa. Dia menyimpan nampan itu dan terlihat bingung, melihat ke segala penjuru rest area.Adiba menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia sadar kalau tadi mengantri terlalu lama, karena memang banyak orang yang pesan di tempat yang sama. Tetapi harusnya Lusi memberitahunya kan kalau misalkan memang mau pindah tempat atau pergi? Begitu pikir Adiba.Dia memilih untuk menelepon temannya, tetapi belum sampai mendiang nomor Lusi, terlihat sang teman dengan anaknya itu berjalan menuju Adiba. Betapa terkejutnya gadis itu melihat pakaian Lusi yang begitu Kotor. "Ya Tuhan, Lus! Ada apa ini? Kenapa kamu tampak kotor sekali?" tanya Adiba, khawatir. Dia berpikir yang aneh-aneh dan mungkin saja terjadi sesuatu yang buruk kepada temannya ini. "Tadi Ibu tidak
Selama mereka makan, Lusi dan Adiba beserta Alia pun menyelingi aktivitas mereka dengan canda tawa. Sang pria dari tadi mendengarkan pun ikut tersenyum, apalagi saat mendengar Lusi terkekeh dan tertawa. Entah kenapa itu terdengar seksi di telinganya. Dia benar-benar sudah terhipnotis dengan wanita itu. Tampaknya sang pria harus benar-benar mencari tahu siapa wanita yang sudah ditabraknya tadi. "Ibu, apa perjalanan kita masih jauh?" tanya Alia di sela makannya.Wanita itu mengusap kepala sang anak dengan sayang. "Sebentar lagi, ya. Alia yang sabar, nanti kalau misalkan Alia capek bobo aja," ucap Lusi berusaha untuk menenangkan anaknya. Pasti Alia bosan sekali karena harus menunggu perjalanan jauh. Sementara itu, pria yang ada di sana juga masih berusaha mendengarkan percakapan mereka. Untunglah di meja tempat mereka berada itu hanya beberapa orang saja, sementara yang ramai itu dekat food count, tempat Adiba mengantri makanan tadi. Tanpa menceritakan apa pun, pria itu sepertinya pa
Selama mereka makan, Lusi dan Adiba beserta Alia pun menyelingi aktivitas mereka dengan canda tawa. Sang pria dari tadi mendengarkan pun ikut tersenyum, apalagi saat mendengar Lusi terkekeh dan tertawa. Entah kenapa itu terdengar seksi di telinganya. Dia benar-benar sudah terhipnotis dengan wanita itu. Tampaknya sang pria harus benar-benar mencari tahu siapa wanita yang sudah ditabraknya tadi. "Ibu, apa perjalanan kita masih jauh?" tanya Alia di sela makannya.Wanita itu mengusap kepala sang anak dengan sayang. "Sebentar lagi, ya. Alia yang sabar, nanti kalau misalkan Alia capek bobo aja," ucap Lusi berusaha untuk menenangkan anaknya. Pasti Alia bosan sekali karena harus menunggu perjalanan jauh. Sementara itu, pria yang ada di sana juga masih berusaha mendengarkan percakapan mereka. Untunglah di meja tempat mereka berada itu hanya beberapa orang saja, sementara yang ramai itu dekat food count, tempat Adiba mengantri makanan tadi. Tanpa menceritakan apa pun, pria itu sepertinya pa
Tak lama kemudian mereka pun akhirnya sampai di sebuah kota kecil. Kabupaten yang berada di Jawa Barat, yaitu Majalengka. Mungkin jika yang mengendarai adalah seorang laki-laki, perjalanannya akan memakan satu jam. Tetapi karena mereka berdua sering berhenti sejenak karena kelelahan menyetir, akhirnya kedua wanita itu pun sampai di tempat tujuan satu setengah jam. Harusnya mereka sampai itu di Bandung, tempat mereka dulu berada. Terapi katanya Ibu Adiba itu pindah untuk hijrah dan memulai hidup baru di sini. Sungguh aneh bagi Lusi, sebab seharusnya ibunya Adiba akan betah karena di tempat kelahiran. Tetapi kenapa harus hijrah ke Majalengka? Hanya saja sang wanita tidak mau bertanya lebih rinci dan memilih untuk ikut saja dengan Adiba. Kedatangan mereka berdua itu tepat pukul 22.30. Ketiganya langsung disambut oleh ibunya Adiba, Melati. Sementara Lusi syok, tampak mematung melihat penampilan ibunya Adiba. Terlihat kurus dan juga tidak dikenali. Merasa pangling. Dia benar-benar tidak
"Jangan bohong, Bu! Aku tahu, Ibu pasti melakukan semua ini hanya untuk menunggu pria brengsek itu, kan?!" Mata Lusi benar-benar membulat mendengarnya. Dia tidak jadi meninggalkan dapur dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, sampai mereka bertengkar seperti ini. Padahal Adiba dan ibunya itu baru bertemu setelah sekian lama Adiba berada di Jakarta. Tetapi kenapa tiba-tiba saja temannya mengatakan hal yang seperti itu? "Jaga ucapan kamu, Adiba! Bagaimanapun dia itu adalah ayahmu." "Bukan! Dia adalah pria yang membuat Ibu dan aku menderita seperti ini.""Adiba!""Kenapa, Bu? Memang kenyataannya seperti itu, kan? Ibu sampai pindah ke Majalengka hanya untuk menghindari Ayah. Padahal rumah itu adalah rumah kita, Bu. Ibu berhak tinggal di sana." "Bukankah ayahmu memang sudah meninggalkan rumah itu?" elak Bu Melati membuat Lusi semakin bingung, tetapi tak urung wanita itu tetap berada di sana untuk mendengar semuanya. Mungkin saja ada tabir rahasia yang baru terungkap dan pertanyaa
"Bukankah akan lebih baik kalau Ibu melanjutkan hidup di sini? Tenang, damai dan Ibu juga bisa bersosialisasi dengan tetangga, sangat baik. Mereka kenal Ibu dari kecil, Nak," ucap Ibu Melati.Tampaknya dia benar-benar tidak mau kembali ke Bandung. Sementara itu Adiba juga bersikukuh untuk mengajak ibunya kembali ke tempat mereka dulu. "Bu, kalau Ibu ingin aku sembuh dari trauma, ikutlah denganku ke Bandung. Kecuali kalau ingin aku melajang seumur hidup. Silakan Ibu tetap tinggal di sini."Pernyataan itu membuat Bu Melati terperangah. Wanita paruh baya itu langsung memegang kedua pundak anaknya, berusaha untuk menyadarkan Adiba agar tidak mengambil keputusan sembarangan. "Kamu jangan seperti itu, Adiba. Hidup itu harus punya pasangan, kamu harus punya teman hidup. Kalau Ibu tidak ada, kamu dengan siapa?" "Ada Lusi, kok. Aku bisa hidup dengan Lusi." "Tidak, Nak. Kalau Lusi kembali berumah tangga, apakah suaminya akan terima jika kamu juga tinggal bersama mereka?" Tiba-tiba saja Adi
Bukannya menjawab pertanyaan Adiba, Bu Melati malah langsung menyuruh dua wanita itu untuk makan. Takut makanannya dingin, begitu alasan Bu Melati. Membuat Adiba terdiam, tampak sekali wajahnya kesal karena ibunya tidak menjawab pertanyaan. Padahal sudah jelas-jelas ada di depan Lusi. Wanita itu merasa gugup melihat reaksi dari Ibu dan anak. Dia seperti berada di tengah-tengah perang dingin yang begitu menegangkan. "Selamat makan." Bu Melati berusaha untuk mencairkan suasana dengan bertanya berbagai hal kepada Lusi. Wanita itu berusaha untuk mengikuti alur yang dibuat oleh Bu Melati, berusaha agar mood Adiba kembali naik. Tetapi tampaknya itu tidak berhasil. "Aku sudah selesai makan. Mau kamar dulu," ujar Adiba membuat Lusi maupun Bu Melati terkesiap. Setelah kepergian Adiba, wanita paruh baya itu tampak murung. Dia tak kuasa menahan air mata, membuat Lusi kaget. Wanita itu pun langsung menghampiri Bu Melati, pura-pura tidak tahu dan bertanya apa yang terjadi sampai wanita paruh