"Lalu, kamu pikir memasukkan wanita lain ke rumahku itu juga atis? Itu juga tidak etis. Aku tidak mau dia ada di tempatku. Bawa dia pergi dari sini," ungkap Mila dengan ketegasannya. Dia tidak mau sampai hidupnya direcoki lagi oleh Maura. Kehadiran adiknya di dunia ini saja sudah salah menurut Mila, apalagi kalau misalnya dia benar-benar satu atap dengan Maura. Bisa-bisa hidupnya tidak akan tenang. Raka terperangah. Dia tidak tahu kalau Mila sampai protes sebab kehadiran Maura. Begitu cemburuan Mila pada seorang wanita sampai seperti ini. Begitu pikir Raka. Jadi tidak ada kesempatan untuk Maura. Wanita itu juga hanya diam menunjuk. Tampaknya Raka harus benar-benar membujuk Mila agar mau membiarkan Maura tinggal di sana beberapa hari.Mungkin pria itu akan mencari tempat tinggal yang baru untuk Maura. Dia tidak boleh kehilangan Maura. Ini kesempatan untuk menghancurkan Devan, yaitu melalui Maura. Dengan menikahkan anak di bawah umur ini bersama pria yang menjadi saingannya. "Maura,
"Ya, karena aku kasihan kepadanya, Mil. Aku kenal dia." "Jadi, maksudmu kalau kamu kenal seorang wanita jika dia kesusahan, kamu akan membawa ke sini dan menampungnya? Memberikan perhatian lebih selayaknya seorang selingkuhan?" "Mila!" "Kenapa, Mas? Aku mengatakan yang sebenarnya, kan?! Kalau bukan karena hubungan terlarang, untuk apa lagi kamu menyimpan wanita itu di sini?" Raka greget sendiri menghadapi wanita ini, tetapi pria itu berusaha untuk sabar. Bagaimanapun ini adalah rumah Mila dan tidak mungkin dia memaksakan kehendak. Sementara pemilik rumahnya saja begitu menolak seperti ini. "Tidak seperti itu, Mil. Baiklah, aku akan menceritakan yang sebenarnya. Maura ini adalah anak yang tinggal dengan Lusi." "Lusi lagi! Jadi, kamu sengaja menampung wanita itu untuk mendapatkan Lusi?!" "Bukan seperti itu, Mila. Makanya dengarkan dulu kalau aku bicara," ujar Raka, masih berusaha untuk tenang dan menjelaskan semuanya dengan terperinci. "Luai mengambil hak asuh untuk menyekolahka
"Berapa hari dia tinggal di sini?" tanya Mila, tiba-tiba saja membuat Raka terkesiap. Pria itu benar-benar kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh istrinya. "Ya, aku tidak bisa pastikan, Mil. Tapi aku akan berusaha sebisa mungkin untuk mencari kontrakan untuknya atau kalau perlu, biarkan saja dia jadi pelayan di toko. Dengan begitu dia kan tidak perlu lagi menumpang di sini dan bisa hidup layak sebagaimana mestinya," papar Raka memberikan alasan dan dia juga memang ingin melakukan semua itu untuk Maura. Setidaknya Maura tidak pergi ke mana-mana sampai wanita itu bisa mendapatkan Devan. Mila diam sejenak, ini benar-benar memuakkan untuknya. Sungguh, dari hati kecilnya wanita itu tidak mau menampung Adik yang tidak pernah dianggap. Tetapi kalau misalkan dia menolak, takut malah akan menjadi karma untuk anak yang ada dalam kandungan. Akhirnya setelah dipertimbangkan Mila pun mengizinkan Maura tinggal di sini."Baiklah, Mas. Aku izinkan dia tinggal di sini." Raka tersenyum pen
"Mila, kamu jangan keterlaluan, ya. Masa anak orang di suruh tidur di sini? Bisakah kamu cari tempat lain yang lebih layak?" ucap Raka, merasa heran. Mila berdecak sembari melipat tangan di depan dada. "Mas, aku mengizinkan dia tinggal di sini, bukan berarti dia bisa seenaknya tinggal di sini. Tinggal pilih saja, mau di sini atau sebaiknya keluar dari rumah ini," ungkap Mila memberikan pilihan, membuat Raka mengusap kepalanya dengan kasar.Wanita ini lama-lama membuatnya jadi pusing dan merasa malu, sebab membiarkan Maura tinggal dalam keadaan seperti ini.Maura sepertinya tahu kalau sebentar lagi pasti akan ada perdebatan di antara kakaknya dan Raka, akhirnya wanita itu pun mengambil keputusan sendiri. "Sudah biarkan saja, tidak apa-apa. Lagian memang aku di sini numpang, kan? Jadi, tidak masalah aku tidur di sini," ujar wanita itu akhirnya mengalah. Mila tersenyum miring sembari menganggukkan kepala. Dalam hati merasa puas, ini akan lebih seru karena Maura menerima begitu saja ap
Sementara itu, di tempat lain saat ini Devan sedang bersiap-siap untuk kebebasannya besok. Dia akhirnya menggunakan pengacara Pak Haris dan memberikan uang jaminan. Meskipun itu sangat besar, tapi meyakinkan pihak polisi bahwa mereka akan menginvestigasi ulang apa yang sebenarnya terjadi. Karena saat itu dia dalam keadaan tidak sadar. Amanda yang sebelumnya menjanjikan untuk membebaskannya pun tak muncul. Entah kenapa, yang pasti saat ini kebebasan Devan itu utamanya untuk membalaskan semua perbuatan Arya kepadanya.Sementara seharian ini Devan terus memikirkan tentang Maura. Entah kenapa pria itu tiba-tiba saja sangat rindu kepada wanita itu. Sebelumnya sang pria bertanya kepada pengacaranya, apakah bertemu dengan Maura. Tetapi tentu saja sang pengacara tidak tahu. Sebab dia hanya singgah di kediaman Arya, hingga pria itu menyuruh pengacaranya untuk mencari Maura. Setelah dipikir-pikir, pria itu mungkin sudah keterlaluan kepada sang wanita. Untuk mendapatkan Lusi rasanya mustahil ,
"Loh, pada ke mana?" ucap Adiba saat melihat meja yang sebelumnya di tempat Lusi dan Alia kosong.Wanita itu membawa nampan berisi makanan yang sudah dipesan oleh kedua orang yang sebelumnya ada di sana. Tetapi saat sampai, tidak ada siapa-siapa. Dia menyimpan nampan itu dan terlihat bingung, melihat ke segala penjuru rest area.Adiba menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia sadar kalau tadi mengantri terlalu lama, karena memang banyak orang yang pesan di tempat yang sama. Tetapi harusnya Lusi memberitahunya kan kalau misalkan memang mau pindah tempat atau pergi? Begitu pikir Adiba.Dia memilih untuk menelepon temannya, tetapi belum sampai mendiang nomor Lusi, terlihat sang teman dengan anaknya itu berjalan menuju Adiba. Betapa terkejutnya gadis itu melihat pakaian Lusi yang begitu Kotor. "Ya Tuhan, Lus! Ada apa ini? Kenapa kamu tampak kotor sekali?" tanya Adiba, khawatir. Dia berpikir yang aneh-aneh dan mungkin saja terjadi sesuatu yang buruk kepada temannya ini. "Tadi Ibu tidak
Selama mereka makan, Lusi dan Adiba beserta Alia pun menyelingi aktivitas mereka dengan canda tawa. Sang pria dari tadi mendengarkan pun ikut tersenyum, apalagi saat mendengar Lusi terkekeh dan tertawa. Entah kenapa itu terdengar seksi di telinganya. Dia benar-benar sudah terhipnotis dengan wanita itu. Tampaknya sang pria harus benar-benar mencari tahu siapa wanita yang sudah ditabraknya tadi. "Ibu, apa perjalanan kita masih jauh?" tanya Alia di sela makannya.Wanita itu mengusap kepala sang anak dengan sayang. "Sebentar lagi, ya. Alia yang sabar, nanti kalau misalkan Alia capek bobo aja," ucap Lusi berusaha untuk menenangkan anaknya. Pasti Alia bosan sekali karena harus menunggu perjalanan jauh. Sementara itu, pria yang ada di sana juga masih berusaha mendengarkan percakapan mereka. Untunglah di meja tempat mereka berada itu hanya beberapa orang saja, sementara yang ramai itu dekat food count, tempat Adiba mengantri makanan tadi. Tanpa menceritakan apa pun, pria itu sepertinya pa
Selama mereka makan, Lusi dan Adiba beserta Alia pun menyelingi aktivitas mereka dengan canda tawa. Sang pria dari tadi mendengarkan pun ikut tersenyum, apalagi saat mendengar Lusi terkekeh dan tertawa. Entah kenapa itu terdengar seksi di telinganya. Dia benar-benar sudah terhipnotis dengan wanita itu. Tampaknya sang pria harus benar-benar mencari tahu siapa wanita yang sudah ditabraknya tadi. "Ibu, apa perjalanan kita masih jauh?" tanya Alia di sela makannya.Wanita itu mengusap kepala sang anak dengan sayang. "Sebentar lagi, ya. Alia yang sabar, nanti kalau misalkan Alia capek bobo aja," ucap Lusi berusaha untuk menenangkan anaknya. Pasti Alia bosan sekali karena harus menunggu perjalanan jauh. Sementara itu, pria yang ada di sana juga masih berusaha mendengarkan percakapan mereka. Untunglah di meja tempat mereka berada itu hanya beberapa orang saja, sementara yang ramai itu dekat food count, tempat Adiba mengantri makanan tadi. Tanpa menceritakan apa pun, pria itu sepertinya pa
Raka menundukkan kepala dengan menutupi wajahnya. Terdengar suara sesenggukan begitu menyakitkan. Tiba-tiba saja Bu Sinta merasa kalau dirinya saat ini benar-benar melihat anaknya yang masih kecil. Raka yang begitu polos dan memohon agar apa yang diinginkannya dikabulkan.Sudah cukup lama dia tidak melihat sisi rapuh anaknya sendiri."Aku bingung, Bu. Aku harus bagaimana? Semua orang menghimpitku, menyalahkanku seolah-olah aku ini adalah orang yang paling berdosa di sini. Aku tidak ingin hal yang lebih, Bu. Aku ingin kembali kepada Lusi dan hidup seperti dulu bersama anakku. Tapi, itu juga tidak bisa. Sekarang yang aku inginkan adalah bertemu dengan Alia. Dia anakku, dia adalah hidupku. Jika aku sekarang hancur karena perbuatanku dulu, setidaknya ada anakku yang bisa menguatkanku untuk tetap bertahan dan melanjutkan hidup," ungkap Raka, kembali sesenggukan. "Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tidak bisa mengerti dengan keadaanku saat ini? Aku menghukum Ibu karena memang Ibu sudah sangat keterlal
Bu Sinta kembali pura-pura menangis, karena dia akan benar-benar membuat anaknya merasa bersalah sebab sudah meninggalkannya. "Jadi, karena itu kamu berani mengusir Ibu? Kamu meninggalkan Ibu karena wanita itu?" tanya Bu Sinta dengan mata berkaca-kaca.Raka langsung menggelengkan kepala, menghela napas berkali-kali dan berusaha untuk tenang. Di hadapannya ini adalah ibunya sendiri. Dia harus membuat Bu Sinta mengerti, kalau dirinya punya tujuan tertentu dan tidak sembarangan melakukan hal-hal itu. "Bu, Kalau boleh jujur. Dari dulu saat aku bersama Lusi sudah berkali-kali aku ingatkan, Ibu tolong jaga sikap. Jangan terlalu banyak meminta uang kepada Lusi dan apa pun yang membuat Lusi mungkin merasa terbebani, tapi apa? Jawaban Ibu selalu saja memaksakan kehendak. Itu pun aku tetap diam, karena memang Lusi tidak mempermasalahkan itu. Tapi kemarin, aku hampir saja benar-benar kehilangan Lusi karena ide Ibu, kan? Apa Ibu tidak merasa bersalah kepadaku?" Sekarang giliran Raka mengungkap
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan
Raka masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa, karena semuanya serba mendadak. Padahal sebelumnya pria itu berpikir kalau Winda akan dengan senang hati memberinya bantuan tanpa harus meminta apa pun darinya. Tetapi, semua itu ternyata salah. Winda tetap saja meminta hal yang rasanya mustahil dilakukan oleh Raka. Masalahnya Raka memang tidak punya perasaan kepada wanita ini, ditambah lagi kalau misalkan Mila tahu apa yang sudah dilakukan Raka maka rencana semula akan benar-benar hancur. Hanya saja, pria itu juga ingin bertemu dengan Alia. Bagaimana kalau misalkan Alia ternyata dibawa ke luar negeri oleh Lusi? Entah berapa lama dia akan memendam rasa rindu kepada anaknya itu. Semua ini seperti sebuah simalakama untuknya. Melihat diamnya Raka, Winda tersenyum sinis. Dia menghela napas panjang, tahu kalau semua ini sulit untuk Raka dan mungkin pada akhirnya pria ini akan menolak tawaran itu. Jadi, tidak ada alasan Winda untuk menerima semua permintaan Raka. "Baiklah, Mas. Kalau mema
Maura menutup mulut, tak menyangka. Dia ingin menjerit dan memprotes apa yang dikatakan oleh Winda. Jika memang Winda tidak mengejar Raka, maka dia tidak akan mendapatkan rumah kecuali kalau misalkan dia memberikan ancaman. Tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa memanfaatkan Winda kalau wanita itu tidak mengejar Raka lagi. Ini akan berat untuknya, tapi Maura juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai. Tidak lupa wanita itu menyetel rekaman keduanya. Dia melakukan ini demi sebuah keamanan dan juga materi. Karena bagaimanapun hidup di sini butuh uang, jadi Maura tidak mau menjual rasa kasihannya demi orang lain. "Kenapa, Mas? Kamu diam saja. Kamu tidak beranikan menentukan jaminan apa-apa?" Winda menghela napas panjang. "Mas, aku memang prihatin dengan apa yang terjadi kepadamu. Tapi seperti yang kamu bilang, semua ini berawal dari kamu sendiri, kan? Kalau memang kamu mau aku membantu bertemu dengan Alia, maka kamu harus menikah
Raka terperangah. Dia berusaha untuk meyakinkan diri kalau yang didengarnya itu hanyalah salah."Kamu bercanda, kan, Win?"Winda tampak serius. Kali ini bahkan tidak ada senyum sama sekali."Tidak, Mas. Aku serius." "Kenapa? Bukankah kamu selama ini mau mendekatiku. Kamu juga selalu membantu ibuku?" tanya Raka. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Padahal pria itu sudah sampai sembunyi-sembunyi untuk pergi dari Mila. Pagi-pagi sekali bertemu dengan Winda, berharap kalau wanita ini bisa membantunya.Sementara itu Maura hanya terdiam dan berusaha untuk mendengarkan apa yang terjadi, karena bagaimanapun ini informasi penting. Dia akan meminta harga yang mahal kepada kakaknya atas semua ini. "Iya, Mas. Aku memang selalu membantumu. Aku juga membantu Ibu jika itu adalah kebaikan, tetapi untuk masalah Lusi, tidak." "Kenapa? Apakah kamu takut aku kembali kepada Lusi atau memang kamu berharap aku memberikan hadiah?" Lagi, kalimat tadi itu langsung m
"Bantuan? Bantuan apa, Mas?" tanya Winda.Dia mengajukan pertanyaan itu karena Winda juga tidak tahu harus melakukan apa. Sebab dirinya merasa ragu, apakah bisa membantu pria ini atau tidak. Raka terlihat senyum merekah. Entah kenapa itu malah membuat Winda khawatir kalau Raka akan meminta hal yang aneh kepadanya. "Benar kamu bisa membantuku, kan?" tanya Raka memastikan dulu. Sekarang Winda tersenyum kaku. Dia juga bingung apakah harus mengiyakan atau menggelengkan kepala, karena wanita ragu apa yang diinginkan oleh pria ini."Tolong bantu aku mencari Lusi dan Alia." "Apa?!" Seketika wajah yang sebelumnya terlihat khawatir dan bingung berubah menjadi kaget ada rasa kecewa yang menusuk dalam dada. Maura yang mendengarnya pun menutup mulut, hampir saja bersuara. Ternyata Raka masih memikirkan perihal Lusi, sampai meminta semua ini kepada Winda yang bukan siapa-siapa. Winda hanya bisa terdiam saja. Dia tidak tahu harus memberikan reaksi apa, karena ini sudah memastikan kalau Raka